Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KODE ETIK PSIKOLOGI

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kode Etik Psikologi

Dosen Pengampu : Abdul Aziz, S.Psi, M.Psi

Oleh:

Adinda Dian
Adi Waluyo
Aditya Ramdhani Muslim
Amalia Putri M
Aristya Hesti Pratiwi
Chusnal Iffah
Dede Adi Saputra
Diana Widya Evita
Hanan Astutik
Inayah Fauzia Z.A
Izzatul Rosyidah
Lulu Indayanti
Restu Hanasti
Hilda Prastiono

Kelompok 2

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2014
LATAR BELAKANG

Psikologi adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari
mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah.Ahli dalam ilmu Psikologi
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik psikologi
dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.Para praktisi dalam
bidang psikologi disebut para psikolog. Para psikolog berusaha mempelajari peran fungsi
mental dalam perilaku individu maupun kelompok, selain juga mempelajari tentang proses
fisiologis dan neurobiologis yang mendasari perilaku.

Maka dari itu di dalam profesi psikologi di perlukan adanya seperangkat aturan atau
nilai-nilai yang harus ditaati dalam menjalankan tugasnya, baik sebagai psikolog maupun
ilmuan psikologi. Nilai-nilai tersebut tercantum dalam kode etik psikologi.

Dalam makalah ini kami akan menyajikan kajian kode etik psikologi mulai dari pasal
1 sampai 3 secara detail sehingga pembaca dapat mengerti lebih dalam mengenai kode etik
psikologi.
KATA PENGANTAR

Dengan memanja kan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan lancar.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : Bpk.
Abdul Azis selaku dosen pengampu mata kuliah Kode Etik Psikologi, yang telah
memberikan kesempatan dan memberikan fasilitas sehingga makalah ini dapat selesai
dengan lancar. Ibu dan Bapak dirumah yang telah memberikan bantuan materil maupun
do’anya, sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan.Semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun.

Penulis
BAB I
PEDOMAN UMUM

Pasal 1

(1) KODE ETIK PSIKOLOGI adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan
dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan
psikologi di Indonesia.

Contoh kasus : Seorang psikolog tidak menggunakan kode etik psikologi dalam menangani
pasiennya.

Kesimpulan : seharusnya, seorang psikolog melakukan tindakan sesuai kode etik psikologi
yang berlaku.

(2) PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang
melatar-belakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli dalam ilmu Psikologi
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik psikologi
dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.

(3) PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi
dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi
psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi
psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2)
Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk
memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling;
penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan
kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi;
penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang
forensik; perancangan dan evaluasi program; serta administrasi. Psi-kolog DIWAJIBKAN
MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Contoh Kasus : Seorang Psikolog membuka praktik tanpa mempunyai izin praktik.

Kesimpulan : Seorang Psikolog harus lulusan S-1 dan untuk membuka praktek sendiri harus
lulusan S-2 serta diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
(4) ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar
belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi.
Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang
meliputi bidang-bidang pe-nelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan
masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen
psikologi; pengadministrasian asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi; peran-
cangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni
(sains) dan terapan.

Contoh Kasus :Seorang Psikolog menangani menangani gangguan syaraf yang seharusnya
ditangani oleh Psikiater

Kesimpulan :Seorang Psikolog tidak boleh menangani seorang pasien di luar kewenangan
sesuai Pasal 1 Ayat 4.

(5) LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi
dalam rangka menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan,
pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat
berupa praktik konseling dan psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan;
layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan
instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan;
konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang fo-rensik; perancangan dan evaluasi
program; dan administrasi.

Contoh Kasus :Seorang Psikolog melakukan pelayanan terhadap pasien tetapi tidak
menyelesaikan atau mencegah masalah pasiennya melainkan malah membuatnya semakin
rumit.

Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog mencegah atau menyelesaikan masalah


pasiennya.
Pasal 2

Prinsip Umum

Prinsip A: Penghormatan pada Harkat Martabat Manusia

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam
melaksanakan layanan psikologi.

Contoh Kasus :Seorang psikolog melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya

Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog yang baik mematuhi hak asasi manusia dalam
melaksakan layanan psikologi

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi meng-hormati martabat setiap orang serta hak-hak
individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang.

Contoh Kasus :Seorang psikolog membocorkan masalah pasiennya kepada orang lain

Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog menjaga rahasia pasiennya, sesuai perjanjian yang
dibuat psikolog dengan pasiennya

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus
untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan
yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan

Contoh Kasus :Saat psikolog sedang menangani sebuah komunitas

Kesimpulan :.

(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya,
individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal
kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status
sosial-ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan
orang-orang dari kelompok tersebut.

Contoh Kasus :Seorang psikolog tidak mau menerima pasien dari suku tertentu

Kesimpulan : Seharusnya seorang psikolog dapat menghormati pasien yang datang kepadanya
tanpa membedakan suku-suku tertentu

(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias faktor-
faktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun tidak
disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka

.
Prinsip B: Integritas dan Sikap Ilmiah

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah
terutama pada pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi.

Contoh kasus :Seorang psikolog sembarangan memberikan diagnosa kepada pasien

Kesimpulan :Seharusnya psikolog memberikan diagnosa kepada psien secara ilmiahdan


dengan pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya. bukan sembarang, misalnya sesuai
pendapatnya sendiri yang tidak sesuai ilmiah psikologi

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran
dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.

Contoh kasus: Psikolog A yang membohongi paseinnya untuk mendapatkan honor yang lebih

Kesimpulan : Seharusnya psikolog yang baik menjaga integritas diri demi kebaikan paseinnya

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan
(fraud), tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta
yang tidak benar.

Contoh kasus: Seorang Psikolog memalsukan diagnosis untuk kepentingan pribadi.

Kesimpulan : Seorang Psikolog tidak boleh memalsukan diagnosis untuk kepentingan pribadi.
Karena dapat membahayakan kejiwaan pasien.

(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat
mengambil keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam
situasi dimana tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk
meminimalkan dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi.

Contoh kasus :Psikolog A membeberkan masalah pasien secara utuh sehingga membuat
pasien semakin tertekan

Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog yang baik mengerti tahap-tahapan peenyampaian


masalah yang dialami pasiennya

(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan


kebu-tuhan, konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki ketidakpercayaan atau
akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik psikologi yang digunakan.

Contoh kasus :Psikolog A yang secara jelas melakukan kesalahn diagnosis tidak mau
bertanggung jawab terhadap paseinnya justru malah membiarkannya

Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog yang baik saat dia sadar bahwa dia salah
mendiagnosis pasiennya berani bertanggung jawab atas kesalahannya
Prinsip C : Profesional

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan
segala bentuk layanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan
menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.

Contoh kasus : Seorang psikolog kurang menguasai ilmu psikologi sehingga tidak bisa
mengatasi masalah pasien

Kesimpulan : Seharusnya seorang psikolog harus kompeten dalam menangani pasien

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang didasarkan pada
adanya saling percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan ilmiah terhadap pengguna
layanan psikologi serta komunitas khusus lainnya.

Contoh kasus : Seorang psikolog tidak bisa membangun komunikasi yang baik terhadap
pasien sehingga tidak ada saling percaya diantara keduanya

Kesimpulan : seharusnya psikolog yang baik bisa membangun komunikasi yang baik dengan
pasienya

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban
profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk
mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak
buruk.

Contoh kasus :Seorang psikolog menangani pasien yang depresi justru malah membuatnya
semakin depresi dan stress

Kesimpulan :Seharusnya psikolog yang baik berusaha mengambil tanggung jawab secara tepat
atas tindakannya. Harus profesional

(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk
pada teman sejawat, profesional lain dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan
layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.

Contoh kasus :Psikolog A memiliki pasien yang tidak bisa ditangani tetapi dia tidak
merujukkan kepada instansi lain yang lebih bisa menangani pasien tersebut

Kesimpulan :Seharusnya psikolog harus memiliki relasi dengan lembaga instansi psikolog
lainnya
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan
kepatuhan etis dan profesional kolega-kolega dan/atau profesi lain.

Contoh kasus : Seorang psikolog A justru menjelekan kemampuan seorang psikiater

Kesimpulan : seharusnya seorang psikolog yang baik menghormati profesi lain

(6) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk
menyumbangkan sebagian waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit kompensasi
keuntungan pribadi.

Contoh kasus : Seorang psikolog A memiliki pasien yang datang bukan di saat jam praktek
dan psikolog tersebut tidak menerimanya

Kesimpulan : sebagai psikolog yang baik seharusnya bersedia menyumbangkan sebagian


waktunya untuk pasien

Prinsip D : Keadilan

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan
adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, pengguna layanan psikologi tanpa dibedakan oleh
latar-belakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan memperoleh ke-
untungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur dan layanan yang dilakukan.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengguna-kan penilaian yang dapat


dipertanggungjawabkan secara profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-
bias yang muncul, mem-pertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian
sehingga tidak mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin
ketidakberpihakan.

Contoh kasus : Seorang psikolog A meminta honor yang berbeda dari setiap pasienya dengan
melihat profesinya

Kesimpulan : Sebagai psikolog yang baik tidak boleh membedakan honor dari setiap pasienya
Prinsip E : Manfaat

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada
kesejah-teraan umat manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk
pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.

Contoh kasus : Seorang psikolog tidak bisa memberikan manfaaat dari pelayananya

Kesimpulan : Seharusnya psikolog yang baik bias memberikan manfaat terhadap pasienya

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta
memini-malkan akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain.

Contoh kasus : Seorang psikolog A memiliki pasien yang sedang memiliki konflik dengan
temanya tapi justru psikolog tersebut malah makin memperumit masalahnya

Kesimpulan : Sebagai psikolog yang baik harus bersikap netral terhadap masalah pasienya dan
tidak mempengaruhi pihak-pihak lain dari pasienya

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya
faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organi-sasi maupun politik yang mengarah pada pe-
nyalahgunaan atas pengaruh mereka.

Contoh kasus : Seorang psikolog disuap demi kepentingan pihak tertentu

Kesimpulan : Seorang psikolog yang baik harus bias professional dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya
BAB II
Pasal 3 Majelis Psikologi Indonesia

1) Majelis Psikologi adalah penyelenggara organi-sasi yang memberikan


pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi
psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota maupun
organisasi.

Analisa : dalam pemahaman diatas majelis psikologi turun tangan untuk memberikan
pertimbangan dalam penyeleksian tenaga kerja psikologi. Dengan hal ini maka
indonesia bisa melahirkan profesi dan tenaga kerja yang baik karena telah
mendapatkan pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian dari majelis
psikologi. Contoh: suatu perusahaan mengadakan rekrutme pegawai selain lolos secara
akademis juga harus lolos uji psikotes, maka calon pegawai harus lolos uji psikotes
sebagai pertimbangan rekrutme tersebut.

2) Penyelesaian masalah pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh Psikolog


dan/atau Ilmuwan Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan
memperhatikan laporan yang masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan
untuk membela diri.

Analisa : pelanggaran kode etik psikologi bisa diproses hanya apabila terdapat laporan
alasan yang masuk akal tentunya dengan bukti yang meyakinkan sebagai pendukung
apakah pelaku pelanggaran tersebut benar-benar bersalah atau tidak, dan tentunya
pelaku pelanggaran tersebut dapat membela diri dan pertimbangannya sesuai dengan
laporan dan bukti yang telah terlapor dan bagaimana cara pelaku pelanggaran tersebut
dapat membela dirinya. Contoh: apabila ada seorang psikolog terbukti bersalah maka ia
tetap berhak membela dirinya dan pertimbangan dia bersalah atau tidak akan terlihat
dalam seberapa kuat ia membela diri dan seberapa kuat info dan bukti yang ada bahwa
ia bersalah.

3) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi telah melakukan layanan Psikologi


sesuai prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah ilmiah serta bukti-bukti empiris wajib mendapat perlindungan dari
Himpunan Psikologi Indonesia dalam hal ini Majelis Psikologi Indonesia.

Analisa : dalam penjelasan diatas maka seorang psikolog harus melakukan layanan
sebaik-baiknya. Apabila sampai lalai mendiagnosa dan menangani klien maka sudah
jelas psikolog tersebut tidak berhak mendapatkan perlindungan dalam hal apapun dari
pihak Majelis Psikologi Indonesia.
4) Apabila terdapat masalah etika dalam pemberian layanan psikologi yang belum
diatur dalam kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia
wajib mengundang Majelis Psikologi untuk membahas dan merumuskannya,
kemudian disahkan dalam sebuah Rapat yang dimaksudkan untuk itu.

Analisa: dalam penyelesaian masalah yang belum diatur akan diselesaikan secara
bersama yang melibatkan Himpunan Psiklogi Indonesia bersama dengan Majelis
Psikologi untuk merumuskan dan disahkan dalam rapat.

Kesimpulan pasal 1 :
Segala penyimpangan, kelalaian dan permasalahan akan ditangani oleh Majelis Psikologi
dengan disertakan laporan yang masuk akal serta bukti-bukti yang kuat. Psikolog yang
melakukan layanan sesuai kaidah akan mendapatkan perlindungan dari Himpunan Psikologi
Indonesia karena telah dianggap bekerja sesuai prosedur yang berlaku. Selain itu psikolog
juga harus teliti dalam menangani klien, jangan sampai lalai atau malpraktek. Contohnya
dilapangan adalah seorang psikolog yang mendiagnosa klien nya autis tapi pada
kenyataannya klien tersebut hanya mengalami slow learned, psikolog tersebut tentu saja
sudah menyalahi aturan dalam prakteknya, dengan kata lain psikolog tersebut tidak teliti
dalam mendiagnosa apa yang terjadi pada klien

Pasal 4 Penyalahgunaan di bidang Psikologi


(1) Setiap pelanggaran wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran
ter-hadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi
sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan
Psikologi Indonesia dan Kode Etik Psikologi Indonesia

Analisa: apabila terdapat sorang psikolog melanggar wewenang di bidang keahlian


psikologi dan Kode Etik Psikologi baik itu bersifat ringan, sedang atau berat pelaku
pelanggaran tetap mendapatkan sanksi. Contoh: seorang psikolog mendiagnosa
seseorang bahwa orang tersebut autis, tapi pada kenyataan nya orang tersebut hanya
slow learned dan tidak autis. Maka sangat jelas bahwa psikolog tersebut telah lalai
dalam mendiagnosa dan menangani klien. Psikolog tersebut jelas akan mendapatkan
sanksi sebagaimana diatur dalam anggaran dasar, anggaran rumah tangga himpunan
psikologi indonesia dan kode etik psikologi indonesia.

(2) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau


penilaian salah terhadap kerja mereka, mereka wajib me-ngambil langkah-langkah
yang masuk akalsesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau
mengurangi pelanggaran atau kesalahan yang terjadi.

Analisa: Pada dasarnya jika seorang psikolog melakukan kesalahan, maka mereka
harus memperbaiki kesalahannya sehingga tidak merugikan pihak lain yang
menggunakan teori dari psikolog tersebut. Psikolog tersebut harus melakukan kajian
ulang dan merefisi atau meralat teori yang telah diasampaikan, kemudian mengganti
teori baru yang sudah dia perbaiki.
(3) Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh
Psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh
mereka yang bukan Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki Ijin Praktik, serta
layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik
Psikologi Indonesia. Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas adalah:

a. Pelanggaran ringan yaitu: Tindakan yang dilakukan oleh seorang Psikolog


dan/atau Ilmuwan Psikologi yang tidak dalam kondisi yang sesuai dengan
standar prosedur yang telah ditetapkan, se-hingga mengakibatkan kerugian
bagi salah satu tersebut di bawah ini:

i. Ilmu psikolog
ii. Profesi Psikolog
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyara-kat umumnya.

b. Pelanggaran sedang yaitu: Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau


Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun
pe-nanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah
ditetapkan meng-akibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:

i. Ilmu psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masya-rakat umumnya.

c. Pelanggaran berat yaitu: Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau


Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun
hasil yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu di bawah ini:

i. Ilmu Psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa layanan psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masya-rakat umumnya

Analisa: seluruh hal-hal yang bersifat melanggar Kode Etik Psikologi dan suluruh hal-
hal yang merugikan baik itu pelanggaran ringan, sedang maupun berat akan diproses
dan dijatuhi sanksi sesuai pelanggaran apa yang telah dilakukan.
(4). Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam aturan
tersendiri.

Analisa: pelanggaran kode etik psikologi adalah tindakan menyimpang yang dilakukan
oleh psikolog dan / atau ilmuan psikologi dari ketentuan yang dirumuskan dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia. Diantaranya: janji sumpah profesi, psikolog yang tidak
memiliki ijin praktik serta layanan psikologi yang menyimpang. Pelanggaran ringan,
pelanggaransedang dan pelanggaran berat seperti menyalahi standar proses, standar
prosedur dan manipulasi data yang merugikan banyak pihak akan mendapatkan sanksi
yang akan diatur dalam aturan tersendiri.

Kesimpulan pasal 4 : segala sesuatu yang melanggar Kode Etik Psikologi akan di
proses dan yang terbukti bersalah akan diberi sanksi sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan baik itu pelanggaan ringan, sedang ataupun berat. Apabila psikolog
menemukan pelanggaran salah terhadap kinerja nya maka mereka wajib memperbaiki
kesalahan yang mereka lakukan

Pasal 5 Penyelesaian Isu Etika


(1) Apabila tanggungjawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan hukum,
hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
harus menunjukkan komitmennya terhadap kode etik dan melakukan langkah-
langkah untuk penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam Kode Etik
Psikologi Indonesia. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut,
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap tuntutan hukum,
peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku

Analisa: dari penjelasan diatas apabila seorang psikolog menyimpang dari peraturan
hukum maka psikolog tersebut harus memegang teguh kode etik. Jadi semua psikolog
harus patuh pada peraturan Kode Etik Psikologi dan harus memegang teguh Kode
Etik Psikologi.

(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi


berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia,
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik,
memberitahu komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan menye-
lesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk tanggung jawab dan
kepatuhan terhadap kode etik.

Analisa: segala sesuatu yang terjadi khususnya yang melanggar Kode Etik Psikologi,
psikolog dan/atau ilmuwan wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik atau alasan
mengapa ia melakukan pelanggaran. Dan psikolog tersebut harus menyelesaikan nya
untuk membuktikan bahwa ia bertanggung jawab terhadap kesalahan nya dan patuh
terhadap Kode Etik Psikologi
(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog
dan/atau Ilmu-wan Psikologi, perorangan, organisasi pe-ngguna layanan psikologi
serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis dan disertai bukti
terkait ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk nantinya diserahkan
kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur
dalam mekanisme tersendiri.

Analisa: apabila terdapat psikologi yang terbukti bersalah maka pelapor wajib
menyerahkan bukti yang kuat serta penjelasan yang detail secara tertulis, dengan kata
lain apabila penjelasan secara lisan maka tidak akan diproses dan bukti tidak lengkap
akan diproses lebih lama. Diharap kan para psikolog yang melanggar harus berpegang
teguh Kode Etik Psikologi supaya tidak terjadi pelanggaran-pelangaran yang merugikan.

(4)Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Ma-jelis Psikologi Indonesia menjadi


bahan pertim-bangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama
tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, ng teguh proses
penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil yang
diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam orga-nisasi yang ada. Dalam
pelaksanaannya di-usahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan
tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.

Analisa: penyelesaian masalah akan dilakukan dengan melakukan investigasi untuk


mencapai hasil yang diharapkan dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.

(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat
bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi ma-sukan kepada
Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut:
a. Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut
b. Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c. Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran

Analisa: seluruh pelanggaran Kode Etik Psikologi akan diproses lebih lanjut dan akan
dibahas secara mendetail serta akan dicari jalan keluarnya. Dengan kata lain seluruh
pelanggaan Kode Etik Psikologi akan diselesaikan sampai tuntas.

(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang
melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan ang-gota yang bersangkutan dan
data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil
keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.

Analisa: majelis psikologi tidak akan seenaknya menuduh bahwa psikolog perilaku
pelanggaran tersebut bersalah, tetapi akan menampung seluruh laporan dan keterangan
dan akan memproses sampai tuntas. Dari seluruh data yang masuk maka majelis
psikologi akan mengambil keputusan atas permasalahan tersebut.
(7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis psikologi tidak
puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang perlu, Pengurus Pusat
bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi
untuk membahas masalah tersebut, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun
untuk diumumkan sesuai dengan kepentingan.

Analisa: majelis psikologi memberikan kesempatan kepada pelaku pelanggaran apabila


tidak puas dengan keputusan majelis psikologi maka dapat membawa masalah tersebut
ke pengurus wilayah untuk ditindak lanjuti.

Kesimpulan pasal 5:
apabila terjadi pertentangan etika psikologi dengan hukum yang berlaku, psikolog dan/atau
ilmuan psikologi harus menunjukan komitmennya, kemudian mencari jalan keluar atas
konflik yang terjadi. Jika mengalami kebuntuan, sebaiknya psikolog dan/atau ilmuan
psikologi sebaiknya mengikuti peraturan hukum yang berlaku diwilayah tersebut.Dalam
pelaksanaannya diusahakan untuk tetap memegang teguh prinsib kerahasiaan.

Pasal 6 Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan


Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun yang
mengajukan keluhan karena terkena pelanggaran etika.Keluhan harus di dasarkan pada
fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.
Analisa: Himpunan psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi akan menindak lanjuti
keluhan atas pelanggaran etika yang terjadi, namun harus disertai fakta atau bukti yang
jelas dan masuk akal

Kesimpulan pasal 6:
Pelanggaran apapun tidak akan diterima oleh Majelis Psikologi apabila pelapor tidak
menyertakan bukti dan penjelasan yang jelas dan masuk akal. Dalam hal ini pelaporan
pelanggaran lebih baik bersifat tertulis karena dirasa lebih akurat dan bukti-bukti yang ada
harus kuat agar Majelis Psikologi bisa memproses masalah dengan baik.
BAB III
KOMPETENSI

Pasal 7
RUANG LINGKUP KOMPETENSI

(1) Ilmuwan Psikologi memberikan jasa dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian
dan atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan,
pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.

(2) Psikolog dapat memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi
serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan
dengan psikoterapi setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang
berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan atau
pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.

(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isue atau cakupan
kasus-kasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV / AIDS, kekerasan berbasis
gender, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau yang terkait
dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok
marginal, penting untuk mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan
melalui berbagai cara seperti pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi
terbimbing untuk memastikan kompetensi dalam memberikan pelayanan jasa dan atau
praktik psikologi yang dilakukan kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal
yang membahas tentang itu.

(4) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku
penanganan, guna melindungi pengguna jasa dan atau praktik psikologi serta pihak
lain yang terkait.

(5) Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi praktik psikologi
sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu mengenali peraturan-peraturan hukum
sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.
Pasal 8
PENINGKATAN KOMPETENSI

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang


berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.

Contoh Kasus : Seorang Psikolog setelah mendapatkan gelarnya dan membuka praktik
tidak mau menambah pengetahuannya. Jadi, psikolog tersebut hanya mendapatkan ilmunya
hanya dari tempat di mana ia mendapatkkan gelarnya tersebut.

Kesimpulan : Psikologi merupakan ilmu yang terus berkembang dari masa ke masa seiring
dengan modernitas yang terjadi, oleh karena itu untuk melayani pasien psikolog juga arus
menambah ilmunya sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Pasal 9
DASAR-DASAR PENGETAHUAN ILMIAH dan SIKAP PROFESIONAL

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus berdasar pada
pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima secara luas atau
universaldalam disiplin ilmu psikologi.

Contoh Kasus : Seorang Psikolog memberikan diagnosa dan saran berdasarkan


keinginannya bukan sesuai dengan disiplin ilmu psikologi.

Kesimpulan : Disiplin ilmu psikologi penting untuk dipatuhi karena merupakan hasil
pemikiran orang yang sudah ahli dan merupakan ilmu yang sudah universal. Dan

Pasal 10
PENDELEGASIAN PEKERJAAN PADA ORANG LAIN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan pada asisten,
mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran, atau kepada
jasa orang lain seperti penterjemah perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
a) menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan
ganda dengan yang diberikan jasa dan atau praktik psikologi, yang mungkin akan
mengarah pada eksploitasi atau hilangnya objektivitas
b) memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan
pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,
pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi
hingga level tertentu; dan
c) memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.
Contoh Kasus : Seorang Psikolog menyerahkan tugas Psikotest untuk siswa ke guru
Bimbingan Konseling yang notabene bukan merupakan Sarjana Psikologi yang tidak
berkompeten dalam hal tersebut.
Kesimpulan : Seorang Psikolog harus mengerjakan tugas yang yang diembannya sendiri
dan tidak boleh menugaskannya kepada seorang yang bukan merupakan sarjana psikologi.
Karena dalam pengerjaan psikotest seorang psikolog siswa diharuskan dalam keadaan yang
kondusif dan BETAH (Bersih, Transparan, Akuntabel, Humanis).

Pasal 11
MASALAH DAN KONFLIK PERSONAL

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa masalah dan konflik pribadi
mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi mampu menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan
pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain, sebagai akibat dari masalah dan
atau konflik pribadi tersebut.

(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-
tanda adanya masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin
mencari bantuan atau melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali
menjalankan pekerjaannya secara profesional. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
harus menentukan akan membatasi, menangguhkan, atau menghentikan kewajiban
layanan psikologi tersebut.

Contoh Kasus : Psikolog A tidak mau melayani klien B karena mempunyai masalah pribadi
terhadap klien tersebut.

Kesimpulan : Seorang Psikolog tidak boleh membawa urusan pribadi dalam konsultasi.
Seorang psikolog harus profesional dalam melayani klien atau kalau tidak memungkinkan
psikolog tersebut dapat merekomendasikan ke psikolog lain.

Pasal 12
PEMBERIAN LAYANAN PSIKOLOGI DALAM KEADAAN DARURAT

(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan mental dan atau
psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi yang memiliki kompetensi untuk memberikan layanan psikologi
yang dibutuhkan.

(2) Dalam kondisi sebagaimana tersebut dalam poin (1) pasal ini, kebutuhan yang ada
tetap harus dilayani. Karenanya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang belum
memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi
untuk memastikan bahwa kebutuhanlayanan psikologi tersebut tidak ditolak.
(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, psikolog yang belum
memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan atau Ilmuwan Psikologi perlu segera
mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian
layanan psikologi tersebut.

(4) Bila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau
kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus
dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera.

Contoh Kasus : Seorang Psikolog melayani seorang klien yang mempunyai yang
mempunyai penyakit dalam dan mengobati penyakit dalam tersebtu.

Kesimpulan : Seorang Psikolog tidak boleh malayani hal yang bukan merupakan bagiannya.
Psikolog tersebut harus merujuknya terlebih dahulu ke tempat di mana pasien tersebut
mendapatkan pengobatan yang sesuai.

Anda mungkin juga menyukai