Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dan biasa terdapat pada paru-paru tetapi dapat
mengenai organ tubuh lainnya.TB Paru merupakan penyakit dengan proses
penularan yang sangat cepat. Penularan dapat terjadi ketika penderita batuk,
bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB ke udara.
Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman
TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung
ke bagian tubuh lainnya (Kemenkes, 2016).
Saat ini Indonesia berada pada peringkat ke 4 Dunia untuk kasus
penyakit TB Paru setelah India, China dan Afrika selatan. Menurut Data RS
Persahabatan, sedikitnya tercatat 1500 pasien TB per tahun. Sebanyak 10%
pasien TB di RSUP Persahabatan adalah pasien rujukan. Adapun jumlah pasien
TB-MDR yang menjalani pengobatan di RSUP persahabatan saat ini berjumlah
sekitar 480 pasien, dari jumlah tersebut 338 pasien masih menjalani pengoabatan
dan sisanya menolak diobati dan meninggal dunia sebelum atau sesudah
pengobatan, sebagian karena menolak diobati, ada pula yang karena bekerja
sehingga tidak bisa datang setiap hari (www.depkes.go.id).
Berdasarkan Global Tuberculosis Control WHO Report 2013, Tingkat
kepatuhan pemakaian obat TB paru sangatlah penting, karena bila pengobatan
tidak dilakukan secara teratur dan tidak sesuai dengan waktu yang telah di
tentukan maka akan dapat timbul kekebalan (resistence) kuman tuberkulosis
terhadap Obat Anti tuberkulosis (OAT) secara meluas atau disebut dengan Multi
Drugs Resistence (MDR). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan
mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru,
sehingga akan meningkatkan resiko kesakitan, kematian, dan menyebabkan
semakin banyak ditemukan penderita TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA)
yang resisten dengan pengobatan standar. Pasien yang resisten tersebut akan
menjadi sumber penularan kuman yang resisten di masyarakat. Hal ini tentunya

1
2

akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta


memperberat beban pemerintah (http://www.who.int).
Penemuan kasus baru TB Paru BTA positif di Indonesia berdasarkan
data Kemenkes 2011-2015, yaitu: tahun 2011 sebanyak 197.797 kasus baru,
tahun 2012 sebanyak 202.301 kasus baru, tahun 2013 sebanyak 196.310 kasus
baru, tahun 2014 sebanyak 176.667 kasus baru, tahun 2015 sebanyak 330.910
kasus baru dan tahun 2016 sebanyak 156.723 kasus baru (Kemenkes, 2011-
2016). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kasus baru TB Paru di Indonesia
berfluktuasi dalam 5 tahun terakhir.
Hasil Riset Kesehatan Dasar menyebutkan kesakitan TB Paru menyebar
di seluruh Indonesia. Penderita yang menelan obat tidak lengkap sebanyak
19,3% dan yang tidak berobat sebanyak 2,6% dari total kasus. Hal ini
berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan penderita TB dan penularan masih
rentan terjadi (Riskesdas, 2015).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Jambi, bahwa tahun 2015
hingga 2017, jumlah penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Kota Jambi
mengalami peningkatan Pada 2015 ditemukan sebanyak 552 kasus TB Paru,
2016 meningkat menjadi 902 kasus dan tahun 2017 meningkat menjadi 1070
kasus TB Paru (http://jambi.tribunnews.com).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Merangin, didapatkan kasus
penderita TB paru pada tahun 2017 sebanyak 150 kasus TB paru, 10%
diantaranya putus obat dan ada diantaranya juga yang menyebabkan penderita
meninggal. Dalam hal ini Dinas Kesehatan Merangin setempat berupaya untuk
memberikan dukungan kepada keluarga agar memotivasi pasien dalam minum
obat TB paru dan menyarankan kepada seluruh Puskesmas untuk terus
meningkatkan penyuluhan tentang TB paru(P2P Dinas Kesehatan Merangin,
2018).
Kepatuhan pasien dalam menyelesaikan program pengobatan pada kasus
TB Paru merupakan prioritas paling penting untuk mengendalikan program.
Peningkatan presentase pasien yang berobat teratur (patuh) akan memberikan
dampak positif, yaitu mengurangi angka penularan, mengurangi kekambuhan,
menghambat pertumbuhan kuman,mengurangi resistensi kuman terhadap obat,
dan mengurangi kecacatan pasien. Pada akhirnya jumlah pasien TB Paru akan
menurun (Murtiwi, 2016).
3

Kepatuhan Terkait dengan terapi obat, kepatuhan pasien didefinisikan


sebagai derajat kesesuaian antara riwayat dosis yang sebenarnya dengan regimen
dosis obat yang diresepkan. Dalam konteks pengendalian tuberkulosis paru atau
TB paru, kepatuhan terhadap pengobatan dapat didefinisikan sebagai tingkat
ketaatan pasien-pasien yang memiliki riwayat pengambilan obat terapeutik
terhadap resep pengobatan. Kepatuhan rata-rata pasien pada pengobatan jangka
panjang terhadap penyakit kronis di Negara maju hanya 50 % sedangkan di
Negara berkembang, jumlahnya jauh lebih rendah (https://www.researchgate
.net).
Mengingat kasus TB di dunia merupakan masalah kesehatan yang sangat
serius, maka WHO merekomendasikan kepada setiap negara untuk menerapkan
strategi penanggulangan TB yang dikenal dengan Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS). Sejalan dengan itu, Indonesia telah memberlakukan
strategi DOTS dalam program penanggulangan TB Nasional.Saat ini, strategi
DOTS sudah banyak diterapkan di fasilitas kesehatan seperti: puskesmas, rumah
sakit dan sebagainya. Program yang telah dikembangkan dalam strategi DOTS
adalah: komitmen politik yang kuat baik kebijakan maupun dukungan dana,
menegakkan diagnosa dengan pemeriksaan dahak di laboratorium secara
mikroskopik sesuai standar, ketersediaan obat yang cukup baik kualitas maupun
kuantitas, pengawasan menelan obat secara langsung, dan pencatatan dan
pelaporan yang baik (PPTI, 2014).
Pasien TB Paru sebagian besar adalah kelompok usia kerja produktif,
kelompok ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan rendah. Hal ini menjadi
masalah sosial, karena akan mempengaruhi produktifitas individu dan
meningkatkan risiko penularan pada orang lain. Oleh karena itu, sasaran
program penanggulangan TB Paru adalah tercapainya penemuan pasien baru TB
BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari
semua pasien tersebut (STRANAS, 2010-2016).
Penyembuhan TB Paru dapat dicapai dengan pengobatan rutin dan
teratur dalam jangka waktu 6-8 bulan.Akan tetapi, jika pasien menelan obat
secara tidak teratur atau tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya
kekebalan ganda kuman TB terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga
penderita harus mengeluarkan biaya pengobatan yang mahal dan dalam jangka
waktu lama (https://www.researchgate.net).
4

Dari hasil observasi pendahuluan di Puskesmas Muara Jernih, salah


satu cara yang dilakukan Puskesmas Muara Jernih agar pasien tidak terjadi putus
obat, yaitu dengan menekankan penyuluhan pada pengawas minum obat nya
yaitu keluarga, sehingga pemantauan minum obat dapat berjalan dengan baik,
dukungan terus berjalan dan pasien harus patuh pada pengobatan yang diberikan
oleh dokter , sampai pasien sembuh(P2P Puskesmas Muara Jernih).
Dari hasil studi pendahuluan, data yang diperoleh di puskesmas Muara
Jernih untuk kasus baru Tuberkulosis Paru pada tahun 2017 sebanyak 20 orang.
Didapatkan dari 20 orang tersebut ternyata 1 diantaranya pada saat proses
minum obat terjadi putus obat yang mengakibatkan pasien mengulang kembali
proses pengobatannya.
Berdasarkan fenomena tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
studi kasus lebih mendalam tentang “Kepatuhan Pasien Dalam Minum Obat
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Jernih Kecamatan Tabir
Ulu Kabupaten Merangin Tahun 2018”.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah penerapan prosedur kesehatan dalam upaya mengatasi
masalah pengetahuan tentang pengobatan pada pasien TB Paru sesuai jadwal.

C. Tujuan Studi kasus


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penerapan pendidikan kesehatan pada klien TB
Paru dalam kepatuhan makan obat di Puskesmas Muara Jernih Kec. Tabir
Ulu.
2. Tujuan Khusus
a. Mendiskripsikan tentang pengetahuan pasien pada pengobatan TB
Paru.
b. Diperoleh gambaran tentang penerapan prosedur pengobatan TB
Paru.

D. Manfaat Studi Kasus


Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi:
1. Masyarakat
Membudayakan kepatuhan pasien dalam minum obat Tuberkulosis
Paru.
5

2. Bagi pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan


Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan
tentang kepatuhan pasien dalam minum obat Tuberkulosis Paru.
3. Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset
keperawatan, khususnya studi kasus tentang kepatuhan pasien dalam minum
obat Tuberkulosis Paru.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tuberkulosis Paru


1. Pengertian Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya
masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup ke dalam paru,
kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui saluran
pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya TB paru pada manusia dapat dijumpai dalam dua bentuk(Notoatmodjo,
2012), yaitu:
a. Tuberkulosis primer: bila penyakit terjadi pada infeksi pertama kali.
b. Tuberkulosis pascaprimer: bila penyakit timbul setelah beberapa waktu
seseorang terkena infeksi dan sembuh. TBC ini merupakan bentuk yang
paling sering ditemukan. Penderita merupakan sumber penularan
dikarenakan dalam dahaknya terdapat kuman tersebut.
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyrang
parenkim paru. Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang merupakan salah satu
penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil
tuberkulosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan
selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari ghon
(Wijaya N.S, 2013).
2. Penyebab Tuberkulosis Paru
a. Agen infeksius utama, mycobacterium tuberculosis adalah batang aerobik
tahan asam yang tumbuh dengan lembut dan sensitif terhadap panas dan
sinar ultraviolet.
b. Mycobacterium bovis dan avium, pada kejadian yang jarang berkaitan
dengan terjadinya infeksi tuberkulosis (Wijaya, 2013).
3. Penularan Tuberkulosis Paru
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu batuk
dan bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

6
7

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara


pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar
dari paru ke bagian tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2014). Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Kemenkes RI, 2014). 21
Kuman Mycobacterium tuberculosis pada penderita TB paru dapat terlihat
langsung dengan mikroskop apabila sediaan dahaknya menghasilkan BTA
positif (sangat infeksius). Kuman tidak dapat dilihat langsung dengan
mikroskop apabila sediaan dahaknya menghasilkan BTA negatif (sangat
kurang menular). Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di
udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu bersin atau batuk.
Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet
yang mengandung kuman tuberkulosis dan dapat bertahan di udara selama
beberapa jam (Notoatmodjo, 2012).
4. Klasifikasi Tuberkulosis Paru
Klasifikasi Tuberkulosis Paru dibuat berdasarkan gejala klinik,
bakteriologik, radiologik dan riwayata pengobatan sebelumnya. Klasifikasinya
TB Paru sebagai berikut :
1) TB Paru BTA positif dengan kriteria:
a) Dengan atau tanpa gejala klinik.
b) BTA positif : mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali
disokong biakan positif 1 atau disokong radiologik positif 1 kali.
c) Gambaran radiologis sesuai dengan Tuberkulosis Paru.
2) TB Paru BTA negatif dengan kriteria:
a) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB Paru aktif.
b) BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
3) Bekas TB Paru dengan kriteria:
a) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
b) Gejala klinik tidak ada atau gejala sisa akibat kelainan paru
8

c) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB Paru inaktif,


menunjukkan serial foto tidak berubah.
d) Adanya riwayat pengobatan yang adekuat (Wijaya, 2013).
4) Klasifikasi berdasarkan anatomi :
a) TB Paru baru adalah kasus TB Paru yang melibatkan parenkim paru.
TB Paru miller diklasifikasikan sebagai TB Paru karena terdapat lesi
paru. Pasien yang mengalami TB Paru dan ekstra paru harus
diklasifikasikan sebagai kasus TB Paru.
b) TB Paru ekstra adalah kasus yang melibatkan organ diluar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitourinaria, kulit sendi dan tulang, selaput otak (Tjandra YA,
(2008).
5. Pengobatan
Tujuan pengobatan pada penderita Tuberkulosis paru selain untuk
mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi
terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjdai 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Panduan obat 21 yang digunakn terdiri
dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai
dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin
dan Etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon,
Makrolide, Amoksilin + Asam klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara kerja,
potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel berikut :
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu
berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping
itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan Tuberkulosis paru yang
dikenal sebagai Directly Observed Treathmen Shortcourse (DOTS) yang
direkomendasikasn oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu :
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam
penanggulangan TB
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung
sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan
kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
9

3. Pengobatan TB pada panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan


langsung oleh pengawas menelan obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan
pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan panduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
Menurut (Kemenkes RI, 2014). 1) Tahapan pengobatan Tuberkulosis
paru :
a) Tahapan awal : pengobatan di berikan setiap hari, paduan pengobatan
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasen dan meminimalkan pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasen
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasen baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
b) Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persisten sehingga pasen dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
2) Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
(a) Jenis Isoniazid, (H), sifat Bakterisidal, efek samping Neuropati
perifer,psikosis toksis, gangguan fungsi hati, kejang.
(b) Jenis Rifamisin (R), Sifat Bakterisidal, efek samping Flu syndrome,
Gangguan gastrointestina, urine berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik.
(c) Jenis Pirasinamid (Z), sifat Bakterisidal, efek samping Gangguan
gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis.
(d) Jenis Streptomisin (S), sifat Bakterisidal, efek samping Nyeri di
tempat suntikan, gsngguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis, trombositopeni.
(e) Jenis Etambutol (E), sifat Bakterisidal, efek samping Gangguan
penglihatan, buta warna, neuritis perifer.
10

3) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


a) Paduan OAT yang digunakan Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah :
(1) Kategori 1 =2 (HRZE)/4(HR)3.
(2) Kategori 2 = 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
(3) Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
(4) Obat yang digunakan dalam tatalaksana TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke 2 yaitu Kanamisin,
Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, serta OAT lini 1, yaitu Pirazinamis dan
Etambutol.
b) Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2
Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
c) Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
4) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
5) Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya
a) Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
11

(1) Pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis.


(2) Pasien Tuberkulosis paru terdiagnosis klinik
(3) Pasien Tuberkulosis ekstra paru (Sudoyo, Setiadi, Alwi, K, &
Setiati, 2009).

B. Konsep Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Menurut (Smet, 1994 dam Ritonga, 2015) kepatuhan adalah tingkatan
pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh
dokter atau tenaga kesehatan. Sedangkan menurut Sachet menyatakan
kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh profesional kesehatan, menurut Kaplan kepatuhan adalah
derajat pasien dimana mengikuti ajaran klinis dari dokter yang mengobatinya.
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat.
Menurut Niven (2008) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan


Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut
Brunner dan Suddart (2008) adalah :
a. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan
pendidikan.
b. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat
terapi.
c. Variabel program terapi seperti kompleksitas program dan efek samping
yang tidak menyenangkan.
d. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan
agama atau budaya dan biaya financial.
Menurut Notoatmodjo (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan meliputi :
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu manusia, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu
(Notoatmodjo, 2012).
12

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori


yang memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah yang
dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman
langsung maupun tidak langsung atau dari orang lain.
b. Sikap
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap
seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau
memihak pada objek tersebut (Notoatmodjo, 2012).
Sikap adalah merupakan suatu reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau objek, manifestasi
sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan
(Notoatmodjo, 2012). Dengan kata lain sikap adalah tanggapan atau
persepsi seseorang terhadap apa yang diketahui. Jadi sikap tidak dapat
dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku
tertutup. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas tetapi
merupakan predisposisi tindakan. Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu :
1) Komponen kognitif (kepercayaan suatu objek)
2) Komponen emosional (perasaan)
3) Komponen perilaku kecenderungan untuk bertindak (Notoatmodjo,
2012).
c. Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu
perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus
tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan
mudah dapat diamati oleh orang lain.
Tingkatan dalam tindakan sebagai berikut :
1) Persepsi
Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang diambil.
2) Respon terpimpin
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.
13

3) Mekanisme
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan
benar secara otomatis menjadi kebiasaan.
4) Adaptasi
Suatu praktek yang sudah berkembang dengan baik tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Niven (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan :
a. Pemahaman tentang instruksi
Tak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham
tentang instruksi yang diberikan padanya.
b. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien
merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
c. Isolasi social dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat
menetukan program pengobatan yang dapat mereka terima.
d. Keyakinan sikap dan kepribadian
Model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan ada
tidaknya kepatuhan Niven (2008).

C. Asuhan Keperawatan Tuberkulosis Paru


1. Pengkajian
Pengkajian menurut 11 pola Gordon yaitu:
a. Pola pemeliharaan kesehatan
1) Adanya riwayat keluarga yang mengidap penyakit tuberculosis paru
2) Kebiasaan merokok atau minum alcohol
3) Lingkungan yang kurang sehat, pemukiman padat, ventilasi rumah yang
kurang.
b. Pola nutrisi metabolic
1) Nafsu atau selera makan menurun
2) Mual
3) Penurunan berat badan
4) Turgor kulit buruk,kering, kulit bersisik
14

c. Pola eliminasi
1) Adanya gangguan pada BAB seperti konstipasi
2) Warna urin berubah menjadi agak pekat karena efek samping dari obat
tuberculosis paru
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Kelemahan umum/ anggota gerak
2) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari terganggu.
e. Pola tidur dan istirahat
1) Kesulitan tidur pada malam hari
2) Mimpi buruk
3) Berkeringat pada malam hari
f. Pola persepsi kognitif
Nyeri dada meningkat karena batuk
g. Pola persepsi dan konsep diri
1) Perasaan isolasi/ penolakan karena panyakit menular
2) Perasaan tidak berdaya
h. Pola peran hubungan dengan sesama
1) Perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
2) Frekuensi interaksi antara sesama jadi kurang.
i. Pola reproduksi seksualitas
Gangguan pemenuhan kkebutuhan biologis dengan pasangan
j. Pola meknisme koping dan toleransi terhadap stress
1) Menyangkal (khususnya selama hidup ini)
2) Ansietas
3) Perasaan tidak berdaya
k. Pola sistem kepercayaan
Kegiatan beribadah terganggu
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau
masalah kesehatan aktual dan potensial. Tujuannya adalah mengidentifikasi :
pertama adanyanya masalah actual berdasarkan respon klien terhadap masalah atau
penyakit. Kedua faktor-faktor yang berkontribusi atau penyebab adanya
masalah.Ketiga kemampuan klien untuk mencegah atau menghilangkan
15

masalah.Menurut Donges, (1999: hal 241), diagnosa yang sering muncul pada kasus
tuberculosis paru adalah:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan secret kental, atau
secret darah, kelemahan, upaya batuk buruk dan edema trakeal/ faringeal.
b. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan
jaringan/ tambahan infeksi, terpajan lingkungan dan kurang pengetahuan untuk
menghindari pemajanan pathogen.
c. Gangguan pertukaran gas O2 edan CO2 berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane alveolar-kapiler dan
secret kental, tebal.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubah berhubungan dengan kelemahan,
sering batuk/ produksi sputum, dispnea dan anorexia.
e. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan
dengan kurang informasi / salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif dan
tak akurat / tak lengkap informasi yang ada.

3. Intervensi Keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan maka perlu dibuat perncanaan
keperawatan atau intervensi keperawatan.Tujuan perencanaan adalah untuk
mengurangi, menghilangkan dan mencegah maslah keperawatan klien. Tahap
perencanaan adalah penentuan prioritas diagnosa, penetapan sasaran (goal) dan
tujuan , penetapan tujuan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi
keperawatan.(Nursalam, 2013)
Setelah menyusun prioritas perencanaan di atas maka langkah selanjutnya
adalah penyusunan rencana tindakan. Adapun rencana tindakan dari diagnosa
keperawatan yang muncul pada Tuberkulosis Paru adalah sebagai berikut : (Doenges
, 1999 : hal 244).
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan secret kental, atau
secret darah, kelemahan, upaya batuk buruk dan edema trakeal/ faringeal.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas
Kriteria Hasil : Mengeluarkan secret tanpa bantuan, menunjukan perilaku
mempertahankan jalan napas.
Rencana Tindakan:
- Kaji pungsi pernapasan seperti bunyai napas, irama, kedalaman.
16

Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukan atelektasis, ronchi


menunjukan akumulasi secret.
1. Catat kemampua untuk mengeluarkan dahak dan batuk efektif.
Rasional :Pengeluaran secret sulit jika secret kental, sputum berdarah, diakibatkan
oleh kerusakan paru-paru.
2. Ajarkan pasien tekhnik napas dalam dan cara melakkukan batuk efektif.
Rasional :Batuk efektif membantu pengeluaran sputum, napas dalam mambantu
ventilasi maksimal meningkatkan gerkan secret
3. Anjurkan pasien untuk banyak minum air putih 2000-2500 cc.
Rasional :Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan secret.
4. Berikan pasien posisi yang nyaman, posisi semifowler.
Rasional : Semifoweler membantu memaksimalkan ekpansi paru dan
meminimalkan upaya pernapasan
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian agen mucolitik, brochodialator,
kortikosteroid.
Rasional : Menurunkan kekentalan dan merangsang pengelauran secret.

b. Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan


jaringan/ tambahan infeksi, terpajan lingkungan dan kurang pengetahuan untuk
menghindari pemajanan pathogen.
Tujuan : dapat menentukan intervensi mencegah / menurunkan resiko
penyebaran infeksi
Kriteria hasil : melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan
yang aman.
Rencana Tindakan :
- Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan.
Rasional : Mengurangi resiko kontaminasi silang.
1. Berikan ruangan yang bersih dan berventilasi baik.
Rasional : Mengurangi pathogen pada system imun dan mengurangi kemungkinan
pasien mengalami infeksi nosokomial.
2. Pantau tanda-tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah, frekunesi pernapasan).
Rasional : Memberikan informasi data dasar awitan/ peningkatan suhu secara
berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menunjukan bahwa
bereaksi pada proses infeksi yang tidak dapat disembuhkan.
17

3. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan , perhatikan batuk spasmodik kering


pada inspirasi dalam perubahan karakteristik sputum, dan adanya mengi /
ronchi . lakukan isolasi pernapasan bila etiolgi batuk produktif tidak diketahui.
Rasional: Kongesti atau distress pernapasan dapat mengidentifikasi
perkembangan PCP penyakit yang paling sering terjadi meskipun
demikian , TB mengalami peningkatan an infeksi jamaur lainnya.
4. Periksa adanya luka/ lokasi alat infasif, perhatikan tanda-tanda infeksi/
inflamasi.
Rasional :Identifikasi / perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah
terjadinya sepsis.
5. Anjurkan pasien untuk batuk dan bersin menggunakan tissue dan membuang
pada tempat, anjurkan buang dahak pada wadah cairan disinfektan.
Rasional :Mencegah terjadinya penularan nosokomial dari pasien keperawatan
atau orang lain.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotic, antijamur, anti agen
mikroba.
Rasional :Menghambat proses infeksi beberapa obat di targetkan untuk organsime
tertentu ( sistem perusak).

c. Gangguan pertukaran gas O2 edan CO2 berhubungan dengan penurunan


permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membrane alveolar-kapiler dan
secret kental, tebal.
Tujuan : bebas dari distress pernapasan
Kriteria Hasil : perbaikan ventilasi dan perbaikan oksigenasi jaringan adekuat dengan
gas darah dalam rentang normal.
Rencana Tindakan :
1. Kaji disepnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal, meningkatnya respirasi,
keterbatasan ekspansi dada dan fatique.
Rasional : TB paru menyebabkann efek luas pada paru dan bagian kecil
bronkopnemonia sampai inflasmasi, difusi luas, nekrosis, effusi pleura,
dan fibrosis luas. Efek pernapasan dapat ringan sampai dispnea berat
sampai distress penapasan.
2. Evaluasi perubahan tingakat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan
perubahan kulit, selaput mukosa dan warna kuku .
18

Rasional : akumulasi secret dapat mempengaruhi oksigenasi oragan vital


3. Demonstrasikan atau anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir
disiutkan, khususnya dengan pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Rasional : membantu tahanan melawan udara luar untk mencegah kolaps atau
penyempitan jalan napas, sehingga membantu menyebarkan udara
melalui paru dan menghilangkan/menurunkan napas pendek.
4. Anjurkan untuk bed rest / mengurangi aktivitas.
Rasional : menurunkan konsumsi oksigen / kebutuhan selama periode penurunan
pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.
5. Kolaborasi untuk pemberian oksigen tambahan
Rasional : alat dalam perbaikan hipokalesemia yang dapat terjadi sekunder
terhadap ventilasi / menurunnya permukaan alveolar paru.

d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubah berhubungan dengan kelemahan,


sering batuk/ produksi sputum, dispnea dan anorexia.
Tujuan: meningkatkan perubahan / perilaku pola makan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi
Kriteria hasil: menunjukan peningkatan berat badan dan bebas dari tanda-tanda
malnutrisi.
Rencana Tindakan :
1) Kaji status nutrisi, riwayat mual dan muntah.
Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat/ luasnya masalah dan pilihan
intervensi yang tepat.
2) Kaji pola diet yang disukai / tidak disukai
Rasional: membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan/ kekuatan khusus.
Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
3) Monitor intake dan output secara periodic
Rasional: berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
4) Dorong klien untuk makan sedikit tapi sering dengan makan tinggi protein
karbohidrat.
Rasional: Memaksimalakan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang
perlu/kebutuhan energi dari makanan yang banyak menurunkan
iritasi gaster.
5) Rujuk keahli diet untuk menentukan komposisi diet
19

Rasional: memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat


untuk kebutuhan metabolic
6) Berikan obat penetralisir asam lambung sesuai indikasi
Rasional : dapat membantu menurunkan insiden mual dan muntah sehingga
dengan obat atau efek pengobatan pernapasan perut yang penuh.
7) Berikan terapi parenteral sesuai indikasi
Rasional: membantu terpenuhinya kebutuhan cairan dan pengobatan parenteral.

e. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan


dengan kurang informasi / salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif dan
tak akurat / tak lengkap informasi yang ada.
Tujuan : menunjukan perubahan perilaku untuk memperbaiki kesehatan
Kriteria Hasil : Klien menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis kebuthan
pengobatan.
Rencana Tindakan :
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien.
Rasional :Menentukan tingkat pengetahuan pasien.
2) Kaji kemampuan belajar pasien
Rasional : Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada
tahap individu.
3) Beri penyuluah tentang penyakit TB Paru ( pengertian, penyebab, tanda dan
gejala, patofisiologi, pengobatan, komplikasi, dan pencegahan).
Rasional :Agar pasien dapat mengerti tentang penyakit yang di TB Paru (
pengertian, penyebab, tanda dan gejala, patofisiologi, pengobatan,
komplikasi, dan pencegahan).
4) Beri kesempatan untuk bertanya dan jawab pertanyaan pasien.
Rasional :Meningkatkan pemahaman tentang penyakitnya.
5) Evaluasi kembali tingkat pemahaman pasien tentang penyakit TB Paru (
pengertian, penyebab, tanda dan gejala, patofisiologi, pengobatan, komplikasi,
dan pencegahan).
Rasional :Mengetahui tingkat pemahaman pasien tentang penyakit TB Paru ((
pengertian, penyebab, tanda dan gejala, patofisiologi, pengobatan,
komplikasi, dan pencegahan).
6) Anjurkan pada pasien untuk mengunjungai petugas kesehatan bila ada keluhan.
20

Rasional :agar petugas kesehatan dapat mengatasi masalah kesehatan yang


terdapat pada pasien.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik.Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan
di susun dan dilanjutkan pada nursing orders untuk membantu klien tujuan yang
diharapkan.Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang memperngaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan
dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemuliahan kesehatan dan memanifestasi koping.
Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik, jika
klien mempunyai keinginan untuk beradapatasi dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan. Selama tahap pelaksanaan, perawat harus melakukan pengumpulan
data dan memilih tindakan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan
klien.Semua tindakan keperawatan di catat dalam format yang telah ditetapkan oleh
semua institusi.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Tuberkulosis
Paru yang perlu diperhatikan adalah memperhatikan jalan napas, pencegahan tahap
penularan karena penyakit ini sangat berpotensi untuk menularkan kepada orang lain
melalui udara ( born I nfection), bebas dari gejala distress pernapasan, nyeri
berkurang / hilang, mempertahankan berat badan ideal dan menunjukan perubaha
perilau dalam meningkatkan kesehatan.
Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus mampu bekerja sama
dengan klien, keluarga, serta anggota tim kesehatan yang lain sehingga asuhan yang
diberikan dapat optimal dan komprehensif. (Nursalam, 2013).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaan sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk
memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan
dan pelaksanaan tindakan.
21

Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian yaitu evaluasi proses


(formatting) dan evaluasi hasil (sumatif). Evaluasi proses adalah yang dilaksanakan
secara terus-menerus terhadap tindakan yang telah dilakukan .sedangkan evaluasi
hasil adalah evaluasi tindakan secara keseluruhan untuk menilai keberhasilan
tindakan yang dilakukan dan menggambarkan perkembangan dalam mencapai
sasaran yang telah ditentukan.
Adapun evaluasi yang diharapkan pada penyakit Tuberkulosis Paru
berdasarkan diagnosa yang muncul adalah :
1. Mempertahankan jalan napas
2. Mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi
3. Bebas dari distress pernapasan
4. Nyeri berkurang / hilang
5. Bebas dari tanda-tanda malnutrisi
6. Berat badan menjadi ideal
7. Melakukan perubahan perilaku dan pola hidup untuk meningkatkan kesehatan
dan menurunkan resiko pengaktifan ulang penyakit Tuberculosis Paru.
(Nursalam, 2013).
22

BAB III
METODE STUDI KASUS

A. Jenis Studi Kasus


Jenis studi kasus ini menggunakan metode deskriptif yaitu untuk
menggambarkan “Kepatuhan Pasien Dalam Minum Obat Tuberkulosis Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Muara Jernih Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin
Tahun 2018”.

B. Subyek Studi Kasus


Subyek dalam studi kasus ini adalah penderita TB Paru sebanyak 2 orang,
dengan kriteria inklusi: pasien yang didiagnosis Tuberkulosis Paru dan mendapatkan
program pengobatan TB selama 6 bulan. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah
pasien TB Paru yang telah dinyatakan sembuh.

C. Fokus Studi
Fokus dari studi kasus ini adalah Kepatuhan Pasien Dalam Minum Obat
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Jernih Kecamatan Tabir Ulu
Kabupaten Merangin Tahun 2018.

D. Definisi Operasional Fokus Studi


Studi kasus Kepatuhan Pasien Dalam Minum Obat Tuberkulosis Paru:
1. Kepatuhan minum obat adalah ketaatan penderita dalam menelan obat secara
teratur dan lengkap tanpa terputus selama masa pengobatan
2. Pasien Tuberkulosis Paru adalah pasien yang terdiagnosa Tuberkulosis Paru.

E. Instrumen Studi Kasus


Instrumen dalam studi kasus ini adalah penulis itu sendiri, pedoman
wawancara, lembar observasi, alat perekam dan catatan lapangan.

F. Metode Pengumpulan Data


1. Observasi
Observasi dilakukan pada partisipan 1 dan partisipan 2 dengan wawancara,
pemeriksaan, pengukuran, pendokumentasian selama pasien di tinjau.

22
23

2. Pengukuran
Pada hari pertama melakukan asuhan keperawatan, didapatkan hasil pengukuran
pada kedua partisipan. Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran tekanan
darah, nadi, pernapasan, suhu, pemeriksaan pupil, pemeriksaan nervus cranial,
pemeriksaan reflek fisiologis, reflek patologis serta penilaian kekuatan otot.
3. Wawancara
Penelitian ini di lakukan dengan menggunakan pedoman wawancara bebas
terpimpin. Caranya adalah dengan menanyakan kepada pasien dan keluarga perihal
kejadian yang sebenarnya terjadi pada partisipan dan riwayat kesehatan sebelumnya
yang berkaitan dengan penyakit yang dialami partisipan saat ini.
4. Dokumentasi
Dokumen berbentuk status pasien serta cacatan keperawatan yang didokumentasikan
ulang menggunakan gambar serta buku kegiatan penelitian.

G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus


1. Lokasi studi kasus adalah di wilayah Puskesmas Muara Jernih
2. Waktu studi kasus akan dilakukan dari bulan Mei s/d Juni 2018.

H. Analisis Data dan Penyajian Data


Analisis yang dilakukan pada studi kasus ini adalah menganalisis semua
temuan pada tahapan proses keperawatan dengan menggunakan konsep dan teori
keperawatan pada pasien Tuberkulosis Paru. Data yang didapat dari hasil melakukan
kepatuhan pasien dalam minum obat Tuberkulosis Paru adalah mulai dari
pengkajian, penegakan diagnosis, merencanakan tindakan, melakukan tindakan
sampai mengevaluasi hasil tindakan akan dinarasikan. Analisa yang dilakukan untuk
menentukan apakah ada kesesuaian antara teori dengan kondisi pasien.

I. Etika Sudi Kasus


Dalam melakukan studi kasus ini, penulis terlebih dahulu meminta surat izin
dari institusi yang ditujukan ketempat studi kasus yaitu wilayah yang dilanjutkan di
Puskesmas Muara Jernih Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin untuk
melakukan studi pendahuluan dan mendapatkan data untuk menyusun proposal.
Kemudian dengan surat pengantar dari institusi pendidikan, penulis kembali
mengajukan permohonan studi kasus ke lokasi studi kasus untuk meminta jumlah
24

kasus TB Paru. Kemudian penulis menunggu balasan izin studi kasus dari tempat
studi kasus tersebut. Dalam melaksanakan studi kasus maka beberapa hal yang
diperlukan antara lain :
I.1 Informed concent (Lembar Persetujuan)
Lembar persetujuan diserahkan kepada subjek yang akan dilakukan studi
kasus. Studi kasus ini menjelaskan maksud dan tujuan yang akan dilakukan serta
dampak yang mungkin terjadi sebelum dan sesudah studi kasus. Jika bersedia
dijadikan responden, maka mereka diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan tersebut. Dan jika mereka menolak untuk dijadikan responden, maka
penulis tidak memaksa dan tetap menghormati hak – haknya.
I.2 Anominity (Tanpa Nama)
Menjelaskan bentuk penulisan Asuhan keperawatan dengan tidak perlu
mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, hanya penulisan kode pada
lembar pengumpulan data.
I.3 Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan menjelaskan masalah – masalah responden yang harus
dirahasiakan dalam studi kasus. Kerahasiaaan informasi yang telah dikumpulkan
dijamin kerahasiaan oleh penulis, kelompok data tertentu yang akan dilaporkan
dalam hasil studi kasus.
I.4 Privacy dan Dignity (Menghargai)
Hak ini menjelaskan tentang hak untuk dihargai tentang apa yang mereka
lakukan dan apa yang dilakukan terhadap mereka serta untuk mengontrol kapan dan
bagaimana informasi tentang mereka dibagi dengan orang lain.
I.5 Self Determination (otonomi)
Hak dalam hal ini , klien memiliki otonomi dan hak untuk membuat
keputusan secara sadar dan dipahami dengan baik, bebas dari paksaan untuk
berpartisipasi atau tidak dalam studi kasus ini atau untuk mengundurkan diri dari
studi kasus ini.

Anda mungkin juga menyukai