TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Jiwa
1. Pengertian gangguan jiwa
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh
seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya
tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2010).
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition),emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2012).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan
peran social.
Menurut Townsend (2009) mental illness adalah respon maladaptive
terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan,
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu
fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.
B. DEFINISI PEMASUNGAN
1. Pengertian Pemasungan
Pemasungan penderita gangguan jiwa adalah tindakan masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat) dengan cara dikurung, dirantai
kakinya dimasukan kedalam balok kayu dan lain-lain sehingga kebebasannya menjadi
hilang. Pasung merupakan salah satu perlakuan yang merampas kebebasan dan
kesempatan mereka untuk mendapat perawatan yang memadai dan sekaligus juga
mengabaikan martabat mereka sebagai manusia. Di Indonesia, kata pasung mengacu
kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang
dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya
(Broch, 2001, dalamMinas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik terhadap individu
dengan gangguan jiwa mempunyai riwayat yang panjang dan memilukan.
Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada tangan
dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat tersendiri di
dalam rumah ataupun di hutan. Keluarga dengan klien gangguan jiwa yang dipasung
seringkali merasakan beban yang berkaitan dengan perawatan klien. Alasan keluarga
melakukan pemasungan adalah mencegah perilaku kekerasan, mencegah risiko bunuh
diri, mencegah klien meninggalkan rumah dan ketidak mampuan keluarga merawat
klien gangguan jiwa.
Mereka lebih memilih menyembunyikan penderita dibanding mengobati.
Kebanyakan pelaku dari kasus pemasungan ini adalah keluarga dari si penderita
gangguan jiwa itu sendiri. Keluarga penderita pada umumnya tidak paham apa yang
sebaiknya mereka lakukan terhadap para penderita. Keluarga juga khawatir jika yang
bersangkutan nantinya melakukan tindakan merusak atau bahkan kekerasan kalau
sakitnya itu kambuh. Faktor keterbatasan ekonomi juga jadi faktor penting kenapa
penderita tidak dilarikan ke rumah sakit jiwa.
2. ETIOLOGI
a. Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang tidak
kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan keluaga untuk
mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan pemasungan
(Depkes, 2005).
b. Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka
panjang (Videbeck, 2008). Biaya berobat yang harus ditanggung pasien tidak hanya
meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti harga obat,
jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah
sakit dan biaya akomodasi lainnya (Djatmiko, 2007).
Alasan keluarga melakukan pemasungan diantaranya
a. Mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap membahayakan
terhadap dirinya atau orang lain
b. Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain
c. Mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri
d. Ketidaktahuan serta ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang
kambuh.
e. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah satu
penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung
3. Tindakan Pemasungan
Terkurung dalam kandang binatang peliharaan; terkurung dalam rumah; kaki
atau lehernya dirantai; salah satu atau kedua kakinya dimasukkan kedalam balok kayu
yang dilubangi.
a. Terapi
a) Dirawat sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa, kemudian dilanjutkan dengan
rawat jalan.
b) Untuk menghilangkan praktek pasung yang masih banyak terjadi dimasyarakat
perlu adanya kesadaran dari keluarga yang dapat diintervensi dengan
melakukan terapi keluarga. Salah satu terapi keluarga yang dapat dilakukan
adalah psikoedukasi keluarga ( Family psichoeducation Therapy). Terapi
keluarga ini dapat memberikan support kepada anggota keluarga. Keluarga
dapat mengekspresikan beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial
dan psikologis dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota
keluarganya.
b. Family Psychoeducation Terapy
Family Psychoeducation Terapy adalah salah satu bentuk terapi
perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan
edukasimelalui komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan
pendekatan yang bersifat edukasi dan pragmatis (Stuart & Laraia, 2005).Carson
(2000) menyatakan bahwa psikoedukasi merupakan suatu alatterapi keluarga yang
makin populer sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor – faktor resiko
yang berhubungan dengan perkembangan gejala – gejala perilaku.
c. Tujuan umum dari Family psychoeducation
Menurunkan intensitas emosi dalam keluarga sampai pada tingkatan yang
rendah sehingga dapat meningkatkan pencapaian pengetahuan keluarga tentang
penyakit dan mengajarkan keluarga tentang upaya membantu mereka melindungi
keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku serta mendukung kekuatan
keluarga (Stuart & Laraia, 2005).
d. Manfaat Family Psychoeducation
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan
tehnik yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala –
gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga
itu sendiri. Indikasi dari terapi psikoedukasi keluarga adalah anggota keluarga
dengan aspek psikososial dan gangguan jiwa.
Menurut Carson (2010), situasi yang tepat dari penerapan psikoedukasi
keluarga adalah:
a. Informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga, seperti latihan
keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang efektif.
b. Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stress dan krisis,
seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit Alzheimer.
c. Pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk keluarga
sebelum terjadinya krisis
Terapi ini juga dapat diberikan kepada keluarga yang
membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai anggota
yang sakit mental/ mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin
mempertahankan kesehatan mentalnya dengan training/ latihan ketrampilan.
d. Family psychoeduction
Dapat dilakukan di rumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah
sakit jiwa dengan syarat ruangan harus kondusif. Dapat juga dilakukan di rumah
keluarga sendiri. Rumah dapat memberikan informasi kepada tenaga kesehatan
tentang bagaimana gaya interaksi yang terjadi dalam keluarga, nilai – nilai yang
dianut dalam keluarga dan bagaimanan pemahaman keluarga tentang
kesehatan.Selain terapi keluarga, terdapat beberapa jenis terapi lain yang
dapatdigunakan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dan klien
dimasyarakat yaitu dengan terapi individu, terapi kelompok dan terapikomunitas.
Intervensi tersebut diupayakan melalui penerapan program kesehatan jiwa
komunitas/masyarakat yang efektif yang dalam hal ini dilakukan melalui
penerapan Community Mental Health Nursing (CMHN).Pelayanan CMHN
tersebut diwujudkan melalui beberapa kegiatan,diantaranya kunjungan rumah oleh
perawat CMHN dan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ), pendidikan kesehatan,
pelayanan dari Puskesmas (termasuk pemberian psikofarmaka), Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) dan Terapi Rehabilitasi (FIK UI & WHO, 2005).
Adapun intervensi yang dapat diberikan untuk keluarga dengan
gangguan jiwa menurut CMHN (2005) adalah sebagai berikut :
a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien.
b) Berikan penjelasan pada keluarga tentang pengertian, etiologi, tanda dan
gejala, dan cara merawat klien dengan diagnosa keperawatan tertentu
(misalnya halusinasi, perilaku kekerasan)
c) Demonstrasikan cara merawat klien sesuai jenis gangguan yang dialami.
d) Berikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat klien
yang telah diajarkan.
e) Bantu keluarga untuk menyusun rencana kegiatan di rumah.
f) Tindakan Terhadap Keluarga Dengan Pasung
Secara umum, program komprehensif dalam bekerjasama dengan keluarga
terdiri dari beberapa komponen berikut ini (Marsh, 2000 dalam Stuart & Laraia,
2005) :
a) Didactic component, memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan
sistem kesehatan jiwa. Pada komponen ini, difokuskan pada peningkatan
pengetahuan bagi anggota keluarga melalui metode pengajaran psikoedukasi.
b) Skill component, menawarkan pelatihan cara komunikasi, resolusi
konflik, pemecahan masalah, bertindak asertif, manajemen perilaku, dan
manajemen stres. Pada komponen ini, difokuskan pada penguasaan dan
peningkatan keterampilan keluarga dalam merawat keluarga dengan
gangguan jiwa termasuk ketrampilan mengekspresikan perasaan anggota
keluarga sehingga diharapkan dapat mengurangi beban yang dirasakan
keluarga.
c) Emotional component, memberi kesempatan keluarga untuk ventilasi,
bertukar pendapat, dan mengerahkan sumber daya yang dimiliki. Pada
komponen ini, difokuskan pada penguatan emosional anggota keluarga untuk
mengurangi stress merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
Keluarga dapat saling menceritakan pengalaman dan perasaannya serta
bertukar informasi dengan anggota kelompok yang lain tentang pengalaman
merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
d) Family process component, berfokus pada koping keluarga dengan
gangguan jiwa dan gejala sisa yang mungkin muncul. Pada komponen ini,
difokuskan pada penguatan koping anggota keluarga dalam menghadapi
kemungkinan kekambuhan klien di masa depan.
e) Social component, meningkatkan penggunaan jaringan dukungan formal dan
informal. Pada komponen ini, difokuskan pada pemberdayaan keluarga dan
komunitas untuk meningkatkan kerjasama yang berkesinambungan dan terus
menerus.
Kelima komponen di atas sangat tepat diterapkan sebagai prinsip dasar dalam
menjalin kerjasama dengan keluarga dengan gangguan jiwa karena telah
mencakup semua hal yang diperlukan untuk sebuah kolaborasi antara
keluarga klien dengan tenaga kesehatan.
Menurut Stuart dan Laraia (2005), ada dua prinsip utama dalam terapi
keluargayang membedakannya dari terapi individu atau kelompok dan terapi-
terapi yang lain, yaitu :
a) Keluarga diartikan sebagai sebuah sistem perilaku dengan berbagai keunikan
dibandingkan dengan karakteristik sejumlah individu anggota keluarga.
b) Diasumsikan bahwa ada hubungan tertutup antara fungsi keluarga sebagai
suatu kumpulan dan adaptasi emosional dari individu anggota keluarga.
Dalam perkembangannya, terdapat berbagai jenis terapi keluarga dari
berbagai aliran. Meskipun demikian, secara umum tujuan dari terapi keluarga
adalah untuk meningkatkan ketrampilan individu, komunikasi, perilaku, dan
fungsi darikeluarga.
Varcarolis (2006) mengidentifikasi beberapa jenis terapi keluarga yang
berbasis pada insight-oriented family therapy dan behavioral family therapy.
Insight-oriented family therapy berfokus pada proses unconsciousness (bawah
sadar) yangmempengaruhi hubungan kebersamaan antar anggota keluarga dan
mendorong munculnya insight tentang diri sendiri dan anggota keluarga.
Berikut ini tiga jenis pendekatan terapi keluarga yang berfokus pada
insight-oriented family therapy yaitu :
a) Psychodinamic Therapy, dikembangkan oleh Ackerman et al dengan
dasar konsep perbaikan/peningkatan insight dalam menyikapi cara pandang
terhadap hubungan masalah yang terjadi di masa lalu.
b) Family-of-origin therapy, dikembangkan oleh Murray Bowen dengan
asumsi bahwa keluarga dipandang sebagai suatu sistem hubungan
emosional. Bowen percaya bahwa keluarga mempunyai pengaruh sangat besar
terhadap hidup seseorang. Setiap kali seseorang masuk dalam suatu hubungan,
pola-pola lama yang ada dalam keluarga sangat berpengaruh terlebih jika
individu mempunyai unfinished business dalam hubungan di keluarga. Oleh
karena itu, salah satu alat terapi Bowen adalah peta keluarga (genogram) 3
generasi. Model Bowen ini kelak menjadi dasar konsep family triangles.
c) Experimental-existensial therapy, dikembangkan oleh Virginia Satir et
al dengan konsep bahwa tujuan terapi adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan keluarga dengan asumsi perlunya pemberdayaan keluarga untuk
memecahkan masalahnya sendiri. Menurut Satir, peran terapis adalah
membantu mengidentifikasi disfungsi pola komunikasi dalam keluarga.
4. Pencegahan
a. Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE).
b. Kurasi (penyembuhan) dan rehabilitasi yang lebih baik.
c. Memanfaatkan sumber dana dari JPS-BK.
d. Penciptaan Therpeutic Community (lingkungan yang mendukung proses
penyembuhan ).
e. Salah satu kasus yang ditemukan melalui pendekatan CMHN adalah tindakan
pemasungan yang masih kerap dilakukan oleh keluarga klien dengan gangguan
jiwa. Untuk memberantas praktek tersebut, diperlukan peningkatan kesadaran dan
pengetahuan dari keluarga dan masyarakat mengenai gangguan jiwa tentang cara
penanganan yang manusiawi terhadap klien.
Hukum pasung merupakan metode yang paling "populer" karena ada dimana-
mana. Alat pasung pun sangat beragam dari satu tempat ke tempat lain. Umumnya
hukuman pasung dilaksanakan sebagai pengganti penjara. Orang dihukum pasung
karena berbagai sebab, antara lain prostitusi, kriminal biasa, juga sakit jiwa. DiAmerika
Serikat pasung diterapkan sampai awal abad ke- 20, terutama di pedalaman yang tidak
memiliki penjara (Anonim, 2007). Klien gangguan jiwa merupakan kelompok
masyarakat yang rentan mengalami pelanggaran HAM dan perlakuan tidak adil. Hal ini
disebabkan adanya stigma, diskriminasi, pemahaman yang salah, serta belum adanya
peraturan yang benar-benar melindungi mereka. Kondisi ini diperparah dengan
munculnya beragam pandangan keliru atau stereotip di masyarakat sehingga karena
pandangan yang salah ini masyarakat akhirnya lebih mengolok-olok penderita,
menjauhinya, bahkan sampai memasung karena menganggapnya berbahaya.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “
perawat utama” bagi klien. Oleh karenanya peran keluarga sangat besar dalam
menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Jika keluarga dipandang
sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat
mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu
penyebab gangguan pada anggota keluarga. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa
angka kekambuhan pada pasien tanpa terapi keluarga sebesar 25 – 50 %, sedangkan
angka kambuh pada pasien yang diberikan terapi keluarga adalah sebesar 5 – 10
% (Keliat, 2006). Hal ini dapat disebabkan kurangnya dukungan keluarga terhadap klien
sehingga diharapkan dengan meningkatkan dukungan keluarga melalui intervensi
psikoedukasi keluarga dapat mengurangi angka kekambuhan klien yang secara otomatis
akan mengurangi praktek pasung di masyarakat.
5. Tugas Keluarga
Mempertahankan status kesehatan seluruh anggota keluarga baik kesehatan
fisik dan mental merupakan salah satu tugas utama keluarga. Keluarga dengan status
kesehatan yang optimal merupakan aset yang sangat berharga untuk masyarakat dan
negara. Warga negara yang sehat dan produktif sangat berperan dalam meningkatkan
produktifitas kerja dan turut menunjang peningkatan ekonomi negara.
MenurutFriedman (2008), keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu
dipahami dan dilakukan, meliputi :
a. Mengenal masalah kesehatan keluarga. Orang tua perlu mengenal keadaan
kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan
sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung
menjadi perhatian orang tua atau keluarga.
b. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas inimerupakan
upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepatsesuai dengan
keadaan keluarga, denganpertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan
kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan
dapat dikurangi atau bahkan teratasi.
c. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Keluarga hendaknya
mampu memerankan tugasnya untuk merawat salah satu anggota keluarga yang
mengalami gangguan di rumah. Faktor lingkungan dan dukungan keluarga
yang positif sangat mendukung untuk proses kesembuhan seseorang.
d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. Keluarga
harus berupaya menciptakan suasana yang nyaman untuk setiap anggota
keluarga. Lingkungan yang kondusif akan menciptakan kondisi mental yang
sehat bagi anggota keluarga dan sekaligus meningkatkan daya tahan keluarga
terhadap krisis.
e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga.
Keluarga dapat merujuk salah satu anggota keluarga yang sakit ke pusat
pelayanan kesehatan terdekat dan juga dapat memeriksakan secara rutin jika
terdapat gejala-gejala kekambuhan.
Gangguan jiwa ringan dan berat sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup
dan produktivitas individual/keluarga karena akibat yang ditimbulkan menetap
seumur hidup, bersifat kronik dengan tingkat kekambuhan yang dapat terjadi setiap saat
sehingga pada akhirnya menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Sejalan dengan
dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari
nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya
perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat. Penyelesaian masalah
saat merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dapat ditentukan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keluarga.
Menurut Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2010), perilaku dipengaruhi oleh 3
faktor yaitu : predisposing factor (faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap,
sistem nilai, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi), enabling factor (faktor
pemungkin yang meliputi ketersediaan sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan) dan
reenforcing factor (faktor penguat yang meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat
dan petugas kesehatan, undang-undang dan peraturan pemerintah). Berdasarkan paparan
diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor yang harus diketahui
dan dimiliki oleh keluarga sehingga dapat memberikan asuhan yang berkualitas kepada
klien.
Bekerja sama dengan anggota keluarga merupakan bagian penting dari
proses perawatan klien gangguan jiwa (Stuart & Laraia, 2005). Kondisi di banyak
negara berkembang termasuk Indonesia, sebenarnya lebih menguntungkan
dibandingkan negara maju, karena dukungan keluarga (primary support
groups) yangdiperlukan dalam penggobatan gangguan jiwa berat lebih baik
dibandingkan dinegara maju. Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya
menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi juga bagi anggota
keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi.
Kliengangguan jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi
manusia(Djatmiko, 2007). Salah satu bentuk pelanggaran hak asasi tersebut adalah
masih adanya praktek pasung yang dilakukan keluarga jika ada salah satu anggota
keluarga yang mengidap gangguan jiwa. Padahal dengan cara itu, secara tidak sadar
keluarga telah memasung fisik dan hak asasi penderita, hingga menambah beban mental
dan penderitaannya.
Respom Adaptif :
Respon yang masih dapat diterima oleh norma – norma social dan kebudayaan
secara umum serta masih dalam batas normal dalam menyelesaikan masalah
a. Menyendiri : respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
terjadi dilingkungan sosialnya.
b. Otonomi : kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam hubungan social.
c. Bekerjasama : kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain.
d. Interdependen : saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
Respon Maladaptif :
Respon yang diberikan individu yang menyimpang dari norma social. Yang
termasuk respon maladaptive adalah :
a. Menarik diri : seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan : seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga
tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi : seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga
tidak dapat membina hubungan social secara mendalam.
d. Curiga : seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.
3. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan yang disebutkan pada
tabel 1.2 akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah respon social
maladaptip. System keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon
sosial maladaptip. Beberapa orang percaya bahwa individu yang mempunyai ini
adalah orang yang tidak berhasil memisahkan dirinya dari orang tua. Norma keluarga
mungkin tidak mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain di luar keluarga.
Peran keluarga sering kali tidak jelas. Orang tua pecandu alcohol dan penganiaya
anak juga mempengaruhi seseorang berespon social maladaptif. Organisasi anggota
keluarga bekerjasama dengan tenaga professional untuk mengembangkan gambaran
yang lebih tepat tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga.
Pendekatan kolaboratif sewajarnya mengurangi menyalahkan keluarga oleh tenaga
professional.
Tabel 1.2
Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal
Tahap Perkembangan Tugas
Masa bayi Menetapkan landasan rasa percaya
Masa bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri
Masa pra sekolah Belajar menunjukan inisiatif dan rasa tanggung jawab
dan hati nurani
Masa sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama dan berkompromi
Masa pra remaja Menjadi intim dengan sesama jenis kelamin
Masa remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis kelamin
Masa dewasa Menjadi saling tergantung dengan orang lain
Muda Teman, menikah, mempunyai anak
Masa tengah baya Belajar menerima
Masa dewasa tua Berduka karena kelahiran dan mengembangkan
perasaan keterkaitan dengan budaya
b. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Ada
bukti terdahulu tentang terlibatnya neurotransmiter dalam perkembangan gangguan
ini, namun tetap masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
b. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam anggota gangguan berhubungan, ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak
mengahargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti lansia orang cacat,
dan berpenyakit kronik, isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, prilaku, dan
sistem nilai yang berbeda dari kelompok budaya mayoritas. Harapan yang tidak
realistis terhadap hubungan merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan
ini.
4. Faktor Presipitasi.
Stressor pencetus umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress
seperti kehilangan yang mempengaruhi individu untuk berhubungan dengan orang lain
dan menyebabkan stress. Faktor pencetus ini di kategorikan:
a. Stressor sosiokultural, stress dapat ditimbulkan oleh :
1) Menurunnya stabilitas unit keluarga
2) Berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya
b. Stressor Psikologik, Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan untuk
ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi.
5. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan diri yang di gunakan pada gangguan hubungan sosial
sangat bervariasi, seperti pada gangguan menarik diri, mekanisme yang di gunakan
adalah regresi, represi, isolasi.
a. Tanda dan Gejala Menarik diri
1. Menurut SAK kesehatan jiwa ( 1998 )
1) Gangguan pola makan, tidak nafsu makan atau makan berlebihan
2) Berat badan menurn drastic
3) Kemunduran kesehatan fisik
4) Tidur berlebihan
5) Tinggal ditempat tidur dalam waktu lama
6) banyak tidur siang
7) Kurang bergairah
8) Tidak memperdulikan lingkungan
9) Kegiatan menurun
10) Imobilisasi
11) Sikap mematung
12) Melakukan gerakan berulang-ulang
13) Keinginan seksual menurun
2. Menurut Towsend ( 1958 : 152 )
1) Menyendiri dalam ruangan
2) Tidak berkomunikasi
3) Tidak melakuakn kontak mata
4) Sedih
5) Afek datar
6) Tindakan tidak sesuai
7) Berfikir tentang sesuatu menurut pemikirannya sendiri
8) Tindakan berulang-ulang
3. Menurut Budi Anna Kelia (2009), tanda dan gejala ditemui seperti:
1) Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
2) Menghindar dari orang lain (menyendiri).
3) Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan
klien lain/perawat.
4) Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
5) Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.
a) Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
b) Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
b. Dampak Kerusakan Interaksi sosial : Menarik Diri Terhadap Kebutuhan Dasar
Manusia menurut Hirarki maslow
1) Kebutuhan nutrisi
Klien lebih menikmati kesendiriannya sehingga kurang berminat untuk makan,
bila hal ini berlangsung terus maka akan terjadi penurunan berat badan, selain
itu dampak obat yang diberikan yaitu anti Parkinson dan anti psikotik dapat
mengakibatkan mual, mulut kering dan konstipasi sehingga hal itupun akan
menyebabkan proses asupan nutrisi jadi terganggu.
2) Kebutuhan istirahat tidur
Klien dengan menarik diri sengan berlama-lama dikamar dan banyak tidur
siang selain itu obat-obatan juga berpengaruh sehingga klien cendrung untuk
tidur terus.
3) Aktifitas sehari-hari
Klien kurang senang dengan kegiatan sehingga kegiatan yang bekaitan
dengan perawatan dirinya terabaikan, penampilan klien kusut dan kusam,
selain itu efek terapi anti psikotik adalah kelemahan otot sehingga klien terlihat
lemah dalam beraktifitas.
4) Kebutuhan dan rasa aman
Klien dengan menarik diri akan merasa aman bila tidak berhubungan dengan
orang lain, karena klien beranggapan hal itu akan membahayakan dirinya. Efek
samping obat anti psikotik adalah timbulnya keresahan dan kegelisahan continue
sehingga klien merasa lebih nyaman bila sendiri.
5) Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki
Klien dengan menarik diri mengalami kegagalan dalam pemenuhan dasar ini,
karena klien lebih senang dunianya sendiri.
6) Kebutuhan aktualisasi diri
Klien dengan menarik diri tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalahnya, tidak mempunyai perasaan bersaing dan tidak mempunyai keinginan
untuk dapat diakui kebaikannya atau perannya.
Keluarga
SP 1
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien
beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara – cara merawat pasien isolasi sosial
SP 2
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
SP 3
1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas dirumah termasuk minum obat
( Discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
E. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan oleh perawat dan klien,
beberapa petunjuk pada implementasi adalah sebagai berikut :
1. Intervensi dilakukan sesuai rencana setelah dilakukan validasi
2. Kemempuan interpersonal, intelektual, teknikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan
3. Kemampuan fisik dan psikologis dilindungi
4. Dokumentasi intervensi dan respon klien. ( Keliat Budi Anna,2013 : 15 )
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
TAK yang dapat dilakukan untuk pasien isolasi social adalah TAK sosialisasi
yang terdiri dari 7 sesi, meliputi :
1. Sesi 1 : Kemampuan memperkenalkan diri
2. Sesi 2 : Kemampuan berkenalan
3. Sesi 3 : Kemampuan bercakap – cakap
4. Sesi 4 : Kemampuan bercakap – cakap topik tertentu
5. Sesi 5 : Kemampuan bercakap – cakap masalah pribadi
6. Sesi 6 : Kemampuan bekerjasama
7. Sesi 7 : Evaluasi kemampuan sosialisasi
F. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai afek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakuakn terus menerus pada respon klien tehadap
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi 2 yaitu : Formatif
dan sumatif, Formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi sumatif
dilakuakn dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang telah
ditentukan dengan menggunakan SOAP.
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalh baru atau ada data yang kontradiksi dengan
masalah yang ada
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa.
( Keliat ,2013 : 15 )