Anda di halaman 1dari 11

Struktur dan Fungsi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah kartilago krikoid, disamping kiri dan kanan trakhea.
Pada orang dewasa beratnya lebih kurang 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu lobus kiri kanan yang
dipisahkan oleh isthmus. Masing-masing lobus kelenjar ini mempunyai ketebalan lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan
panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus mempunyai lobuli yang di masing-masing lobuli terdapat folikel dan parafolikuler. Di
dalam folikel ini terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa.kelenjar tiroid mendapat sirkulasi
darah dari arteri tiroidea superior dan arteri tiroidea inferior. Arteri tiroidea superior merupakan percabangan arteri
karotis eksternal dan arteri tiroidea inferior merupakan percabangan dari arteri subklavia.Lobus kanan kelenjar tiroid
mendapat suplai darah yang lebih besar dibandingkan dengan lobus kiri. Dipersarafi oleh saraf adrenergik dan kolinergik.
saraf adrenergik berasal dari ganglia servikalis dan kolinergik berasal dari nervus vagus.
Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yaitu T3, T4 dan sedikit kalsitonin. Hormon T3 dan T4 dihasilkan
oleh folikel sedangkan kalsitonin dihasilkan oleh parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon ini adalah
yodium yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium yang dikomsumsi akan diubah menjadi ion yodium (yodida)
yang masuk secara aktif ke dalam sel kelenjar dan dibutuhkan ATP sebagai sumber energi. Proses ini disebut pompa
iodida, yang dapat dihambat oleh ATP-ase, ion klorat dan ion sianat.
Sel folikel membentuk molekul glikoprotein yang disebut Tiroglobulin yang kemudian mengalami penguraian
menjadi mono iodotironin (MIT) dan Diiodotironin (DIT). Selanjutnya terjadi reaksi penggabungan antara MIT dan DIT
yang akan membentuk Tri iodotironin atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk tetra iodotironin atau tiroksin (T4).
Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH namun dapat dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil
kaptoimidazol. Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk PBI (protein binding Iodine). Fungsi
hormon-hormon tiroid antara adalah:
a. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya meningkatkan metabolisme karena peningkatan
komsumsi oksigen dan produksi panas. Efek ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru dan testes
b. Kedua hormon ini tidak berbeda dalam fungsi namun berbeda dalam intensitas dan cepatnya reaksi. T3 lebih cepat
dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah.
T4 dapat dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.
c. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya pertumbuhan saraf dan tulang
d. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin
e. Efek kronotropik dan Inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan kontraksi otot dan menambah irama
jantung.
f. Merangsang pembentukan sel darah merah
g. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh terhadap kebutuhan oksigen akibat
metabolisme
h. Bereaksi sebagai antagonis insulinTirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama
menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat reabsorpsi kalsium di tulang. Faktor utama yang
mempengaruhi sekresi kalsitonin adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum yang rendah akan
menekan ;pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium serum akan merangsang pengeluaran
tirokalsitonin. Faktor tambahan adalah diet kalsium dan sekresi gastrin di lambung.

Grave Disease / Struma Diffusa Toksik (Goiter non noduler toksik-difus)


Penyakit autoimun merupakan penyebab tirotoksikosis terbanyak (hampir 90%)—95% dari kasus hiperthyroidism pada
kehamilan, sindroma klinik hipermetabolisme. Diagnosis berdasarkan peningkatan FT4 dan penekanan TSH. Kasus
hipertiroidism yang jarang pada kehamilan termasuk toxic multi nodular goiter, toxic adenoma dll4

Etiologi: Thyroid Stimulating Autoantibodies (TSAb) berikatan dgn reseptor TSH, merangsang fungsi kelenjar tiroid
sehingga menyebabkan tirotoksikosis.

Epidemiologi
Penyakit tiroid menyerang 1-2% wanita pada masa reproduktif. Laki” : Wanita = 1 : 7
Insiden terbanyak pada umur 30 – 40 tahun. Berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya
Masalah tiroid juga biasa terjadi pada wanita hamil. Tetapi, komplikasi hypertyroidism terjadi sekitar 1-2 pada 1000
1,2
kelahiran .Sekitar 50% dari wanita yang terkena memiliki riwayat keluarga positif autoimun penyakit tiroid3.

Manifestasi klinis : hipertiroidisme,struma diffusa,ophtalmopati, dermopati (Miksedema pretibial), Tanda “Bruit” yg


terdengar diatas kelenjar tiroid,gemetar pd tangan dan lidah,aritmia jantung,dan pelebaran fissura palpebra mata

PATOFISIOLOGI
Hipertiroidi adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi
tiroksin (T4) di jaringan perifer.7,8
Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan, proses oksidasi jaringan,
proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh
melalui mekanisme transport asam amino dan elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel, aktivasi/sintesa protein
enzim dalam sel dan peningkatan proses-proses intraseluler. 7,8
Pada mamalia dewasa khasiat hormon tiroid terlihat antara lain :
1. aktivitas lipolitik yang meningkat pada jaringan lemak
2. modulasi sekresi gonadotropin
3. mempertahankan pertumbuhan proliferasi sel dan maturasi rambut
4. merangsang pompa natrium dan jalur glikolitik, yang menghasilkan kalorigenesis dan fosforilasi oksidatif pada
jaringan hati, ginjal dan otot.
Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolisme jaringan, sintesa protein dan lain-lain akan terpengaruh,
keadaan ini secara klinis akan terlihat dengan adanya palpitasi, takiardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat,
nafsu makan yang meningkat, berat badan yang menurun. Kadang-kadang gejala klinis yang ada hanya berupa
penurunan berat badan, payah jantung, kelemahan otot serta sering buang air besar yang tidak diketahui sebabnya.8,9
Patogenesis PG masih belum jelas diketahui. Diduga peningkatan kadar hormon tiroid ini disebabkan oleh suatu
aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan kelenjar timid hiperaktif. Aktivator ini merupakan antibodi terhadap
reseptor TSH, sehingga disebut sebagai antibodi reseptor TSH. Antibodi ini sering juga disebut sebagai thyroid
stimulating immuno-globulin (TSI)11,12 .Dan ternyata TSI ini ditemukan pada hampir semua penderita PG.
Selain itu pada PG sering pula ditemukan antibodi terhadap tiroglobulin dan anti mikrosom. 11,12.Penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa kedua antibodi ini mempunyai peranan dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid. Antibodi
mikrosom ini bisa ditemukan hampir pada 60 -70% penderita PG, bahkan dengan pemeriksaan radioassay bisa
ditemukan pada hampir semua penderita, sedangkan antibodi tiroglobulin bisa ditemukan pada 50% penderita.11
Terbentuknya autoantibodi tersebut diduga karena adanya efek dari kontrol immunologik (immuno-regulation), defek ini
dipengaruhi oleh faktor genetik seperti HLA 8,10,11,12 dan faktor lingkungan seperti infeksi atau stress.10
Pada toxic nodular goiter peningkatan kadar hormon tiroid disebabkan oleh autonomisasi dari nodul yang
bersangkutan dengan fungsi yang berlebihan sedangkan bagian kelenjar selebihnya fungsinya normal atau menurun.13,14

Patogenesis
Efek dari kehamilan pada hyperthyroidism
Thyrotoxicosis biasa meningkat pada kehamilan padda trimester ke2 & ke 3 (bersama dengan kondisi autoimun lainnya
berkaitan dengan imunosupresi pada kehamilan). Level dari TSH (TSH reseptor-stimulating antibodies) dapat berkurang
sebagai konsekuensi dari peningkatan pada penyakit Grave’s dan kebutuhan yang rendah untuk pengobatan anti-thyroid2.
Tetapi exaserbasi dapat terjadi pada trimester1 mungkin berkaitan terhadap produksi human chorionic gonadotrophin
(hCG)dan juga pada puerperium berkaitan dengan reversal dari berkurangnya level antibody yang terlihat saat kehamilan
Efek dari hyperthyroidism pada kehamilan
Thyrotoxicosis parah dan tidak terawat berhubungan dengan penghambatan ovulasi, menstrual irregularities dan infertil.
Selain itu meningkatkan rate miscarriage, restriksi pertumbuhan intrauterine (IUGR), kelahiran prematur dan resiko
tinggi kematian perinatal.3. untuk wanita dengan hyperthyroidism ringan dan dikontrol baik dengan obat anti-thyroid,
hasil maternal dan foetal biasanya baik dan tidak terpengaruh oleh penyakit ini. Thyrotoxicosis yang tidak terkontrol
dnegan baik dapat berakibat krisis thyroid dan gagal jantung pada saat partus

Pengaruh Hormon Tiroid terhadap Sistem Kardiovaskuler :


a. Langsung terhadap miokard : Stimulasi reseptor inti spesifik, merangsang produksi mRNA spesifik ekstraseluler,
merubah fungsi membrane plasma
b. Interaksi dengan sistem syaraf simpatis: stimulasi fungsi reseptor adrenergic
Akibat 1 & 2  terjadi Peningkatan Kontraksi & Relaksasi Miokard  Beban kerja jantung meningkat  Hipertrofi
Ventrikel Kiri  Dekompensasi Kordis.

Efek pada foetus dan newborn


Carbimazole, propylthiouracil (PTU) melewati plasenta dan pada dosis tinggi dapat mengakibatkan foetal
hypothyroidism dan goiter. Tidak ada dari mereka yang teratogenis, walaupun carbimazole secara kebetulan dapat
mengakibatkan scalp defek disebut aplasia cutis 5,6. Hampir 1% dari wanita hamil dengan penyakit Grave akan
melahirkan anak dengan thyrotoxicosis. Dalam banyak kasus ini adalah kondisi transient5.

Perasaan berdebar-debar
Pada ibu hamil umumnya mengalami perubahan pada kelenjar endokrinnya. Hal inilah yang kemudian dapat
terjadi pada ibu hamil yang terdapat dalam skenario, dimana perasaan berdebarnya tersebut merupakan akibat atau
manifestasi dari kelenjar tiroid yang bekerja lebih aktif pada masa kehamilan. Dan akibat dari overaktivitas kelenjar
tiroid tersebut, maka terjadi peningkatan metabolisme di dalam tubuh ibu hamil tersebut, sehingga dibutuhkan lebih
banyak oksigen yang kemudian dapat meningkatkan peredaran aliran darah dan menyebabkan overworking jantung yang
terlihat dari timbulnya takikardi, sehingga menimbulkan perasaan yang berdebar-debar. Tetapi hipertiroidisme
(overaktivitas kelenjar tiroid) hanya terjadi pada kurang dari 1% kehamilan, sehingga pada ibu hamil yang normal
biasanya atau pada umumnya tidak mengalami hipertiroidisme.
Overaktivitas Butuh oksigen >>
↑metabolisme
kel tiroid

Takikardi overworking ↑peredaran


jantung aliran darah

Perasaan berdebar-debar

Banyak Berkeringat
Banyaknya berkeringat ini lebih disebabkan oleh hipermetabolisme dari ibu hamil tersebut. Dimana apabila
terjadi peningkatan metabolisme tubuh, maka kumlah pemberntukan panas tubuh akan ikut meningkat yang kemudian
dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh tersebut, tubuh melakukan suatu heat
tolerance, dimana tubuh mengompensasi panas tubuh tersebut dengan mengeluarkannya sebagai keringat. Karena pada
kondisi ini metabolisme tubuh meningkat maka tubuh akan mengeluarkan banyak keringat pula untuk mengatasi panas
tubuh akibat hipermetabolisme tersebut

Perasaan Lelah
Ada banyak penyebab untuk perasaan lelah ini. Pada masa kehamilan, asupan makanan sebagian besar diberikan
kepada janin fetus yang dapat menyebabkan ibu mendapat bagian yang sedikit. Hal ini diperparah dengan
hipermetabolisme yang dialami, sehingga menyebabkan cepatnya penurunan atau pemecahan cadangan energi,
penggunaan air, dan ion-ion tubuh. Dan hal ini dapat menyebabkan perasaan lelah, karena berkurangnya cadangan energi
akibat hipermetabolisme akibat overaktivitas dari kelenjar tiroid, dan hal ini dapat diperparah seandainya ibu ini tidak
mendapatkan asupan nutrisi yang baik

Selain mengenali reseptor TSH sebagai antigen ternyata


tubuh juga mengenali jaringan orbita dan otot-otot mata sebagai
benda asing yang harus “dieliminasi”. Oleh karena itu tubuh
membentuk auto antibody dan serangkaian mekanisme imun
lainnya untuk tujuan tersebut. Infiltrasi sel mast, limfosit dan sel
plasma mengawali proses inflamasi yang akan menyebabkan
pembengkakan jaringan retro orbita. Akibatnya akan terjadi
protrusi bola mata yang dikenal dengan eksoftalmus.
Pada awal kehamilan meningkatkan GFR sehingga
meningkatkan iodium yang keluar lewat ginjal dan menurunkan
iodiu organik dalam plasma. Dan kelenjar tiroid akan melakukan
kompensasi degan meningkatkan aktivitasnya untuk
mempertahankan keadaan eutiroid(homeostasis) sehingga terjadi
pembesaran.

Saat kehamilan dapat meningkatkan serum IgG sehingga


dapat bereaksi dengan reseptor TSH sehingga akan merangsang
fungsi tiroid yang berakibat terjadinya hiperplasia pada tiroid yang biasa disebut dengan goiter diffuse. Hipertiroid ini
akan mengakibatkan sekresi hormon T3 & T4 yang dapat mempengaruhi banyak sistem. Pengaruhnya dapat berupa
peningkatan aktivitas medula spinalis yang mengatur tonus otot (SSP) yang menghasilkan tremor, dapat juga
meningkatkan reseptor β terhadap katekolamin, sehingga mengaktifkan fungsi saraf simpatis yang juga meningkatkan
sekresi epinefrin dan norepinefrin. Ini akan menyebabkan vasokontriksi dan takikardi, dan tekanan darah juga akan
meningkat. Selain itu tiroksin juga berfungsi untuk meningkatkan metabolisme tubuh yang diiringi peningkatan
kebutuhan oksigen, yang berarti akan meningkatkan penghasilan panas dari tubuh sehingga tubuh akan melakukan
homeostasis dengan berkeringat dan mengakibatkan berkurangnya cairan tubuh dan menyebabkan hasil lain seperti
mudah lelah.

Tanda-tanda Oftalmopati Grave :


a. Eksoftalmus : bulbus oculi menonjol
b. Tanda Stellwag : mata jarang berkedip
c. Tanda Von Graefe : palpebra superior tidak dapat mengikuti gerakan bulbus oculi ke bawah
d. Tanda Moebius : sukar mengadakan / menahan konvergensi
e. Tanda Joffroi : tidak dapat mengerutkan dahi
Class Definition
f. Tanda Rosenbach : tremor palpebra jika mata ditutup
0 No sign / symptoms
1 Hanya sign no symptom ( tanda terbatas pada upper
Klasifikasi Derajat Oftalmopati Grave :  NO SPECS
lid, retraksi,stare(membelalakan mata),lid lag)
Inflamasi mengakibatkan pembesaran & fibrosis m.
Ekstraokular & jaringan konektif orbita sehingga 2 Soft tissue involvement
mengakibatkan retraksi kelopak, proptosis, GBM 3 Propoptosis (pergeseran/penonjolan ke depan)
terganggu, neuropati optik 4 Ekstra ocular muscle involvement
5 Corneal involvement
EKSOPHTALMUS 6 Sight loss ( Optic nerve involvement)
Mekanisme exofthalmus: terbentuknya antibodi2 terhadap otot2 mata. Tiroglobulin dari tiroid ditransportasi ke jaringan
orbital dan disitu terjadi respon imun.
Infiltrasi limpocitis/terbentuknya antibodi dari jaringan orbital menybabkan pelepasan cytokin(TNF, IL-1) dari
cd4+ Tcell  menstimulasi fibroblast orbital untuk memproduksi mucopolysacarida, yang, dengan perubahan
hyperosmotic, menyebabkan edema jaringan di otot extraocular.
Fibroblas sensitif dengan stimulasi cytokin dan protein solubel dan Ig yang dilepaskan karena proses imun.
Cytokine mengkatifkan fibroblas yang diam untuk mensekresi HLA (hyaluronic acid, sebuat glycosaminoglycan).
Bersama2 dengan HLA di jaringan orbital menyebabkan tekanan osmotic meningkat. Dan dari situ volume otot
extraocular akan meningkat menyebabkan Eksophtalmus.

Diagnosis :
a. Klinis :
1. Indeks Wayne :  19 = Tirotoksikosis, 11 – 18 = Tidak jelas (equivocal), < 11= Eutiroid
2. Indeks New Castle :  40 = tirotoksikosis, 24 – 39 = meragukan, < 24 = eutiroid
b. Laboratorik : meningkat [T4 serum total dan T3 resin uptake(T3RU), RAIU (Radioactive Iodine Uptake)---
peningkatan T3, FT4 (Free T4) Index, RT3 (Reverse T3) Uptake]
c. Scan tiroid menunjukkan tiroid yg membesar
d. Kadar kolesterol serum menurun dan Gula darah,fosfatase alkalin meningkat
Gambaran klinik hipertiroidi dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi
dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps.15. Keluhan
utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada
sekelompok penderita didapatkan 10 geiala yang menonjol yaitu 11,15,16,17
1. Nervositas 6. Keringat berlebihan
2. Kelelahan atau kelemahan otot-otot 7. Perubahan pola menstruasi
3. Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik 8. Tremor
4. Diare atau sering buang air besar 9. Berdebar-debar
5. Intoleransi terhadap udara panas 10. Penonjolan mata dan leher
Gejala-gejala hipertiroidi ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa tahun sebelum penderita berobat
ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari penyakitnya.15 Pada pemeriksaan klinis didapatkan
gambaran yang khas yaitu : seorang penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada
mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, onchlisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan
nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles.15,18
Atas dasar tanda-tanda klinis tersebut sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan. Untuk daerah di
mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne dan
New Castle sangat membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila hasil
BMR > ± 30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid. Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan
pemeriksaan hormon timid (thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index
(FT41). Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis a.l.: pemeriksaan antibodi tiroid yang
meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test penampungan yodium radioaktif
(radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning)19,20
Khir19 mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan diagnosis PG, yakni : adanya riwayat keluarga yang
mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan outoimun, di samping itu pada
penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid

Komplikasi Tirotoksikosis : penyakit jantung tirotoksikosis (Penyakit Jantung Hipertiroidisme) ditandai dengan :
fibrilasi atrium, curah jantung (Cardiac Output) meningkatTerjadilah Gagal Jantung yang termasuk dalam jenis High
Output Failure

Terapi :
a. Kausal : Obat-obat anti tiroid ( PTU 3 dd 100 mg, Metimazol, Karbimazol (Neo Mercazole 5 mg))
Yodium Radioaktif (Terapi Ablatif)
b. Simtomatik : Beta bloker (Propranolol 3 dd 10 – 40 mg), Minor Transquilizer (Diazepam 3 dd 2 – 5 mg)
c. Kosmetik : Pembedahan (Strumektomi subtotal / parsial)
d. Terapi Eksoftalmus : injeksi kortikosteroid retrobulber,kortikosteroid sistemik Prednison 60mg (12 tab)/hr slma 1 bln
DASAR PENGOBATAN Beberapa faktor hams dipertimbangkan, ialah :
1. Faktor penyebab hipertiroidi 5. Tanggapan penderita terhadap pengobatannya
2. Umur penderita 6. Sarana diagnostik dan pengobatan serta pengalaman
3. Berat ringannya penyakit dokter dan klinik yang bersangkutan.
4. Ada tidaknya penyakit lain yang menyertai
Pada dasarnya pengobatan penderita hipertiroidi meliputi :
A. Pengobatan Umum B. Pengobatan Khusus C. Pengobatan dengan Penyulit

Pengobatan Umum 8,21:


1. Istirahat. ---Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat. Penderita dianjurkan
tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu pikiran baik di rumah atau di tempat bekerja. Dalam
keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.
2. Diet---Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain karena : terjadinya peningkatan
metabolisme, keseimbangan nitrogen yang negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.
3. Obat penenang--Mengingat pada PG sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat diberikan. Di samping itu
perlu juga pemberian psikoterapi.

Pengobatan Khusus.
1. Obat antitiroid. ---Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium, perchlorat dan
thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan thionamide adalah propylthiouracyl (PTU), 1 - methyl – 2
mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, MMI), carbimazole. Obat ini bekerja menghambat sintesis hormon tetapi
tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine
(DIT), serta menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif. PTU juga menghambat
perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga pada saat ini PTU dianggap sebagai
obat pilihan.8,22,23
Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga pengaruh pengobatan lebih
tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat
daripada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya satu persepuluhnya
Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg per hari untuk
MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal setiap 24 jam. Dalam satu penelitian
dilaporkan bahwa pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih besar. 24
Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU dengan MMI/CBZ, antara lain adalah :
1. MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama dibanding PTU di clalam kelenjar tiroid.
Waktu paruh MMI ± 6 jam sedangkan PTU + 1,5jam.14
2. Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik dibanding PTU 14
3. MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat pada albumin serum, sehingga MMI lebih
bebas menembus barier plasenta dan air susu,14 sehingga untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.

Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan dikatakan sepertiga sampai
setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak
atau hanya sedikit memberikan perbaikan, maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat menggagalkan
pengobatan (tidak teratur minum obat, struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau
dosis kurang) 8,22,24,25
Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat ditanggulangi dengan pemberian anti
histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera
pengecap, cholestatic jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada
penderita umur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar 14,21,22,23,24 Efek samping lain yang jarang terjadi. a.l.
berupa : arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema, limfadenopati, hipoprotombinemia,
trombositopenia, gangguan gastrointestinal.10,14
2. Yodium.---Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam masa 3 minggu efeknya
akan menghilang karena adanya escape mechanism dari kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski sekresi
terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi
berlebihan dan gejala hipertiroidi meng-hebat.
Pengobatan dengan yodium (MJ) digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada krisis tiroid atau
untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi. Dosis yang
diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan.10
Marigold dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang
diberikan '10 hari sebelum dan sesudah operasi.18
3. Beta Blocker---Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya hipersensitivitas pada sistim
simpatis.17 Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap
katekolamin.14,17,20
Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat pengaruh hati.Reserpin,
guanetidin dan beta blocker(propranolol) merupakan obat yang masih digunakan.17 Berbeda dengan
reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat.26 Biasanya dalam 24 - 36 jam
setelah pemberian akan tampak penurunan gejala. Khasiat propranolol18:
 penurunan denyut jantung permenit  pengurangan nervositas
 penurunan cardiac output  pengurangan produksi keringat
 perpanjangan waktu refleks Achilles  pengurangan tremor
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat
tersebut dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6 jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan,
karena penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu
operasi.26 Penggunaan propranolol a.l. sebagai : persiapan tindakan pembedahan atau pemberian yodium radioaktif,
mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid.
4. Ablasi kelenjar gondok. ---Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau pemberian I7,14
a. Tindakan pembedahan
Indikasi utaina untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka yang berusia muda dan gagal atau
alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan pembedahan berupa tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada
penderita dengan keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan dengan I7,14 (wanita hamil atau yang
merencanakan kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka yang sulit dievaluasi pengobatannya,
penderita yang keteraturannya minum obat tidak teijamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan
mereka yang ingin cepat eutiroid atau bila strumanya diduga mengalami keganasan, dan alasan kosmetik.22,23,24
Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara thionamid, yodium atau propanolol guna
mencapai keadaan eutiroid.10,14 Thionamid biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian larutan Lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi. Propranolol dapat diberikan
beberapa minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium dapat diberikan 10 hari sebelum operasi.14
Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai keadaan eutiroid yang permanen.20 Dengan penanganan yang baik,
maka angka kematian dapat diturunkan sampai 0.14
b. Ablasi dengan I7,14
Sejak ditemukannya I terjadi perubahan dalam bidang pengobatan hipertiroidi. Walaupun dijumpai
banyak komplikasi yang timbul setelah pengobatan, namun karena harganya murah dan pemberiannya mudah,
cara ini banyak digunakan.23 Tujuan pemberian 7,14 adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang hiperfungsi.
Sayangnya I 7,14 ini temyata menaikan angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok (30 -- 70% dalam jollow up
10 -- 20 tahun) tanpa ada kaitannya dengan besarnya dosis obat yang diberikan. Di samping itu terdapat pula
peningkatan gejala pada mata sebanyak 1 -- 5% dan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perubahan gen
dan keganasan akibat pengobatan cara ini, walaupun belum terbukti.22,23,24
Penetapan dosis didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya kelenjar gondok. Dosis yang
dianjurkan ± 140 -- 160 micro Ci/gram atau dengan dosis rendah ± 80 micro Ci/gram.8 Dalam pelaksanaannya
perlu dipertimbangkan antara lain : dosis optimum yang diperlukan kelenjar tiroid, besar/ukuran dari kelenjar
yang akan diradiasi, efektivitas I7,14 di dalam jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid terhadap I11

PENGOBATAN PG DENGAN PENYULIT


PG dan Kehamilan
Angka kejadian PG dengan kehamilan ± 0,2%. Selama kehamilan biasanya PG mengalami remisi, dan
eksaserbasi setelah melahirkan.24 Dalam pengobatan, yodium radioaktif merupakan kontraindikasi karena pada bayi
dapat terjadi hipotiroidi yang ireversibel.8 Penggunaan propranolol masih kontroversiil. Beberapa peneliti memberikan
propranolol pada kehamilan, dengan dosis 40 mg 4 kali sehari tanpa menimbulkan gangguan pada proses kelahiran,
tanda-tanda teratogenesis dan gangguan fungsi tiroid dari bayi yang baru dilahirkan.27
Tetapi beberapa peneliti lain mendapatkan gejala-gejala proses kelahiran yang terlambat, terganggunya
pertumbuhan bayi intra uterin, plasenta yang kecil, hipoglikemi dan bradikardi pada bayi yang baru lahir. Umumnya
propranolol diberikan pada wanita hamil dengan hipertiroidi dalam waktu kurang dari 2 minggu bilamana diper-
siapkan untuk tindakan operatif.9 Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antitiroid dan pembedahan. Untuk
menentukan pilihan tergantung faktor pengelola maupun kondisi penderita.24
PTU merupakan obat antitiroid yang digunakan, pemberian dosis sebaiknya serendah mungkin.14 Bila terjadi efek
hipotiroidi pada bayi, pemberian hormon tiroid tambahan pada ibu tidak bermanfaat mengingat hormon tiroid kurang
menembus plasenta.14 Pembedahan dilakukan bila dengan pemberian obat antitiroid tidak mungkin. Sebaiknya
pembedahan ditunda sampai trimester I kehamilan untuk mencegah terjadinya abortus spontan.27

Eksoftalmus
Pengobatan hipertiroidi diduga mempengaruhi derajat pengembangan eksoflmus.8 Selain itu pada eksoftalmus dapat
diberikan terapi a.l. : istirahat dengan berbaring terlentang, kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan salep
mata atau larutan metil selulose 5%; menghindari iritasi mata dengan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam
keadaan yang berat bisa diberikan prednison peroral tiap hari.8 24

Krisis tiroid
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang sekonyong-konyong menjadi hebat dan disertai a.l. adanya
panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara lain : infeksi dan tindakan
pembedahan.14 Prinsip pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi yang
teijadi. Untuk mengendalikan tirotoksikosis dapat digunakan terapi kombinasi dengan dosis tinggi misalnya PTU 300 mg
tiap 6 jam, KJ 10 tetes tiap 6 jam, propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV 2 -- 4 mg tiap 4 jam) dan dapat diberikan
glukokortikoid (hidrokortison 300 mg).14 Sedangkan untuk mengatasi komplikasinya tergantung kondisi penderita dan
gejala yang ada. Tindakan hams secepatnya karena angka kematian penderita ini cukup besar. 14

DAFTAR PUSTAKA

1. Woeber KA. Update on the management of hyperthyroidism and hypothyroidism. Arch Fam Med. 2000 Aug;
9(8):743-7 [Full text]
2. Lim BH, Raman S, Sivanneratnam, Ngan A. Thyrotoxicosis in pregnancy – a six year review. Singapore Med J. 1989
Dec;30(6):539-41. [PubMed]
nd
3. Nelson-Piercey C. Thyroid disease. Handbook of Obstetric Medicine, 2 Edition. London: Martin Dunitz; 2001
4. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG Practice Bulletin. Clinical management guidelines for
obstetrician-gynecologists. Number 37, August 2002. Thyroid disease in pregnancy. Obstet Gynecol. 2002
Aug;100(2):387-96 [PubMed])
5. Mujtaba Q, Burrow GN. Treatment of hyperthyroidism in pregnancy with PTU and methimazole. Obstet Gynaecol.
1975 Sep;46(3):282-5 [PubMed]
6. Bihan H, Vasquez MP, Krivitzky A, Cohen R. Aplasia cutis congenita and dysmorphic syndrome after antithyroid
therapy during pregnancy. Endocrinologist. 2002;12(2):87-91 [Link]
7. Sumanggar Ps. Thyrotoxicosis di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Palembang. Dalam : Naskah Lengkap
KOPAPDI V, Jilid I. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP -- RS Kariadi, Semarang 1981, hal. 53
8. Ingbar SH Woeber KA. Disease of the Thyroid. In : Harrison's Principles of Internal Medicine.IsselbacherKJ et.al.
(eds) 9th ed. Tokyo : McGraw --Hill Hogakusha Ltd. 1980. p. 1694
9. Kaplan MM, Utiger PD. Diagnosis of Hyperthyroidism. In : Clinics in Endocrinology and Metabolism;
Thyrotoxicosis. Volpe R (ed) Vol. 7/No. 1 London, Philadelphia, Toronto. WB Saunders Co Ltd. March 1978; p. 197
10. Yeo PPB. Hyperthyroidism Treatment and Prediction of Relapse. Med.Progr 1984; 11 : 16
11. Gossage AAR, Munro DS. The Pathogenesis of Graves Disease. Clinics In Endocrinology And Metabolism 1985;
14 : 299.
12. Wall JR, Kuraki T. Immunologic Factors in Thyroid Disease. Med Clin N Am 1985; 69 : 913
13. Permono, Sri Walijoeni.Pola hipertiroidi di Poliklinik Tiroid. Karya Akhir.Penelitian Retrospektif di Polildinik
Tiroid Bagian Penyakit Dalam Fak. Kedokteran Universitas Airlangga R.S. Dr. Soetomo Surabaya, 1980; hal. 31
14. Cooper DS, Ridgway EC. Clinical Management of Patients with Hyperthyroidism. Med Clin N Am 1986; 69 : 953
15. Werner SC. Hyperthyroidism : Introduction. In : The Thyroid, a fundamental and clinical text. Werner SC, Ingbar SH
Eds. 4th Ed. Maryland; Harper and Row. 1978, p. 591
16. Mc Larty DG, Brownlie BEW, Alexander WD, Papapetrou PD, Horton P. Remission of thyrotoxicosis during
treatment with propranolol. Br Med J 1973; 2 : 332.
17. Riddle MC, Schwartz TB. New tactics for hyperthyroidism : Sympathetic blockade. Ann Inter Med 1970; 72 : 749
18. Mc Devitt DG, Shanks RG. Beta adrenoceptor blocking drugs in Hyperthyroidism. In : Avery GS (ed.) :
Cardiovascular drugs. Vol 2. Adis Press. Sydney, 1977. p. 161
19. Khir ASM. Suspected Thyrotoxicosis. Br Med J. 1985; 290 : 916.
20. Spaulding SW, Lippes H. Hyperthyroidism. Med Clin North Am. 1985; 69 : 937
21. Carmago CA, Kolb FO. Endocrine Disorders. In : Current Medical Diag-nosis and Treatment 1984. Krupp MA,
Chatton MJ. (eds) Lange Medical Publ. Los Altos, California, 1984; p. 679
22. Robbins J, Rall JE, Gordon P. The Thyroid and Iodine Metabolism, In : Duncan's Diseases of Metabolism. Bondy
PK, Rosenberg LE. Eds. 7th. Ed. Philadelphia, London, Toronto. WB Saunders Co. Tokyo : Igaku Shoin Ltd 1974; p.
1009.
23. Solomon D. Treatment : Antithyroid Drugs, Surgery, Radioiodine; Selection of Therapy. In : The Thyroid, A
fundamental and clinical test. Werner SC, Ingbar SH. (Eds.) 4th Ed. Hagertown, Maryland, New York, San Fransisco,
London. Harper and Row. 1978; p. 814
24. Romaldini JH et al. Management of Hyperthyroidism with High Dosage of Antithyroid Drugs (ATD) associated with
Triiodothyronine (T3). In : A. Tjokroprawiro, ED : VII International Thyroid. Sydned Australia, February 3 8 1980.
Selected Abstracts, 1980
25. Adimasta JH, Hassan A. Hyperthyroidi di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Dalam : Saleh M dick. (eds) : Naskah
lengkap Kopapdi II Surabaya. Libra Jaya Press. 1973; hal 450
26. Braverman LE. Therapeutic Considerations. In : Clinics in Endocrinology and Metabolism; Thyrotoxicosis. Volpe R.
(Ed) Vol. 7/No. 1 London, Philadelphia, Toronto. WB Saunders Co Ltd. March 1978, p. 221
27. Langer A, Hung CT, McA'Nulty JA, Harringan JT, Washington E. Adrenergic blockade. A new approach to
hyperthyroidism during pregnancy. Obstet Gynecol 1974; 44 : 181
Graves Disease

Author: Sai-Ching Jim Yeung, MD, PhD, FACP, Deputy Section Chief of Emergency Care, Assistant Professor,
Department of General Internal Medicine, Ambulatory Treatment and Emergency Care, University of Texas MD
Anderson Cancer Center
Coauthor(s): Mouhammed Amir Habra, MD, Endocrine Fellow, Department of Endocrine Neoplasia and Hormonal
Disorders, University of Texas MD Anderson Cancer Center; Alice Cua Chiu, MD, Consulting Staff, Department of
Internal Medicine, Division of Endocrinology, Columbia Bayshore Medical Center
Contributor Information and Disclosures Updated: Apr 26, 2010

Background
Graves disease, named after Robert J. Graves, MD,1 circa 1830s, is an autoimmune disease characterized by
hyperthyroidism due to circulating autoantibodies. Thyroid-stimulating immunoglobulins (TSIs) bind to and activate
thyrotropin receptors, causing the thyroid gland to grow and the thyroid follicles to increase synthesis of thyroid
hormone. Graves disease, along with Hashimoto thyroiditis, is classified as an autoimmune thyroid disorder.
In some patients, Graves disease represents a part of more extensive autoimmune processes leading to
dysfunction of multiple organs (eg, polyglandular autoimmune syndromes). Graves disease is associated with pernicious
anemia, vitiligo, diabetes mellitus type 1, autoimmune adrenal insufficiency, systemic sclerosis, myasthenia gravis,
Sjögren syndrome, rheumatoid arthritis, and systemic lupus erythematosus.2

Recent studies
Boelaert et al investigated the prevalences of and relative risks for coexisting autoimmune diseases in patients
with Graves disease (2791 patients) or Hashimoto thyroiditis (495 patients). The authors found coexisting disorders in
9.7% of patients with Graves disease and in 14.3% of those with Hashimoto thyroiditis, with rheumatoid arthritis being
the most common of these (prevalence = 3.15% and 4.24% in Graves disease and Hashimoto thyroiditis, respectively).
Relative risks of greater than 10 were found for pernicious anemia, systemic lupus erythematosus, Addison disease,
celiac disease, and vitiligo. The authors also reported a tendency for parents of patients with Graves disease or
Hashimoto thyroiditis to have a history of hyperthyroidism or hypothyroidism, respectively.3

Pathophysiology
In Graves disease, B and T lymphocyte-mediated autoimmunity are known to be directed at 4 well-known thyroid
antigens: thyroglobulin, thyroid peroxidase, sodium-iodide symporter, and the thyrotropin receptor. However, the
thyrotropin receptor itself is the primary autoantigen of Graves disease and is responsible for the manifestation of
hyperthyroidism. In this disease, the antibody and cell-mediated thyroid antigen-specific immune responses are well
defined. Direct proof of an autoimmune disorder that is mediated by autoantibodies is the development of
hyperthyroidism in healthy subjects by transferring thyrotropin receptor antibodies in serum from patients with Graves
disease and the passive transfer of thyrotropin receptor antibodies to the fetus in pregnant women.
The thyroid gland is under continuous stimulation by circulating autoantibodies against the thyrotropin receptor,
and pituitary thyrotropin secretion is suppressed because of the increased production of thyroid hormones. The
stimulating activity of thyrotropin receptor antibodies is found mostly in the immunoglobulin G1 subclass. These
thyroid-stimulating antibodies cause release of thyroid hormone and thyroglobulin that is mediated by 3,'5'-cyclic
adenosine monophosphate (cyclic AMP), and they also stimulate iodine uptake, protein synthesis, and thyroid gland
growth.
The anti-sodium-iodide symporter, antithyroglobulin, and antithyroid peroxidase antibodies appear to have little
role in the etiology of hyperthyroidism in Graves disease. However, they are markers of autoimmune disease against the
thyroid. Intrathyroidal lymphocytic infiltration is the initial histologic abnormality in persons with autoimmune thyroid
disease and can be correlated with the titer of thyroid antibodies. Besides being the source of autoantigens, the thyroid
cells express molecules that mediate T cell adhesion and complement regulation (Fas and cytokines) that participate and
interact with the immune system. In these patients, the proportion of CD4 lymphocytes is lower in the thyroid than in the
peripheral blood. The increased Fas expression in intrathyroidal CD4 T lymphocytes may be the cause of CD4
lymphocyte reduction in these individuals.
Several autoimmune thyroid disease susceptibility genes have been identified: CD40, CTLA-4, thyroglobulin,
TSH receptor, and PTPN22.4 Some of these susceptibility genes are specific to either Graves disease or Hashimoto
thyroiditis, while others confer susceptibility to both conditions. The genetic predisposition to thyroid autoimmunity may
interact with environmental factors or events to precipitate the onset of Graves disease.
Pathophysiologic mechanisms of Graves disease relating thyroid-stimulating immunoglobulins to
hyperthyroidism and ophthalmopathy. T4 is levothyroxine. T3 is triiodothyronine.

Pathophysiologic mechanisms of Graves disease relating thyroid-stimulating immunoglobulins to


hyperthyroidism and ophthalmopathy. T4 is levothyroxine. T3 is triiodothyronine.

Frequency---United States
Graves disease is the most common cause of hyperthyroidism in the United States. A study conducted in Olmstead
County, Minnesota estimated the incidence to be approximately 30 cases per 100,000 persons per year.5 The prevalence
of maternal thyrotoxicosis is approximately 1 case per 500 persons, with maternal Graves disease being the most
common etiology. Commonly, patients have a family history involving a wide spectrum of autoimmune thyroid diseases,
such as Graves disease, Hashimoto thyroiditis, or postpartum thyroiditis, among others.

International
Among the causes of spontaneous thyrotoxicosis, Graves disease is the most common. Graves disease represents 60-90%
of all causes of thyrotoxicosis in different regions of the world. In the Wickham Study in the United Kingdom, the
incidence was reported to be 100-200 cases per 100,000 population per year.6 The incidence in women in the UK has
been reported to be 80 cases 100,000 per year.7

Mortality/Morbidity
If left untreated, Graves disease can cause severe thyrotoxicosis. A life-threatening thyrotoxic crisis (ie, thyroid storm)
can occur. Long-standing severe thyrotoxicosis leads to severe weight loss with catabolism of bone and muscle. Cardiac
complications and psychocognitive complications can cause significant morbidity. Graves disease is also associated with
ophthalmopathy, dermopathy, and acropachy.
 Thyroid storm is an exaggerated state of manifestation of thyrotoxicosis.8 It occurs in patients who have
unrecognized or inadequately treated thyrotoxicosis and a superimposed precipitating event such as thyroid surgery,
nonthyroidal surgery, infection, or trauma. When thyroid storm was first described, the acute mortality rate was
nearly 100%. In current practice, with aggressive therapy and early recognition of the syndrome, the mortality rate is
approximately 20%.9
 Long-term excess of thyroid hormone can lead to osteoporosis in men and women. The effect can be particularly
devastating in women, in whom the disease may compound the bone loss secondary to chronic anovulation or
menopause. Bone loss is accelerated in patients with hyperthyroidism. The increase in bone loss can be demonstrated
by increased urinary pyridinoline cross-link excretion. Serum calcium and phosphate, plasma FGF-23 were
significantly higher in the patients with Graves disease than in healthy control subjects, 10 suggesting that FGF-23 is
physiologically related to serum phosphate homeostasis in untreated Graves disease.
 Hyperthyroidism increases muscular energy expenditure and muscle protein breakdown. These abnormalities may
explain the sarcopenia and myopathy observed in patients with hyperthyroid Graves disease.
 Cardiac hypertrophy has been reported in thyrotoxicosis of different etiologies. Rhythm disturbances such as
extrasystolic arrhythmia, atrial fibrillation, and flutter are common. Cardiomyopathy and congestive heart failure can
occur.11
 Psychiatric manifestations such as mood and anxiety disorders are common.12 Subjective cognitive dysfunction are
often reported by Graves disease patients and may be due to affective and somatic manifestations of thyrotoxicosis,
which remit after treatment of Graves thyrotoxicosis.13
 Nonpitting edema is the most prevalent form of dermopathy (about 40%) and are primarily in the pretibial area. The
nearly all (>95%) patients with dermopathy had ophthalmopathy.14 Advanced forms of dermopathy are elephantiasis
or thyroid acropachy. Severe acropachy can be disabling and can lead to total loss of hand function.
 Progression of ophthalmopathy can lead to compromised vision and blindness. Visual loss due to corneal lesions or
optic nerve compression can be seen in severe Graves ophthalmopathy.
 Maternal Graves disease can lead to neonatal hyperthyroidism by transplacental transfer of thyroid-stimulating
antibodies. Approximately 1-5% of children of mothers with Graves disease (usually with high TSI titer) are affected.
Usually, the TSI titer falls during pregnancy.
 Elderly individuals may develop apathetic hyperthyroidism, and the only presenting features may be unexplained
weight loss or cardiac symptoms such as atrial fibrillation and congestive heart failure.
Race
 In whites, autoimmune thyroid diseases are, based on linkage analysis, linked with the following loci: AITD1,
CTLA4, GD1, GD2, GD3, HT1, and HT2. Different loci have been reported to be linked with autoimmune thyroid
diseases in persons of other races.
 Susceptibility is influenced by genes in the human leukocyte antigen (HLA) region on chromosome 6 and in CTLA4
on band 2q33. Association with specific HLA haplotypes has been observed and is found to vary with ethnicity.
Sex
 As with most autoimmune diseases, susceptibility is increased in females. Hyperthyroidism due to Graves disease has
a female-to-male ratio of 7-8:1.
 The female-to-male ratio for pretibial myxedema is 3.5:1. Only 7% of patients with localized myxedema have
thyroid acropachy.
 Unlike the other manifestations of Graves disease, the female-to-male ratio for thyroid acropachy is 1:1.
Age
 Typically, Graves disease is a disease of young women, but it may occur in persons of any age.
 The typical age range is 20-40 years.
 Most affected women are aged 30-60 years.
Clinical History
 Because Graves disease is an autoimmune disorder that also affects other organ systems, taking a careful patient
history is essential to establishing the diagnosis.
 In some cases, the history might suggest a triggering factor such as trauma to the thyroid, including surgery of the
thyroid gland, percutaneous injection of ethanol, and infarction of a thyroid adenoma. Other factors might include
interferon (eg, interferon beta-1b) or interleukin (IL-4) therapy.
 Patients usually present with symptoms typical of thyrotoxicosis. Hyperthyroidism is characterized by both increased
sympathetic and decreased vagal modulation.15 Tachycardia and palpitation are very common symptoms.
 Not all patients present with such classic features. In fact, a subset of patients with euthyroid Graves disease is
described.
 In elderly individuals, fewer symptoms are apparent to the patient. Clues may include unexplained weight loss,
hyperhidrosis, or rapid heart beat.
 Young adults of Southeast Asian descent may complain of sudden paralysis thought to be related to thyrotoxic
periodic paralysis. There is an association of polymorphisms of the calcium channel alpha1-subunit gene with
thyrotoxic periodic paralysis.16
 The symptoms of Graves disease, organized by systems, are as follows:
o General - Fatigue, general weakness
o Dermatologic - Warm, moist, fine skin; sweating; fine hair; onycholysis; vitiligo; alopecia; pretibial myxedema
o Neuromuscular - Tremors, proximal muscle weakness, easy fatigability, periodic paralysis in persons of
susceptible ethnic groups
o Skeletal - Back pain, loss of stamina, history of fractures
o Cardiovascular - Palpitations, dyspnea on exertion, chest pain, edema
o Respiratory - Dyspnea
o Gastrointestinal - Increased bowel motility, hyperdefecation with or without diarrhea
o Ophthalmologic - Tearing, gritty sensation in the eye, photophobia, eye pain, protruding eye, diplopia, visual
loss
o Renal - Polyuria, polydipsia
o Hematologic - Easy bruising
o Metabolic - Heat intolerance, weight loss despite increase or similar appetite, worsening diabetes control
o Endocrine/reproductive - Irregular menstrual periods, decreased menstrual volume, gynecomastia, impotence
o Psychiatric - Restlessness, anxiety, irritability, insomnia
Physical
 Most of the physical findings are related to thyrotoxicosis.
 Physical findings that are unique to Graves disease but not associated with other causes of hyperthyroidism include
ophthalmopathy and dermopathy. Myxedematous changes of the skin (usually in the pretibial areas) are described as
resembling an orange peel in color and texture. Onycholysis can be seen usually in the fourth and fifth fingernails.
 The presence of a diffusely enlarged thyroid gland, thyrotoxic signs and symptoms, together with evidence of
ophthalmopathy or dermopathy, can establish the diagnosis.
 Common physical findings, organized by anatomic regions, are as follows:
o General - Increased basal metabolic rate, weight loss despite increase or similar appetite
o Skin - Warm, most, fine skin; increased sweating; fine hair; vitiligo; alopecia; pretibial myxedema
o Head, eyes, ears, nose, and throat - Chemosis, conjunctival irritation, widening of the palpebral fissures, lid lag,
lid retraction, proptosis, impairment of extraocular motion, visual loss in severe optic nerve involvement,
periorbital edema
o Neck - Upon careful examination, the thyroid gland generally is diffusely enlarged and smooth; a well-
delineated pyramidal lobe may be appreciated upon careful palpation; thyroid bruits and, rarely, thrills may be
appreciated; thyroid nodules may be palpable.
o Chest - Gynecomastia, tachypnea, tachycardia, murmur, hyperdynamic precordium, S3, S4 heart sounds, ectopic
beats, irregular heart rate and rhythm
o Abdomen - Hyperactive bowel sound
o Extremities - Edema, acropachy, onycholysis
o Neurologic - Hand tremor (fine and usually bilateral), hyperactive deep tendon reflexes
o Musculoskeletal - Kyphosis, lordosis, loss of height, proximal muscle weakness, hypokalemic periodic paralysis
in persons of susceptible ethnic groups
o Psychiatric - Restlessness, anxiety, irritability, insomnia, depression
 Ophthalmopathy is a hallmark of Graves disease.
o Approximately 25-30% of patients with Graves disease have clinical evidence of Graves ophthalmopathy.
Thyrotropin receptor is highly expressed in the fat and connective tissue of patients with Graves ophthalmopathy.
o Measuring diplopia fields, eyelid fissures, range of extraocular muscles, visual acuity, and proptosis provides
quantitative assessment to follow the course of ophthalmopathy.
o Signs of corneal or conjunctival irritation include conjunctival injection and chemosis.
o A complete ophthalmologic examination, including retinal examination and slit-lamp examination by an
ophthalmologist, is indicated if the patient is symptomatic.
 Although thyroid nodule(s) may be present, excluding multinodular toxic goiter (especially in older patients) as the
cause of thyrotoxicosis is essential. The approach to treatment may be different. Excluding thyroid neoplasia is also
important in these patients because reports have indicated that differentiated thyroid cancer is probably more
common in patients with Graves disease and may also have a more aggressive course in these patients.17
Causes
 Graves disease is autoimmune in etiology, and the immune mechanisms involved may be one of the following:
o Expression of a viral antigen (self-antigen) or a previously hidden antigen
o The specificity crossover between different cell antigens with an infectious agent or a superantigen
o Alteration of the T cell repertoire, idiotypic antibodies becoming pathogenic antibodies
o New expression of HLA class II antigens on thyroid epithelial cells (eg, HLA-DR antigen)
 The autoimmune process in Graves disease is influenced by a combination of environmental and genetic factors.
o Several autoimmune thyroid disease susceptibility genes have been identified: CD40, CTLA-4, thyroglobulin,
TSH receptor, and PTPN22.4 Some of these susceptibility genes are specific to either Graves disease or
Hashimoto thyroiditis, while others confer susceptibility to both conditions. HLA-DRB1 and HLA-DQB1 also
appear to be associated with Graves disease susceptibility. Genetic factors contribute approximately 20-30% of
overall disease susceptibility.
 Cytotoxic T lymphocyte-associated molecule-4 (CTLA4) is a major thyroid autoantibody susceptibility
gene,18,19 and it is a negative regulator of T-cell activation and may play an important role in the
pathogenesis of Graves disease. The G allele of exon1 +49 A/G single nucleotide polymorphism (SNP) of
the CTLA4 gene influences higher TPOAb and TgAb production in patients who are newly diagnosed with
Graves disease.18 This SNP of the CTLA4 gene can also predict recurrence of Graves disease after cessation
of thionamide treatment.20
 There is an association of a C/T SNP in the Kozak sequence of CD40 with Graves disease.4,21
 The association of SNPs in PTPN22 varies among autoimmune diseases individually or as part of a
haplotype, and the mechanisms by which PTPN22 confers susceptibility to Graves disease may differ from
other autoimmune diseases.22
 Alleles of intron 7 of the thyrotropin receptor gene (TSHR) have also been shown to contribute to
susceptibility to Graves disease.
o Environmental factors associated with susceptibility are largely unproven. Other factors include infection, iodide
intake, stress, female sex, steroids, and toxins. Smoking has been implicated in the worsening of Graves
ophthalmopathy.
 Graves disease has been associated with a variety of infectious agents such as Yersinia enterocolitica and
Borrelia burgdorferi. Homologies have been shown between proteins of these organisms and thyroid
autoantigens.23,24
 Stress can be a factor for thyroid autoimmunity. Acute stress-induced immunosuppression may be followed
by immune system hyperactivity, which could precipitate autoimmune thyroid disease.
 This may occur during the postpartum period, in which Graves disease may occur 3-9 months after
delivery.
 Estrogen may influence the immune system, particularly the B-cell repertoire.
 Both T- and B-cell function are diminished during pregnancy, and the rebound from this
immunosuppression is thought to contribute to the development of postpartum thyroid syndrome.
 Experimental evidence suggests that androgen protects against, and estrogen enhances, thyroiditis
after thyroglobulin immunization. The experimental results provide evidence for a major influence of
sex steroids on the development of Graves disease.
 Interferon beta-1b and interleukin-4, when used therapeutically, may cause Graves disease.
 Trauma to the thyroid has also been reported to be associated with Graves disease. This may include surgery
of the thyroid gland, percutaneous injection of ethanol, and infarction of a thyroid adenoma.

Anda mungkin juga menyukai