Anda di halaman 1dari 22

Latar Belakang

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena
toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan
penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae,
dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada
faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini
menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari,
penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. Difteri merupakan penyakit
yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody
secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi
diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut.
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih
ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah
berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup
tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat
adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun
secara drastis.
Anamesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan
lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan
riwayat perjalanan penyakit.3
- Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan,
pekerjaan.
- Keluhan utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak harus
sejalan dengan diagnosis utama.
- Riwayat penyakit sekarang
- Riwayat penyakit dahulu (RPD)
- Riwayat kesehatan keluarga atau riwayat penyakit menahur
Riwayat lingkungan tempat tinggal, sosal ekonomi Pemeriksaan Penunjang
a. Shick Test : Schick merancang tes kulit sebagai sarana untuk menentukan kerentanan atau
kekebalan terhadap difteri pada manusia. Toksin difteri akan menyebabkan reaksi inflamasi
ketika jumlah yang sangat kecil 0,1 cc yang disuntikkan intracutaneously. Uji Schick
melibatkan menyuntikkan dosis yang sangat kecil dari toksin di bawah kulit lengan bawah
dan mengevaluasi tempat suntikan setelah 48 jam. Sebuah tes positif (reaksi inflamasi)
menunjukkan kerentanan (nonimmunity). Sebuah tes negatif (tidak ada reaksi) menunjukkan
imunitas (antibodi menetralisir toksin).
b. Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman diphtheria. Tes dilakukan
dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid secara suntikan intradermal.
Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa :
- Pernah terpapar pada basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
- Pemberian toksoid diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Kekebalan pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap diphtheria
(sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent infection dan imunisasi
dengan toksoid diphtheria.
Etiologi Difteri
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC,
tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan
palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif
dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar
darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila direduksi oleh C.
diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan
media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat
konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada
medium ini koloni akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat
hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan mistis
namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa
pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas
C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji kematian)
atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi
polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)
dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh
C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Patogenesis dan Patofisiologi Difteri
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh
darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2
transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan
biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan
transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui
proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2
yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang
terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan
nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring
atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok
adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi,.
Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala
hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
Manifestasi Klinis Difteri
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa
gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah
imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan
kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur,
penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah
beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta
gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun
1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua
tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-
tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC.
a. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada
bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan
membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada
pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat
lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
b. Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri
kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu,
injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau
bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring
posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan
pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala
tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat
terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian
bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi
secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan
sempurna.
c. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan
difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan
lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang
rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih
mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian
mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban
yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan
membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari
impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan
kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah
terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala.
Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim.
Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada
sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-
tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif),
dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi,
pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari
penyebab bakteri dan virus lain.
Diagnosis Difteri
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik
tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan
untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak
berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih
keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila
diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Diagnosis Banding Difteri

Komplikasi Difteri
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman
lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek
eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal.
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala kliniknya
sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini dapat
disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan pada
penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi
tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical. Kasus septikemi yang
jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan
kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah
tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis
piogenik sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-
anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai
kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi
pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang
berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal
eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada
minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut
seawall 1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi lambat
sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti
efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan
perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim.
Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung
derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif
klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat
serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia berat menramalkan kematian.
Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan
respons radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai
defek hantaran permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya
sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada
mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering
terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan
fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan
resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan
menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1hari sampai 3
bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor dengan hilangnya
refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar kedistal dan lebih sering.
Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-
tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis
diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah
mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan hipotensi atau
gagal jantung.
Pengobatan dan Penatalaksanaan Difteri
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat,
makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita
diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di
jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian
ini biasa meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular


Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit
dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10
mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam
garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif
bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi
(Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan
berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar
antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan
tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat
jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis :
- Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau
bila hasil biakan 3 hari berturut-turut.
- Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
- Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. dibagi dalam
4 dosis.
- Amoksisilin.
- Rifampisin.
- Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit
diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya
dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil
berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. (8)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai
dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus
berat selama 14 hari.
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.
1. Obstruksi jalan nafas :
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.
2. Efek toksin.
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua,
tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat (minggu ke enam).
Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung redup, bising jantung, atau
aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya
terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh
sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi
sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisa
ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon reflexes,
peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis. Bila terjadi kelumpuhan
pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat
diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40mg/kgBB/hari
selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/ edenoidektomi.

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria


Biakan Uji Schick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan
status imunisasi

Prognosis Difteri
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. (8)
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya,
keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4
tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat
disebabkan oleh karena :
- Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria
- Adanya miokarditis dan gagal jantung
- Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya
akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung
yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia
amegakariositik dan leukositosis > 25.000 prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri
faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%).
Pencegahan Difteri
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau
menderita difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat
toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran
kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid
difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit
toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan
reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan
untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup
imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang
semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :
- Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-
difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah
bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.
Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan
pada umur 4 tahun).
- Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
- Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun.
Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis
0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,
kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.

Kesimpulan
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh
karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi
penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-
kadang masih ada yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram (+),
ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti
tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan
ringan, panas badan 38,9ºC.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan
faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga,
akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae
dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur).
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan
antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.
diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan
tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL
intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk
anak lebih dari 7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik
Pada Anak, Difteri, 1-18
2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
3. http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm
4. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm
5. http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
6. http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
7. http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299
Faringitis
Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa, submukosa tenggorokan.
Jaringan yang mungkin terlibat antara lain orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat infeksi
maupun non infeksi. Banyak microorganism yang dapat menyebabkan faringitis, virus (40-60%)
bakteri (5-40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang paling banyak
teridentifikasi dengan Rhinovirus (±20%) dan coronaviruses (±5%). Selain itu juga ada Influenza
virus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxsackie virus A,
cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan
terjadinya faringitis.
Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S.pyogenes dengan 5-15%
penyebab faringitis pada orang dewasa. Group A streptococcus merupakan penyebab faringitis
yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan pada anak berusia <3tahun.
Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans, Yersinia eneterolitica dan Treponema
pallidum, Mycobacterium tuberculosis.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis.
Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara langsung
menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi
menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan
hiperemi, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna
kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi
meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan
extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena
fragmen M protein dari Group A streptococcus memiliki struktur yang sama dengan sarkolema
pada myocard dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan kerusakan katub jantung. Selain
itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti lemas,
anorexia, suhu tubuh naik, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang hiperemis,
tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah
teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai
peningkatan laju endap darah dan leukosit.
TONSILITIS

Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang terdiri dari jaringan
limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya, bagian organ tubuh yang
berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu
tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil faringal yang membentuk lingkaran yang
disebut cincin Waldeyer. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan
berasal dari invaginasi hipoblas di tempat ini. Tonsillitis sendiri adalah inflamasi pada tonsila
palatine yang disebabkan oleh infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam
tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti
organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem
kekebalan tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila
tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul
tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis
membranosa, dan tonsillitis kronis.1,2,3,7
a. Tonsillitis Akut
Tonsillitis akut ini lebih disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta
hemolitikus, pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes. Virus
terkadang juga menjadi penyebab penyakit ini. Tonsillitis ini seringkali terjadi mendadak
pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1-4 derajat celcius.
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila kuman ini terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi
pembendunagn radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.6
Tonsillitis Streotokokus grup A harus dibedakan dri difteri, faringitis non bacterial,
faringitis bakteri bentuk lain dan mononucleosis infeksiosa. Gejala dan tanda-tanda yang
ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi suhu tubuh naik hingga 40o celcius, nyeri
tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas yang berbau, suara akan menjadi serak,
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu
makan, dan rasa nyeri di telinga. Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil
membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna akan tertutup
oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. 4,5,6
a. Tonsilitis Difteri
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri gram
positis pleomorfik5penghuni saluran pernapasan atas yang dapat menimbulkan
abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag.
Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada permukaan
mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu pembuluh darah dan limfe.
Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2 fragmen yaitu aminoterminal
sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal yang disatukan melalui ikatan
disulfide.3
Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.
Penularan melalui udara, benda atau makanan uang terkontaminasai dengan masa in
kubasi 2-7 hari. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebril,
nyeri tnggorok, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat. Gejala
local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor makin lama
makin meluas dan menyatu membentuk membran semu. Membran ini melekat erat pada
dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan. Jika menutupi laring akan menimbulkan
serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak
terbendung kelenjar limfa leher akan membengkak menyerupai leher sapi. Gejala
eksotoksin akan menimbulkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis sampai
decompensation cordis . 5,6
TONSILO FARINGITIS

Faringitis secara luas menyangkut tonsillitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi


pada daerah faring dan sekitarnya yang ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok1.
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak berusia ≤ 3
tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus, rhinovirus, dan virus
parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah bakteri
terbanyak penyebab penyakit faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-
30% pada anak sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.mikroorganisme seperti
klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi1.
Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik di faring, seperti
rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap dan debu,
beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yang tidak adekuat2.
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan
mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi, serta
melalui makanan merupakan cara penularan yang kurang berperan. Penyebaran SBGA
memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat1,3.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian
menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring,
uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di
faring yang menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan eritem faring, tonsil, atau
keduanya. Infeksi streptococcus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin
ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus dan SBHGA lebih banyak terjadi akibat kontak
tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan kontak oral. Gejala akan tampak setelah
masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam1,2.
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokan dengan
awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak
berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan
demam tinggi dan nyeri tenggorok. Gejala seperti rhinorrea, suara serak, batuk, konjungtivitis,
dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat ditemukan pada
anamnesa.
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut streptococcus
menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem pada tonsil dan faring yang disrtai
pembesaran tonsil.
Faringitis streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut disertai
mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, tonsil bengkak dengan eksudasi,
kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri, uvula bengkak dan merah, ekskoriasi
hidung disertai impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie palatum mole1,4.
Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan berwarna kelabu
pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus di palatum mole, dan didnding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam
berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik1.
Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Abses leher terbentuk diantara
fascia leher dalam sebagai akibat perjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan mengakibatkan terbentuknya abses
dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik berupa nyeri setempat dan pembengkakan akan
menunjukan lokasi infeksi. Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam
ruang peritonsil. Kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis, dimana dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob. Tempat terjadinya abses biasanya adalah dibagian pillar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior dan palatum superior. Abses perintonsil dapat terjadi pada
umur 10-60 tahun, namun paling sering terjdai pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang
terjadi kecuali pada anak yang menurun system imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan
obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama
antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insidens tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus
per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hamper 45.000 kasus setiap tahun. Abses peritonsil
terbentuk karena penyebaran organism bakteri dari tonsil atau daerah lain disekitarnya. Sumber
infeksi dapat berasal dari penjalaran tonsillitis akut, yang mengalami supurasi, menembus kapsul
tonsil maupun penjalaran dari infeksi gigi. Dalam hal ini infeks telah menembus bagian kapsul
tonsil, tetapi dalam batas otot konstriktor faring. Manifestasi klinis abses peritonsiler biasanya
berupa gejala dan tanda tosilitis akut, yaitu demam tinggi, otalgia, nyeri menelan, nyeri
tenggorok, muntah,mulut berbau, hipersalivasi,suara sengau, kadang-kadang sulit membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan dan nyeri tekan pada kelenjar submandibula.

Anda mungkin juga menyukai