Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Kaum Muslimin
Sesungguhnya nasihat itu diperuntukkan bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan
bagi kaum mukminin. Nasihat adalah perkara yang sangat agung bagi setiap muslim. Bahkan,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai pokok ajaran agama,
ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Agama itu adalah nasihat. “ Kami berkata: “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan
para imam kaum Muslimin serta segenap kaum Muslimin.” [HR. Muslim (no. 55)]
Nasihat merupakan kata yang ringkas, tapi memiliki makna yang tersirat di dalamnya. Secara
bahasa kata nasihat berarti ikhlas. Imam al-Khaththabi rahimahullah mengatakan bahwa kata
nasihat diambil dari lafadz “nashahar-rajulu tsaubahu” (ُالر ُج ُل ث َ ْوبَه
َّ ص َح
َ َ)ن, artinya, lelaki itu
menjahit pakainnya. Para ulama mengibaratkan perbuatan penasihat yang selalu
menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, sebagaimana usaha seseorang
memperbaiki pakaiannya yang robek. (Al-fawaaidu adz-dzahabiyyatu minal Arba’in an-
nawawiyyah, Abu ‘Abdillah Hammur bin ‘Abdillah Al-Mathar, hal 42)
Nasihat adalah perkara yang penting sehingga setiap muslim wajib memperhatikan dan
melakukannya kepada orang lain. Sampai-sampai Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengambil bai’at atasnya dan selalu mengikat diri dengannya karena sangat
memperhatikan masalah nasihat ini.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadikan nasihat yang tulus kepada seorang
muslim sebagai bagian dari hak-haknya yang harus ditunaikannya oleh saudaranya sesama
Muslim. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hak Muslim atas Muslim lainnya ada enam: jika engkau bertemu dengannya maka
ucapkanlah salam kepadanya; jika ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya; jika ia
meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia…” [7]
Imam Ibnu Daqiq mengatakan bahwa hukum memberikan nasihat adalah fardhu kifayah, jika
ada pihak yang memenuhi syarat telah menjalankannya, maka gugurlah kewajiban dari
selainnya. Dan memberi nasihat harus disesuaikan dengan menurut kadar kesanggupan
seseorang.[8]
Alangkah indahnya jika diantara kaum muslimin mengetahui adab-adab dalam bernasihat,
saling menasihati dalam kebaikan akan timbul rasa cinta dan ukhuwah yang tinggi. Adapun
adab-adab dalam bernasihat menurut ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada ada lima adab,
diantaranya adalah:
Hendaklah orang yang memberikan nasihat kepada orang lain meniatkannya semata-mata
mengharapkan Wajah Allah subhanahu wa ta’ala serta mencari pahala dan balasan dari-Nya.
Sebab, nasihat yang diberikan kepada kaum Muslimin mengandung pahala yang sangat
agung. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri menganggapnya sebagai inti dari
ajaran agama, yaitu dalam sabda beliau :
Demikian juga nasihat bagi Allah, bagi kitab-Nya, dan bagi Rasul-Nya. Makna nasihat bagi
Rasul-Nya adalah meneladani dan mentaati Nabi dalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Semua itu wajib dikerjakan karena Allah ta’ala, ikhlas semata-mata
mengharapkan Wajah-Nya dan pahala dari-Nya, serta mencari keridhaan-Nya. Dengan
demikian, ikhlas adalah syarat diterimanya amal shalih. [9,10]
Ini merupakan kesempurnaan nasihat untuk saudaramu sesama muslim. Jika engkau
mendapatinya hampir terjatuh ke dalam suatu keburukan, melakukan pelanggaran syar’i,
berbuat sesuatu yang memudharatkan dirinya, atau perbuatan yang lainnya, maka segera
nasihatilah saudaramu itu walaupun ia tidak memintanya. Demikian itu bukanlah termasuk
sikap yang lancang, bahkan kesempurnaan nasihat dan bentuk kepedualianmu kepadanya.
Hendaklah pula bersabar terhadap reaksi tidak baik yang engkau terima darinya. Misalnya, ia
menuduhmu sebagai pihak luar yang suka turut campur, menudingmu ikut campur dalam
masalah yang bukan urusanmu, atau yang lainnya. Karena, sesungguhnya engkau
melakukannya hanya karena mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.[10,15]
Ketahuilah bahwasanya setiap manusia apabila diingatkan dengan maksud untuk mengupas
aibnya, kejelekannya dan kekurangannya maka hal itu diharamkan. Namun apabila di
dalamnya terdapat maslahat bagi kaum muslimin secara khusus dengan maksud tanpa
merendahkannya maka itu bukan perkara yang diharamkan namun dianjurkan.[11] Oleh
karena itu kita harus mengetahui cara yang sesuai dengan orang yang dinasihati.
Pada kondisi-kondisi tertentu, engkau dapat memberikan nasihat kepada seseorang secara
langsung. Namun, terkadang nasihat disampaikan dengan cara memberikan contoh berupa
amal perbuatan, yang tujuannya adalah memberikan nasihat. Maka dari itu, cara penyampaian
nasihat berbeda-beda menurut keadaan orang yang dinasihati, seperti terhadap anak kecil,
orang dewasa, atau orang yang memiliki kedudukan tinggi di tengah masyarakat. Tidak
semua cara cocok untuk semua orang.[10]
Keempat, Memberi Nasihat Secara Umum dalam Urusan Agama dan Dunia
Apabila engkau melihatnya akan melakukan sesuatu dari urusan-urusan dunia dan engkau
melihat bahwa maslahat baginya adalah menjauhi perkara tersebut dan meninggalkannya,
maka berilah nasihat kepadanya untuk itu. Jika engkau mendapati ia lalai dalam
melaksanakan suatu urusan yang bermanfaat baginya, maka berilah nasihat kepadanya dan
ingatkanlah ia. Demikian pulalah ilustrasi-ilustrasi lainnya. Sesungguhnya wajib atas setiap
muslim untuk mencintai saudaranya sesama muslim dalam semua urusan yang ia sukai bagi
dirinya sendiri dari kebaikan-kebaikan dunia dan akhirat.[10]
Adapun nasihat yang diberikan dengan diam-diam tidaklah mengandung makna seperti itu,.
Oleh sebab itu, biasanya orang yang dinasihati menerima jika nasihat untuknya tidak
disampaikan secara terang-terangan. Niscaya orang yang dinasihati tidak merasa keberatan
atau tertekan untuk menerima nasihat tersebut. Sehingga apabila seseorang menerima suatu
nasihat dari orang yang menginginkan kebaikan darinya supaya mencegah dari hal yang
dilarang, kemudian ia menerimanya, taat, tunduk dan mengetahui baiknya nasihat tersebut
maka hal itu diumpamakan seperti menginginkan kebaikan kepada orang yang dinasihati.
[13]
(Diwaan Imam Syafi’i, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad Ibrahim Saliim, hal 91)
———————————————————————————————————-
[2] Terj Syarah arba’in An-Nawawi, pustaka Darul Haq, hlm 98
[3] Ghidzaul Albaab dengan Syarh al-Manzhuumah al-Adaab karya as-Safarini
[5] HR. Bukhari (no. 57, 254, 1401, 2157, 2715) dan Muslim (56) dari Jarir.
[6] Nashihatii lin-Nisaa’ bagian Muqaddimah, Syaikhah Ummu ‘Abdillah Al-Waadi’iyah
[7] HR. Muslim (no. 2162), dari sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu
[8] Terj Syarah Arba’in An-Nawawi , al-Imam Ibnu Daqiq al-‘id, pustaka Darul Haq, hal 103
[9] lihat Jamii’ul ‘Uluum wal Hikaam, Ibnu Rajab al-Hanbali, hal 220-221
[10]Terj Mausuu’atul Aadab al-Islamiyyah al-Murattabah ‘alal Huruuf al-Hijaaiyyah,
Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-
Sayyid Nada, pustaka Imam Syafi’i, hal 379-382.
[11] Muqaddimah Al-Farqu baina nashiihah wa Ta’yiir Karya Ibnu Rajab
[12] Al-Farqu baina nashiihah wa Ta’yiir, Karya Ibnu Rajab, hlm 8.
[13] Ghidzaul Albaab dengan Syarh al-Manzhuumah al-Adaab karya as-Safarini (I/44)
[15] Huquuq da’aat Ilaihaal Fithrathu wa Qarrartuhaa Asy-Syarii’ah, Syaikh Utsaimin, hlm
39- 40