Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Persoalan kesehatan jiwa adalah bagian tidak terpisahkan dari
kesehatan masyarakat. Kesehatan jiwa merupakan bagian integral yang
diperhatikan oleh negara karena memengaruhi angka kesehatan dan kondisi
sosial masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, perlindungan terhadap kesehatan
jiwa juga termasuk di dalam segmentasi Hak Asasi Manusia (HAM). Hal
tersebut didukung oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui
World Health (WHO). WHO menyatakan selayaknya hak asasi manusia
diperhatikan, baik itu bagi manusia yang mengalami hendaya dan gangguan
kejiwaan maupun manusia sehat psikis dan fisiknya (GA Resolution UN
Convention 1991, dalam Aldani Putri Wijayanti & Achmad Mujab Masykur,
2016).
Menurut laporan dari Human Rights Watch Indonesia (2016, 20
Maret), dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki
600-800 psikiater, hal tersebut berarti satu orang harus menangani 300.000
hingga 400.000 orang. Fasilitas dan pelayanan kesehatan yang terbilang
langka tersebut juga disertai oleh pelanggaran hak-hak dasar para penyandang
disabilitas psikososial dan sangat berperan memicu kekerasan terhadap para
penyandang gangguan kejiwaan dan disabilitas. Kekerasan yang dimaksud
misalnya: Menempatkan pasien perempuan dan lelaki di bangsal yang
berdekatan dan membuat perempuan tidak memiliki opsi melarikan diri
ketika dilecehkan. Tindak kekerasan di lembaga pelayanan kesehatan jiwa
juga diperparah dengan pembatasan fisik atau yang lebih dikenal dengan
pemasungan. Pemasungan dilakukan di beberapa lembaga pengobatan
alternatif maupun dilakukan oleh keluarga dari Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ) itu sendiri (Human Rights Watch Indonesia, 2016).
Pemasungan penderita gangguan jiwa adalah tindakan masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat) dengan cara
dikurung, dirantai kakinya dimasukan kedalam balok kayu sehingga
kebebasannya menjadi hilang. Pemasungan dilakukan oleh masyarakat
disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu masyarakat dan keluarga takut Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) akan bunuh diri dan mencederai orang lain,
ketidakmampuan keluarga merawat ODGJ, dan juga karena pemerintah tidak
memberikan pelayanan kesehatan jiwa dasar pada ODGJ yang berada di
komunitas (Minas & Diatri, 2008).
Pasca pasung sendiri adalah orang yang sudah terbebas dari
pemasungan. Walaupun ODGJ sudah bebas dari pemasungan, beban pada
keluarga klien ODGJ belum selesai. Hasil evaluasi dari 9 orang klien yang
sudah lepas dari pemasungan, kemandirian mereka dalam perawatan diri
sudah cukup optimal sehingga intervensi yang diberikan lebih berfokus
kepada cara mempertahankan kepada status kemandirian tersebut (Sari,
2009).
Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO) ada sekitar
450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2016, menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi
dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14
juta orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia
adalah 1,7 per1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Prevalensi
gangguan jiwa di Jambi pada gangguan jiwa berat (psikosa/skizofrenia)
sebanyak 0,22% dan gangguan mental emosional sebesar 6,5%. Data dari
Dinas Kesehatan Kota Jambi tahun 2016 menyebutkan jumlah klien
gangguan jiwa di Kota Jambi sebanyak 17.451 orang. Kementerian
Kesehatan memperkirakan jumlah ODGJ yang mengalami pemasungan di
seluruh Indonesia mencapai lebih 18 ribu jiwa. Proporsi keluarga yang
memiliki ODGJ psikosis dan pernah melakukan pemasungan 14,3% atau
sekitar 237 keluarga dari 1.655 keluarga yang memiliki ODGJ yang dipasung
dan terbanyak pada keluarga di pedesaan (18,2%) (Riskesdas, 2016).
Prosentase keluarga yang memiliki ODGJ yang dipasung di jambi sebanyak
16,3% (Riskesdas, 2016).
Menurut data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi, kasus pasung di
Kota Jambi pada tahun 2017 sebanyak 74 orang, diantaranya laki-laki
sebanyak 54 orang dan perempuan sebanyak 20 orang. Tahun 2018 di
dapatkan sebanyak 85 orang, yang pulang sebanyak 29 orang dan masih
dirawat sebanyak 56 orang . Beban yang ditanggung oleh keluarga yang
hidup bersama penderita gangguan jiwa berat meliputi beberapa faktor, baik
secara ekonomi maupun sosial. Selain itu, beban yang ditanggung keluarga
berupa beban subjektif dan objektif, pengalaman stress seumur hidup,
sehingga membuat koping tidak efektif (Yusuf, 2012).
Kurangnya pengetahuan tentang gangguan jiwa serta motivasi
keluarga untuk melakukan perawatan yang tepat pada klien gangguan jiwa
menjadikan beban keluarga semakin kompleks. Pada awalnya, ODGJ ini
dipasung selama bertahun-tahun oleh keluarga. Akhirnya, oleh perangkat
desa dan pemerintah Jambi ODGJ di lepas pasungnya melalui kegiatan
Penjaringan Korban Pasung yang dilaksanakan oleh RSJD Provinsi Jambi,
dimana klien diberikan perawatan dan pengobatan serta terapi rehabilitasi
mental. Upaya lain kepada klien pasca pasung adalah RSJD Provinsi Jambi
melakukan kunjungan rumah klien dengan riwayat berulangkali dipasung
setelah pulang ke rumah. Upaya pemerintah mengatasi masalah pemasungan
dengan mencanangkan Indonesia Bebas Pasung 2016 sudah cukup baik. Hal
ini dilakukan agar orang yang dipasung bisa bebas, karena kegiatan pasung
adalah kegiatan yang melanggar Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan data di atas maka penulis tertarik mengangkat masalah
tentang Asuhan Keperawatan Jiwa pasien Pasung Pada Tn. A dengan Isolasi
Sosial di Ruang Rawat Inap BETA Rumah Sakit Provinsi Jambi Tahun 2018.

2. Tujuan
2.1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan isolasi sosial dan
membandingkan asuhan keperawatan isolasi sosial secara teori dan
kenyataan khususnya di ruang rawat inap BETA Rumah Sakit Jambi
Daerah.
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan baik secara teori
maupun kasus pada pasien dengan isolasi sosial.
b. Membandingkan antara konsep dasar yang terkait dengan fakta yang
ada di lapangan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
dengan isolasi sosial khususnya di ruang rawat inap BETA Rumah
Sakit Jambi Daerah.
c. Mengetahui gambaran faktor pendukung dan penghambat dalam
asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial khususnya di
ruang rawat inap BETA Rumah Sakit Jambi Daerah.
d. Memberikan saran dan alternatif penyelesaian masalah dalam
menyelesaikan asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial
khususnya di ruang rawat inap BETA Rumah Sakit Jambi Daerah.
e. Memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program
pendidikan Profesi Ners di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nan
Tongga Lubuk Alung.
3. Manfaat
3.1 Manfaat Teoritis
Dapat menjadi salah satu referensi bagi mahasiswa keperawatan
khususnya mahasiswa profesi Ners untuk membandingkan antara asuhan
keperawatan secara teoritis dengan kenyataan.
3.2 Manfaat Praktis
a. Rumah Sakit
Mengetahui metode keperawatan yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan isolasi sosial.
b. Perawat
Mengetahui bagaimana cara membuat asuhan keperawatan yang
komprehensif dan memberikan perawatan yang optimal pada pasien
dengan isolasi sosial
c. Institusi Pendidikan
Dijadikan contoh laporan kasus dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial.
d. Penulis
Menambah pengalaman dan wawasan penulis dalam melakukan
asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial dan bisa
membandingkan antara teori dengan kenyataan.
e. Keluarga
Keluarga lebih mengetahui tanda dan gejala pasien dengan isolasi
sosial dan dapat mengetahui bagaimana cara merawat pasien dengan
isolasi sosial.

4. Ruang Lingkup Penulisan


Ruang lingkup penulisan ini membahas tentang Asuhan Keperawatan
Jiwa dengan pasien Pasung Pada Tn. A dengan Isolasi Sosial di Ruang Rawat
Inap BETA RSJ Daerah Jambi Tahun 2018.

5. Sistematika Penulisan
Laporan kasus ini terdiri dari V (lima) bab yang disusun dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan kelompok,
ruang lingkup penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika
penulisan.
BAB II : Landasan teoritis yang terdiri dari konsep dasar isolasi sosial dan
penatalaksanaan isolasi sosial.
BAB III : Laporan kasus yang terdiri dari Pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
BAB IV : Pembahasan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
daftar diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,
implementasi keperawatan dan evaluasi.
BAB V : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran

Anda mungkin juga menyukai