Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya bidang industri, senantiasa
meningkatkan kemakmuran dan dapat menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat kita.
Namun di lain pihak, perkembangan industri memiliki dampak terhadap meningkatnya
kuantitas dan kualitas limbah yang dihasilkan termasuk di dalamnya adalah limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3). Bila tidak ditangani dengan baik dan benar, limbah B3 akan
menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Indonesia adalah eksportir batubara terbesar
kedua di dunia setelah Australia.
Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis sub-bituminus yang dapat
merepresentasikan produksi batubara Indonesia. Produksi batubara Indonesia meningkat
sebesar 11.1% pada tahun 2003 dan jumlah ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang
sama. Sebagian besar cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan.
Kualitasnya beragam antara batubara kualitas rendah seperti lignit (59%) dan sub-bituminus
(27%) serta batubara kualitas tinggi seperti bituminus dan antrasit (14%).
Lahan bekas tambang yang mempunyai kandungan logam-logam tinggi dapat
dikoloni oleh mikroba tanah. Dengan pengolahan yang tepat, bakteri-bakteri yang merugikan
seperti bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan recovery
logam-logam terutama besi, nikel, tembaga, emas, dan perak. Kegiatan rehabilitasi lahan
bekas tambang dapat ditingkatkan dengan bantuan mikroba tanah. Melalui proses
bioremediasi, mikroba tanah dapat menggunakan logam sebagai aktivator enzim atau aseptor
elektron untuk pertumbuhannya sehingga logam menjadi tidak berbahaya di alam.
Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan,
yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial.
Sebagai sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong
pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan
terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di
atas deposit bahan tambang disingkirkan. Selain itu, untuk memperoleh atau melepaskan biji
tanbang dari batu-batuan atau pasir seperti dalam pertambangan emas, para penambang pada
umumnya menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah, air atau
sungai dan lingkungan.
Untuk mengatasi limbah (khususnya limbah B3) dapat digunakan metode biologis
sebagai alternatif yang aman, karena polutan yang mudah terdegradasi dapat diuraikan oleh
mikroorganisme menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO2 dan H2O. Cara biologis
atau biodegradasi oleh mikroorganisme, merupakan salah satu cara yang tepat, efektif dan
hampir tidak ada pengaruh sampingan pada lingkungan. Hal ini dikarenakan tidak
menghasilkan racun ataupun blooming (peledakan jumlah bakteri). Mikroorganisme akan
mati seiring dengan habisnya polutan dilokasi kontaminan tersebut.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penyusun menemukan
beberapa permasalahan dalam pembuatan makalah ini. Yaitu diantara sebagai berikut :
1. Apakah pengertian Bioremediasi ?
2. Apakah tujuan dari biormediasi ?
3. Apa sajakah mikroorganisme yang berperan dalam proses bioremediasi ?
4. Bagaimanakah proses bioremediasi ?
5. Apa sajakah jenis-jenis bioremediasi ?
6. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi bioremediasi?
7. Apa sajakah kekurangan dan kelebihan bioremediasi ?
8. Apa saja metode-metode penanganan masalah bioremediasi ?
9. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh pertambangan batubara ?

1.3 Tujuan dan Maksud Penulisan


Adapun tujuan dan maksud penulisan makalah ini, diantaranya :
1. Untuk Mengetahui pengertian bioremediasi
2. Untuk mengetahui tujuan penggunaan dari bioremediasi
3. Untuk mengetahui mikroorganisme yang berperan dalam bioremedisi
4. Untuk mengetahui proses bioremediasi
5. Untuk mengetahui jenis-jenis bioremediasi
6. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi bioremediasi
7. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan bioremediasi
8. Untuk mengidentifikasi metode-metode penanganan masalah bioremediasi
9. Untuk upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan
oleh pertambangan batubara

2
BAB II
PEMBAHASAN
Pertambangan batubara menimbulkan kerusakan lingkungan baik aspek iklim mikro
setempat dan tanah. Kerusakan klimatis terjadi akibat hilangnya vegetasi sehingga
menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap
karbon, pemasok oksigen, pengatur suhu. Lahan bekas tambang batubara juga mengalami
kerusakan. Kerapatan tanah makin tinggi, porositas tanah menurun dan drainase tanah, pH
turun, kesedian unsur hara makro turun dan kelarutan mikro meningkat. baik, dan
mengandung sulfat. Lahan seperti ini tidak bisa ditanami. Bila tergenang air hujan berubah
menjadi rawa-rawa.

Salah satu daerah pertambangan batu bara yang cukup besar di Indonesia berada di
Provinsi Kalimantan Selatan. Bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia,
pertambangan batu bara di Provinsi Kalimantan Selatan sangat merusak lingkungan dan
lahan pertanian yang ada di provinsi tersebut, terutama pertambangan yang dilakukan secara
illegal. Selain menghasilkan asam tambang yang dapat memasamkan tanah, penggalian
tanah dan batu-batuan yang menutup lapisan batu bara dilakukan secara tidak terkendali dan
penumpukan hasil galian (overburden) tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan
pemerintah. Akibatnya lahan dengan tumpukan tanah dan batu-batuan eks pertambangan
sangat sulit untuk ditumbuhi vegetasi.

3
Sofyan (2009) mengemukakan bahwa beberapa dampak dari pertambangan
batubara:
1. Lubang tambang. Pada kawasan pertambangan PT Adaro terdapat beberapa tandon
raksasa atau kawah bekas tambang yang menyebabkan bumi menganga sehingga tak
mungkin bisa direklamasi
2. Air Asam tambang: mengandung logam berat yang berpotensi menimbulkan dampak
lingkungan jangka panjang
3. Tailing: teiling mengandung logam-logam berat dalam kadar yang mengkhawatirkan
seperti tembaga, timbal, merkuri, seng, arsen yang berbahaya bagi makhluk hidup.
4. Sludge: limbah cucian batubara yang ditampung dalam bak penampung yang juga
mengandung logam berbahaya seperti boron, selenium dan nikel dll.
5. Polusi udara : akibat dari (debu) flying ashes yang berbahaya bagi kesehatan penduduk
dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan.
Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung
terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Hasil penelitian Widyati
(2006) dalam Widyati (2010) pada lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam Tbk.
menunjukkan pH tanah mencapai 3,2 dan pH air berada pada kisaran 2,8. Menurunnya, pH
tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro
menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya
meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam
Widyati (2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat
pada lingkungan tersebut.
Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang
terbuat dari besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi
baik pada kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk
hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang
maupun hidupan yang berada di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas
pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi
sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada
dapat mengganggu kesehatan manusia.

2.1 Pengertian Biormediasi


Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat diartikan
sebagai proses dalam menyelesaikan masalah. Menurut Munir (2006), bioremediasi
merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan
proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Menurut Sunarko (2001),
bioremediasi mempunyai potensi untuk menjadi salah satu teknologi lingkungan yang bersih,
alami, dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah lingkungan.
Menurut Ciroreksoko(1996), bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian
bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2),

4
metan, dan air. Sedangkan menurut Craword (1996), bioremediasi merujuk pada penggunaan
secara produktif proses biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan
(biasanya kontaminan tanah, air dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam
kesehatan masyarakat.
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di
lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme
memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah
peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada
biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan
akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2010).
Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses pembersihan
pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi
bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang
beracun atau tidak beracun (karbon sioksida dan air).
Jadi bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud
adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri yang berfungsi sebagai agen
bioremediator. Selain dengan memanfaatkan mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula
memanfaatkan tanaman air. Tanaman air memiliki kemampuan secara umum untuk
menetralisir komponen-komponen tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam
proses pengolahan limbah cair ( misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan
bakteri patogen). Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah fitoremediasi.
Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses
membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau
dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora)
maupun makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal, 2005).
Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk
mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan
limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi),
yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan
ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik
terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru
menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang
bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana
polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru
dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi
genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang
mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang
bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba
memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih
efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama

5
kali dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa
hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih
cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di
laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil
dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya
dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-
komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

2.2 Tujuan Bioremediasi


Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi
bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air) ataudengan kata lain
mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari lingkungan.

2.3 Jenis-jenis Mikroorganisme yang berperan dalam bioremediasi


Mikroorganisme yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga
dan bakteri. Mikroorganisme akan mendegradasi zat pencemar atau polutan menjadi bahan
yang kurang beracun atau tidak beracun. Polutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu bahan
pencemar organik dan sintetik (buatan).
Bahan pencemar dapat dibedakan berdasarkan kemampuan terdegradasinya di
lingkungan yaitu :
a. Bahan pencemar yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu bahan yang
mudah terdegradasi di lingkungan dan dapat diuraikan atau didekomposisi, baik secara
alamiah yang dilakukan oleh dekomposer (bakteri dan jamur) ataupun yang disengaja oleh
manusia, contohnya adalah limbah rumah tangga. Jenis polutan ini akan menimbulkan
masalah lingkungan bila kecepatan produksinya lebih cepat dari kecepatan degradasinya.
b. Bahan pencemar yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi (nondegradable
pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Contohnya adalah
jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan merkuri.
Sedangkan senyawa-senyawa pencemar menurut keberadaannya dapat dibedakan
menjadi :
a. Senyawa-senyawa yang secara alami ditemukan di alam dan jumlahnya (konsentrasinya)
sangat tinggi, contohnya antara lain minyak mentah (hasil penyulingan), fosfat dan logam
berat.
b. Senyawa xenobiotik yaitu senyawa kimia hasil rekayasa manusia yang sebelumnya tidak
pernah ditemukan di alam, contohnya adalah pestisida, herbisida, plastik dan serat sintesis.
Dalam bioremediasi, lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang berbahaya
dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti
hidrokarbon, lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama
tahap akhir metabolisme, umumnya berlangsung melalui proses yang sama. Polimer alami

6
yang mendapat perhatian karena sukar terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulosa (kayu)
terutama bagian ligninnya.
Berikut ini merupakan beberapa jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam
mendegradasi polutan minyak bumi dan logam berat menjadi bahan yang tidak beracun :
1. Pencemaran minyak bumi
Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan
aromatik. Minyak bumi menghasilkan fraksi hidrokarbon dari proses destilasi bertingkat.
Apabila keberadaan minyak bumi berlebihan di alam, masing-masing fraksi minyak bumi
akan menyebabkan pencemaran yang akan mengganggu kestabilan ekosistem yang
dicemarinya. Di dalam minyak bumi terdapat dua macam komponen yang dibagi berdasarkan
kemampuan mikroorganisme menguraikannya, yaitu komponen minyak bumi yang mudah
diuraikan oleh mikroorganisme dan komponen yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
 Komponen minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen
terbesar dalam minyak bumi atau mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah
larut dalam air dan terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang
mendegradasi komponen ini relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam
minyak bumi. Isolat bakteri pendegradasi komponen minyak bumi ini biasanya merupakan
pengoksidasi alkana normal.
 Komponen minyak bumi yang sulit didegradasi merupakan komponen yang jumlahnya
lebih kecil dibanding komponen yang mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bakteri
pendegradasi komponen ini berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah
bersaing dengan pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri
ini biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang masih ada setelah pertumbuhan
lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi yang mudah didegradasi.
Beberapa bakteri dan fungi diketahui dapat digunakan untuk mendegradasi minyak bumi.
Beberapa contoh bakteri yang selanjutnya disebut bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri
yang dapat menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi
hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya. Adapun contoh dari
bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri dari genus Achromobacter, Arthrobacter,
Acinetobacter, Actinomyces, Aeromonas, Brevibacterium, Flavobacterium, Moraxella,
Klebsiella, Xanthomyces dan Pseudomonas, Bacillus. Beberapa contoh fungi yang digunakan
dalam biodegradasi minyak bumi adalah fungi dari genus Phanerochaete, Cunninghamella,
Penicillium, Candida, Sp.orobolomyce, Cladosp.orium, Debaromyces, Fusarium, Hansenula,
Rhodosp.oridium, Rhodoturula, Torulopsis, Trichoderma, Trichosp.oron. Sejumlah bakteri
seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter calcoaceticus, Arthrobacter sp., Streptomyces
viridans dan lain-lain menghasilkan senyawa biosurfaktan atau bioemulsi. Kemampuan
bakteri dalam memproduksi biosurfaktan berkaitan dengan keberadaan enzim regulatori yang
berperan dalam sintesis biosurfaktan. Biosurfaktan merupakan komponen mikroorganisme
yang terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat
molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu menurunkan tegangan permukaan. Selain itu
biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah
untuk didegradasi oleh bakteri.

7
Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang tidak larut melalui
beberapa mekanisme. Dengan adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan
teremulsi dibentuk menjadi misel-misel, dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri
sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel. Umumnya ada dua macam biosurfaktan yang
dihasilkan bakteri yaitu :
 Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid, trehalosalipid,
asam lemak dan fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik. Kelompok
ini bersifat aktif permukaan, ditandai dengan adanya penurunan tegangan permukaan
medium cair.
 Polimer dengan berat molekul besar, yang dikenal dengan bioemulsifier polisakarida
amfifatik. Dalam medium cair, bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan emulsi serta
kestabilannya dan tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan permukaan medium.
 Pelepasan biosurfaktan ini tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada. Ada substrat
(misalnya seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya melekat pada
permukaan membran sel, namun tidak diekskresikan ke dalam medium. Namun, ada
beberapa substrat hidrokarbon (misal heksadekan) yang menyebabkan biosurfaktan juga
dilepaskan ke dalam medium. Hal ini terjadi karena heksadekan menyebabkan sel bakteri
lebih bersifat hidrofobik. Oleh karena itu, senyawa hidrokarbon pada komponen
permukaan sel yang hidrofobik itu dapat menyebabkan sel tersebut kehilangan integritas
struktural selnya sehingga melepaskan biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri dan
juga melepaskannya ke dalam medium.

Secara umum terdapat tiga cara transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai
berikut:
a. Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air. Pada kasus ini, umumnya
rata-rata kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga tidak dapat
mendukung.
b. Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar
daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini, perlekatan dapat terjadi karena sel
bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan
tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel dan pengambilan substrat dilakukan
dengan difusi atau transpor aktif. Perlekatan ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada
membran sel bakteri Pseudomonas.
c. Interaksi sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh
bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan partikel hidrokarbon yang lebih
kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya
biosurfaktan yang dilepaskan oleh bakteri Pseudomonas ke dalam medium.

Berikut ini merupakan jenis-jenis bakteri pendegradasi hidrokarbon pada minyak bumi
yaitu:

8
1) Pseudomonas sp.
Pseudomonas berbentuk batang dengan
diameter 0,5 – 1 x 1,5 – 5,0 mikrometer. Bakteri
ini merupakan organisme gram negatif yang
motilitasnya dibantu oleh satu atau beberapa
flagella yang terdapat pada bagian polar. Akan
tetapi ada juga yang hampir tidak mampu
bergerak. Bersifat aerobik obligat yaitu oksigen
berfungsi sebagai terminal elektron aseptor pada
proses metabolismenya. Kebanyakan sp.esies ini
tidak bisa hidup pada kondisi asam pada pH 4,5
dan tidak memerlukan bahan-bahan organik. Bersifat oksidasi negatif atau positif, katalase
positif dan kemoorganotropik. Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi.
Bakteri pseudomonas yang umum digunakan sebagai pendegradasi hidrokarbon antara
lain Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas stutzeri, dan Pseudomonas diminuta.
Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan bakteri Pseudomonas dalam
mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya yang rendah, sehingga sulit
mencapai sel bakteri. Adapun mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel bakteri
Pseudomonas yaitu:
 Mekanisme degradasi hidrokarbon alifatik Pseudomonas menggunakan hidrokarbon
tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses
aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi.
Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik jenuh oleh Pseudomonas meliputi oksidasi
molekuler (O2) sebagai sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam
hidrokarbon teroksidasi.
 Mekanisme degradasi hidrokarbon aromatik banyak senyawa ini digunakan sebagai donor
elektron secara aerobik oleh bakteri Pseudomonas. Degradasi senyawa hidrokarbon
aromatik disandikan dalam plasmid atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam
produksi enzim katekol 2,3-dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali
dengan pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur
berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim
katekol 2,3-dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs
(siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.

2) Arthrobacter sp.
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8 – 1,2 x
1 – 8 mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk cocus kecil
dengan diameter 0,6 – 1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak suka asam, aerobik,
kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali asam dan gas yang berasal
dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif, temperatur optimum 25 – 30oC.

9
3) Acinetobacter sp.

Memiliki bentuk seperti batang dengan


diameter 0,9 – 1,6 mikrometer dan panjang
1,5- 2,5 mikrometer. Berbentuk bulat panjang pada fase stasioner pertumbuhannya. Bakteri
ini tidak dapat membentuk spora. Tipe selnya adalah gram negatif, tetapi sulit untuk diwarnai.
Bakteri ini bersifat aerobik, sangat memerlukan oksigen sebagai terminal elektron pada
metabolisme. Semua tipe bakteri ini tumbuh pada suhu 20-300 C, dan tumbuh optimum pada
suhu 33-350 C. Bersifat oksidasi negatif dan katalase positif. Bakteri ini memiliki
kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga mampu
meremidiasi tanah yang tercemar oleh minyak. Bakteri ini bisa menggunakan amonium dan
garam nitrit sebagai sumber nitrogen, akan tetapi tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
D-glukosa adalah satu-satunya golongan heksosa yang bisa digunakan oleh bakteri ini,
sedangkan pentosa D-ribosa, D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa digunakan sebagai sumber
karbon oleh beberapa strain.

4) Bacillus sp.
Bakteri ini merupakan mikroorganisme sel
tunggal, berbentuk batang pendek. Mempunyai
ukuran lebar 1,0-1,2 mm dan panjang 3-5 mm.
Merupakan bakteri gram positif dan bersifat
aerob. Adapun suhu pertumbuhan
maksimumnya yaitu 30-50oC dan minimumnya
5-20oC dengan pH pertumbuhan 4,3-9,3.
Bakteri ini mempunyai kemampuan dalam
mendegradasi minyak bumi, dimana bakteri ini
menggunakan minyak bumi sebagai satu-satunya sumber karbon untuk menghasilkan energi
dan pertumbuhannya. Pada konsentrasi yang rendah, bakteri ini dapat merombak hidrokarbon

10
minyak bumi dengan cepat. Jenis Bacillus sp. yang umumnya digunakan seperti Bacillus
subtilis, Bacillus cereus, Bacillus laterospor.
Mikroba pendegradasi hidrokarbon juga dapat dilakukan oleh fungi. Fungi pendegradasi
hidrokarbon umumnya berasal dari genus Phanerochaete, Cunninghamella, Penicillium,
Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Jamur dari genus ini mendegradasi hidrokarbon
polisiklik aromatik. Jamur Phanerochaete chrysosporium mampu mendegradasi berbagai
senyawa hidrofobik pencemar tanah yang persisten. Adapun oksidasi dan pelarutan
hidrokarbon polisiklik aromatik oleh Phanerochaete chrysosporium menggunakan enzim
lignin peroksidase. Bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan
menarik satu elektron dari PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon yang
merupakan hasil metabolisme. Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya
dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel mikroba sebagai sumber
energi misalnya CO2.
Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger, Penicillium glabrum, P.
janthinellum, Zygomycete, Cunninghamella elegans ), Basidiomycetes (Crinipellis stipitaria)
diketahui juga dapat mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem enzim
monooksigenase Sitokrom P-450 pada jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem yang
dimiliki mamalia.

Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan monofenol, difenol, dihidrodiol dan


quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut air (misalnya sulfat, glukuronida, ksilosida,
glukosida). Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi pada jamur dan mamalia.

2. Pencemaran Logam Berat


Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan unsur yang berbahaya di
permukaan bumi, sehingga kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan masalah yang
besar. Persoalan spesifik logam berat di lingkungan terutama akumulasinya sampai pada
rantai makanan dan keberadaannya di alam menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara
maupun air. Bahan pencemar senyawa anorganik/mineral misalnya logam-logam berat seperti
merkuri (Hg), kadmium (Cd), Timah hitam (pb), tembaga (Cu), timbal (Pb), dan garam-
garam anorganik. Bahan pencemar berupa logam-logam berat yang masuk ke dalam tubuh
biasanya melalui makanan dan dapat tertimbun dalam organ-organ tubuh.

11
Mikroba memerlukan logam sebagai fungsi struktural dan katalis serta sebagai donor atau
reseptor elektron dalam metabolisme energi. Kemampuan interaksi mikroba terhadap logam
antara lain :
a. Mengikat ion logam yang ada di lingkungan eksternal pada permukaan sel serta
membawanya ke dalam sel untuk berbagai fungsi sel. Contohnya bakteri Thiobaccilus sp.
Mampu menggunakan Fe dalam aktivasi enzim format dehidrogenase pada sitokrom.
b. Menggunakan logam sebagai donor atau akseptor elektron dalam metabolisme energi.
c. Mengikat logam sebagai kation pada permukaan sel yang bermuatan negatif dalam proses
yang disebut biosorpsi.
Mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan cara
detoksifikasi, biohidrometakurgi, bioleaching, dan bioakumulasi.
 Detoksifikasi (biosorpsi) pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat toksik
menjadi senyawa yang bersifat tidak toksik. Proses ini umumnya berlangsung dalam
kondisi anaerob dan memanfaatkan senyawa kimia sebagai akseptor elektron.
 Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa
yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air.
 Bioleaching merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat dari senyawa
yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya mikroba menghasilkan asam dan
senyawa pelarut untuk membebaskan ion logam dari senyawa pengikatnya. Proses ini
biasanya langsung diikuti dengan akumulasi ion logam.
 Bioakumulasi merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang berhubungan dengan
lintasan metabolism.

Interaksi mikroba dengan logam di alam adalah imobilisasi logam dari fase larut menjadi
tidak atau sedikit larut sehingga mudah dipisahkan. Adapun contoh mikroba pendegradasi
logam yaitu :
1) Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens
Bakteri ini mampu mengubah Cr
(VI) menjadi Cr (III) dengan bantuan
senyawa-senyawa hasil metabolisme,
misalnya hidrogen sulfida, asam
askorbat, glutathion, sistein, dll.

12
2) Desulfovibrio sp.
Bakteri ini membentuk senyawa sulfida dengan
memanfaatkan hidrogen sulfida yang dibebaskan untuk
mengatasi pencemaran logam Cu.

3) Desulfuromonas acetoxidans
merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan sulfur
dan besi sebagai penerima elektron untuk mengoksidasi
molekul organik dalam endapan yang bisa menghasilkan
energi.

4) Desulfotomaculum sp.
Dalam melakukan reduksi sulfat, bakteri ini menggunakan
sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor elektron
dan menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon.
Karbon tersebut selain berperan sebagai sumber donor
elektron dalam metabolismenya juga merupakan bahan
penyusun selnya. Adapun reaksi reduksi sulfat oleh bakteri
ini adalah sebagai berikut.

5) Bakteri belerang
khususnya Thiobacillus ferroxidans banyak berperan pada
logam-logam dalam bentuk senyawa sulfida untuk
menghasilkan senyawa sulfat.

6) Mikroalga Spirulina sp.,


Sel Spirulina sp. berbentuk silindris, memiliki dinding sel tipis. Alga ini mempunyai
kemampuan yang tinggi untuk mengikat ion-ion logam dari larutan dan mengadsorpsi
logam berat karena di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan
dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina,
sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.

13
7) Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp
Jam
u r ini

dapat mengakumulasikan Pb
dari dalam perairan,
Citrobacter dan Rhizopus
arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium. Penggunaan jamur mikoriza juga telah
diketahui dapat meningkatkan serapan logam dan menghindarkan tanaman dari keracunan
logam berat.

2.4 Proses Bioremediasi


Proses utama pada
bioremediasi adalah biodegradasi,
biotransformasi dan biokatalis.
Saat bioremediasi terjadi, enzim-
enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme memodifikasi
polutan beracun dengan mengubah
struktur kimia polutan tersebut.
Enzim mempercepat proses
tersebut dengan cara menurunkan
energi aktivasi, yaitu energi yang
dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi. Pada proses ini terjadi biotransformasi atau
biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Pada
banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi. Degradasi senyawa kimia oleh
mikroba di lingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar
bahan-bahan berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang
cukup kompleks dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Misalnya mengubah bahan kimia menjadi air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO2.
Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia tersebut untuk
pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi. Enzim yang dihasilkan
juga berperan untuk mengkatalis reaksi degradasi, sehingga tidak membutuhkan waktu yang
lama untuk mencapai keseimbangan. Lintasan biodegradasi berbagai senyawa kimia yang
berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia
alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya,
terutama tahap akhir metabolisme umumnya berlangsung melalui proses yang sama.
Supaya proses tersebut dapat berlangsung optimal, diperlukan kondisi lingkungan
yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangangbiakan mikroorganisme.

14
Tidak terciptanya kondisi yang optimum akan mengakibatkan aktivitas degradasi biokimia
mikroorganisme tidak dapat berlangsung dengan baik, sehingga senyawa-senyawa beracun
menjadi persisten di lingkungan. Agar tujuan tersebut tercapai diperlukan pemahaman akan
prinsip-prinsip biologis tentang degradasi senyawa-senyawa beracun, pengaruh kondisi
lingkungan terhadap mikroorganisme yang terkait dan reaksi-reaksi yang dikatalisnya.
Salah satu cara untuk meningkatkan bioremediasi adalah melalui teknologi genetik.
Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode
enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan
beracun menjadi tidak berbahaya.

2.5 Jenis-jenis Bioremediasi


Bioremediasi yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu :
1. Biostimulasi
Biostimulasi adalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah
ada di daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan,
yaitu penambahan nutrien dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada dalam jumlah sedikit,
maka harus ditambahkan mikroba dalam konsentrasi yang tinggi sehingga bioproses dapat
terjadi. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang sebelumnya diisolasi dari lahan
tercemar kemudian setelah melalui proses penyesuaian di laboratorium di perbanyak dan
dikembalikan ke tempat asalnya untuk memulai bioproses. Namun sebaliknya, jika kondisi
yang dibutuhkan tidak terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati. Secara
umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang tercemar (Suhardi,
2010).
2. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan penambahan produk mikroba komersial ke dalam limbah cair
untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan limbah secara biologi. Cara ini paling sering
digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Hambatan mekanisme ini
yaitu sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroba dapat berkembang
dengan optimal. Selain itu mikroba perlu beradaptasi dengan lingkungan tersebut
(Uwityangyoyo, 2011). Menurut Munir (2006), dalam beberapa hal, teknik bioaugmentasi
juga diikuti dengan penambahan nutrien tertentu.
Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam
bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan
sulit untuk beradaptasi.
3. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.

Bioremediasi berdasarkan lokasi terdapat 2 macam yaitu:

15
1. In situ, yaitu dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar ( proses bioremediasi yang
digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut). Proses bioremadiasi in situ pada
lapisan surface juga ditentukan oleh faktor bio-kimiawi dan hidrogeologi
2. Ex situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah tersebut lalu
ditreatment ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke tempat asal. Lalu diberi
perlakuan khusus dengan memakai mikroba. Bioremediasi ini bisa lebih cepat dan mudah
dikontrol dibanding in-situ, ia pun mampu me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah
yang lebih beragam.
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Bioremediasi.
Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan
demikian mikroorganisme yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon
perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang
sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses
bioremediasi, yaitu :
a) Lingkungan
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran
nutrient, enzim-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan
terbentuknya kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif.
Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir
ataupun kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan baik.
Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien dan substrat di
dalam tanah.
b) Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron adalah 30-40˚C. Ladislao, et. al.
(2007) mengatakan bahwa temperatur yang digunakan pada suhu 38˚C bukan pilihan yang
valid karena tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme
patogen. Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan
volatilitas alkana rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan
meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap
lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi
c) Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh bakteri maupun kapang adalah
oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen
merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah
tergantung pada (a) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c)
kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan
salah satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak
d) pH.
Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali sangat jarang namun ada yang
melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dari 4,5 menjadi 7,4 dengan penambahan kapur

16
meningkatkan penguraian minyak menjadi dua kali. Penyesuaian pH dapat merubah
kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan, dan makro & mikro nutrien.
Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+, N dan P akan turun, sedangkan penurunan pH
menurunkan ketersediaan NO3- dan Cl- . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam
akan lebih berperan dibandingkan bakteri asam.
e) Kadar H2O dan karakter geologi.
Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air
dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9 - 1.0, umumnya kadar air 50-60%.
Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang poros.
f) Keberadaan zat nutrisi.
Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang dipergunakan bekas pertanian mungkin tak
perlu ditambah zat nutrisi. Untuk hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula dengan
makro & mikro nutrisi yang lain. Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber
karbon, energy dan keseimbangan metabolisme sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi
biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga
proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya
meningkat.
g) Interaksi antar Polusi.
Fenomena lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas
mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme
di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme. Kometabolisme merupakan
proses transformasi senyawa secara tidak langsung sehingga tidak ada energy yang
dihasilkan.

2.7 Kelebihan dan Kekurangan Bioremediasi


Kelebihan bioremediasi sebagai berikut :
1) Proses pelaksanaan dapat dilakukan langsung di daerah tersebut dengan lahan yang sempit
sekalipun.
2) Mengubah pollutant bukan hanya memindahkannya.
3) Proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang cepat.
4) Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah
sudah ada dilingkungan (tanah).
5) Bioremediasi tidak menggunakan/menambahkan bahan kimia berbahaya.
6) Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah biaya.

Kekurangan bioremediasi sebagai berikut :


1) Tidak semua bahan kimia dapat diolahsecara bioremediasi.
2) Membutuhkan pemantauan yang ekstensif.

17
3) Membutuhkan lokasi tertentu.
4) Pengotornya bersifat toksik
5) Padat ilmiah
6) Berpotensi menghasilkan produk yang tidak dikenal
7) Dapat digabung dengan teknik pengolahan lain
8) Persepsi sebagai teknologi yang belum teruji
Sumber: Wisnjnuprapto (1996)

2.8 Metode-metode Penanganan Masalah


1. Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine
drainage (AMD). Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun
biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik
yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan
biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat
sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan
antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan.
Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang
cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam Widyati (2010) menunjukkan
bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit
Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu
10 hari.

Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air sedangkan sumber-


sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD belum tersentuh. Hal yang sangat penting
sesungguhnya adalah upaya pencegahan terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak
mineral sulfide dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur
(BOS) adalah hal yang paling menentukan dalam menangani AMD. Sebagai contoh PT.
Bukit Asam Tbk menghambat kontak mineral-oksigen dengan melapisi lahan bekas
tambang dengan blue clay setebal 1-2 m sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini
per hektar sungguh fantastis. Tetapi proses AMD secara geokimia jauh lebih lambat
dibandingkan dengan proses yang dikatalis oleh BOS. Sehingga di PT. Bukit Asam masih

18
terjadi AMD. Oleh karena itu, pengendalian BOS adalah kunci untuk mengatasi AMD.
Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan organik akan membunuh
mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada lahan yang begitu luas?
Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman
pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab
bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai
sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan
dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang banyak
terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil
dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik melalui produksi serasah
maupun eksudat akar.

2. Penanganan Limbah Pertambangan Batu Bara


Kelompok bahan galian metalliferous antara lain adalah emas, besi, tembaga, timbal, seng,
timah, mangan. Sedangkan bahan galian nonmetalliferous terdiri dari batubara, kwarsa,
bauksit, trona, borak, asbes, talk, feldspar dan batuan pospat. Bahan galian untuk bahan
bangunan dan batuan ornamen termasuk didalamnya slate, marmer, kapur, traprock,
travertine, dan granite.

Salah satu jenis bahan bakar yang melimpah di dunia adalah batu bara. Pembakaran batu
bara merupakan metode pemanfaatan batu bara yang telah sekian lama dilakukan. Masalah
yang muncul sebagai akibat pembakaran langsung batu bara adalah emisi gas sulfur dioksida.
Sulfur yang terdapat dalam batu bara perlu disingkirkan karena sulfur dapat menyebabkan
sejumlah dampak negatif bagi lingkungan.
Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah lingkungan, terutama
kandungan sulfur sebagai polutan utama. Hal ini disebabkan oleh oksida-oksida belerang
yang timbul akibat pembakaran batubara tersebut sehingga mampu menimbulkan hujan asam.
Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta gangguan pernafasan.
Oksida belerang merupakan hasil pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma
masakan atau minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket), sehingga
menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman, serta berbahaya bagi kesehatan
(pernafasan).

19
Penyingkiran sulfur pada batubara dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu fisika,
kimiawi, dan biologis. Penyingkiran sulfur secara biologis atau biodesulfurisasi adalah
metode penyingkiran sulfur dengan menggunakan mikroba yang paling murah dan paling
sederhana. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi biodesulfurisasi batubara, yaitu:
temperatur, pH, medium nutrisi, konsentrasi sel, konsentrasi batu bara, ukuran partikel,
komposisi medium, kecepatan aerasi COÌ, penambahan partikulat dan surfaktan, serta
interaksi dengan mikroorganisme lain. Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan mewujudkan gagasan clean coal combustion melalui desulfurisasi batubara.
Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi batubara
adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus
thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan
desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan
sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan
sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.

3. Penanganan Air Asam Tambang


Teknologi bioremediasi dapat juga digunakan untuk mengatasi air asam tambang dan
logam berat terlarut terutama dari pertambangan batu bara. Teknologi tersebut
mengandalkan aktivitas berbagai bakteri pereduksi sulfat diantaranya Desulfotomaculum
orientis ICBB 1204, Desulfotomaculum sp ICBB 8815 dan ICBB 8818 yang mengubah
sulfat dalam air asam tambang menjadi hidrogen sulfida dan kemudian bereaksi dengan
logam berat. Setelah reaksi belangsung pH (keasaman) air asam tambang yang mula-mula
berkisar dari 2 – 3 meningkat mendekati netral (6-7). Sementara logam berat yang terdapat
air asam tambang mengendap. Dari hasil penelitian Santosa (2009) selama sembilan (9)
tahun diperoleh teknologi yang mampu meningkatkan pH ke netral dan menurunkan
konsentrasi berbagai logam berat diantaranya Cr, Pb dan Cd. Teknologi ini efisien, karena
hanya membutuhkan biaya 1/10 dari biaya penanganan air asam konvensional.

Menurut Alexander (1977) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa Bakteri


Pereduksi Sulfat (BPS) terdiri dari 2 genus,
yaitu Desulfovibrio dan Desulfotomaculum. Desulfovibrio hidup pada kisaran pH 6 sampai
netral, sedangkan Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil (menyukai
suhu yang tinggi). Dari hasil penelitian lingkungan tanah bekas tambang batubara setelah

20
diberi perlakuan bioremediasi mempunyai pH sekitar 6 dan suhunya berkisar pada suhu
ruangan (25°C – 30°C) tidak termofil (>55°C) sehingga kuat dugaan bahwa BPS yang
ditemukan sangat dekat sifat-sifatnya dengan genus Desulfovibrio. Sedangkan menurut Feio
et al. (1998) dalam Anonim (2010a), menyatakan bahwa media Postgate yang digunakan
merupakan media selektif yang paling cocok untuk mengisolasi BPS dari
genus Desulfovibrio.
Kemampuan BPS dalam menurunkan kandungan sulfat sehingga dapat meningkatkan pH
tanah bekas tambang batubara ini sangat bermanfaat pada kegiatan rehabilitasi lahan bekas
tambang batubara. Peningkatan pH yang dicapai hampir mendekati netral (6,66) sehingga
sangat baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman revegetasi maupun kehidupan biota
lainnya.
4. Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara
Umumnya, perusahaan tambang menggunakan top (tanah lapisan atas) atau kompos
untuk mengembalikan kesuburan tanah. Rata-rata dibutuhkan 5.000 ton per hektar kompos
atau top soil. Metode konvensional ini kurang tepat diterapkan pada bekas lahan tambang
yang luas. Pemanfaatan sludge limbah industri kertas bisa menjadi alternatif pilihan.
Industri kertas menghasilkan 10 persen sludge dari total pulp yang mengandung N dan P
(Anonim, 2006).
Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50 persen dapat memperbaiki sifat-sifat
tanah lebih efektif dibandingkan perlakuan top soil. Sludge kertas ini berperan ganda dalam
proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara yaitu sebagai sumber bahan organik
tanah (BOT) dan sumber inokulum bakteri pereduksi sulfat (BPS). Pemberian sludge pada
bekas tambang batubara menimbulkan 2 proses yakni perbaikan lingkungan (soil
amendment) dan inokulasi mikroba yang efektif.
Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas tambang batubara mampu
menurunkan ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn 48 persen, Zn 78 persen dan Cu 63
persen. BPS mampu mereduksi sulfat menjadi senyawa sulfda-logam yang tidak tersedia.
5. Bioremediasi Tanah Tercemar
Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar,
karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber
pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang
dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya
bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan
Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).
Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan
bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri,
dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et
al, 1994 dalam Madjid, 2009).

21
Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun
dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan “extrahyphae slime”
(Aggangan et al, 1997 dalam Madjid, 2009). sehingga mengurangi serapannya ke dalam
tanaman inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi
tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh
yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar,
disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme
pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal.
Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan
tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan,
1993 dalam Madjid, 2009). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal
pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan
meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi. Penelitian Aggangan et
al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih
berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang
tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp.,
gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari
residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan
dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus yang tidak tercemar logam berat.
Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik,
sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat
dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis.
Oliveira et al, 2001 dalam Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat
berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka
waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi
(phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik.
Penelitian Joner dan Leyval (2001) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa perlakuan
mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah
industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan
reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila
penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH,
maka laju penurunan hasil clover meningkat.
Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991)
dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti,

22
12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah
batubara tersebut, ditemukan adanya “oil droplets” dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini
menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai
diserap oleh tanaman.
Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun
seperti logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme
perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat
melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam
hifa cendawan. Khan (1993) dalam Madjid dan Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel
arbuskular mikoriza (VAM) dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan
buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi
dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar
unsur toksik.

2.9 Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan


Oleh Pertambangan Batu Bara
Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh
penambang batu bara dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, untuk dilakukan
tindakan-tindakan tertentu sebagai berikut :
1. Pendekatan teknologi dengan orientasi teknologi preventif (control/protective) yaitu
pengembangan sarana jalan/jalur khusus untuk pengangkutan batu bara sehingga akan
mengurangi keruwetan masalah transportasi. Pejalan kaki (pedestrian) akan terhindar
dari ruang udara yang kotor. Menggunakan masker debu (dust masker) agar
meminimalkan risiko terpapar/terekspose oleh debu batu bara (coal dust).
2. Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga akan
terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Upaya reklamasi
dan penghijauan kembali bekas penambangan batu bara dapat mencegah
perkembangbiakan nyamuk malaria. Dikhawatirkan bekas lubang/kawah batu bara dapat
menjadi tempat perindukan nyamuk (breeding place).
3. Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak dalam kegiatan pengusahaan
penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku (law
enforcement)

23
4. Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk
membina dan memberikan penyuluhan/penerangan terus menerus memotivasi perubahan
perilaku dan membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Dampak dari pertambangan batu bara, yaitu dapat menyebabkan lubang tambang, air
asam tambang, tailing¸ Sludge, dan polusi udara.
2. Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang
dimaksud adalah khamir, fungi, yeast, alga dan bakteri yang berfungsi sebagai agen

24
bioremediator. Selain dengan memanfaatkan mikroorganisme, bioremediasi juga dapat
pula memanfaatkan tanaman air.
3. Bioremediasi bertujuan untuk mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan
pencemar dari lingkungan.
4. Jenis-jenis Mikroorganisme yang berperan dalam bioremediasi yaitu Pseudomonas sp,
Arthrobacter sp., Acinetobacter sp., Bacillus sp., Enterobacter cloacae, Pseudomonas
fluorescens, Desulfovibrio sp., Desulfuromonas acetoxidans, Desulfotomaculum sp.,
Thiobacillus ferroxidans, Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp Mikroalga
Spirulina sp., dan Jamur golongan Deuteromycota Basidiomycetes.
5. Proses utama pada bioremediasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.
6. Jenis-jenis bioremediasi meliputi :
 Bioremediasi yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu :
1. Biostimulasi, yaitu memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang
sudah ada di daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan
yang diperlukan, yaitu penambahan nutrien dan oksigen.
2. Bioaugmentasi, yaitu penambahan produk mikroba komersial ke dalam limbah
cair untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan limbah secara biologi.
3. Bioremediasi Intrinsik, terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang
tercemar.
 Bioremediasi berdasarkan lokasi, meliputi :
1. In situ, yaitu dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar ( proses
bioremediasi yang digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut).
2. Ex situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah tersebut
lalu ditreatment ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke tempat asal.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi Bioremediasi, yaitu
1. Lingkungan\
2. Temperatur
3. Oksigen
4. pH
5. Kadar H2O dan karakter geologi.
6. Keberadaan zat nutrisi.
7. Interaksi antar Polusi.

8. Kelebihan Bioremediasi, yaitu :


 Proses pelaksanaan dapat dilakukan langsung di daerah tersebut dengan lahan yang
sempit sekalipun dan proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang
cepat
 Mengubah pollutant bukan hanya memindahkannya.

25
 Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan mikroba yang secara
alamiah sudah ada dilingkungan (tanah).
 Bioremediasi tidak menggunakan/menambahkan bahan kimia berbahaya.
 Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah biaya.
9. Kekurangan bioremediasi sebagai berikut :
 Tidak semua bahan kimia dapat diolahsecara bioremediasi.
 Membutuhkan pemantauan yang ekstensif dan membutuhkan lokasi tertentu.
 Pengotornya bersifat toksik
 Berpotensi menghasilkan produk yang tidak dikenal
 Dapat digabung dengan teknik pengolahan lain
 Persepsi sebagai teknologi yang belum teruji
10. Beberapa metode penanganan pencemaran tambang batubara, yaitu :
1. Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD
2. Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Pertambangan (Batu
Bara)
3. Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat dalam Penanganan Air Asam Tambang
4. Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang Batubara
5. Bioremediasi Tanah Tercemar
11. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Dampak Yang Ditimbulkan Oleh
Pertambangan Batu Bara, yaitu :
1. Pendekatan teknologi, dengan orientasi teknologi preventif (control/protective)
2. Pendekatan lingkungan yang ditujukan bagi penataan lingkungan sehingga akan
terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan.
3. Pendekatan administratif yang mengikat semua pihak dalam kegiatan
pengusahaan penambangan batu bara tersebut untuk mematuhi ketentuan-
ketentuan yang berlaku (law enforcement)
4. Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan
untuk membina dan memberikan penyuluhan/penerangan terus menerus
memotivasi perubahan perilaku dan membangkitkan kesadaran untuk ikut
memelihara kelestarian lingkungan.

26
DAFTAR PUSTAKA

 Arifin, H.S., M. Yani, F. Aribowo, and A.M. Fauzi. 2004. Bioremediation: A Case Study in
East Kalimantan, Indonesia. Proceeding the 1st COE International Symposium
“Environmental Degradation and Ecosystem Restoration in East Asia”. Japan : Tokyo
University
 Baker, J. M., Clark, R. B., Kingston, P. F. and Jenkins, R. H. (1990). Natural Recovery of
Budianto, H. 2006. Perbaikan lahan terkontaminasi minyak bumi secara bioremediasi
Cold Water Marine Environments after an Oil Spill. 13th AMOP Seminar, June 1990
 Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. McGraw-Hill,
Inc. Toronto.
 Munawar dkk. 2005. Bioremediasi Tumpahan Minyak Mentah Dengan Metode
Biostimulasi Di Lingkungan Pantai Surabaya Timur. Surabaya.
 Putra, Rengga Avrizta. 2011. Jurnal Lingkungan Hidup : Bioremediasi Sebagai Alternatif
Penanganan Pencemaran Akibat Tambang Batubara.

27

Anda mungkin juga menyukai