Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS CHILD ABUSE


DIBUAT SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UJIAN TULIS AKHIR SEMESTER
(TAKE HOME)
MATKUL: KEPERAWATAN PENGKAJIAN ANAK LANJUT
DOSEN KORDINATOR: Siti Dewi R, S.Kep.,M.Kep

Di susun oleh
AN’NISAA HERIYANTI
215118001

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN ANAK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JENDRAL AHMAD YANI
CIMAHI
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur pada Allah subhanahu wa’taala yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami , sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Asuhan Keperawatan dengan Child Abuse Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah
satu ujian tulis (take home) kuliah Keperawatan Anak. Makalah ini disusun sesuai
dengan pengetahuan yang kami miliki saat ini. Kami berharap makalah ini dapat
memenuhi persyaratan kelulusan mata kuliah keperawatan pengkajian anak lanjut"
Meskipun makalah ini masih jauh dari kesan sempurna karena keterbatasan pengetahuan
kami, mengenai Asuhan Keperawatan dengan Child Abuse. Dengan segenap kesadaran diri,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk membangun dan penyempurnaan makalah
yang kami sususn ini.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Kekerasan anak atau child abuse adalah perlakuan orang dewasa atau
anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang
tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh
yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak
lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka
pada tubuh sang anak (Sutanto,2006). Kekerasan anak di Indonesia semakin
meningkat setiap tahunnya. Tahun 2008 dilaporkan 1.510 anak mengalami kekerasan,
tahun 2009 ada 1826, tahun 2012 sebanyak 1998, di tahun 2013 semakin meningkat
yaitu 2044 jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Tahun 2014 dilaporkan
dari bulan Januari hingga April, jumlah korban kekerasan anak sudah mencapai 435
jiwa
(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/06/140516/Angka
Kekerasan-Anak-Meningkat-Komnas-PA-Prihatin).
Bentukdarikekerasanpadaanakterdiridariphysical abuse, sexual abuse,
emotional abuse dan neglect (Wong, 2006). Emotional abuse (kekerasanemosional)
yang biasanya juga lebih sering disebut dengan kekerasan verbal paling banyak
didapat oleh anak-anak dari orang tua mereka. Bahkan tanpa disadari, orangtua setiap
hari melakukan verbal abuse pada anaknya. Bentuk dari verbal abuse itu umumnya
dilakukan dalam bentuk mengancam, mengkritik, membentak, mengecilkan anak,
member julukan negatif pada anak (Fitri, 2008). Child abuse dapat terjadi setiap
harinya di rumah. Rumah yang seharusnya tempat teraman dan tempat berlindung
bagi anak tidak lagi menjadi nyaman. Adanya pengertian yang salah dalam
memandang anak, dimana anak masih saja dipandang sebagai objek yang wajib
menurut kepada orang tua (Soetjiningsih, 2006).
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar.
Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa
bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan
kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan
tumbuh kembang anaknya (Mukhtarlutfi , 2008).
Orangtua yang salah dengan melakukan kekerasan akan berakibat buruk bagi
anak. Orang tua sejatinya berperan memberikan kebutuhan asah, asih, asuh serta
pembekalan spiritual terhadap anak. Setiap orangtua harus mengenal baik orang–
orang yang berada di sekitar anak sehari–hari. Orangtua juga diminta mengenali
problem mental dan emosional diri sendiri, serta orang lain yang ada di rumah
(Hurairah, 2006).
Tindakan kekerasan tersebut dapat menimbulkan dampak baik fisikmaupun
psikologis. Dampak fisik seperti perbuatan yang mengakibatkanrasa sakit, anak
menderita patah tulang, lebam, sampai cacat permanen.Dampak secara psikologis
anak bisa menderita ketakutan, kemarahan,sedih, merasa bersalah, malu, bingung,
hilangnya percaya diri dan ataupenderitaan psikis berat bahkan berontak pada seorang
anak, sertapenghindaran terhadap lingkungan sosial (Santrock, 2007).
Akibat dari dampak tersebut, maka kemungkinan akan muncul perilaku
agresif pada anak. Anak yang mengalami tindakan kekerasan, selanjutnya akan
cenderung menjadi pelaku tindakan kekerasan terhadap orang lain (Soetjiningsih,
2006). Hukuman fisik dan verbal yang sering diterima subjek membuat subjek
menjadi anak yang cenderung agresif, suka berkelahi, memukul, menendang, suka
mencari masalah, dan membalas dendam terhadap perlakuan teman-temannya
(Risviyanto, 2005).
Sepintas hukuman semacam itu dianggap lumrahtetapi sebenarnya
merupakan tindakan kekerasan meskipun kadarnya ringan. Kemiskinan
yangseringkali bergandengan dengan rendahnya pendidikan, pengangguran, dan
tekanan mentalumumnya dipandang sebagai faktor dominan yangmendorong
terjadinya kekerasan terhadap anak.Lemahnya penegakan
B. Tujuan penulisan makalah
Untuk mengetahui Asuhan keperawatan khususnya pengkajian fisik pada kasus child
abuse.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA CHILD ABUSE
2.1. Definisi Child Abuse
Secara harfiah kekerasan diartikan sebagai "sifat atau suatu hal yang keras;
kekuatan; paksaan".1 Sedangkan secara terminologi kekerasan berarti "perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain."2 Segala macam perbuatan
yang menimbulkan penderitaan baik itu berupa fisik atau menyebabkan kerusakan bagi
orang lain dapat diartikan sebagai kekerasan.
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan adalah menggunakan
kekuatan fisik atau kekuasaan, ancaman atau perlakuan kasar dengan mengakibatkan
kematian, trauma, meninggalkan kerusakan, menyebabkan luka, atau pengambilan hak.
Kekuatan fisik dan penggunaaan kekuasaan termasuk kekerasan meliputi penyiksaan
fisik, penelantaran, dan seksual.
Fontana pada tahun 1971 menyatakan bahwa termasuk child abuse yaitu malnutrisi
dan menelantarkan anak merupakan awal dari gejala perlakuan salah dan penganiayaan
fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari tingkatan perlakuan salah oleh
orang tuanya atau pengasuhnya.
Yang dimaksud dengan child abuse dan neglect adalah perlakuan salah terhadap
fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan terjadinya
kekerasan seksual pada anak. Kekerasan dalam keluarga, kasus bullying di sekolah dan
di lingkungan masyarakat bukanlah hal yang baru, karena sering terjadi kasus
kekerasan dan korbannya pun bisa siapa saja. Anak-anak yang dianggap lemah
sehingga sering menjadi korban kekerasan. Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua
periode, yaitu awal masa kanak-kanak, sekitar umur 2-6 tahun dan akhir masa kanak-
kanak sekitar umur 6-12 tahun.
Sedangkan Menurut UU no.4/1979 tentang kesejahteraan anak, UU no. 23/2002
tentang Perlindungan anak, UU no.3/1997 tentang Pengadilan anak, definisi anak
menurut undang-undang tersebut adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk bayi dalam kandungan. Abuse (kekerasan) seringkali terjadi dalam keluarga.
2.2.kategori child abuse
1. Physical abuse
Perlakuan salah secara fisik adalah ketika anak mengalami pukulan, tamparan,
gigitan, pembakaran, atau kekerasan fisik lainnya. Seperti bentuk abuse lainnya,
physical abuse biasanya berlangsung dalam waktu yang lama. Atau tindakan yang
dilakukan dengan niat untuk menyakiti fisik anak seperti: memukul, menendang,
melempar, menggigit, menggoyang-goyang, memukul dengan sebuah obyek,
menyulut tubuh anak dengan rokok, korek api, menyiram anak dengan air panas,
mengikatnya, tidak memberi makanan yang layak untuk anak dan sebagainya.
2. Sexual abuse
Perlakuan salah secara seksual, adalah ketika anak diikutsertakan dalam situasi
seksual dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua. Kadang ini berarti adanya
kontak seksual secara langsung seperti persetubuhan, atau sentuhan atau kontak
genital lainnya. Tetapi itu juga bisa berarti anak dibuat untuk melihat tindakan
seksual, melihat kelamin orang dewasa, melihat pornografi, atau menjadi bagian
dari produksi pornografi. Anak biasanya tidak dipaksa ke dalam situasi seksual,
sebaliknya mereka dibujuk, disogok, ditipu, atau dipaksa. Atau tindakan-tindakan
yang menyangkut masalah seksual, seperti mencium atau menyentuh organ
kemaluan anak, menyuruh anak menyentuh alat vital orang lain, bersenggama
dengan anak, memperlihatkan alat vital kepada anak, memaksa anak untuk
membuka pakaiannya, memaksa anak untuk berhubungan seks dengan orang lain,
menjadikan anak objek pornografi seperti di dalam internet atau video,
menceritakan anak cerita jorok.
3. Neglect
Diabaikan/dilalaikan adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak dipenuhi.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makanan bergizi, tempat tinggal
yang memadai, pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan afeksi,
pendidikan, keamanan. Atau tindakan yang bersangkut masalah tumbuh kembang
anak, seperti tidak menyenangkan rumah dan memberi pakaian yang layak,
mengunci anak di dalam kamar atau kamar mandi, meninggalkan anak di dalam
periode waktu yang lama, menempatkan anak di dalam situasi yang
membahayakannya. Apabila orang tua tidak dapat memenhi kebutuhan baik dalam
hal kebutuhan fisik, psikis ataupun emosi, tidak memberikan perhatian dan sarana
untuk berkembang merupakan tindakan penelantaran.
Termasuk di dalam penelantaran anak adalah:
1) Penelantaran untuk mendapatkan perawatan kesehatan misalnya mengingkari
adanya penyakit serius pada anak.
2) Penelantaran untuk mendapatkan keamanan, misalnya cedera yang disebabkan
kurangnya pengawasan dan situasi rumah yang membahayakan.
3) Penelantaran emosi, yaitu tidak memberikan perhatian kepada anak, menolak
kehadiran anak.
4) Penelantaran pendidikan. Anak tidak mendapatkan pendidikan seusai usianya,
tidak membawa anak ke sarana pendidikan atau menyuruh anak mencari nafkah
untuk keluarga sehingga terpaksa putus sekolah.
5) Penelantaran fisik, yaitu bila anak tidak terpenuhi kebutuhan makan, pakaian
atau tempat tinggal yang layak untuk mendapat sarana tumbuh kembang yang
optimal.
4. Emotional abuse
Perlakuan salah secara emosi adalah ketika anak secara teratur diancam, diteriaki,
dipermalukan, diabaikan, disalahkan, atau salah penanganan secara emosional
lainnya, seperti membuat anak menjadi lucu dan ditertawakan, memanggil namanya
dengan sebutan tidak layak, dan selalu dicari-cari kesalahannya. Atau terjadi bila
orang dewasa mengacuhkan, meneror, menyalahkan, mengecilkan, dan sebagainya
yang membuat anak merasa inkonsisten dan tidak berharga. Perlakuan
mempermalukan, mencaci, memaki dan memanggil dengan sebutan negatif
dilakukan terus menerus sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah apa yang
diucapkan kepadanya. Anak yang terus dimaki merasa dirinya tidak berguna dan
menganggap memang dirinya buruk.
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan
semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan
melindungi anak (caretaker). Pelaku kekerasan di sini, karena bertindak sebagai
caretaker, umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak.
Menurut dr. Lukas Mangindaan, Sp.KJ(K), Staf Pengajar Departemen
Psikiatri FKUI/RSUCPM bahwa bentuk kekerasan dapat berupa :
a. Kekerasan fisik
b. Pelecehan atau kekerasan seksual
c. Pelecehan verbal berulang
d. Penelantaran anak yang dilakukan secara sengaja sehingga menimbulkan
cedera fisik, emosional, ataupun kombinasi dari keduanya, entah itu berjangka
pendek ataupun panjang.
Sementara itu, Dadang Hawari menyatakan bahwa bentuk-bentuk penyiksaan
ialah :
a. Penyiksaan fisik, baik kekerasan langsung atau kekerasan tidak langsung
seperti lebam-lebam pada muka, memar pada kepala akibat jambakan rambt,
melakukan kekerasan pada anak.
b. Penyiksaan mental adalah kekerasan yang bersifat psikologis dan moral
misalnya menelantarkan anak, mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dan
makian misalnya setan, anjing, babi dan lain-lain.
c. Pelecehan seksual. Semua pencabulan yang dilakukan oleh remaja dan orang
dewasa (14 tahun ke atas) terhadap anak di bawah umur (13 tahun ke bawah)
adalah termasuk tindak pidana perkosaan/penyerangan seksual. Ruang
lingkupnya demikian luas, mulai dari kata-kata lisan maupun tulisan yang
tidak senonoh, memperlihatkan alat kelamin, memegang bagian tubuh yang
dilarang, hingga hubungan kelamin.
Beberapa masalah yang timbul pada anak sebagai korban kekerasan di
berbagai segi kehidupan antara lain :
1) Masalah relasional, meliputi
a. Kesulitan untuk menjalin hubungan atau pun persahabatan.
b. Merasa kesepian
c. Kesulitan dalam membentuk hubungan yang harmonis.
d. Sulit mempercayai diri sendiri dan orang lain.
e. Menjalin hubungan yang tidak sehat, misalnya terlalu tergantung atau
terlalu mandiri.
f. Sulit membagi perhatian antara mengurus diri sendiri dan orang lain.
g. Mudah curiga dan terlalu hati-hati terhadap orang lain.
h. Perilakunya tidak spontan
i. Kesulitan menyesuaikan diri
j. Lebih suka menyendiri
k. Merasa takut menjalin hubungan dengan orang lain.
l. Sulit membuat komitmen.
m. Menghindar dari tanggung jawab.
2) Masalah emosional
a. Merasa bersalah, malu.
b. Depresi.
c. Merasa takut masalah dirinya diketahui orang lain.
d. Tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau
positif.
e. Tidak mampu menghadapi tuntunan kehidupan dengan segala
masalahnya.
3) Masalah kognisi
a. Punya persepsi yang negatif terhadap kehidupan.
b. Timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan
cenderung merugikan diri sendiri.
c. Memberikan penilaian rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri
sendiri.
d. Sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi di sekolah.
e. Memiliki citra diri yang negatif.
4) Masalah perilaku
a. Muncul perilaku berbohong, mencuri, bolos sekolah.
b. Perbuatan kriminal atau kenakalan.
c. Tidak mengurus diri sendiri dengan baik.
d. Menunjukkan sikap dan perilaku tidak wajar dan dibuat-buat untuk
mencari perhatian.
e. Muncul perilaku seksual yang tidak wajar.
f. Kecanduan obat bius, minuman keras dan sebagainya.
g. Muncul perilaku yang tidak normal seperti anaroxia atau bulimia dan
sebagainya.
5. Sindrom Munchausen
Adalah permintaan pengobatan terhadap penyakit yang dibuat buat orang tua
dengan memberikan keterangan palsu untuk menyokong suatu tuntutan. Orang tua
mekmbawa ke dokter atau kerumah sakit untuk mendapatkan diagnose penyakit
anaknya, tetapi tenaga kesehatan tidak mendapatkan keteranagan yang benar
tentang keluhan tersebut. Perlakuan salah seperti ini serimgkali fatal.
6. Bulliying
Bullying berasal dari kata bully yang berarti menggertak dan mengganggu.
Riauskina, Djuwita, dan Soesetio mendefinisikan school bullying sebagai perilaku
agresif kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh
seorang/kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih
lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Bullying kemudian dikelompokkan menjadi 5 kategori, antara lain :
1. Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, mencubit, mencakar, juga
termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimliki orang lain).
2. Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, memberi panggilan nama (name–calling), sarkasme,
merendahkan (put-down), mencela/mengejek, mengintimidsi, mengejek,
menyebarkan gosip).
3. Perlaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah,
menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam,
biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).
4. Perilaku non verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi
persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan,
mengirimkan surat kaleng).
5. Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal).
Definisi lain tentang bullying dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti
seseorang atau sekelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma dan
tidak berdaya.
b. Bullying sebagai penggunaan agresi dalam bentuk apapun yang bertujuan
menyakiti ataupun menyudutkan orang lain secara fisik maupun mental.
Bullying dapat berupa tindakan fisik,verbal, emosional, dan juga seksual.
c. Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha
menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok
yang lebih lemah oleh seseorang atau sekelompok orang yang
mempersiakannya lebih kuat.

Terjadinya bullying di sekolah menurut Salmivalli dan kawan-kawan merupakan


proses dinamika kelompok dan di dalamnya ada pembagian peran. Peran-peran
tersebut adalah bully, asisten bully, reinfocer, defender, dan outsider.

Bully yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin, berinisiatif dan aktif
terlibat dalam perilaku bullying.

Asisten bully, juga terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung
bergantung atau mengikuti perintah bully.

Rinfocer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut
menyaksikan, mentertawakan korban, memprofokasi bully, mengajak siswa lain
untuk menonton dan sebagainya.

Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan membantukorban,


sering kali akhirnya mereka menjadi korban juga.
Outsider adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak
melaukan apapun, seolah-olah tidak peduli.

2.3. Penyebab Terjadinya Child Abuse


Hal ini terjadi disebabkan akibat dari keluarga tidak bisa berfungsi sebagaimana
mestinya. Kriteria keluarga yang tidak sehat adalah :
a. Keluarga tidak utuh, broken home by death (kematian), divorce (perceraian).
b. Kesibukan orang tua sehingga jarang berada di rumah, ketidakberadaan dan
ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah sehingga anak hampir tidak
diperhatikan oleh orang tua.
c. Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak
baik. Suami istri yang sering bertengkar, ketidak-akuran saudara satu dengan
yang lain, hubungan orang tua dan anak yang juga tidak saling berbicara.
d. Subsitusi ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak, dalam bentuk materi
daripada kejiwaan (psikologis).
Orang tua lebih banyak memberikan harta yang berlimpah dari pada memberikan
sedikit perhatian. Anak tercukupi kebutuhan materinya tetapi dia tidak pernah diberi
perhatian mengenai perkembangan sekolahnya atau sekedar bertanya sudah makan
atau belum.
Ciri-ciri keluarga yang beresiko melakukan child abuse adalah :
a. Kekerasan lain dalam rumah, seperti abuse (kekerasan) terhadap pasangan.
Suami bersikap kasar dan juga memukul istri.
b. Orang tua atau pengasuh yang menggunakan alkohol atau penyalahgunaan
obat-obatan lainnya.
c. Orang tua yang depresi atau mengalami gangguan mental.
d. Menjadi orang tua tiri.
e. Tekanan atau stres keluarga berkaitan dengan kehilangan pekerjaan, banyak
tugas dan beban kerja, masalah keuangan, kemiskinan, penyakit, kematian,
perpisahan atau perceraian.
f. Anggota keluarga dewasa ada yang mengalami abuse (kekerasan) ketika
masih anak-anak.
Terjadinya kekerasan disebabkan juga oleh berbagai faktor, yaitu :
a. Faktor anak Kekerasan fisik pada anak berhubungan dengan perilaku
menyimpang termasuk kenakalan anak. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa anak nakal dilaporkan mengalami kekerasan fisik dibanding teman
sebayanya yang tidak nakal. Yang disebut perilaku menyimpang adalah
semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam
masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga dan lain-
lain). Jika penyimpangan ini terjadi terhadap norma-norma hokum pidana
maka disebut kenakalan seperti perkelahian, perampokan, pencurian,
pemerasan, perusakan dan lain-lain. Menurut Graham, faktor yang dapat
menyebabkan perilaku menyimpang adalah :
1) Faktor lingkungan: malnutrisi, kemiskinan, migrasi karena urbanisasi,
masalah sekolah, problem keluarga, kematian orang tua, orang tua sakit
berat atau cacat, hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis.
2) Faktor pribadi seperti faktor bakat yang mempengaruhi temperamen
(menjadi pemarah, hiperaktif) cacat tubuh, ketidakmampuan
menyesuaikan diri.
b. Faktor orang tua dan keluarga Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua
melakukan kekerasan pada anak antara lain:
1) Praktek-praktek budaya yang merugikan anak yaitu kepatuhan anak kepada
orang tua dan anak dilarang menolak.
2) Saat masih kecil, orang tua juga mengalami kekerasan, sehingga nantinya
dia juga akan melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya.
3) Orang tua mengalami gangguan mental, sehingga dia juga mudah
melakukan kekerasan.
4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama sekali
mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun.
5) Orang tua merupakan pecandu minuman keras dan narkoba.
c. Faktor lingkungan sosial/komunitas Faktor lingkungan sosial yang dapat
menyebabkan kekerasan diantaranya :
1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan materialistis
2) Kondisi sosial ekonomi yang rendah
3) Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.
Sehingga jika ada orang tua yang melakukan kekerasan pada anaknya,
masyarakat membiarkan karena itu adalah hak orang tua dalam mendidik
anaknya.
4) Status wanita yang dipandang rendah
5) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis (tidak memeperdulikan
lingkungan sekitar) dan sebagainya. Berbagai perilaku menyimpang dan
faktor-faktor resiko tersebut harus secepatnya dikenali sehingga dapat
dilakukan tindakan preventif dan menyelesaikan masalah segera agar tidak
terjadi problem lebih lanjut yang dapat merusak proses tumbuh
kembangnya
2.4.Dampak dari child abuse
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan
menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA mencatat,
seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan
untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child
abuse), antara lain;
1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya
akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam
kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif,
yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif.
2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering
dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru
perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan
makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),
kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri.
3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara
korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa
rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah
dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami
semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam
prostitusi.
4. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami
hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap
anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua
menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan
perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada
masa yang akan datang.
2.5. Manifestasi klinis Child Abuse
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka
bakar, patah tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan
adanya kerusakan organ dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya
jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat
lainnya.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak
yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal,
yaitu:

a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang
tidak mendapat perlakuan salah.
b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
1. Kecerdasan
 Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam
perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik.
 Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga
karena malnutrisi.
 Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya
stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.
2. Emosi
Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang
positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan
hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
3. Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu
menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
4. Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresif
terhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan
orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya
sebagai hasil miskinnya konsep diri.
5. Hubungan sosial
Pada anak yang sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya
atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka
mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau perbuatan-
perbuatan kriminal lainnya.
6. Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
 Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret
vagina, dan perdarahan anus.
 Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis,
enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
 Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan
umurnya. Pemeriksaan alat kelamin dilakukan dengan memperhatikan
vulva, hymen, dan anus anak.
2.6.Penanganan Dan Pencegahan Child Abuse
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan
pada anak dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan
pendidikan kesehatan tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child
abuse. Hal yang dapat dilakukan oleh perawat adalah dengan memberikan pendidikan
kepada keluarga tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, serta cara menghadapi
stress saat menjadi orang tua.
Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak adalah
melalui:
1. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang
ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat.
a. Prevensi primer-tujuan: promosi orangtua dan keluarga sejahtera.
1) Individu
 Pendidikan kehidupan keluarga di sekolah, tempat ibadah, dan
masyarakat
 Pendidikan pada anak tentang cara penyelesaian konflik
 Pendidikan seksual pada remaja yang beresiko
 Pendidikan perawatan bayi bagi remaja yang merawat bayi
 Pelayanan referensi perawatan jiwa
 Pelatihan bagi tenaga profesional untuk deteksi dini perilaku
kekerasan.
2) Keluarga
 Kelas persiapan menjadi orangtua di RS, sekolah, institusi di
masyarakat
 Memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orangtua baru
 Rujuk orangtua baru pada perawat Puskesmas untuk tindak
lanjut (follow up)
 Pelayanan sosial untuk keluarga
3) Komunitas
 Pendidikan kesehatan tentang kekerasan dalam keluarga
 Mengurangi media yang berisi kekerasan
 Mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat, seperti:
pelayanan krisis, tempat penampungan anak/keluarga/usia
lanjut/wanita yang dianiaya
 Kontrol pemegang senjata api dan tajam
b. Prevensi sekunder-tujuan: diagnosa dan tindakan bagi keluarga yang
stress.
1) Individu
 Pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian kekerasan pada
keluarga pada tiap pelayanan kesehatan
 Rencana penyelamatan diri bagi korban secara adekuat
 Pengetahuan tentang hukuman untuk meminta bantuan dan
perlindungan
 Tempat perawatan atau “Foster home” untuk korban
2) Keluarga
 Pelayanan masyarakat untuk individu dan keluarga
 Rujuk pada kelompok pendukung di masyarakat (self-help-
group). Misalnya: kelompok pemerhati keluarga sejahtera
 Rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang
memberikan pelayanan pada korban.
3) Komunitas
 Semua profesi kesehatan terampil memberikan pelayanan
pada korban dengan standar prosedur dalam menolong
korban.
 Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi
respon, melaporkan, pelayanan kasus, koordinasi dengan
penegak hukum/dinas sosial untuk pelayanan segera.
 Tim pemeriksa mayat akibat kecelakaan/cedera khususnya
bayi dan anak.
 Peran serta pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah
setempat.
 Pendekatan epidemiologi untuk evaluasi.
 Kontrol pemegang senjata api dan tajam.
c. Prevensi tertier-tujuan: redukasi dan rehabilitasi keluarga dengan
kekerasan.
1) Individu
 Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi korban
 Konseling profesional pada individu
2) Keluarga
 Reedukasi orangtua dalam pola asuh anak
 Konseling profesional bagi keluarga
 Self-help-group (kelompok peduli)
3) Komunitas
 “Foster home”, tempat perlindungan
 Peran serta pemerintah
 “follow up” pada kasus penganiayaan dan kekerasan
 Kontrol pemegang senjata api dan tajam
2. Pendidikan
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang
sangat pribadi, yaitu penis, vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu
ditekankan bahwa bagian tersebut sifatnya sangat pribadi dan harud dijaga agar
tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu meningkatkan keamanan anak di
sekolah. Sikap atau cara mendidik anak juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi
aniaya emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda2 aniaya fisik dan
pengabaian perawatan pada anak.
3. Penegak hukum dan keamanan
Hendaknya UU no.4 thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan
secara konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan
dan kekerasan. Bab II pasal 2 menyebutkan bahwa “anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
4. Media massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh
artikel2 pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada anak baik jangka
pendek maupun jangka panjang diberitakan agar program pencegahan lebih
ditekankan.
2.7.Fasilitas Pelayanan Untuk Anak Child Abuse
Pelayanan fasilitas yang bisa digunakan untuk anak dengan child abuse adalah:
1. Pihak kepolisian
2. Rumah sakit
3. YPAI
Meningkatkan upaya-upaya perlindungan anak Indonesia dari berrbagai bentuk
penyalahgunaan atau tindakan salah melalui berbagai bidang kegiatan yang akan dibagi
kedalam:
1 Pencegahan
2 Perlindungan hukum
3 Pemulihan anak dan reinteraksi sosial atau keluarga
4 Peningkatan koordinasi dan kerja sama baik tingkat lokal, nasional, regional dan
internasional.
5 Peningkatan partisipasi anak
2.8.Pengkajian keperawatan menurut buku advanced pediatric clinical assessment:
skills and procedur Mary E. Muscay dengan kasus child abuse
I. Child Abuse
A. Types child abuse
1. penganiayaan fisik adalah perlakuan yang disengaja yang menimbulkan
cedera pada seorang anak yang dilakukan oleh Seorang penjaga. Dapat
menyebabkan memar, luka bakar, patah tulang, rasa takut, dan trauma
kepala atau perut. Shake baby syndrome adalah bentuk kekerasan fisik.
2. Sindrom Munchausen oleh proxy (MSP) adalah pemalsuan atau
permintaan pengobatan yang di buat buat terhadap penyakit oleh satu
orang ke orang lain (biasanya ibu untuk anak). Anak itu biasanya
membutuhkan banyak prosedur medis, dan pelaku biasanya menyangkal
mengetahui penyebab penyakit anak. Manifestasi penyakit akut hilang
ketika anak dipisahkan dari pelaku.
3. penganiayaan emosional adalah usaha yang disengaja untuk merusak harga
diri anak atau kompetensi dengan menolak, mengabaikan. mengkritik,
mengisolasi atau meneror anak itu.
4. Pengabaian
a. pengabaian fisik melibatkan deprivasi kebutuhan. Seperti makanan,
pakaian, dan tempat tinggal.
b. Pengabaian emosional melibatkan kegagalan sadar atau tidak sadar
untuk memenuhi kebutuhan anak akan perhatian, kasih sayang. dan
pengasuhan.
c. pengabaian medis melibatkan pemotongan perawatan medis
perawatan atau pengobatan.
5. Pelecehan seksual adalah kontak atau interaksi antara anak dan orang
dewasa ketika anak digunakan untuk rangsangan seksual pada orang
dewasa. penyalahgunaan seksual.
B. Faktor Predisposisi
1. Faktor pengasuh
a. Hukuman berat yg diberikan pengasuh kepada anak
b. Kontrol impuls yang buruk
c. Ekspresi kekerasan
d. Isolasi social
e. Sistem pendukung sosial-emosional yang buruk
f. Harga diri rendah
g. Penyalahgunaan zat obat obatan
h. Sejarah kekejaman terhadap hewan
2. Faktor anak
a. Temperament “ketidak cocokan”
b. Penyakit, kecacatan, dan keterlambatan perkembangan
c. Biasanya tidak ada saudara lain yang dianiaya
d. Kehamilan yang tidak sah atau tidak diinginkan
e. Hiperkinesis
f. Kemiripan dengan seseorang yang tidak disukai oleh pengasuh
g. Kegagalan ikatan
h. Masalah kehamilan, Persalinan atau prematuritas
3. Faktor lingkungan (Semua kelompok sosial ekonomi terpengaruh.)
a. Stres kronis
b. kemiskinan, perumahan miskin, pengangguran
c. Perceraian
d. Sering Berpindah tempat
C. Riwayat (Semua Jenis penganiayaan)
1. Riwayat saat ini
1) Kaji kemungkinan yang mengakibatkan masalah.
a. Menilai apakah masalah pengembangan secara bertahap. Intinya.
jika mereka tidak melakukan penganiayaan. mereka tidak akan
memar.
b. Catat apakah mekanisme cedera sesuai dengan cedera. Sebagai
contoh. anak usia 4 tahun cenderung cedera, patah atau lebih dari
itu karena terjatuh.
2) Evaluasi keadaan masalah yang muncul. Perhatikan jika pengasuh
memberikan cerita yang berbeda, jika cerita berubah seiring waktu,
jika cerita tidak jelas, atau jika ceritanya tidak lengkap. pengasuh dapat
saling menyalahkan atau kepada pihak ketiga.
3) Catat pengabaian pengasuh yang penyebab cedera atau jika pengasuh
"sangat bagus" dalam membawa masalah ke perhatian praktisi. seperti
dalam penggunaan MSP.
4) Catat jika pengasuh meminimalkan atau melebih-lebihkan gejala atau
jika pengasuh cemas saat membahas cedera.
5) Evaluasilah rasional jika orang tua menunda mencari pengobatan.
berharap bahwa cedera akan hilang dengan sendirinya. Normal
kembali, pengasuh mencari perhatian segera ketika seorang anak
mengalami kecelakaan.
6) menanyakan tentang kejadian yang memicu. Banyak pengasuh
melakukan kekerasan pada anak karna kejadian seperti menangis yang
terus menerus, BAB atau BAK. Kesulitan tidur. atau masalah disiplin
pada anak.
7) Tanyakan tentang keadaan saat ini. Banyak pengasuh yang
temperamental karna berada pada kondisi stres keuangan atau lainnya.
8) Kaji faktor-faktor predisposisi. termasuk penyalahgunaan zat obat
abatan oleh pengasuh
9) Kaji faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan penganiayaan.
a. Anak menyatakan bahwa pengasuh yang menyebabkan cedera.
b. Anak atau pengasuh berusaha menyembunyikan cedera dengan
menggunakan pakaian yang menetupi Luka.
2. Riwayat perkembangan kejiwaan
1) Tanyakan apakah pengasuh dekat dengan keluarga lain di lingkungan
dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Banyak pelaku tidak
melakukan keduanya.
2) Tanyakan apakah anak bertengkar dengan teman sekelas, bertingkah di
ruang kelas atau merusak sesuatu.
3) Tanyakan apakah anak menganiaya hewan.
4) Menanyakan tentang keikut sertaan Anak dalam perilaku bullying anak-
anak lain.
5) Pertanyaan tentang anak: kemampuan untuk berteman. anak-anak yang
mengalami pelecehan sulit untuk berteman.
6) Tanyakan apakah anak menghindari melakukan hal-hal dengan anak-
anak lain atau apakah anak menghindari melakukan hal-hal yang
menyenangkan.
7) Pastikan bahwa anak dibedakan: yaitu. Anak terlibat dalam perilaku
dewasa, seperti merawat orang dewasa di rumah tangga.
8) Tanyakan apakah anak berpartisipasi dalam perilaku kekerasan diri
9) Menanyakan tentang keaktivan dan kehadiran di sekolah. Kegagalan
sekolah dan kehadiran yang buruk dapat mengindikasikan penganiayaan,
seperti yang bisa terjadi meninggalkan sekolah lebih awal atau terlambat
ke sekolah .
10) Tanyakan tentang keinginan bunuh diri, gangguan makan, dan gangguan
tidur.
3. Riwayat masa lalu
1) Tanyakan tentang cedera sebelumnya. Riwayat Anak-anak yang sering
mengalami pelecehan yang sering tidak biasa atau tidak dapat dijelaskan.
2) Tanyakan tentang riwayat perawatan kesehatan. Anak mungkin belum
perna mendapatkan perawatan kesehatan sebelumnya atau Perawatan
kesehatan yang memadai, atau anak-anak mungkin telah dibawa ke
berbagai penyedia perawatan kesehatan atau ruang gawat darurat dalam
upaya untuk menutupi penganiayaan.
4. penilaian kekerasan fisik
a. Penilaian perilaku umum
1) Perhatikan anak untuk hal-hal berikut.
a) Kesedihan dan tangisan; depresi
b) Kelelahan
c) Ketidaksesuaian
d) ketakutan yang berlebihan
e) kekurangan kasih sayang
f) gelisah ketika anak-anak lain menangis
g) Takut pulang ke rumah
h) Agresivitas dan perilaku merusak
i) Apatis dan menarik diri
j) Perilaku pencarian perhatian
2) Menilai interaksi pengasuh anak untuk hal-hal berikut.
a) Cerewet anak untuk pengasuh
b) Takut akan pengasuh
c) Overprotective dari pengasuh
d) pangasuh menyalahkan anak untuk masalah perilaku atau gangguan
e) Perubahan perilaku dramatis pada anak ketika pengasuh pergi
b. Cedera kulit
1) Catat lokasi cedera.
a) Bagian belakang tubuh, mulai dari leher hingga lutut. Adalah lokasi
yang paling umum (atau cedera yang disengaja. Cedera kepala,
terutama pada anak-anak. mungkin kekerasa. Lutut, siku, dan
cedera tulang kering lebih mungkin dikaitkan Dengan cedera yang
tidak disengaja.
b) lokasi umum dan cedera mencakup hal-hal berikut
 Kepala; cedera kepala, rambut yang hilang atau rontok
 Wajah; Tanda “tamparan wajah”
 Mata: mata hitam bilateral. perdarahan konjungtiva
 Telinga: tanda tarik dan mencubit
 Mulut: laserasi dan memar ke bibir dan frenulum
 Leher tanda choke
 Tubuh, termasuk bokong: bekas gigitan. Penampilan lusuh.
Memar tali atau tanda benda lainnya
 Ekstremitas: keadaan. memar, tanda cambukan, tanda memar
genggaman, memar tali (tubuh yang diikat oleh tali)
 Alat kelamin: luka bakar. tanda pinch. tanda-tanda memar pada
alat vital.
2) Kaji lamanya waktu cedera. Tahap penyembuhan pada cedera berbeda
di lihat dari waktu kejadianya. Tahapan memar adalah sebagai berikut.
a) 0 hingga 5 hari: merah / ungu / biru
b) 5 hingga 7 hari: hijau
c) 7 hingga hari: kuning
d) 10 hingga 14 hari: coklat
e) 2 hingga 4 minggu: bersih
3) Catat karakteristik cedera.
a) Memar
 Nilai pola atau bentuk karena mungkin menunjukkan
mekanisme cedera.
 Contohnya termasuk tanda/ bekas tangan orang dewasa, tanda
sabuk, tanda dayung, tanda gantungan baju. dan tanda
mencubit.
b) Bekas gigitan
 Menilai bentuk oval sepasang bulan sabit yang merupakan
memar berupa gigitan. tingkat keparahan tergantung pada
lokasi. tingkat kekuatan, dan gerakan rahang dan kondisi
tubuh korban.
 Gigitan oleh anak-anak di bawah usia 8 tahun yang tidak
memiliki gigi permanen memiliki jarak kurang dari 1 di
antara gigi taring. oleh karena itu, gigitan orang dewasa dan
anak dapat dibedakan
 Ahli odontologi forensik dapat membantu
mendokumentasikan dan Memeriksa bekas gigitan.
 Fotografer polisi dapat memotret cedera tersebut kemudian
belajar untuk menentukan identitas orang yang menggigit
anak.
c) Luka bakar
 Nilai kedalaman, dan bandingkan dengan riwayat cedera.
Menilai,Kedalaman luka bakar adalah untuk melihat
temperatur, waktu pencahayaan, dan ketebalan kulit
exposedkin. Air pada 150 ° F bisa terjadi tingkat kedua terbakar
dalam 1,5 detik sementara 120 °F air membutuhkan waktu
sekitar 300 detik. Perkiraan antara cedera dan riwayat kejadian
penganiayaan.
 Amati adanya tanda percikan yang terjadi saat anak mencoba
untuk menarik diri dari sumber luka bakar. khususnya cairan
panas. Cairan normal megalir ke bawah, dan akan cenderung
dingin bagian yang mengalir. Karena itu. daerah proksimal
lebih parah terbakar dan meluas sementara daerah distal kurang
parah dan lebih sempit. Membuat Luka bakar, tanda percikan
tidak akan ada pada anak-anak yang bagian tubuhnya secara
paksa dimasukan dalam cairan panas.
 Amati luka bakar yang parah, yang paling sering secara sengaja
menyebabkan luka bakar pada anak-anak. bayi dan anak
biasanya dimasukkan kedalam cairan panas dan anak-anak
yang lebih tua biasanya disiram atau dituangkan pada mereka.
daerah dengan tanda luka bakar seperti 'tanda sarung tangan'
atau “kaus kaki”, menunjukkan bahwa anak ditempelkan oleh
cairan atau bahan yang panas.
 periksa perineum dan bokong. luka bakar di area ini mungkin
memiliki pola 'donat' (lingkaran kulit yang terbakar dari cairan
panas dan bak pendingin).
 amati “luka bakar zebra” yang dihasilkan dari anak yang
dipegang oleh tangan dan kaki di bawah keran air panas.
Kerutan di perut dan kaki bagian atas terhindar membuat pola
streped.
 perhatikan branding burns, yang mencerminkan garis besar
objek yang menyebabkannya (setrika, pengeriting rambut,
pemanas, hot plate, radiator, pisau panas).
 nilai untuk luka bakar rokok (excoriations kecil bulat), yang
biasanya ditemukan di tangan, telapak kaki, dan daerah
bokong.
 inspeksi untuk luka bakar gesekan pada pergelangan tangan
dan pergelangan kaki yang biasanya disebabkan oleh tali atau
dan digunakan untuk mengikat anak.
c. Trauma skeletal
1) Waspadai prinsip-prinsip umum.
a) Fraktur multipel tahap penyembuhan adalah dipertimbangkan.
b) Fraktur yang tidak jelas pada anak-anak di bawah 2 tahun
mengindikasikan penganiayaan.
c) Fraktur tulang panjang spiral pada anak yang tidak berjalan
menunjukkan penganiayaan.
d) Ledakan yang tidak jelas atau semburan dapat dideteksi mungkin
merupakan penganiayaan terhadap anak.
2) Menilai lokasi fraktur.
a) Pada anak di bawah 2 tahun, fraktur yang melibatkan pelat
epiphyseal metaphyseal. toraks. Scapula dan vertebra
mengidentikan adanya kekerasan. Fraktur terjadi karna
pemaksaan. yang tidak mungkin hanya terjadi karna jatuh kecil.
b) Fraktur metaphyseal-epiphyseal rib fractures and sternum fraktur
mengindikasikan penganiayaan ini biasanya disebabkan oleh
kompresi kekerasan dari seorang anak
c) Klavikula femoralis. humeri suprakondilaris. dan distal
ekstremitas Fraktur biasanya diakibatkan oleh cedera yang tidak
disengaja kecuali diidentifikasikan oleh penyebab lainnya.
3) hubungan lamanya faktur dengan riwayat meskipun tidak bias
dilakukan dengan ketepatan yang sangat baik. krangka waktu lebih
pendek pada bayi. dan lebih lama Pada anak-anak dengan malnutrisi
atau kronis penyakit yang mendasari. Fraktur tulang pipih (skull)
a) Pembengkakan jaringan lunak berkurang dalam 2 sampai 9 hari.
b) Tulang baru periosteal muncul sebagai x-ray sedini 4
hari.cedera.
c) kalus tulang panjang muncul 8 hingga 10 hari setelah cedera,
d) Kalus lunak berlangsung sekitar 3 hingga 4 minggu.
e) Kalus keras dan remodeling tulang terjadi selama beberapa
bulan.
d. Cedera sistem saraf pusat (pengeaniayaan merupakan penyebab umum
Dari kematian pada anak )
1) Sadarilah bahwa cedera dapat terjadi dari dampak langsung, seperti.
phyxia, atau shock.
2) Menilai trauma langsung seperti meninju, menampar, atau benda
dilemparkan ke kepala anak-anak.
3) Menilai atau cedera kepala.
a) Lihat bab cedera untuk tanda dan gejala cedera kepala.
b) Jatuh dari ketinggian 4 kaki atau kurang oleh anak-anak di bawah
2 tahun jarang menghasilkan patah tulang yang sederhana atau
rumit.
c) pelaku dilakukan jika terdapat fraktur tengkorak. dicatat pada
setiap anak dengan riwayat cedera ringan atau pada anak dengan
perdarahan retina.
d) “Mata Racoon” dapat dicatat pada anak-anak dengan subgleal
hematomas mengikuti traksi pada rambut dan kulit kepala.
e) Cedera kepala berikut biasanya ditimbulkan.
 Hematoma subgleal dan cephalhcmatoma (menarik rambut
secara kasar atau trauma tumpul;
 Scalp memar dan edema jaringan lunak (pukulan langsung)
 Hematoma subdural, perdarahan subarakhnoid, dan
perdarahan retina (shaken baby syndrom)
 Trauma kepala dan pelebaran trauma (trauma tumpul)
4) penilai untuk cedera tersedak.
a) keadaan Memar berbeda dari percobaan pencekikan dapat dicatat
pada leher
b) Sering ada tanda eksternal minimal ketika tersedak dan kendang
terdapat kondisi mati lemas pada cedera asfiksia.
5) Kaji sindrom bayi yang terguncang.
a) Gejala yang mungkin terjadi adalah pola makan yang buruk, muntah,
lesu atau iritabilitas yang terjadi sesaat atau selama berhari-hari atau
berminggu-minggu sebelum pemeriksaan kesehatan.
b) Jika kondisi anak tidaksadaran, pelaku mungkin akan mencari
bantuan, dengan harapan kondisi anak baik baik saja. kondisi anak
sering kejang atau koma, kesulitan mengisap, menelan dan tidak
dapat mengikuti gerakan. Dan tidak tersenyum atau bersuara, Banyak
bayi mengalami kegagalan respirasi, kesulitan yang dapat
berkembang ke apnea atau bradscardla, mengakibatkan kondisi
kardiopulmonal.
c) mencari bukti cedera
 memar adalah tanda-tanda cedera
 Perdarahan retina unilateral atau bilateral bisa tidak terdeteksi
kecuali diperiksa oleh dokter mata anak atau seorang praktisi
berpengalaman dengan perdarahan. Ukuran. jumlah. dan
karakter perdarahan: bervariasi dari kasus ke kasus. perdarahan
retina perubahan nonhemorrhagic. termasuk lipatan retina dan
retinosthisis traumatis. adalah karakteristik dari baby syndrome
shaken.
e. Cedera mata
1) Pertimbangkan sindrom bayi terguncang seperti disebutkan di atas.
2) Kaji tanda-tanda trauma langsung.
a) Abrasi
b) Perdarahan subconjunctivai
c) Fraktur menyeluru
d) Edema orbital
3) Fraktur menyeluru dan edema orbital dapat menyebabkan ekstraokular
dan mengubah sumbu visual dan ambilyopla.
4) Cedera ruang anterior. termasuk hifema. menandakan Severe trauma
tumpul.
f. Luka pada mulut dan wajah
1) Pertimbangkan penganiayaan ketika anak datang dengan kepala. leher.
Dan cedera rongga mulut.
2) Jika cedera jaringan lunak pada bibir maksila atau frenulum diamati.
dicurigai dipaksa makan. Namun. Cedera juga bias ketika objek keras
di masukkan ke dalam mulut anak.
3) Kaji untuk laserasi intraoral atau cedera mukosa yang mungkin
disebabkan oleh cedera akibat objek yang secara paksa dimasukkan ke
dalam mulut anak, terutama substansi panas atau kaustik.
4) Mengevaluasi anak untuk “sindrom telinga”. Yang dihasilkan dari
trauma tumpul ke telinga. dimanifestasikan oleh subperichrondral
hematoma dan cedera intracerebral terkait cidera kepala.
5) “Memar meja kopi”. memar di dahi. hidung. bibir bawah. dan dagu.
biasa terjadi pada anak kecil dan harus dibedakan dari cidera yang
ditimbulkan oleh penganiayaan
6) Trauma gigi mungkin merupakan penganiayaan dan biasanya
membutuhkan evaluasi oleh seorang dokter gigi
g. luka visceral (Penyebab paling umum kedua dari penganiayaan anak yang
menyebabkan kematian)
1) Kaji tanda dan gejala nyeri perut akut karena anak-anak Dengan
trauma tumpul. Manifestasi ini mungkin termasuk yang berikut.
a) Kekakuan
b) Menahan
c) Suara usus berkurang
d) Muntah
e) Nyeri perut
 Distensi Abdomen
 Pertimbangkan penyalahgunaan narkoba pada anak yang
mengalami muntah empedu yang tidak dapat dijelaskan.
demam atau iritasi peritoneum (hematom duodenum).
 Pertimbangkan trauma tumpul sebagai bagian dari diagnosis
banding anak-anak yang datang dengan keluhan abdomen
nonspesifik; atau gejala perut akut. Cedera termasuk
hematoma dinding bawel, perforasi usus, dan trauma atau
gans (hati, limpa, pankreas, atau ginjal).

D. Penilaian dari MSP
1) Ketahuilah bahwa MSP sangat sulit untuk dikonfirmasi.
2) Menilai atau indikator MSP
a. penyakit yang tidak jelas, berkepanjangan, atau sangat langka
b. Perbedaan antara riwayat dan temuan klinis
c. penyakit yang tidak responsif terhadap pengobatan
d. Gejala yang terjadi hanya ketika pengasuh ada
e. Anggota tim perawatan kesehatan tidak berminat
f. Pengasuh terlalu memperhatikan anak
g. Anggota keluarga dengan gejala serupa
3) Pantau anak untuk pemeriksaan umum, yang dapat dibuat atau dengan
bantuan.
a. Apnea, yang mungkin karena mati lemas, obat-obatan, racun
b. Kejang, yang mungkin disebabkan oleh obat-obatan, racun, asfiksia
c. Perdarahan, yang mungkin disebabkan oleh perdarahandi urin atau
muntahan atau perdarahan intravena.
d. Demam atau infeksi, yang disebabkan karena infeksi kotoran, air liur,
atau air yang terkontaminasi.
e. Muntah, yang bisa diinduksi dengan racun
f. Diare, yang dapat disebabkan oleh obat pencahar
E. Penilaian penganiayaan Emosional
1) Menilai indikator perilaku.
a. Anak
a) Gangguan kebiasaan (rocking menggigit, menarik rambut)
b) Menarik diri, depresi, apati
c) Ketakutan yang tidak biasa
d) Menciptakan bayak masalah, bertingkah
e) Perilaku ekstrem (sangat pasif atau sangat agresif: berlebihan)
f) Perilaku yang tidak sesuai usia
g) Mencoba bunuh diri
b. pengasuh
a) Menempatkan tuntutan tidak realistis kepada anak
b) Menjadikan anak sebagai tempat pelampiasan masalah
perkawinan atau memuaskan masalah mereka sendiri tuntutan ego
c) Menganggap anak sebagai 'barang' atau memperlakukan anak
sebagai objek
2) Amati atau fisikindikator.
a. Kegagalan tumbuh kembang
b. Keterlambatan perkembangan
c. Masalah asupan nutrisi
d. Enuresis
e. Masalah tidur
F. Pengabaian
1) Physica (pengabaian kebutuhan, seperti makanan dan tempat tinggal)
a. Amati indikator perilaku.
a) Bayi Tidak aktif, pasif
b) Anak meminta atau mencuri makanan.
c) Masalah kehadiran di sekolah (pulang lebih awal, atau
terlambat).
d) Laporan anak tidak memiliki pengasuh
b. Kaji indikator fisik.
a) Malnutrisi
b) Kelaparan atau kelelahan yang konstan
c) Kebersihan yang buruk
d) Pakaian yang tidak pantas
e) Botak pada bayi (bisa juga karena tidur di punggung karena
pencegahan sindrom kematian bayi mendadak)
f) Perawatan medis atau gigi yang tidak memadai
c. Bertanya tentang faktor-faktor lain.
a) Kurangnya pengawasan yang memadai
b) Pengabaian
c) Perawatan kesehatan yang tidak memadai
d) Masalah rumah tangga (kondisi tidak aman, kurang pemanasan
ruangan, makanan yang tidak memadai)
2) Emosional (melibatkan kegagalan untuk memenuhi kebutuhan anak akan
perhatian, kasih sayang, dan pengasuhan emosional)
a. Amati indikator perilaku.
a) Ketakutan berlebihan
b) Menarik diri, depresi. apati, kesedihan. tidak responsive
c) Kejahatan. perilaku antisosial
d) Perilaku pencarian perhatian
e) Penyalahgunaan narkoba dan alcohol
f) Masalah sekolah
b. Evaluasilah untuk indikator fisik.
a) Menilai kegagalan untuk berkembang.
b) Amati keterlambatan perkembangan
G. Tes Diagnostic
1) penganiayaan fisik
a. Melakukan penilaian hematologi pada anak-anak dengan memar. Jika
tidak ada bukti kelainan perdarahan. Suspek kekerasan.
a) Hitung darah lengkap (CBC) dengan diferensial. Termasuk
jumlah trombosit
b) Waktu Prothrombin
c) Waktu tromboplastin parsial
b. Lesi luka bakar untuk membedakannya dari lesi infeksius.
c. Jika ada anak dengan kemungkinan trauma abdomen. Anemia
menunjukkan perdarahan: hematuria. Ginjal trauma dan peningkatan
amilase. trauma pancreas
a) CBC
b) Urinalisis
c) Penelitian fungsi hati
d) Amilase
d. Dapatkan memar pada skeletal untuk menentukan adanya luka
tambahan atau displasia skeletal.
e. Dapatkan hasil scan tomografi dan resonansi magnetic pemeriksaan
pada anak yang datang dengan cedera kepala. Kombinasi pada dua tes
membantu untuk mengetahui perdarahan intrakranial.
f. keadaan perut untuk menunjukkan motilitas yang tidak teratur. Pola
dengan tingkat cairan udara atau pembengkakan di usus. dapatkan
pemeriksaan lain untuk menunjukkan gangguan organ atau
pendarahan. Udara bebas di bawah diafragma menandakan perforasi
usus.
2) MSP
Pemeriksaan tergantung pada gejala yang ada.
3) Penganiayaan emosional
anak mungkin memerlukan rujukan untuk phsychiatric untuk
mengesampingkan gangguan psikatrik, yang mungkin tidak terkait dengan
penyalahgunaan
4) Pengabaikan
Studi diagnostik biasanya tidak diperlukan.
H. Diferensial Diagnosis
1) Penganiayaan fisik
a. Memar
a) Gangguan pendarahan: purpura. Hemophilia
b) Cedera childhomi normal: seperti disebutkan di atas
c) Shinets alergi: lingkaran hitam di bawah mata
d) Bintik-bintik Mongolia: lebih punggung bawah dan pantat kulit
gelap
e) Coining dan cupping (praktik budaya untuk mengobati penyakit):
biasanya terlihat di sepanjang tulang rusuk dan tulang belakang
f) Reaksi Phytophotodermatitis-fotoxic yang terjadi di kulit saat
kontak dengan tanaman tertentu atau kontak dengan matahari
g) Reaksi hipersensitivitas
h) Erythema multilorme
i) Erythema nodosum
j) Lymphangiomas
k) Pewarna pakaian. Terutama dari jeans biru
b. luka bakar
a) Impetigo
b) Nekrolisis epidermal toksik
c) Epidermolyst bulosa
d) Moxibustion (praktek medis Cina yang mendorong luka bakar
pada area kulit yang berhubungan dengan organ)
e) Immunobullous disoders
f) Letusan obat
g) Dermatitis popok (ruam popok)
c. Trauma skeletal: osteogenesis imperfecta, rakhitis. penyakit kudis,
osteodistrofi, osteomielitis, sifilis kongenital, dan neoplasma)
d. Trauma kepala
a) Trauma yang menetap
b) Perdarahan spontan anomali vascular
c) Tanda-tanda cedera ventrikel
d) Gangguan rambut rontok
 Alopecia areata
 Trichotillomania
2) MSP
Penyakit yang tidak terdeteksi
3) Penganiayaan emosional
Gangguan kejiwaan tidak disebabkan oleh pelecehan anak
4) Pengabaian.
a. Kemiskinan dan tunawisma
b. Retardasi mental orang tua
c. Retardasi mental anak atau gangguan kejiwaan
II. Penganiayaan seksual
A. Pelaporan Penganiayaan
1. Umum
1) Waktu rata-rata dari penganiayaan hingga pengungkapan adalah 3
tahun.
2) Terkadang penganiayaan ditemukan secara tidak sengaja karena anak
mengungkapkan gejala.
3) Kadang-kadang, pemeriksaan kesehatan sulit mengungkapkan hasil
temuan kelainan.
2. Tahap sindrom penganiayaan seksual anak
1) Kerahasiaan
2) Ketidakberdayaan
3) Entrapment dan akomodasi
4) Pelaporan kejadian yang lama dan tidak meyakinkan
5) ketidak jelasan dari dugaan penganiayaan
B. Faktor kontribusi
1. Pelaku
1) Riwayat pelecehan seksual saat masih anak-anak
2) Gairah seksual pada anak-anak dan keinginan untuk bertindak
penganiayaan
3) Penyalahgunaan narkoba dan alkohol
2. Anak
1) Anak itu rentan (keterbelakangan mental, mencari perhatian).
2) Sebagian besar perempuan.
C. Riwayat
1. Penyajian
1) Pastikan alasan untuk berkunjung.
a. Pemeriksaan kesehatan rutin untuk kunjungan penyakit yang
mencakup pelecehan seksual sebagai bagian diagnosis diferensial.
b. Penyalah gunaan seksual anak di bawah oleh orang tua untuk di
evaluasi.
c. Anak-anak dibawa oleh layanan sosial atau penegakan hokum
personil untuk evaluasi kemungkinan pelecehan sebagai bagian dari
pemeriksaan.
d. Anak-anak dibawa ke IGD setelah dicurigai mendapatkan pelecehan
untuk evaluasi, pengumpulan bukti, dan manajemen krisis.
2) Kaji gejala presentasi.
a. Gejala mungkin samar: sakit perut, sakit kepala, kelelahan, enuresis,
encopresis, masalah tidur, fobia, menurun nafsu makan, dan
hiperaktif
b. Gejala mungkin spesifik: perdarahan genital atau rektal, secara
seksual penyakit menular, dan perkembangan tingkah laku seksual
yang tidak biasa.
c. Pernyataan yang jelas oleh si anak adalah indikator terbaik pelecehan
terjadi.
3) Pertanyaan kepada anak tentang kejadian.
a. Minta anak untuk menceritakan apa yang terjadi.
b. Tanyakan pada anak apakah hal seperti ini pernah terjadi
sebelumnya, dan jika demikian, ditanyakan apa yang terjadi waktu
itu.
c. Tanyakan siapa yang melakukannya.
d. Tanyakan apakah ada orang lain yang melakukannya pada anak.
e. Tanyaan seberapa sering terjadi.
f. Tanyakan di mana orang lain (ibu) ketika hal itu terjadi.
g. Cari tahu apakah anak memberi tahu seseorang. jika iya, cari tahu
siapa dan apa yang mereka lakukan.
h. ketika bertanya kepada anak, gunakan pertanyaan yang jelas, hindari
menunjukkan emosi, dan pertahankan pendekatan yang lebih baik.
4) Dapatkan riwayat indikator perilaku.
a. Di bawah usia 5 tahun; regresi, gangguan makan atau gangguan
toilet, amarah, permintaan untuk perubahan suasa yang sering, dan
perilaku ketergantungan
b. Usia 5 hingga 10 tahun: masalah sekolah, takut pada malam hari,
masalah tidur, kecemasan, menarik diri, penolakan aktivitas fisik,
dan perilaku yamg tidak pantas
c. Masa remaja: masalah sekolah, melarikan diri. kejahatan, pergaulan
bebas, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, gangguan makan,
depresi. dan masalah psikologis penting lainnya, upaya bunuh diri
5) Dapatkan informasi mengenai reaksi keluarga terhadap kejadian.
a. Tanyakan kepada orang tua bagaimana mereka melihat kejadian
tersebut.
b. Cari tahu bagaimana mereka bereaksi untuk mencari tahu tentang
kejadian.
c. Tanyakan apakah orang tua sudah bercerai. Pastikan apakah dugaan
itu muncul selama perselisihan hak asuh. Bedakan apakah kejadian
terjadi sebelum atau sesudah pemisahan orang tua.
2. Riwayat perkembangan
3. Riwayat psikososial
4. Riwayat masa lalu
1) Pastikan riwayat pelecehan sebelumnya.
2) Dapatkan tinjauan sistem.
5. Riwayat keluarga
1) Dapatkan riwayat kesehatan fisik dan mental orang tua, termasuk
penyalahgunaan zat.
2) Pastikan apakah orang tua juga mengalami pelecehan seksual saat kanak-
kanak.
3) Tanyakan tentang kesehatan dan status perkembangan saudara kandung.
4) Tanyaklan tentang kekerasan keluarga.
5) tanyakan masalah stress yang ada saat ini di keluaraga.
6) Cari tahu tentang sistem dan sumber daya dukungan keluarga.
D. Pemeriksaan fisik
1. Parameter umum
a. Pemeriksaan fisik di tegakkan dengan riwayat pelecehan dan temuan
laboratorium.
b. Temuan fisik sering tidak ada bahkan jika pelaku mengakuinya untuk
penetrasi. Banyak jenis pelecehan seksual tidak meninggalkan bukti fisik
dan luka mukosa sembuh dengan cepat.
c. Melakukan pemeriksaan segera jika dugaan pelecehan terjadi dalam 72
jam terakhir atau jika ada cedera akut atau perdarahan.
1) Ikuti prosedur yang berlaku untuk prosedur hukum pelecehan seksual
pada anak untuk melindungi bukti jejak biologis, seperti sel epitel,
air mani. dan darah.
2) Hati-hati untuk melindungi bukti pemeriksaan.
d. Pemeriksaan darurat tidak diperlukan jika 72 jam berlalu sejak kejadian
yang dituduhkan atau jika tidak ada cedera akut. Namun, pemeriksaan
harus dijadwalkan paling cepat.
e. Jika anak tidak dapat bekerja sama, pertimbangkan memberikan sedasi.
f. Gunakan instrumen untuk melakukan pemeriksaan fisik.
1) Colposcope dapat digunakan selama pemeriksaan anogenital untuk
menyediakan pembesaran 5x hingga 30x dan untuk memungkinkan
foto atau dokumentasi video.
2) Kepala otoskop atau lensa pembesar yang menyediakan 2,5 x
hingga 3x pembesaran dapat memberikan amplifikasi yang
memadai.
g. Hati-hati mendokumentasikan tanda-tanda trauma menggunakan diagram
rinci atau fotografi.
2. Lakukan penilaian lengkap.
3. Evaluasilah anak untuk tanda-tanda kekerasan fisik dan emosional
4. Kaji alat kelamin perempuan (Pernyataan Kebijakan AAP RE9819, 1999).
1) Periksa aspek medial paha, labia majora dan minora, klitoris, uretra, jaringan
periurethral, selaput dara, pembukaan himen, lossa navicularis, dan
fourchette posterior.
a. Beberapa faktor mempengaruhi ukuran orifisius himen dan paparan
selaput dara dan struktur internalnya.
a) Tingkat relaksasi anak
b) Jumlah daya tarik pada labia majora
c) Posisi anak (terlentang, lateral, atau lutut ke dada)
b. Teknik penilaian kurang akurat dari pada memaksimalkan Tampilan
dan merekam metode dan hasil.
c. Pemeriksaan digital dan spekulum tidak boleh dilakukan pada anak-
anak prapubertas.
2) beberapa temuan mengkhawatirkan tetapi bukan diagnosis
penyalahgunaan
a. Pembesaran dari pembukaan himen
b. Bekas luka atau cairan labia minora
c. Abraston atau memar di paha bagian dalam dan alat kelamin
3) Beberapa temuan lebih memprihatinkan.
a. Bekas luka, cairan. atau distorsi selaput dara
b. Menurunnya jumlah atau tidak adanya jaringan himen
c. Bekas luka dari fossa navicularis
d. cedera atau jaringan parut pada fourchette posterior
5. Kaji alat kelamin laki-laki (Pernyataan Kebijakan AAP RE9819, 1999).
1) periksa paha. penis. dan skrotum.
2) Kaji hal-hal berikut: memar. jaringan parut, lecet, bekas gigitan.
3) Carilah temuan lain (Moody, i999): merobek kulit, tanda lecet. tanda-tanda
penyempitan, dan laserasi
6. Periksa anus pada kedua jenis kelamin (Pernyataan Kebijakan AAP RE9819;
Moody,1999)
1) Gunakan posisi terlentang. lateral. atau posisi lutut-dada.
a. Posisi dapat mempengaruhi penampilan anatomi.
b. Posisi dada lutut harus dihindari karena itu kemungkinan posisi di
mana anak itu disalahgunakan.
c. Posisi kiri berbaring memungkinkan visualisasi langsung anus dan
kulit perianal. Posisi ini baik untuk pemeriksaan menunjukkan
tingkat tertentu, pembengkakan pcrianal dan vena saat ditempatkan
di lutut posisi dada selama lebih dari 2 menit.
2) Pemeriksaan digital biasanya tidak diperlukan.
3) Menilai hal-hal berikut.
a. Memar
b. Bekas luka
c. cairan anal (terutama yang meluas ke sekitarnya daerah perianal)
d. Kelemahan sfingter
e. Dilatasi dubur> 20 mm
E. Penegakan diagnostic
1. Jika kekerasan terjadi dalam 72 jam setelah pemeriksaan, lakukan Studi
forensik.
2. Dapatkan riwayat untuk penyakit menular seksual (PMS) (oral, uretra. vagina,
dan dubur).
1) Pertimbangkan hal-hal berikut ketika membuat keputusan untuk
mendapatkan riwayat.
a. Kemungkinan kontak oral, genital, atau dubur
b. Kejadian lokal STD
c. Ada gejala pada anak
2) Uji hal-hal berikut: Human immunodeficiency virus (HIV), gonorrhea,
sifilis. klamidia, dan hepatitis B.
3) Jika anak sudah dewasa, tes trichomonas dan Gardnerella vaginalis.
4) Jika kondiloma genital atau pertanal dicatat, dapatkan informasi mengenai
papiliomavirus manusia. Jenis tertentu dicatat pada orang dewasa, catat
yang lainya seperti tipe 2, menyebabkan kutil umum.
5) Implikasi dari diagnosis STD untuk pelaporan anak pelecehan adalah
sebagai berikut.
a. Gonore yang tidak didapatkan perinatal adalah diagnosis laporan
pelecehan seksual.
b. Sifilis yang tidak didapat secara perinatal adalah diagnosis seksual
laporan pelecehan.
c. HIV yang tidak didapatkan secara perinatal atau transfusi yang
didapat adalah diagnostic laporan pelecehan seksual.
d. Chlamydia yang tidak didapat perinatal adalah diagnostic laporkan
pelecehan seksual.
e. Kondyiomata acuminata yang tidak diperoleh secara perinatal adalah
sangat dicuriga terhadap laporan pelecehan seksual.
f. Herpes dicuriga terhadap laporan pelecehan seksual, kecuali ada bukti
yang jelas tentang autoinoculation.
g. Vaginosis bakterial (Gardnerella) tidak dapat disimpulkan tindak
lanjut medis,
3. jika anak mengalami pascapubertas, dapatkan tes kehamilan.
4. Lakukan tes guaiac bangku jika penetrasi dicurigai.
F. Diagnosis Banding
1. Beberapa gejala mungkin tidak spesifik, seperti eritema pada vulva.
2. Memar yang tersebar luas bisa menjadi tanda gangguan perdarahan.
3. Cedera straddle dapat disaksikan, dan biasanya sebagai berikut.
a. Unilateral atau anterior
b. Menghasilkan memar yang jelas dan edema dari alat kelamin eksim
c. Jarang mempengaruhi selaput dara
4. Lichen sclerosis adalah kondisi dermatologi yang dimanifestasikan oleh nyeri
kelamin dan perdarahan subpendymal. biasanya mempengaruhi daerah vulva
dan perianal dan memiliki penampilan jam pasir.
5. Infeksi streptokokus dapat menghasilkan kemerahan di vagina
6. Kotoran berbau busuk dapat menandakan benda asing.
7. Higiene yang buruk dan infestasi cacing kremi dapat menyebabkan kemerahan
dan pruritus.
8. Organisme yang ditularkan secara nonseksual lainnya, seperti Candida, dapat
menyebabkan keluarnya cairan.
9. Lesi dubur / dubur dari penyakit Crohn mungkin keliru pelecehan.
10. pemeriksaan yang salah harus di pertimbangkan.
a. Anak memiliki masalah kesehatan mental yang serius.
b. Anak adalah bagian dari perselisihan antara orang tua, khususnya tahanan
Fight.
c. Anak memberikan jenis pernyataan berikut.
11. kurang detail tentang kejadian
1) Memiliki inkonsistensi penting
2) Muncul hayalan di bawah sadar
3) Anak tampak terpengaruh dengan menceritakan apa yang terjadi.
III. Serangan Seksual Remaja
A. Masalah hokum
1. Praktisi diminta untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan, termasuk
memperkosa.
2. Beberapa negara bagian memerlukan pemberitahuan orang tua jika terjadi
pelecehan seksual anak di bawah umur.
3. Persetujuan untuk perlakuan perkosaan tidak sama dengan persetujuan untuk
pengumpulan bukti. Izin harus diperoleh untuk melakukan pembuktian penuh
pemeriksaan dan untuk melaporkan bukti kepada polisi.
4. Peran praktisi adalah untuk mendokumentasikan bukti, bukan untuk
menentukan apakah pemerkosaan telah terjadi. Praktisi harus menganggap
korban mengatakan yang sebenarnya dan dengan demikian melakukan evaluasi
menyeluruh dan menyimpan catatan akurat.
5. Undang-undang negara menentukan isi dari evaluasi forensik, dan
pemerkosaan tersedia untuk pengumpulan bukti.
B. Faktor risiko
1. Remaja yang terlibat dalam perilaku berisiko merusak penilaian. seperti
penggunaan narkoba dan alkohol, berada pada peningkatan risiko pemerkosaan.
2. Remaja dengan keterbelakangan mental berisiko tinggi.
3. Para korban perkosaan sering memiliki ciri-ciri tertentu: seperti lingkungan
(mahasiswa baru, sekolah baru, baru di kota): tidak memiliki sistem dukungan
sosial yang kuat; dan tidak terlalu tegas dalam membangun batas dengan orang
lain.
4. Laki-laki yang berisiko untuk perkosaan sesama jenis termasuk mereka yang
dipenjara, pemuda jalanan, homoseksual laki-laki muda, dan remaja yang orang
tuanya memiliki riwayat pelecehan seksual.
C. Evaluasi Medis
1. Pemerkosaan adalah keadaan darurat medisdan psikologis. intervensi yang
ideal untuk kasus ini adalah pusat multidisiplin yang memiliki personil dilatih
untuk merawat anak dan remaja perkosaan. Namun, perkosaan terjadi di daerah
di mana tidak ada pusat multidisiplin.
2. Berikut ini adalah tujuan pemeriksaan awal.
1) Obati cedera dan infeksi
2) Mencegah kehamilan
3) Kumpulkan bukti
4) Kaji status psikologis klien dengan rujukan untuk menetapkan konseling
3. Prinsip-prinsip umum termasuk yang berikut ini.
1) Jangan terburu-buru dalam pemeriksaan.
2) Sadarilah bahwa pemeriksaan dapat dianggap sebagai intrusive
pemerkosaan itu sendiri.
3) Gunakan protokol perkosaan untuk mengurangi kemungkinan kesalahan
proses pengumpulan bukti.
4) Jangan membuat asumsi yang tidak pantas tentang korban pada kondisi
psikologis korban.
a. Respons klien bervariasi
b. Beberapa klien berada dalam kondisi shock: yang lain dalam
penyangkalan.
c. Banyak klien merasa malu, bersalah, dan cemas terhadap keduanya
pelecehan dan pemeriksaan.
5) Jelaskan semua prosedur, dan hindari pertanyaan yang membuat remanja
menjadi sangat tidak nyaman.
6) Jangan melanjutkan pemeriksaan ketika klien tidak ingin diperiksa.
D. Riwayat
1. Dokumen waktu, tanggal, dan lokasi dari kejadian dan pemeriksaan.
2. Mulailah dengan riwayat medis yang relevan karena mungkin traumatis Ingatan
terhadap kejadian tersebut.
1) Riwayat haid lengkap.
a. Umur saat menstruasi
b. Tanggal periode menstruasi terakhir
c. Frekuensi menstruasi
d. Penggunaan pembalut
e. Riwayat kehamilan, aborsi, keguguran
2) Dapatkan riwayat reproduksi lebih lanjut pada kedua jenis kelamin.
a. Riwayat vaginitis dan penyakit menular seksual
b. Aktivitas seksual
c. Penggunaan alat kontrasepsi
3) Cari tahu apakah ada cedera yang sudah ada sebelum kejadian.
4) Tanyakan tentang riwayat cedera anogenital sebelumnya, operasi.
Diagnostic prosedur, atau perawatan medis.
5) Kaji riwayat kekerasan anak.
3. Pertanyaan tentang kejadian dengan cara yang tenang dan sensitif.
1) Tanyakan tentang hubungan antara klien dan yang pelaku.
2) Minta remaja menjelaskan kejadian dengan kata-katanya sendiri.
3) Bertanya tentang penggunaan zat sebelum dan selama kejadian.
4) Ringkaskan tindakan yang dijelaskan oleh klien.
a. Kontak genital dengan penis, jari, benda asing, dan sebagainya
b. Kontak anal dengan penis, jari, benda asing, dan sebagainya
c. Senggama langsung alat kelamin korban oleh pelecehan atau
pelecehan oleh korban
d. Sanggama langsung dari anus korban oleh penyerang atau penyerang
oleh korban
e. Gejala fisik, seperti nyeri, retensi urin. enuresis. pendarahan, dan
keluarnya cairan
f. Gejala perilaku, seperti gangguan tidur dan makan, agresivitas, dan
bertindak secara seksual
E. Penilaian Fisik
1. Melakukan penilaian psikologis.
1) Kaji status mental.
2) Mengevaluasi kemampuan klien untuk menghadapi masalah.
2. Dapatkan tanda-tanda Vital.
3. periksa rongga mulut untuk tanda-tanda trauma dan infeksi.
4. Wanita
1) Lakukan pemeriksaan genitalia eksternal.
a. Posisi pemeriksaan yang digunakan; lithotomy lebih disukai. Juga
catat metode yang digunakan untuk pemeriksaan (visualisasi langsung,
kolposkopi, kaca pembesar genggam).
b. Menilai tahap Tanner.
c. Periksa paha dan perineum untuk tanda-tanda trauma, memar, air
mani. dan darah. Mulai kumpulkan bukti forensik seperti yang
dijelaskan di bawah.
d. Palpasi nodus inguinalis untuk adenopati, yang mungkin menunjukkan
sedang atau sebelumnya.
e. Periksa genitalia eksterna untuk tanda-tanda trauma.
a) periksa labia majora dan minora, meatus uretra, periurethral
jaringan, dan klitoris. Klitoris mungkin eritematosa dan membesar
karena rangsangan intens; ini normal dalam 1 hingga 2 jam.
b) Hati-hati memeriksa selaput dara. cairan himal tidak diagnostic
Pelecehan, hasil dari nonrape trauma, seperti penggunaan
pembalut secara paksa. Untuk mengidentifikasi cairan segar,
menggulung kapas yang dilembabkan dengan garam sekitar tepi
selaput dara, gunakan otoskop, atau terapkan toluidine biru ke
margin himen. Kolposkopi dapat digunakan untuk tujuan ini.
c) Ukur lebar pembukaan himen.
2) Lakukan pemeriksaan spekulum.
a. Lihat bab ginekologi untuk teknik.
b. Kumpulkan spesimen.
c. Jika remaja tidak dapat mentoleransi pemeriksaan, kumpulkan specimen
dengan penyeka kapas.
3) Lakukan pemeriksaan bimanual dan rektovagina jika ditoleransi.
5. laki-laki
1) Menilai tahapan penyamaran.
2) Periksa dan kulit, kelenjar, batang penis, testis, epididimis. dan vas deferens
untuk tanda-tanda infeksi atau trauma.
3) Palpasi nodus inguinalis. Adenopati dapat mengindikasikan infeksi proses
berkelanjutan.
6. Pemeriksaan dubur (kedua jenis kelamin)
1) Lakukan pemeriksaan, terutama jika klien disodomi.
2) Periksa anus, cari wasir eksternal, perdarahan rektal,fisura, fistula, eritema,
dan pembengkakan.
3) Lakukan pemeriksaan digital. periksa sfingter, internal dan saluran eksternal,
dan prostat (laki-laki).
4) Anoscope berguna untuk memvisualisasikan saluran. Jika tidak tersedia,
membuat model shift dengan menggunakan tabung tes kosong dan lampu
senter atau otoskop.
F. Data Forensik (Termasuk Pengujian Diagnostik)
1. Bukti dikumpulkan selama pemeriksaan fisik.
2. Gunakan perlengkapan fasilitas pemeriksaan Anda untuk specxmen
3. Kumpulkan bukti sesuai protokol. Berikut ini direkomendasikan Prosedur.
1) Kumpulkan rambut publc yang disisir dan diambil.
2) Dapatkan sekresi basah dari dalam vagina.
3) Dapatkan sekresi basah dan fixed smear untuk mendeteksi keduanya metrik
dan sperma mati. Tes DNA (sidik jari) pada air mani specxmens dapat
membantu mengidentifikasi pelaku.
4) Kumpulkan aspirasi vagina lor acld phosphatase.
5) Kumpulkan aspirasi vagina untuk pengujian p30 dan MH-S.
6) Dapatkan kultur serviks untuk Chlamydia dan gonore.
7) Dapatkan kultur rektum meskipun sodomi belum terjadi.
8) Dapatkan kultur oral jika fellatlo terjadi.
9) Amankan sekresi kering dari kulit, pubichair, atau pakaian (atau analisis.
10) Lakukan tes darah untuk hal-hal berikut.
a. ABO mengetik
b. Sipilis
c. Human immunodehctency virus
d. Kehamilan
BAB III
ANALISA JUORNAL
Judul Childhood Sexual Violence in Indonesia: A
Systematic Review
Kekerasan Seksual Anak di Indonesia:
Tinjauan yang Sistematis

Penulis Lauren Rumble1 , Ryan Fajar Febrianto2 ,


Melania Niken Larasati1 , Carolyn
Hamilton3 , Ben Mathews4 , and Michael P.
Dunne4
Tahun / Tempat 2018 / Indonesia
Abstrak Hanya ada sedikit penelitian tentang
prevalensi kekerasan seksual masa kanak-
kanak (CSV) serta risiko dan perlindungan
faktor untuk CSV di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah
termasuk Indonesia. Pencarian sistematis
dilakukan dalam bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia,
Indonesia dalam tinjauan ini
mengidentifikasi 594 catatan yang
diterbitkan antara tahun 2006 dan 2016
dalam jurnal peer-review dan literatur
lainnya termasuk 299 catatan bahasa
Indonesia. Lima belas studi, termasuk
sembilan studi prevalensi, memenuhi
kriteria penilaian kualitas yang
dikembangkan untuk ulasan ini. Kajian ini
menemukan bahwa penelitian CSV langka:
Hanya satu penelitian yang memasukkan
prevalensi perwakilan secara nasional
perkiraan. Berbagai definisi untuk CSV,
metode survei, dan karakteristik sampel
membatasi generalisasi data. Itu bukti-bukti
yang ada menunjukkan adanya risiko
kekerasan seksual yang signifikan yang
mempengaruhi anak perempuan dan anak
laki-laki di banyak geografis dan
kelembagaan pengaturan. Gadis remaja
yang sudah menikah rentan terhadap
kekerasan seksual oleh pasangan di rumah
mereka. Anak-anak di sekolah rentan
terhadap CSV oleh teman sebaya dan orang
dewasa. Korban jarang mengungkapkan
insiden dan jarang mencari dukungan.
Selain itu, anak usia dini pengalaman
trauma sangat terkait dengan tindak
kekerasan seksual dan revictimization.
Informasi terbatas tersedia tentang faktor
pelindung. Ulasan ini mensintesis bukti
tentang apa yang saat ini diketahui tentang
CSV di Indonesia dan mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan dari penelitian
yang ada. Basis bukti yang lebih kuat
mengenai CSV diperlukan untuk lebih
menginformasikan kebijakan dan
membenarkan investasi ke dalam program
pencegahan.
Latar belakang Ada penelitian yang relatif sedikit dan
tingkat kekerasan seksual masa kanak-
kanak (CSV) di negara-negara
berpenghasilan menengah (LMICs)
termasuk mayoritas negara-negara muslim.
Indonesia memiliki populasi Muslim
terbesar ketiga di Indonesia dunia dan
merupakan rumah bagi hampir 90 juta anak-
anak (Dunia Bank, 2017). Ada kekurangan
bukti secara keseluruhan CSV di negara
yang luas ini, meskipun kemungkinan
dampaknya pada individu, komunitas, dan
ekonomi (Fang et al., 2015; Fry, McCoy, &
Swales, 2012).
Tinjauan sistematis global telah menyoroti
kerentanannya anak perempuan dalam
kaitannya dengan CSV, tetapi anak laki-laki
juga terpengaruh. Antara 8% dan 31% anak
perempuan dan 3% dan 17% anak laki-laki
mengalami CSV di seluruh dunia (Barth,
Bermetz, Heim, Trelle, & Tonia, 2013;
Pereda, Guilera, Forns, & Go´mez-Benito,
2009; Stoltenborgh, van Ijzendoorn, Euser,
& BakermansKranenburg, 2011), meskipun
perkiraan lainnya jauh lebih tinggi (Sumner
et al., 2015). Mirip dengan angka global,
perkiraan untuk CSV di Asia Tenggara
sangat bervariasi; Namun, baru-baru ini
ulasan tentang 40 studi pelecehan anak di 14
negara di wilayah ini menyimpulkan bahwa
sekitar 10% anak laki-laki dan 15% anak
perempuan telah mengalami setidaknya satu
bentuk kekerasan seksual di dalam mereka
masa kecil (Fry & Blight, 2016). Angka-
angka ini tidak bisa diambil untuk mewakili
gambaran prevalensi yang komprehensif,
karena dapat dipercaya data perwakilan
nasional belum ada di banyak LMIC.
Variasi mencolok dalam perkiraan
prevalensi di dalam dan antar negara dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, tidak yang
paling kurang adalah konsensus
internasional tentang definisi dan metode
penelitian untuk melakukan survei populasi
perwakilan nasional (Hillis, Mercy, Amobi,
& Kress, 2016; Kelompok Kerja
Antarlembaga di Luksemburg, 2016)
termasuk di Asia Tenggara (Dunne et al.,
2015). Di mana data resmi ada, sejauh mana
sebenarnya CSV sering kurang terwakili
karena tidak dilaporkan di semua
pengaturan (World Health Organization
[WHO], 2013, 2014).
Negara-negara LMIC, termasuk Indonesia,
juga menderita kurangnya penelitian yang
ketat mengenai risiko dan perlindungan
faktor untuk CSV, meskipun beberapa
upaya telah dilakukan (Behrman, Peterman,
& Palermo, 2017; Breiding et al., 2011;
Jewkes, Nduna, Jama-Shai, Chirwa, &
Dunkle, 2016; Meinck, Cluver, Boyes, &
Mhlongo, 2015). Itu penelitian yang ada
tentang driver CSV di Asia Tenggara telah
menghasilkan berbagai temuan termasuk
fungsi keluarga yang buruk dan hubungan
orangtua-anak yang berkualitas rendah
(Choo, Dunne, Marret, Fleming, & Wong,
2011), sistem hukum yang lemah dan / atau
kebijakan yang tidak efektif untuk
melindungi anak-anak (Maternowska,
Potts, & Fry, 2016), dan tidak adanya ibu
biologis (Ravi & Ahluwalia, 2017).
Beberapa multinegara penelitian telah
mengidentifikasi pernikahan anak, atau
pernikahan sebelum 18 tahun, sebagai
menempatkan anak perempuan pada risiko
kekerasan seksual oleh mitra mereka
(Kidman, 2016; Peterman, Bleck, &
Palermo, 2015). Norma dan keyakinan
sosial tentang gender kesetaraan juga dapat
mempengaruhi risiko kekerasan seksual di
antara anak perempuan (Heise & Kotsadam,
2015). Secara keseluruhan, anak-anak yang
tinggal di LMIC rentan terhadap CSV dan
bentuk-bentuk kekerasan lain karena
kemiskinan, marjinalisasi, diskriminasi,
urbanisasi (Barrientos, Byrne, Pen˜a, &
Villa, 2014), pelembagaan (Sherr, Roberts,
& Gandhi, 2017), dan kekerasan sosial
(Rubenstein & Stark, 2017; Walker et al.,
2011). Sebaliknya, anak-anak di LMIC
dapat memperoleh manfaat dari pelindung
faktor-faktor seperti integrasi lingkungan
dekat, relative rendahnya tingkat isolasi
sosial di antara anak muda, dan penggunaan
narkoba dan alkohol yang rendah, antara
lain (Ji, Finkelhor, & Dunne, 2013;
Wessells, 2015). Namun, ada sedikit
konsistensi dalam bukti tentang faktor-
faktor yang menjelaskan risiko CSV di
seluruh Asia Tenggara. Konteks di
Indonesia. Indonesia telah mencapai
pendapatan menengah status negara, tetapi
kemiskinan yang signifikan dan
ketidaksetaraan yang mencolok terus
mempengaruhi kesejahteraan anak-anak
(Hasan, Hyson, & Chang, 2013).
Kemiskinan anak dan kematian anak dan
ibu tarif tetap menjadi perhatian
(Kementerian Pembangunan Nasional
Indonesia Perencanaan & Dana Anak-Anak
Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB]
[UNICEF], 2017). Setidaknya 24 juta anak-
anak tidak dilahirkan sertifikat, yang
menciptakan kesulitan dalam mengakses
kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial,
dan sistem peradilan (Duff,
Kusumaningrum, & Stark, 2016).
Data tentang CSV di Indonesia, seperti
bentuk-bentuk anak lainnya kekerasan,
dianggap terbatas. Dengan demikian, itu
tidak mungkin menganalisis tren dari
laporan layanan yang ada untuk menarik
kesimpulan tentang sifat dan tingkat
kekerasan masa kecil (UNICEF,2014a).
Tidak adanya data prevalensi yang dapat
diandalkan membatasi Kemampuan
Pemerintah Indonesia untuk menilai apakah
masalahnya meningkat atau menurun dan
membuat keputusan berdasarkan informasi
investasi dalam kebijakan dan penelitian.
Pada 2015, Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan menetapkan penghapusan
semua bentuk kekerasan masa kanak-kanak
sebagai global target pengembangan untuk
semua negara anggota PBB (PBB Umum
Majelis, 2015).
Tujuan Tinjauan ini adalah untuk mengumpulkan
dan menganalisis secara kritis semua yang
tersedia studi tentang prevalensi CSV di
Indonesia, serta risiko dan faktor protektif,
untuk menginformasikan investasi masa
depan dalam kebijakan dan penelitian dan
untuk memenuhi Pembangunan
Berkelanjutan Target sasaran.
Hasil Secara keseluruhan Ulasan ini menegaskan
bahwa penelitian tentang CSV di Indonesia
adalah langka. studi ini mengungkapkan
beberapa bukti tentang prevalensi dan faktor
risiko dan beberapa informasi berguna
tentang pola pengungkapan dan mencari
bantuan. Peninjauan juga mengidentifikasi
tantangan untuk meneliti CSV dalam
konteks Indonesia dan apa adanya karena
itu memerlukan perhatian khusus di masa
depan. Temuan dikelompokkan menjadi
tiga kategori utama: (i) prevalensi CSV di
Indonesia; (ii) risiko dan faktor pelindung
atau driver dari CSV di Indonesia; dan (iii)
temuan penelitian lainnya seperti gejala sisa
dan efek pada revictimization dan perbuatan
masa depan, pengungkapan, dan perilaku
mencari bantuan.
Kesimpulan Bukti menunjukkan kemungkinan besar,
tetapi meremehkan, pengalaman CSV di
antara anak perempuan dan anak laki-laki di
Indonesia. Masalahnya sulit untuk diteliti
karena kepekaan materi yang diteliti dan
kesulitan yang dihadapi anak-anak dalam
pengungkapannya. Ulasan ini menunjukkan
bahwa desain penelitian, termasuk definisi
penelitian, mode, dan pengaturan, serta
faktor sosial dan kontekstual yang lebih
luas, mempengaruhi kemauan anak-anak
untuk melakukan pengarahan. Sebagai
bagian dari studi luas tentang risiko dan
faktor protektif, disarankan agar
penyelidikan kualitatif lebih lanjut
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
tentang bagaimana jender, bahasa,
religiusitas, pendidikan, dan faktor budaya
lainnya dapat mempengaruhi
pengungkapan, membangun temuan
tinjauan global (Alaggia, CollinVe´zina, &
Lateef, 2017). Sebagai panggilan untuk
menangani CSV dan bentuk-bentuk
kekerasan masa kanak-kanak lainnya
menjadi menonjol dalam agenda penelitian
dan kebijakan internasional, termasuk
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,
kebutuhan akan bukti yang teliti telah
meningkat (Mikton dkk., 2016 ;
Zimmerman dkk., 2016). Studi ini
memberikan gambaran umum literatur saat
ini di Indonesia tentang CSV dan
mengkonfirmasi bahwa CSV adalah serio
perhatian kami yang berkontribusi pada
siklus kekerasan yang terus berlanjut hingga
dewasa. Sayangnya, kualitas dan kuantitas
penelitian saat ini tidak memadai untuk
pengembangan kebijakan dan program.
Sebuah bukti yang lebih kuat tentang CVS
dan bentuk-bentuk kekerasan masa kanak-
kanak lainnya yang diperlukan untuk
mengurangi hambatan untuk
pengungkapan, meningkatkan pelayanan
dukungan korban dan menginformasikan
pencegahan. Catatan dari para pengarang
Pandangan-pandangan yang diungkapkan
adalah dari penulis dan tidak selalu
mewakili kebijakan atau pandangan dari
Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-
Bangsa
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Child Abuse (Kekerasan anak) adalah penganiayaan fisik, seksual atau emosional atau
penelantaran anak atau anak-anak. Ada 6 kategori utama kekerasan terhadap anak
pengabaian, kekerasan fisik, kekerasan psikologis atau emosional, dan kekerasan
seksual, sindrom munchausen dan bulliying. Etiologi, faktor penyebab kekerasan pada
anak baik kekerasan fisik atau phisikhis yaitu stress yang berasal dari anak, stress
keluarga, dan stress berasal dari orangtua. manifestasi klinis atau dampak dari
kekerasan anak baik fisik ataupun pshikis yaitu Akibat pada fisik anak, Akibat pada
tumbuh kembang anak, Akibat dari penganiayaan seksual. Diagnosis perlakuan salah
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang teliti,
dokumentasi riwayat psikologis yang lengkap, laboratorium dan radiologi Pencegahan
dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak adalah melalui Pelayanan
kesehatan, Pendidikan, Penegakhukum dan keamanan dan media massa.
B. Saran
Kekerasan memang tidak dapat ditolerir, apalagi terhadap anak menyarankan agar
orangtua bahkan semua orang bergerak bila mengetahui anak mengalami kekerasan
Tidak perlu ragu meski pelaku kekerasan datang dari kerabat atau pasangan Anda
sendiri sebab bila ada seseorang yang mengetaui ada anak mendapat kekerasan,
namun tidak ada tindakan akan terancam tahanan 5 tahun penjara sesuai pasal 78
Tahun 2002. berpikir untuk bertindak menyudahi kekerasan ini merupakan langkah
apik yang pertama. Selanjutnya orangtua dapat melakukan :
1 Menegur pelaku tindak kekerasan, bentuk teguran tidak harus keras, point
terpenting adalah pelaku menyadari bahwa perilakunya itu menyimpang dan
merugikan anak.
2 Berikan masukan bagaimana cara menangani anak untuk kasus pengasuh atau
seseorang yang melakukan kekerasan karena tidak sabar menghadapi anak
ingatkan bahwa anak-anak belum bisa bersikap seperti orang dewasa.
3 Hentikan dengan paksa bila pelaku masih melakukan kekerasan bila kekerasan
dilakukan oleh pengasuh seperti pembantu atau baby sistter, segeralah
memutuskan kontrak kerja.
4 laporkan pada pihak yang berwajib bila luka yang diakibatkan oleh kekerasan
masuk dalam kategori fatal, misalnya luka robek yang parah, luka tusuk,
atau pemerkosaan.
5 Memantau tumbuh kembang anak sesuai dengan usia perkembangannya jika
tidak sesuai dengan tahap perkembangannya, segeralah datang ke ahli medis
tumbuh kembang, misalnya psikologi
6 lakukan fisum untuk kasus kekerasan secara fisik sehingga saat Anda ingin
melaporkan pelaku pada pihak berwajib, Anda memiliki bukti otentik.
DAFTAR PUSTAKA

Mary E. Muscari, 2001. Advenced Pediatric Clinical Assessment Skills and Procedures.
Lippincott Williams & Willkins, Philadelphia.
Soetjiningsih, 2013. Tumbuh kembang anak. Ed. 2. Jakarta
file:///C:/Users/HP/Downloads/updoc.tips_makalah-keperawatan-anak-child-abuse.pdf
https://updoc.tips/download/free-pdf-ebook-makalah-keperawatan-anak-child-abuse
https://www.unicef.org/indonesia/Rumble_et_al_2018_TVA_Child_violence_in_Indonesia
.pdf

Anda mungkin juga menyukai