Anda di halaman 1dari 10

A.

KRISIS ADRENAL
1) Anatomi Dan Fisiologi Kelenjar Adrenal

Sumber : SLIDESHARE.COM

Gambar melintang potongan kelenjar adrenal

Di dalam tubuh terdapat dua kelenjar adrenal, masing-masing mempunyai berat ± 4


gram. Kelanjar ini terletak di kutub superior ginjal. Walaupun secara struktur saling
berhubungan, tetapi medula dan korteks berasal dari jaringan embriologis yang berbeda
dan mempunyai fungsi yang terpisah (Syaifuddin, 2006)
Secara anatomis kelanjar adrenal dibedakan atas:

1. MEDULA ADRENAL
Pembentukan dan sekresi
Pada medula adrenal diproduksi empat bahan kimiawi dan disekresi oleh dia tipe sel
yang secara morfologis berbeda: (1) dopamin, yang merupakan prekursor nor-epinefrin;
(2) norepinefrin, produk yang tipikal dari neuron simpatis posganglion; (3) epinefrin,
merupakan bentuk metilasi dari norepinefrin; dan (4) opioid peptida (enfekalin). Tiga zat
kimia yang pertama disebut katekolamin.
Proses Sekresi
Epinefrin dan nor-epinefrin disekresi oleh medula menyerupai efek rabas massa dari
neuron simpatis. Keduanya menghasilkan beberapa aksi metabolik. Pertama, keduanya
meningkatkan kadar gula darah dengan mengaktivasi enzim fosforilase, yang
meningkatkan gukogenolisis hepatik. Karena sel hepar mempunyai gukosa 6-fosfatase,
glukosa yang dihasilkan melalui pemechan glikogen ini mampu untuk berdifusi keluar dari
hepatosit ke dalam aliran darah. Hormon ini juga mendorong sel-sel otot untuk ikutserta
dalam meningkatkan kadar gula darah, meskipun proses ini kurang pasti. Fosforilase
dalam sel-sel otot juga di aktivasi oleh katekolamin ini. Namun demikian glukosa
interseluler yang dibentuk tidak mampu keluar dari sel otot, karena tidak mempunyai
glukosa 6-fosfatase. Maka glukosa ini dikatabolisme menjadi laktat yang dapat
meninggalkan sel otot kemudian akan bersikulasi ke dalam hepar dimana hepar mengubah
laktat menjadi glukosa sehingga mampu masuk ke aliran darah. Hormon ini juga
meningkatkan kadar gula darah dengan menstimulasi sekresi glukagon dan menurunkan
sekresi insulin. Epinefrin dan nor-epinefrin juga dapat menghasilkan efek yang
berlawanan dengan menstimulasi reseptor α-adregenik pada sel-sel islet. Karenaefek
banding dari kedua hormon pada reseptor α- dan β-adregenik, hasil akhirnya adalah bahwa
epinefrin menaikkan glukosa lebih banyak dari nor-epinefrin. Efek metabolik yang Kedua
dari katekolamin adalah membantu proses lipolisis dalam jaringan adiposa. Hal ini
menaikkan kadar asam lemak bebas dan memberikan sumber energi alternatif bagi banyak
sel-sel tubuh. Katekolamin yang bersikulasi juga meningkatkan kesiagaan dengan
menstimulasi sistem pengaktivasi retikular (RAS). Yang terakhir hormon-hormon ini
menghasilkan suatu peningkatan dalam kecepatan metabolik tubuh dan vasokonstriksi
kutan ,keduanya mengakibatkan kenaikan suhu tubuh.namun demikian peningkatan
metabolisme ini membutuhkan adanya hormon tiroid dan hormon korteks adrenal.
Aksi fisiologi kedua dopamin medula adreanal dan enfekalin masih belum diketahui.
Dopamin eksogen sangat berguna dalam melawan syok tertentu karena dopamin
mempunyai efek inotropik positif pada jantung (melalui reseptor β1) dan menyebabkan
vasodilatasi renal serta vasokonstriksi perifer. Efek keseluruhan dari dosis sedang adalah
kenaikan tekanan darah sistolik (tanpa peningkatan yang berarti dalam tekanan diastolik)
bersama-sama dengan retensi atau pemulihan haluaran urin.
Stimulasi kelenjar medula adrenal merupakan bagian dari respon umum respon medula
adrenal simpatis (MAS).
Pengaturan (dicari ,disusun oleh elyka)
Stimulasi kelenjar medula adrenal merupakan bagian dari respon umum medula
adrenal simpatis terhadap olahraga dan terhadap ancaman yang dirasakan pad integritas
biopsikologis dan daya hidup seseorang (Cannon kemudian menyebutnya sebagai respon
“fight atau flight”). Hipoglikemia juga menstimulasi peningkatan sekresi medula adrenal.
Hasil dari respon MAS memungkinkan tubuh untuk melakukan berbagai upaya
gerakan fisik kasar yang optimal. Frekuensi jantung dan tekanan darah meningkat
(meningkatkan perfusi), dan aliran darah dijauhkan dari kulit dan saluran pencernaan ke
organ yang lebih “vital” untuk melakukan gerakan , seperti otot skeletal, otak, dan jantung.
Sistem pengativasi retikular distimulasi, memelihara kesiagaan. Kadar glukosa darah dan
asam lemak meningkat, dengan demikian meningkatkan ketersediaan sumber energi untuk
sel-sel. Pupil melebar, meningkatkan bidang pandang perifer dan jumlah cahaya yang
memasuki mata. Kelenjar keringat terstimulasi , memberikan pendinginan pada tubuh
selama suhu tubuh meningkat sebagai akibat dari gerakan fisik. Mayoritas dari respon
MAS ini adalah dimediasi oleh serabut saraf simpatis terhadap berbagai struktur tubuh ;
katekolamin yang bersirkulasi hanya memainkan peranan uang kecil .

KORTEKS ADRENAL

Kelenjar ini terbentuk dari tiga lapisan yang secara histologis berbeda. Lapisan luarnya
diselimuti oleh kapsul.
Lapisan yang paling luar

1. Zona Glomerolusa

Zona ini secara eksklusif memproduksi mineralokortikoid, terutama aldosteron. Efek


aldosteron adalah meningkatkan jumlah natrium dan menurunkan jumlah kalium
dalam cairan ekstraseluler, selama proses pembentukan urine.

Efek berlebihnya kadar aldosteron:

a) Menyebabkan hipokalemia, yaitu keadaan menurunnya konsentrasi kalium dalam


plasma darah sampai di bawah nilai normal.
b) Penderita mengalami kelemahan otot yang berat.
Efek rendahnya kadar aldosteron:

a) Konsentrasi ion kalium dalam cairan ekstraseluler meningkat sampai jauh di atas
nilai normal.
b) Peningkatan 60 – 100% dari nilai normal menyebabkan keracunan jantung.
Peningkatan di atas itu, menyebabkan gagal jantung.

2. Zona Fasikulata

Zona ini mensintesis glukokortikoid, terutama kortisol.

Peran kortisol:

a) Mengontrol metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.


b) Membantu menolak efek destruktif dari stres mental dan fisik.

Kortisol yang berlebih menyebabkan timbulnya sindrom Cushin yang ditandai oleh:

a) Meningkatkan kadar glukosa darah (hiperglikemia), menurunnya protein, dan


meningkatnya timbunan lemak.
b) Glukosa tercampur dalam urine (glukosuria), mirip dengan DM sehingga disebut
‘Diabetes Adrenal’.
c) Sebagian glukosa diendapkan sebagai lemak tubuh di atas bahu dan wajah, sehingga
disebut ‘punuk kerbau’ (buffalo hump) dan ‘muka bulan’ (moon face).

3. Zona Retikularis

Zona ini menghasilkan hormon seks adrenal (androgen dan estrogen) yang identik
dengan yang dihasilkan gonad. Namun androgen dan estrogen adrenal ini tidak cukup kuat
untuk menimbulkan efek maskulinitas dan feminitas.

Beberapa kelainan terkait dengan meningkatnya androgen adrenal.

a) Maskulinitas pada wanita dewasa, tanda-tanda:

(1) Hirsutisme yaitu mengalami pola pertumbuhan rambut tubuh pria.


(2) Suara berat
(3) Otot lengan dan tungkai berkembang
(4) Payudara mengecil
(5) Menstruasi mungkin terhenti
b) Pseudohermafroditisme pada bayi perempuan yang ditandai dengan pertumbuhan
genetalia eksternal pria.
(1) Pubertas prekoks pada anak laki-laki pra-pubertas.
a. Sekresi androgen adrenal tidak disertai dengan pembentukan sperma atau aktivitas
gonad karena testis masih berada dalam status pra-pubertas non-fungsional.
b. Gejala pubertas prekoks, antara lain:
 Suara menjadi berat
 Tumbuh jenggot
 Penis membesar

Aksi glukokortikoid

Efek dosis farmakologi ini diuraikan secara terpisah dari yang terdapat pada kadar fisiologis
normal. Seperti namanya “glukokortikoid,” kotrisol dan kortikosteroid mempengaruhi
metabolisme glukosa. Mereka meningkatkan kadar glukosa plasma dengan meningkatkan
glukoneogenesis plasma dengan meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Untuk
memudahkan glukoneogenesis, hormon ini menyebabkan pemecahan lemak dan protein, serta
pelepasan lemak dan asam amino kedalam aliran darah, yang membawanya ke hepar.

Glukokortikosteroid memudahkan jaringan untuk berespons terhadap glukagon dan


katekolamin; mereka juga mencegah keletihan cepat otot skeletal. Cara bagaiman glukokortikoid
menghasilkan efek ini masih belum jelas, dan terjasi tidak dikenali dalam orang normal. Sesorang
dpat menerimanya dengan baik mellui pengamatan akibat ketidakberdayaannya pada pasien
adrenalektomi dan pada orang-orang yang tidak diobati yang terpajan yang merasakan ancaman
stress. Hal ini “memungkinkan” dan efek metabolik memungkinkan terdiri atas bagian mayor
“resisten stress” yang diberikan oleh glukokortikoid.

Kortisol dan kortikosteron juga beraksi pada ginjal untuk memungkinkan ekskresi kelebihan
air normal dengan salah satu dari tiga cara berikut :
1. Glukoortikoid membuat tubulus ginjal atau tubulus koligentes lebih permiabel terhadap
reabsorpsi air secara tidak tergantung pada reabsorpsi natrium.

2. Glukokortikoid meningkatkan laju filtrasi glomerular; atau

3. Glukokortikoid menurunkan haluaran ADH

Efek glukokortikoid pada komponene plasma masih samar. Glukokortikoid menurunkan


jumlah plasma eosinofil dan basofil tetapi meningkatkan jumlah netrofil, eritrosit, trombosit
sirkulasi. Baik dengan penekanan pembentukan dan meningkatkan penghancuran, glukokortikoid
menurunkan jumlah limfosit, juga menurunkan nodus limfe. Fungsi utama limfosit adalah untuk
memberikan imunitas humoral (dengan antibodi) maupun imunitas dengan mediasi sel. Kenaikan
sekresi glukokortikoid akibat stress dan akibat penurunan limfosit dapat menjelaskan penurunan
imunokompetens yang sering terjadi pada orang-orang yang mengalami stress fisik atau fisiologis.

Efek lain dari kadar fisiologis glukokortikoid termasuk menurunkan sensitivitas olfaktori dan
penghidu. Orang dengan defisiensi adrenal dapat mendeteksi berbagai zat kimia (misalnua gula,
garam, urea, dan KCl) baik dengan mengecap maupun dengan mencium dengan sensitivitas 40-
120 kali lebih besar dari normal.

Dalam dosis farmakologis, glukokortikoid mempunyai aktivitas antihistaminik dan anti


inflamasi. Glukokortikoid menekan sistem imun dengan menghambat pembentukan interkulin-II
melalui limfosit T4. Penurunan interkulin-II mengurangi proliferasi T8 ( supressor, sitoksik) dan
limfosit B. Glukokortikoid bekerja dalam beberapa cara untuk menekan respon inflamasi,
termaksuk influks fagosit dan aktivasi komplemen dan kinin. Pertama, menghambat
pembentukkan bahan mentah ( asam asidonik) yang diperlukan untuk pembentukkan zat kimia
yangmencetuskan respon inflamasi (misalnya leukotrien, prostaglandin). Kedia, menghambat
pelepasan interleukin-I dari granulosit. Ketiga, glukokortikoid mencegah fibroblas dari bekerja
pada dinding area yang infeksiosa dari seluruh tubuh.

Hal ini akan sangat berbahaya bagi orang dengan infeksi, karena respons inflamasi
menghancurkan mikroorganisme yang menyerang dan memudahkan sistem imun dan
penyembuhan luka. Sebaliknya, glukokortikoid dapat sangat menguntungkan dalam mengobati
kondisi inflamasi nonefektif tertentu (misalnya rematoid atritis, sistemik lupus eritomatosa).
Penghambatan fibroblas dapat mencegah pembentukkan keloid dan adesi posoperasi.
Glukokortikoid juga menguntungkan dalam pengobatan beberapa alergi tertentu (misalnya asma,
hives, dan penyakit perubahan kecil glomelural) karena glukokortikoid mencegah pelepasan
histamin dari sel-sel mast. Manfaatnya sebagai immunosupresif memungkinkan pasien untuk
menerima organ tandur. Dalam kasus tertentu, efek samping yang kemungkinan merugikan dari
glukokortikoid biasanya hanya dapat digunakan setelah pengobatan lain (misalnya, obat-obatan
non-steroidal anti inflamasi atau anti histamin) telah gagal atau bila keuntungannya jauh melebihi
resikonya (misalnya pada penyakit ginjal atau dengan transpal organ). Selain sebagai
immunosupresi, glukokortikoid mencetuskan perkembangan semua atau sebagian sindrom cushing
( misalnya diabetes, hipertensi ).

Pengaturan Sekresi Glukokortikoid

Sekresi glukokortikoid dicetuskan oleh pelepasan faktor kortikotropin-releasing (CRF), bahan


neurosekretori yang dilepaskan oleh hipotalamus. CRF menstimulasi sel-sel pituitari anterior untuk
mensekresi ACTH. Tanpa stimulus ACTH, sel-sel zona fasikulata dan zona retikularis tidak
mensekresi glukokortikoid. Peningkatan kadar glukokortikoid plasma berfungsi dalam umpan
balik negatif loop menurunkan atau memperlambat sekresi CRF dan dengan demikian juga
menghambat ACTH secara tidak langsung.

Terdapat irama diurnal untuk sekresi CRF yang menyebabkan irama serupa dalam haluaran
ACTH dan glukokortikoid. Hasil akhirnya adalah terjadi sekresi glukokortikoid maksimal antara
pukul 06.00 dan 08.00 pagi pada orang yang tidur tengah malam sampai pukul 8.00 pagi 24 jam.
Tumor yang mensekresi CRF, ACTH, atau glukokortiroid tidak memperlihatkan irama ini,
kenyataannya adalah hal ini berguna dalam diagnosis. ‘’jam biologis’’ yang mengatur hal ini dan
irama diurnal lainnya, atau sirkadian, irama tersebut terdapat di hipotalamus, tepat di atas area
dimana saraf optikus berpotongan (kiasma optikus). Kemungkinan, serabut dari area ini
mengirimkan impuls ke area pensekresi CRF hipotalamus untuk mengatur neurosekresi ini.

Neurosekresi CRF hipotalamik juga dicetuskan oleh impuls neural dari pusat otak yang lebih
tinggi (spt, korteks serebri) dalam berespons terhadap stress psikologis. Jenis stress ini
didefinisikan sesuai teori kognitif fenimenologi sebagai situasi dimana tuntutannya melebihi
sumber koping. Hal ini dapat terjadi dengan lambat dan menetap dan tanpa menyebabkan orang
tersebut sepenuhnya sadar bahwa fenomena tersebut terjadi. Sebelum pertengahan tahun 1970,
Seyle mengungkapkan sindrom adaptasi umum merupakan satu-satunya model yang terdapat
untuk berespons terhadap stress. Berdasarkan teori ini, setiap jenis stress, fisik maupun psikologis,
mencetuskan pelepasan glukokortikoid dengan melanisme CRF-ACTH. Kemudian, dalam
serangkaian penelitian terhadap kera yang memisahkan psikologis dari stresor yang benar-benar
fisik, Mason dan rekan-rekannya menemukan bahwa glokokortiroid secara tipikal dilepaskan
hanya dalam berespons terhadap stress fisik (mis, dingin, kelaparan) masing-masing
mengakibatkan pola respons yang berbeda dari hampir semua kelenjar endokrin. Masing-masing
penelitian jenis stresor menghasilkan profil respons endokrin yang berbeda yang terus berubah
selama beberapa hari setelaj pemajaman hewan terhadap agen-agen yang menyebabkan stress.
Penelitian ini kemudian diperjelas pada manusia. Jadi, respons psikologis terhadap stress tidak
dapat lagi hanya dipengaruhi oleh glukokortiroin.
Sekarang kita dapat mengkonseptualisasikan persepsi tentang ancaman fisik atau psikologis
potensial terhadap kesejahteraan seseorang sebagai pencetusan respons MAS. Jika tuntutan ini atau
situasi yang lain dievaluasi sebagai sesuatu yang melebihi sumber-sumber koping seseorang, maka
mekanisme CRF-ACTH- glukokortiroid teraktivasi. Keuntungan fungsi kadar normal
glukokortiroid dalam memudahkan jaringan untuk berespons terhadap glukagon dan katekolamin
adalah lebih dari mencukupi untuk memenuhi mekanisme MAS dalam waktu yang singkat. Bila
kebutuhan ini berlanjut, maka dibutuhkan sekresi glukokortiroid yang diakibatkan stress.
Akhirnya, jika stress berlanjut tidak dapat diatasi, maka akan terjadi keletihan korteks adrenal,
kadar glukokortikoid menurun, jaringan tidak dapat lagi memenuhi tuntutan mekanisme MAS,
terjadi keletihan otot, sumber energi sel yang sebelumnya tersedia menipis (spt, glukosa plasma
dan asam lemak), dan akan terjadi kolaps vaskular dan kematian.

Aksi Mineralokortikoid

Aldosteron dan glukokortikoid yang memepunyai bebrapa fungsi mineralokortikoid (seperti,


DOCA) meningkatkan reabsorpsi natrium oleh sel-sel duktus koligentes dan tubulus distal nefron.
Karena sistem pertukaran kation sel-sel tubulus distal , reabsorpsi natrium ini dapat meningkat
sekresi kalium, dengan demikian memelihara protensial hipokalemia. Reabsorpsi natrium secara
osmotik menyebabkan reabsorpsi air. Hal ini meningkatkan volume CES. Peningkatan dalam
volume darah menyebabkan suatu peningkatan tekanan darah. Edema biasanya tidak selalu terjadi,
namun, karena reabsorpsi natrium akibat aldosteron diatas tingkat tertentu, kenaikan kompartemen
CES dapat mencetuskan :

1. Sekresi hormon natriuretik, atau

2. Penurunan reabsorpsi natrium pada tubulus proksimal.

Kedua dari efek ini melawan aksi ekskresi aldosteron dan natrium.

Pengaturan Sekresi Mineralokortikoid

Mekanisme primer untuk pengaturan ini adalah sistem renin-angiotensin. ACTH pitiutari
tidak menstimulasi sel-sel glomerulosa dalam kondisi normal. Sel-sel aparatus jukstaglomerular
(JGA) terdesak antara arteriole aferen ketika memasuki glomerulus tubulus distal (konsentrasi
yang lebih rendah, pembentuk filtrat yang lebih rendah, bila semua faktor sebanding). Penurunan
baik dalam tekanan darah atau konsentrasi elektrolit menstimulasi JGA untuk mensekresi renin
hormon glikoprotein. Kelompok stimulasi mayor yang mencetus sekresi renin adalah (1)
Penurunan perfusi ginjal, dan (2) rendahnya konsentrasi garam CES (mis, karena penggunaan
diuretik yang berlebihan).
Renin mengubah globulin plasma yang bersirkulasi menjadi angiotensin I. Dengan mengalirnya
darah melewati paru-paru (dan sebagaian kecil pada bagian lain dari sistem sirkulasi), angiotensin
I diubah menjadi angiotensin II. Zat kimia yang secara fisiologis aktif ini beraksi pada (1) zona
glomerulosa untuk meningkatkan sekresi aldosteron, yang mengarah pada retensi garam dan air,
dan (2) otot polos vakular, dengan demikian menstimulasi vasokonstriksi yang berlebihan. Hasil
akhir dari kedua aksi angiotensi II adalah meningkatkan tekanan darah sistemik, yang diantara ha-
hal yang lain, meningkatkan perfusi ginjal.

JGA mengandung reseptor β-2 dan juga dapat distimulasi oleh serabut simpatis. Prostaglandin
juga menstimulasi JGA. Ketiganya menstimulasi sekresi renin. Oleh karenanya, sekresi renin dapat
secara farmakologis diturunkan oleh penghambat-β2 (mis, propanolol [inderal]). Inhibitor
prostaglandin (aspirin, agen-agen antiinflamasi nonsteroid, atau indometasin [indosin] dapat
mengeluarkan aksi yang sama. Kaptopril (Capoten) mencegah pengobahan angiorensi I menjadi
angiotensi II. Efek ini membuat kaptopril dan bloker β-2 sangat berguna sebagai agen-agen
antihipertensi.

Sekresi aldosteron juga distimulasi oleh suatu peningkatan dalam kadar kalium plasma, tetapi
tidak oleh peningkatan kadar natrium. Kalium tampaknya beraksi dengan memudahkan
pengubahan kolesterol menjadi aldosteron dalam sel-sel zona glomerulosa. Faktor pengatur
lainnya untuk sekresi aldosteron adalah postur. Posisi tubuh yang tegap dapat meningkatkan kadar
aldosteron dengan meningkatkan pembentukan atau penurunan pemecahan. Bagaimana prosesnya
tidak jelas, tetapi karena hal ini, kadar aldosteron pada pasien tirah baring agak subnormal. Juga
sedikit dimengerti tentang irama diurnal sekresi aldosteron, dengan kadar tertinggi terjadi pada
pagi hari tepat sebelum pasien bangun. Irama ini tidak berkaitan dengan irama diurnal CRF-ACTH
karena hal ini hanya mempengaruhi sekresi glukokortikoid.

2) Pengertian

Krisis Adrenal atau krisis Addison atau Acute Adrenal Insuffiency adalah suatu insufisiensi
adrenal akut yang biasanya ditemukan dalam keadaan syok pada seseorang yang menderita
insufisiensi adrenal yang sebelumnya tidak diketahui atau pada penderita insufisiensi adrenal yang
kenudian mendapat suatu infeksi bakteri, tindakan operasi, diare atau penyakit berat lainnya(Jurnal
Nanny NM Soetedjo, Krisis Adrenal) .

Krisis adrenal adalah sekresi yang inadekwat dari adrenokortikosteroid, dapat terjadi sebagai
hasil dari sekresi ACTH yang tidak cukup atau karena kerusakan dari kelenjar adrenal dapat
sebagian atau seluruhnya. Manifestasi yang terjadi dapat bermacam macam , dapat terjadi tiba tiba
dan mengancam jiwa atau dapat juga berkembang secara bertahap dan perlahan lahan.
Krisis terjadi bila kebutuhan fisiologis terhadap hormon tersebut melebihi kemampuan
kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon tersebut, yaitu pada penderita dengan kekurangan
hormon kelenjar adrenal yang kronis yang terkena stress atau penyakit.
Etiologi dari krisis Addison ini antara lain adalah infeksi, trauma, tindakan pembedahan, luka
bakar, kehamilan, anestesi umum dan keadaan hipermetabolik. 3 Harus dibedakan antara krisis
addison dan penyakit Addison. Penyakit Addison adalah suatu kondisi dimana kelenjar adrenal
tidak dapat memproduksi dengan cukup beberapa jenis hormon. Kondisi tersebut dikenal setelah
DR. Addison pada tahun 1855 mengemukakan tentang penyakit tersebut. Penyakit Addison sangat
jarang ditemukan, dari hasil penelitian di Inggris didapatkan hasil dari satu juta orang hanya terjadi
kasus saja. Kebanyakan kasus terjadi antara umur 20 sampai 50 tahun, tetapi dapat pula terjadi
pada semua umur. Perbedaan dengan krisis Addison adalah dalam gejala, pada penyakit Addison
gejala berkembang secara lambat mulai dari beberapa bulan sampai dengan tahun ditandai dengan:
lemah badan, lekas lelah, anoreksia, penurunan berat badan dan hiperpigmentasi, sedangkan krisis
adrenal terjadi secara akut yaitu muntah muntah dan nyeri abdominal dan syok hipovolemik.
Krisis Addison ini harus dapat dikenali dengan cepat, karena sangat mengancam jiwa, karena itu
akan dibahas mengenai diagnosa dan penatalaksanan krisis Addison.

Anda mungkin juga menyukai