Anda di halaman 1dari 25

“PENGARUH REFLEKSOLOGI KAKI DAN OBAT HIPOGLIKEMI

DENGAN HEMOGLOBIN A1C PADA PENDERITA DIABETES MELITUS


TIPE II”

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2

fithrotul hilma pramita 170070301111129

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang saat ini menjadi masalah
kesehatan di setiap negara. Pada tahun 1994, 135 juta orang diperkirakan
menderita diabetes melitus di seluruh dunia dan pada tahun 2024 diperkirakan
meningkat menjadi 300 juta orang di seluruh dunia. Statistik kesehatan
masyarakat melaporkan dua puluh penyebab teratas kematianpada tahun 2004,
diabetes mellitus peringkat 12 dan diharapkan peringkat 7 sebagai penyebab
kematian pada 2030 (World Health Statistics, 2008).
Pada tahun 2000, prevalensi meningkat menjadi 9,6%. Jumlah penderita
diabetes mellitus adalah 1,54 juta orang dalam kelompok penduduk berusia 35
tahun dan jumlah penderita diabetes meningkat menjadi 2,74 juta pada tahun
2040. Jika diabetes mellitus tidak dapat berhasil dalam mengontrol glukosaakan
muncul komplikasi seperti komplikasi arteri paling sering ditemui (37,57%), diikuti
olehkomplikasi ginjal (12,96%), komplikasi visual (9,25%), komplikasi neurologis
(6,11%) dan komplikasi dari sistem saraf menjadi penyebab amputasi kaki pada
pasien DM (1,35%) (Rujinwiwat, Wanassanan,2008).
Komplikasi yang menjadi penyebabulkus kaki adalah neuropati yang
menyebabkan kelemahan otot, atrofi dan kelainan bentukkaki. Kaki sebagai
tumpuan menahan berat badan menyebabkan kulit menebal, faktor yang
menyebabkan bisul kaki (Namwongpornhom,Ampaporn and Sukdeewong,
Namoi, 2010), dan selanjutnya hilangnya sensasi terkait penurunan suplai darah
ke kaki sehingga menyebabkan iskemia dan bisul dengan jaringan nekrotik diikuti
oleh infeksi. Komplikasi ini sering sebagai alasan utama untuk rawat inap pasien
dengan diabetes melitus (Sureet, Pattama, 2006).
Masalah ulkus kaki di seluruh dunia menjadi penyebab terbesar amputasi
kaki pada tingkat 85% (International Diabetes Federation,2005). Pasien
diamputasi dengan luka kecil dan luka berlanjut sampai kematian sel
(Jantharamornkul,Sakchai, 2008). Menurut Data, terbukti bahwan ulkus kaki dan
amputasi adalah isu yang sangat penting dan kejadiannya isu-isu ini sedang
meningkat. Jika masalah tidak terselesaikan atau dicegah secara tidak efektif,
masalah berat bisa terjadi di masa depan. Fakta bahwa pasien diabetes mellitus
tidak mampu mengendalikan penyakit. Obat modern belum mampu merespon
semua kebutuhan penderita diabetes melitus. Hal ini menyebabkan pasien
mencari alternatif perawatan kesehatan untuk menyembuhkan penyakit atau
meringankan penderitaan mereka dan mencegah komplikasi. Secara non-
farmakologis perawat kesehatan datang untuk memenuhi pengobatan dengan
pendekatan holistik. Itulah konsepnya pengobatan komplementer dan alternative
(Ounprasertpong, Ladaval, 2008). pelatihan meditasi, pijat ala Thai tradisional,
penggunaan ramuan obat, penggunaan aromaterapi dan refleksologi.
Refleksologi kaki, khususnya bermanfaat dalammeringankan hilangnya sensasi
dan mengurangi tekanan kaki penderita DM(Phuyorit, Panida, 2010). Refleksi
kaki dapat dilakukan dengan mudah dan nyaman tanpa biaya tambahan.
Refleksi kaki diterima oleh masyarakat yang digunakan sebagai pedoman
praktik. Utamanya refleksologi kaki pada akhirnya bisa melatih kemandirian
(Winitkul,Somjai, 2009). Menurut kajian literatur, refleksi kaki menjadi bentuk
pengobatan alternatif terkini dan terapi pelengkap yang digunakan untuk
merawat kesehatan, misalnya refleksologi kaki membantu mengurangi glukosa
darah, mati rasa dan tekanan kaki pada diabetes tipe 2 pasien mellitus dan
mengurangi tingkat HbA dalam darah meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan
memperbaiki fungsi organ.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mempertimbangkan studi tentang
pengaruh dari refleksologi pada diabetes melitus tipe 2, efek refleksologi kaki
kanan dan refleksologi kaki pada Hemoglobin A1c sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok kontrol dan eksperimental.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh Refleksiologi Kaki dan Obat Oral Hipoglikemiaterhadap
Hemoglobin A1c pada penderita Diabetes melitus Tipe II?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi pengaruh Refleksiologi Kaki dan Obat Oral Hipoglikemia
terhadap Hemoglobin A1c pada penderita Diabetes melitus Tipe II.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui hubungan antara Refleksiologi Kaki dan Obat Oral
Hipoglikemia terhadap Hemoglobin A1c pada penderita Diabetes
melitus Tipe II.
2. Menganalisis pengaruh Refleksiologi Kaki dan Obat Oral
Hipoglikemia terhadap Hemoglobin A1c pada penderita Diabetes
melitus Tipe II.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evidence based
practice dalam praktek keperawatan di departemen medical bedah dan
sebagai data pendukung sebagai materi dalam pembelajaran pendidikan
keperawatan medical bedah.

1.4.2 Manfaat Praktis


Memberikan informasi bagi perawat, tim medis, dan tenaga
kesehatan lain terkait pengaruhRefleksiologi Kaki dan Obat Oral
Hipoglikemia terhadap Hemoglobin A1c pada penderita Diabetes melitus
Tipe II.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan
adanya hiperglikemia kronik disertai dengan penurunan yang lebih besar atau
lebih kecil dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein (Baynes, 2015).
Sedangkan menurutAmerican Diabetes Association (ADA) pada tahun 2010,
diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya.
Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Soegondo, 2009). Diabetes
mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh resistensi insulin
(Suyono, 2009).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus
adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan adanya hiperglikemik
akibat dari kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif.
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi Diabetes Mellitus antara lain :
2.1.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 ditandai dengan kerusakan sel beta yang
disebabkan oleh proses autoimun, biasanya menyebabkan kekurangan insulin
absolut. Akibatnya, semua pasien dengan diabetes tipe ini akan memerlukan
terapi insulin untuk mengendalikan kadar gula darah (Baynes, 2015).
2.1.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 sering terjadi, mencakup 85% dari pasien
diabetes. Keadaan ini terjadi akibat dari resistensi insulin atau dari penurunan
jumlah produksi insulin. Diabetes tipe ini sering ditemukan pada usia dewasa dan
obesitas meskipun dapat terjadi pada semua umur. Ketosis jarang terjadi, kecuali
dalam keadaan stres atau mengalami infeksi (Perkeni, 2011).
2.1.2.3 Diabetes Mellitus Gestasional
Klasifikasi gestasional (bukan kondisi patofisiologis) mengidentifikasi
wanita yang mengalami diabetes mellitus selama kehamilan. Pada kebanyakan
wanita yang mengalami GDM, gangguan tersebut memiliki onset pada trimester
ketiga kehamilan (Baynes, 2015).
Perkeni (2011) menyatakan bahwa dalam kehamilan terjadi perubahan
metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan
bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin
meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal. Bila seorang ibu
tidak mampu meningkatkan produksi insulin sampai relatif hipoinsulin, maka akan
mengakibatkan hiperglikemi. Resistensi insulin juga bisa disebabkan oleh adanya
hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan plasenta laktogen. Hormon tersebut
mempengaruhi reseptor insulin pada sel sehingga mengurangi aktivitas insulin.
2.1.2.4 Diabetes Mellitus Tipe Lain
Diabetes Mellitus tipe ini berhubungan dengan keadaan atau sindrom
tertentu dari hiperglikemik yang terjadi karena penyakit lain, seperti : penyakit
pankreas, hormonal, alat/bahan kimia, endokrinopati, sebab autoimun yang
jarang, kelainan reseptor insulin atau sindrom genetik tertentu yang berkaitan
dengan DM (Perkeni, 2011).

2.1.3 Faktor Risiko Diabetes Mellitus


Faktor risiko yang dapat memicu timbulnya penyakit diabetes mellitus
menurut Perkeni (2011), adalah :
2.1.3.1 Faktor risiko yang dapat diubah
 Berat badan berlebih (IMT > 23 kg/m2).
 Kurangnya aktivitas fisik.
 Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl).
 Hipertensi (> 140/90 mmHg).
 Diet tidak sehat : Diet tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan
risiko menderita prediabetes / intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
2.1.3.2 Faktor risiko yang tidak dapat diubah
 Riwayat keluarga dengan diabetes.
 Ras dan etnik.
 Usia : Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia < 45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM.
 Terdapat riwayat pernah menderita Diabetes Mellitus Gestasional.

2.1.4 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus


Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi
glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi
ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria)
dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka
pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang.
Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2012
dalam Price, dan Wilson, 2012).

2.1.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus


Menurut Ozougwu, J. C., dkk (2013), patofisiologi dari Diabetes Tipe 1
adalah terdapat kehancuran autoimun dari pankreas sel β menyebabkan
defisiensi sekresi insulin yang mengakibatkan gangguan metabolik yang terkait
dengan IDDM. Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi pankreas sel α juga tidak
normal dan terdapat sekresi glukagon berlebihan pada pasien IDDM. Biasanya,
hiperglikemia menyebabkan berkurangnya sekresi glukagon. Namun, pada
pasien dengan IDDM, glukagon sekresi tidak ditekan oleh hiperglikemia. Contoh
yang paling menonjol dari gangguan metabolisme ini adalah bahwa pasien
dengan IDDM cepat mengembangkan diabetic ketoacidosis dengan tidak adanya
pemberian insulin.
Meskipun kekurangan insulin adalah cacat utama pada pasien dengan
IDDM, ada juga cacat dalam pemberian insulin. Ada beberapa mekanisme
biokimia yang menjelaskan penurunan respon jaringan terhadap insulin.
Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkendali dan peningkatan
kadar asam lemak bebas dalam plasma yang menekan metabolisme glukosa di
jaringan perifer seperti otot skeletal (Ozougwu, J. C., dkk, 2013). Hal ini
mengganggu pemanfaatan glukosa dan kekurangan insulin juga menurunkan
ekspresi dari sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target dalam
merespon secara normal terhadap insulin seperti glukokinase di hati dan kelas
GLUT 4 transporter glukosa dalam jaringan adiposa. Ozougwu, J. C., dkk (2013)
menjelaskan bahwa gangguan metabolik utama, yang hasil dari kekurangan
insulin di IDDM adalah glukosa, lipid dan metabolisme protein.
DM tipe 2 ditandai oleh adanya kegagalan sekresi insulin, resistensi
insulin, peningkatan produksi glukosa oleh hati, dan metabolisme lemak yang
abnormal. Obesitas, terutama yang jenis viseral atau sentral yang sangat sering
ditemukan pada DM tipe 2. Pada tahap awal dari gangguan, toleransi glukosa
masih mendekati normal, meskipun telah terdapat resistensi insulin. Hal ini terjadi
karena sel beta pankreas meningkatkan sekresi insulin yang akhirnya dapat
menimbulkan hiperinsulinemia. Namun, resistensi insulin yang terus-menerus
terjadi akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan pankreas untuk
mempertahankan status hiperinsulinemia ini. Pada saat inilah Impaired Glucose
Tolerance (IGT) akhirnya muncul yang ditandai oleh peningkatan glukosa pos
prandial. Sekresi insulin yang semakin lama semakin berkurang, dan ditambah
lagi oleh adanya peningkatan produksi glukosa oleh hati yang mengakibatkan
keadaan hiperglikemia semakin nyata dan pada akhirnya terjadilah kegagalan sel
beta pankreas (Powers, 2010).

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus


Pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan diabetes mellitus menurut
ADA (2012) dapat ditegakkan melalui salah satu cara berikut ini, yaitu :
1. HbA1c ≥ 6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang
menggunakan metode bersertifikat serta sudah distandarisasi.
2. Glukosa plasma puasa (Fasting Plasma Glucose = FPG) ≥ 126 mg/dl (7,0
mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori selama
minimal 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mg/dl (11.1mmol/l) selama tes toleransi
glukosa oral (TTGO). Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh
WHO yaitu menggunakan glukosa dengan beban 75 g dilarutkan dalam
air.
4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia,
plasma acak glukosa ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal, bergantung
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (Perkeni, 2011).

2.1.7 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan diabetes mellitus sesuai dengan Konsensus Perkeni
2015, terdapat langkah-langkah penatalaksanaan umum dan langkah-langkah
penatalaksanaan khusus, yaitu :
2.1.7.1 Langkah - Langkah Penatalaksanaan Umum :
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yaitu :
a. Riwayat Penyakit
 Gejala yang dialami oleh pasien.
 Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
 Faktor risiko : merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).
 Riwayat penyakit dan pengobatan.
 Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
 Pengukuran tinggi dan berat badan.
 Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru dan
jantung.
 Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
c. Evaluasi Laboratorium
 HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang
mencapai sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil dan 4
kali dalam 1 tahun pada pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak
mencapai sasaran terapi.
 Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
a. Penapisan Komplikasi : Penapisan komplikasi harus dilakukan pada
setiap penderita yang baru terdiagnosis DM Tipe 2 melalui pemeriksaan :
 Profil lipid dan kreatinin serum.
 Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.
 Elektrokardiogram.
 Foto sinar-X dada.
 Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif oleh
dokter spesialis mata atau optometris.
 Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk mengenali
faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi : inspeksi, denyut pembuluh
darah kaki, tes monofilamen 10 g, dan pemeriksaan ABI.
2.1.7.2 Langkah - Langkah Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, bila perlu
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan.
1. Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting
dari pengelolaan DM secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM) bagi penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
3. Latihan Jasmani : Kegiatan dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang.
4. Intervensi farmakologis : Terapi farmakologis diberikan bersama dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

2.1.8 Komplikasi Diabetes Mellitus


Komplikasi pada diabetes mellitus ini dibagi menjadi 2, yakni komplikasi
akut dan komplikasi kronis jangka panjang.
2.1.8.1 Komplikasi Akut
Menurut Price & Wilson (2006), komplikasi DM dibedakan menjadi komplikasi
metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang (kronik),
 Ketoasidosis Diabetik : Keadaan ketika terdapat defisiensi insulin
absolut dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol dan hormon pertumbuhan). Hal ini menyebabkan produksi
glukosa hati mengalami peningkatan dan utilisasi glukosa sel tubuh
menurun. Hal ini disebut hiperglikemia. Trias KAD adalah hiperglikemi,
asidosis, dan ketosis.
 Hipoglikemi : Penurunan kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl.
Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin / preparat oral yang
berlebihan, asupan karbohidrat kurang atau aktivitas fisik yang
berlebihan.
 Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) : Koma hiperglikemik
hiperosmolar non ketotik disebabkan karena keterbatasan ketogenesis.
HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya
ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat
dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya
ketosis.

2.1.8.2 Komplikasi Kronis Jangka Panjang


Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang
arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), dan
saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Kadar gula darah
yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Mengingat fungsi ginjal
sebagai penyaring untuk membersihkan darah dari kotoran dan cairan yang
berlebih, bila ginjal mengalami kerusakan, saringan ini menjadi rusak dan kotoran
tercampur dalam darah. Kadar gula darah yang tinggi juga dapat merusak
pembuluh darah yang menyalurkan sari-sari makanan ke retina mata. Pada
tahap awal, pembuluh darah mulai bocor dan hal ini akan mengakibatkan
penglihatan kabur dan terjadi pembengkakan. Pada tahap yang lebih parah,
pembuluh darah akan tumbuh di retina kemudian menghalangi penglihatan dan
bisa sampai terjadi kebutaan.
Komplikasi mikrovaskular berikutnya adalah neuropati yang dapat
menyebabkan penderita DM rentan terhadap infeksi. Neuropati terdiri dari
neuropati sensorik (rasa), motorik (gangguan otot) dan autonomik. Keadaan ini
mengakibatan rasa terhadap rangsang sakit menurun, perubahan kekuatan
motorik sehingga timbul perubahan tekanan pada telapak kaki, kemudian
keringat berkurang (neuropati autonomik) sehingga kulit menjadi kering. Pada
akhirnya keadaan tersebut akan memudahkan timbulnya luka sehingga rentan
terhadap infeksi. Selain itu, kelainan pembuluh darah (penyempitan)
menyebabkan adanya bagian kaki yang suplai darahnya berkurang sehingga
kelainan-kelainan diatas lebih sukar dikelola dan susah sembuh (Lumenta dkk,
2006).
Menurut Sutedjo (2014), neuropati diabetik terjadi karena gangguan
fungsi saraf tepi akibat dari gangguan pembuluh darah pada penderita DM
dengan hiperglikemi lama yang dapat mengenai saraf tepi, saraf kranial dan
saraf otonom, baik saraf sensorik maupun saraf motorik. Kejadian neuropati
berhubungan dengan derajat hiperglikemi, kadar lemak darah dan beratnya
menderita DM. Dampak dari neuropati yang dapat terjadi diantaranya adalah :

1. Mengenai Saraf Rasa (Sensory Neuropathy), dengan tanda-tanda :


a. Kurang rasa atau parestesi pada ujung anggota tubuh tangan dan kaki
yang berisiko terjadinya luka pada ujung kaki tanpa terasa dan berakhir
dengan gangren.
b. Dalam keadaan akut, penderita DM banyak buang air kecil dan muncul
rasa nyeri dalam otot, rasa nyeri seperti terbakar mendadak pada ujung
jari tangan dan kaki hingga menyebar ke telapak kaki.
c. Dalam keadaan kronis muncul rasa nyeri seperti kesetrum, kadang
kurang rasa (parestesia), dan teralu peka rasa (hiperparestesia) pada
tangan dan telapak kaki. Gejala tersebut memburuk atau makin berat
pada malam hari.
2. Mengalami Neuropati Perifer Motorik (Motoric Neurophaty), dengan gejala :
a. Kelemahan otot ekstremitas, terutama kaki.
b. Pengecilan otot kaki.
c. Kelainan bentuk kaki.
d. Mudah terjadi perlukaan.
3. Mengenai Saraf Otonom (Neuropathy Otonom), gejalanya adalah :
a. Takikardi saat istirahat.
b. Hipotensi ortostatik.
c. Konstipasi dan disfungsi ereksi pada pria.
d. Rasa penuh, mual, kembung, muntah, gangguan lambung / ulu hati
(gastroparesis).
e. Gangguan neurovaskuler.
f. Gangguan pada jantung (cardiovascular autonomic neuropathy).
g. Gangguan saluran pencernaan.
h. Gangguan pada urogenital.
i. Gangguan pada kulit.
j. Gangguan pada mata.
4. Neuropati pada kranial dan pada sambungan tulang (Cahrot’s joint).
Dampak yang dapat timbul akibat neuropati diabetes dapat
menyebabkan kerusakan saraf yang menuju pada kerusakan aliran darah dan
menyebabkan mati rasa pada kaki. Penderita DM yang sudah lama atau sudah
tua cenderung memiliki masalah sirkulasi yang lebih serius karena kerusakan
aliran darah yang melalui arteri kecil. Hal ini menambah kerentanan terhadap
luka-luka di kaki yang memerlukan waktu lama untuk disembuhkan dan bahaya
terkena infeksi (Perkeni, 2011).
Makroangiopati adalah komplikasi diabetes berikutnya yang mempunyai
gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gangguan yang terjadi dapat
berupa penimbunan sorbitol dalam intravena, hiperlipoproteinemia dan kelainan
pembekuan darah. Pada akhirnya, kondisi ini dapat mengakibatkan
penyumbatan vaskular, dan jika mengenai arteri-arteri perifer dapat
mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitten
dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika
mengenai arteri koronaria dan aorta dapat menyebabkan angina dan infark
miokardium (Price and Wilson, 2006).
Ulkus kaki diabetes adalah suatu luka terbuka pada lapisan kulit sampai
ke dalam dermis, yang biasanya terjadi di telapak kaki. Sedangkan kaki diabetik
didefinisikan sebagai adanya infeksi, ulserasi dan atau kerusakan jaringan yang
mendalam terkait dengan kelainan neurologis dan berbagai tingkat penyakit
arteri perifer (PAD) di ekstremitas bawah pada pasien dengan DM (Katsilambros
dkk, 2010). Baik mikroangiopati maupun makroangiopati, keduanya berpotensi
menyebabkan terjadinya ulkus kaki diabetes yang secara umum disebabkan oleh
neuropati, penyakit arterial, tekanan dan deformitas kaki.
Ulkus diabetik di klasifikasikan dalam beberapa grade menurut Wagner
dikutip oleh Veves and Lyons (2007), yaitu :
1. Grade 0 = Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai dengan
pembentukan kalus.
2. Grade 1 = Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
3. Grade 2 = Ulkus dalam dan menembus tendon dan tulang.
4. Grade 3 = Abses dalam dengan atau tanpa osteomielitis.
5. Grade 4 = Gangren pada jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa
selulitis.
6. Grade 5 = Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.
Pada tahun 2003, International Working Group on the Diabetic Foot
mengusulkan sistem PEDIS, dengan P untuk perfusion (perfusi); E untuk
extent/size (luas/ukuran); D untuk depth (kedalaman/kehilangan jaringan); I untuk
infection (infeksi); S untuk sensation (sensasi).
Tanda dan gejala yang muncul pada ulkus kaki diabetik dapat berupa
penurunan sensasi nyeri, penurunan sensasi saat istirahat, penurunan denyut
nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki dingin dan kuku menebal, kulit
kering, dan terjadi kerusakan jaringan (Hastuti, 2008).

2.2 Konsep Foot Reflexology


2.2.1 Definisi Foot Reflexology
Reflexology adalah pengaplikasian tekanan dan gerakan seperti memijat
pada saraf - saraf kaki dan tangan, yang saling berhubungan dengan bagian -
bagian tubuh. Dengan hanya melakukan pemijatan pada kaki dan tangan dapat
diketahui ada atau tidak adanya gangguan pada organ tubuh.
2.2.2 Manfaat Foot Reflexology
Pijat refleksi adalah suatu praktik memijat titik-titik tertentu pada tangan
dan kaki. Manfaat pijat refleksi yang paling populer adalah untuk mengurangi
rasa sakit pada tubuh. Manfaat lainnya adalah mencegah berbagai penyakit,
meningkatkan daya tahan tubuh, membantu mengatasi stres, meringankan
gejala migrain, membantu penyembuhan penyakit kronis, dan mengurangi
ketergantungan terhadap obat-obatan (Wahyuni, 2014). Teknik-teknik dasar yang
sering dipakai dalam pijat refleksi diantaranya: teknik merambatkan ibu jari,
memutar tangan dan kaki pada satu titik, serta teknik menekan dan menahan.
Rangsangan-rangsangan berupa tekanan pada tangan dan kaki dapat
memancarkan gelombang-gelombang relaksasi ke seluruh tubuh (Wahyuni,
2014).
Reflexology sebagai metode alamiah untuk merawat tubuh mempunyai
keunggulan yang tidak dimiliki oleh metode lain karena mempunyai 3 fungsi
utama, yaitu :
1. Sebagai deteksi dini terhadap adanya suatu ketidakseimbangan dalam
tubuh manusia dengan penelusuran daerah titik refleksi yang memiliki
kadar endapan kristal di simpul syarafnya sehingga hal ini dapat
memberikan peringatan dini terhadap tubuh kita agar segera diwaspadai.
Dengan adanya fungsi diagnosa dini ini maka dengan penerapan metode
refleksi yang benar dapat digunakan untuk mempredeksikan kondisi
tubuh seseorang dikemudian hari.
2. Sebagai therapy penyembuhan terhadap adanya penyakit atau gejala
penyakit yang diderita, yaitu dengan cara pemijitan secara rutin dan
berkesinambungan di daerah titik refleksi untuk dapat melepaskan
endapan-endapan kristal yang berada di simpul syaraf. Melalui pemijitan
secara rutin dan berkesinambungan maka akan dapat mengurangi dan
bahkan menyembuhkannya sekaligus tentang penderitaan atau penyakit
yang diderita.
3. Sebagai therapy perawatan tubuh yang sangat efektif dan efisien tanpa
efek samping karena dengan perawatan reflexology therapy tidak
menggunakan obat-obatan, jamu maupun ramuan-ramuan lainnya
sehingga sangat aman karena hanya menggunakan teknik pemijatan di
daerah titik-titik refleksi saja.
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang digunakan


kelompok acak kelompok uji - desain post test. Ukuran kelompok sampling
ditentukan menggunakan tabel Cohen untuk ukuran efek (Cohen, 1988) . Power
ditetapkan sebesar 0,80 dengan signifikansi statistik tingkat 0,05. Selanjutnya,
tabel kekuatan Cohen untuk ukuran efek digunakan untuk mendapatkan sampel
kelompok ukuran 20 orang untuk masing-masing kelompok. Untuk melindungi
hilangnya sampel kelompok, peneliti meningkatkan kelompok sampel menjadi 25
masing-masing untuk total 50 subjek. Sampelnya adalah dipilih secara purposif
dan diacak menjadi kontrol 25 orang dan kelompok eksperimen 25 orang.
Dibentuk kelompok kontrol yang ditiru meniru kaki refleksologi (MFR), dan 25
orang lainnya terbentuk kelompok eksperimen menerima refleksi kaki sejati
(TFR). Kedua kelompok tersebut mendapat refleksi kaki setiap hari selama 30
menit / hari selama 2 bulan. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari orang didiagnosis diabetes tipe 2, usia ≥ 20 tahun, HbA1C ≥ 8%, tidak ada
luka terbuka dan penyakit kulit pada kaki, tidak ada riwayat alergi terhadap lotion
atau kepekaan terhadap kontak dengan kaki, mau mengikut refleksologi kaki
untuk 2 bulan.
Instrumentasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi
2 bagian, yaitu instrumen yang digunakan pengumpulan data dan instrumen
yang digunakan melakukan penelitian. Instrumen yang digunakan untuk
pengumpulan data terdiri dari kuesioner untuk merekam data demografis untuk
kelompok sampel berisi data dasar pasien, riwayat sakit dengan diabetes melitus
dan data penyaringan kaki. Instrumen yang digunakan dalam melakukan
penelitian termasuk tes darah untuk haemoglobin A1c, peralatan refleksi seperti
tongkat kayu, lotion dan balsem. Peneliti menyiapkan refleksologi kaki dengan
buku pegangan, dan asisten peneliti terlatih untuk 6 orang pada 60 jam kursus
refleksologi untuk mendapatkan kompetensi. Pada hari pertama, peneliti
mengajar teori dan praktek dengan mengikuti video Asst. Prof. Dr.Ladaval
Ounprasertpong - Nichraojana. Di Hari kedua, peserta pelatihan dipasangkan
untuk berlatih tanpa menonton video untuk sesi latihan, peserta pelatihan dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok pagi dimana kelompok pertama terdiri dari 3
peserta pelatihan berlatih refleksi kaki sejati dengan menerapkan tekanan pada
titik-titik tertentu, dan sesi sore dimana kelompok kedua terdiri dari 3 kelompok
lainnya trainee yang mempraktikkan refleksi kaki. Sebelum mengumpulkan data,
refleksi kaki Buku pegangan dibuat oleh peneliti. Buku pegangan telah divalidasi
dan direvisi menurut rekomendasi sebelum digunakan dalam penelitian. Komite
Etik Rumah Sakit Ramathibodi, Universitas Mahidol menyetujui penelitian
tersebut.
Dari penelitian ini tidak pernah mempengaruhi jalannya pengobatan. Data
dianalisis dengan program komputer paket. Data dasar untuk kelompok sampel
disajikan di bentuk statistik deskriptif, jumlah dan Persentase Perbandingan
perbedaan rata – rata HbA1C di sela kelompok dilakukan oleh uji t independen
Sebelum dan sesudah intervensi kelompok dianalisis dengan paired t-test.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Sebagian besar sampel dalam penelitian ini adalah wanita yang berusia
antara 50-59 tahun. Rata-rata lama menderita diabetes pada kelompok
eksperimen (TFR) adalah 7.32 tahun dan kelompok kontrol (menerima MFR)
adalah dan 6,64 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, hasil uji t menunjukkan
bahwa TFR dalam kelompok eksperimen dapat mengurangi HbA1c lebih baik
dari MFR pada kelompok kontrol, seperti pada tabel 1 berikut:

TRF dalam kelompok eksperimen setelah 2 bulan melakukan Refleksologi


kaki dengan baik terbukti dapat menurunkan nilai HbA1c pada pasien Diabetes
Mellitus Type 2, seperti pada tabel 2 berikut:

Hasil penelitian ini dapat membuktikan bahwa terapi komplementer yang


menggabungkan kepatuhan pengobatan dan modifikasi perilaku dengan rutin,
dapat efektif menurunkan kadar HbA1c. TFR dapat memperlancar sirkulasi darah
secara efektif sehingga sel menerima lebih banyak nutrisi dan oksigen yang
dapat mengembalikan homeostasis keberbagai organ tubuh dan untuk
memperlancar aliran darah sekaligus membiarkan tubuh berfungsi normal dan
menghilangkan stres dari tubuh. Terdapat 13 poin pada TFR ketika kaki ditekan,
yaitu solar plexus, brain, pituitary gland, spine, heart, lung, diaphragm, liver,
pancreas, adrenal gland, kidneys, ureter and bladder, agar merangsang kembali
titik-titik yang mempengaruhi kerja glukosa darah dan merangsang sirkulasi
darah bisa mencapai tingkat sel, sehingga menghasilkan peningkatan fungsi
sistem saraf dan otot. Otot yang santai dan sirkulasi tubuh yang lancar
mengakibatkan organ tubuh menerimasuplai darah yang cukup, kelenjar adrenal
mampu mengurangisekresi hormon epinefrin dan norepinephrine, sehingga
menyebabkan pembuluh darah menjadi rileks seperti tekanan darah berkurang
dan detak jantung menurun dengan penurunan sekresi kortisol mengakibatkan
berkurangnya glukosa darah dan HbA1c.
Sedangkan Mimic Foot Reflexology tidak memperhatikan 13 poin tersebut
untuk kontrol glikemik. Setelah selesai sesi refleksologi, pasien dianjurkan untuk
minum air hangat, untuk mengeluarkan toksin pada akhir sesi refleksologi. Itulah
alasan kita harus menekan daerah bladder untuk merangsang kontraksi kandung
kemih. Begitu kadar glukosa darah telah berkurang, pembuluh darah yang
menuju ujung kaki menjadi lebih baik dan juga menimbulkan sensasi lebih baik.
Refleksi kaki juga menstimulasi perbaikan peredaran darah ke ujung kaki yang
dapat memperkuat jaringan periferal seperti bantalan terhadap benturan di area
kaki, yang dapat membantu meminimalkan tekanan kaki.
Refleksi kaki adalah intervensi efektif sebagai terapi komplementer untuk
kontrol glikemik. Refleksologi kaki seharusnya dapat digabungkan dengan obat
modern sebagai perawatan kaki diabetik dan memberikan perawatan holistic,
maka dari itu sangat direkomendasikan diadakan program pelatihan untuk
penyedia layanan kesehatan tentang penerapan refleksi kaki. Kurikulum khusus
refleksi kaki harus diajarkan untuk meningkatkan kapasitas penyedia layanan
kesehatan untuk merawat pasien diabetes mellitus tipe 2.
BAB V
PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan mengenai pengaruh Refleksiologi Kaki dan


Obat Oral Hipoglikemia terhadap Hemoglobin A1c pada penderita Diabetes
melitus Tipe II. Hasil tersebut membahas tentang kesenjangan ataupun
kesesuaian antara hasil penelitian yang dilakukan disertai dengan tinjauan
pustaka yang mendasarinya.

5.1 Gambaran Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan dari


keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang dan merupakan penderita
diabetes mellitus tipe 2. Menurut hasil penelitian dari Natalia (2013), bahwa
perempuan cenderung lebih tinggi untuk terkena penyakit diabetes mellitus
dibandingkan laki-laki. Hal ini terjadi disebabkan oleh faktor penurunan
sensitivitas terhadap insulin oleh penurunan hormon estrogen akibat menopause.
Estrogen pada dasarnya berfungsi untuk menjaga keseimbangan kadar gula
darah dan meningkatkan penyimpanan lemak, serta progesteron yang berfungsi
untuk menormalkan kadar gula darah dan membantu menggunakan lemak
sebagai energi.

Berdasarkan usia, sebagian besar sampel dalam penelitian ini adalah


wanita yang berusia antara 50-59 tahun. Menurut Noris, dkk (2008), bahwa DM
tipe 2 sering terjadi pada usia dewasa lebih dari 35 tahun yang gejala awal sering
tidak dirasakan dan tidak terdiagnosa selama beberapa tahun Rata-rata lama
menderita diabetes pada kelompok eksperimen (TFR) adalah 7.32 tahun dan
kelompok kontrol (menerima MFR) adalah dan 6,64 tahun. Semakin lama
seseorang mengalami diabetes mellitus maka semakin besar risiko munculnya
komplikasi-komplikasi, seperti ulkus diabetes, retinopati, nefropati, neuropati, dan
PAD (LeMone, Burke, and Bauldoff, 2011).
5.2 Analisis Pengaruh Refleksiologi Kaki dan Obat Oral Hipoglikemia
terhadap Hemoglobin A1c pada Penderita Diabetes melitus Tipe II

Hasil uji hipotesis penelitian yang menggunakan uji t independent dengan


nilai t sebesar 13.544 dengan signifikansi sebesar 0,000. Nilai signifikansi (0,000)
yang lebih kecil dari alpha 0,05 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata
(signifikan) antara kedua variabel. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa terapi
komplementer yaitu refleksi kaki yang dibantu dengan kepatuhan pengobatan
serta dengan modifikasi perilaku dapat mengurangi kadar Hemoglobin A1C pada
penderita DM tipe 2.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Surawit (2010) yang menemukan
bahwa sampel yang mendapatkan refleksi kaki telah berkurang tingkat HbA1C.
Hemoglobin A1C awalnya dikenal dengan istilah “Unusual hemoglobin pada
penyandang diabetes“ oleh Rahbar dkk pada tahun 1960-an dan baru digunakan
secara klinis sebagai pemeriksaan kontrol glikemik penyandang diabetes tahun
1980. HbA1c adalah spesifik hemoglobin terglikasi sebagai hasil penambahan
glukosa terhadap N-terminal valin pada rantai ᵝ- hemoglobin, konsentrasi HbA1c
tergantung pada konsentrasi glukosa darah dan masa hidup eritrosit. HbA1c
biasanya dilaporkan sebagai persentase dari total hemoglobin (Harefa, 2010).
Menurut Wicaksono (2012), dalam tubuh manusia terdapat jaringan-
jaringan ke seluruh bagian tubuh yang satu dengan lainnya berhubungan. Jika
salah satu titik simpul itu dipijat maka akan berhubungan dengan organ-organ
tertentu. Penekanan refleksi kaki pada 26 titik dapat mengembalikkan
hemeostatis berbagai organ dan meningkatkan sirkulasi darah serta memperbaiki
otot-otot kecil kaki pada DM yang mengalami neuropati. Titik refleksi ditelapak
kaki menurut teori refleksiologi berhubungan diseluruh organ tubuh mulai dari
kandung kemih, usus, lambung, hati, ginjal, limfa, pancreas, dan jantung. Pijat
yang dilakukan pada telapak kaki terutama organ yang bermasalah akan
memberikan rangsangan pada titik-titik saraf yang berhubungan dengan
pancreas untuk menghasilkan insulin sehingga sirkulasi darah pada kaki
meningkat dan menurunnya kadar HbA1c.
Hal ini sesui dengan penelitian yang dilakukan oleh Aqsha, dkk (2013),
menyatakan bahwa aktivitas fisik dapat menurunkan kadar HbA1c pada pasien
diabetes mellitus tipe 2. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh penelitian ini tidak
harus aktivitas berat cukup dengan berjalan kaki dipagi hari selama kurun waktu
30 menit yang dilaksanakan 3 sampai 4 kali dalam waktu seminggu sehingga
penekanan pada kaki dapat meningkatkan sensitivitas sel insulin serta
pengurangan lemak sentral dan perubahan jaringan otot. Aktivitas fisik ini
dilakukan secara rutin mampu menurunkan kadar HbA1c.
Hasil penelitian yang dilakukan Resi, ddk (2015), menyatakan bahwa
melakukan terapi pijat refleksi efektif dalam meningkatkan sensitivitas tangan dan
kaki pada pasien diabetes melitus tipe II. Setelah pemberian terapi pijat refleksi
dengan pemijatan ditujukan untuk mengembalikan keseimbangan yang ada
didalam tubuh, dengan memberikan rangsangan agar aliran darah dapat
mengalir dengan lancar. Manfaat terapi pijat refleksi kaki yang dilakukan kepada
pasien diabetes yaitu untuk melancarkan sirkulasi darah ke kaki sehingga akan
meningkatan sensitivitas tangan pada penderita DM.
Hasil penelitian Utomo, dkk (2015) menyatakan bahwa mengkonsumsi
obat hipoglikemik peroral secara tertur sesuai anjuran dokter dapat menurukan
kadar HbA1c dibandingkan tidakminum obat secara tertur. Kepatuhan minum
obat memiliki kesempatan 4 kali lebih baik untuk berhasil dalam pengelolaan DM
tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak patuh minum obat.

5.3 Implikasi Keperawatan


Implikasi keperawatan dalam bidang pelayanan keperawatan dapat
menambah pengetahuan mengenai terobosan baru mengenai pengaruh
refleksiologi kaki dan obat oral hipoglikemia terhadap hemoglobin A1c pada
penderita diabetes melitus tipe II. Perawat yang ada di rumah sakit diharapkan
dapat memberikan kombinasi antara refleksiologi kaki dan pemberian obat oral
hipoglikemia untuk menurunkan nilai hemoglobin A1c. Rumah sakit pun
sebaiknya menyusun program empowering dan pengembangan terapi kombinasi
antara refleksiologi kaki dan pemberian obat oral hipoglikemia.

5.4 Aplikasi di Indonesia


Menurut jurnal Resi, ddk (2015) masyarakat Indonesia memiliki
pengetahuan yang rendah tentang komplikasi DM yang dapat menyebabkan
ulkus pada kaki, hal tersebut juga mempengaruhi tentang pengetahuan
masyarakat tentang manfaat refleksologi kaki yang dapat mencegah timbulnya
ulkus kaki pada penderita DM. sehingga penerapan refleksologi kaki pada
penderita DM di Indonesia masih belum meluas dan belum sepenuhnya
diketahui oleh banyak orang terutama pelayanan kesehatan, maka dari itu
dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan mampu dikembangkan lagi oleh
tenaga-tenaga kesehatan di Indonesia terutama perawat agar mampu
menerapkan secara nyata pada masyarakat.

5.5 Fenomena Penanganan Pasien DM di RSSA Malang


Berdasarkan pengamatan di berbagai ruangan mengenai penanganan
pasien diabetes melitus tipe II lebih kepada dilakukannya perawatan luka apabila
terdapat luka pada pasien. Jika tidak terdapat luka, pasien hanya diberikan terapi
farmakologi berupa pemberian insulin. Monitoring kadar glukosa pun paling
sering menggunakan cek GDS. Sangat jarang dilakukan pemeriksaan kadar
HbA1c.
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Pada pasien hiperglikemia terdapat peningkatan
kadar HgA1c dimana HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal terbaik untuk
menilai resiko terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya
kadar gula darah. Cara yang tepat untuk mengatasi penurunan sensitivitas
kaki pada DM adalah pijat refleksi kaki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada kelompok eksperimen setelah 2 bulan melakukan Refleksologi kaki
dengan baik terbukti dapat menurunkan nilai HbA1c pada pasien Diabetes
Mellitus Type 2. Sehingga pemberian refleksi kaki dapat digunakan sebagai
salah satu cara yang efektif untuk menurunkan kadar HbA1c dengan disertai
pemberian obat modern untuk menurunkan kadar glukosa darah pada
pasien DM tipe 2.

6.2 Saran
Diharapkan dengan adanya bedah jurnal ini dapat memberikan masukan
kepada pihak rumah sakit terkait salah satu terapi komplementer yang dapat
menunjang untuk menurunkan kadar HbA1c pada pasien Diabetes Mellitus
Type 2 yaitu dengan memberikan terapi refleksiologi kaki yang dapat
diterapkan di ruangan-ruangan.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). (2011). Peripheral Arterial Disease in


Diabetes. Diabetes Care. 12 (26) : 3333–41.
Aqsha dkk (2013). Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kadar HBA1C Pasie
Diabetes Mellitus Tipe 2 di laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. H. Abdul
Moeloelek Bandar Lampung. ISSN 2337-2776
Datok. (2012). Mengetahui Titik Refleksi pada Kaki. diakses 28 Februari 2014
dari http://www.jamboghkita.com/2013/05/mengetahui-titik-refleksi-kaki
Harefa, E. 2010. Peran Hba1c Dalam Skrining Dan Diagnosis Diabetes. Forum
Diagnosticum. No. 4, hal. 1-4. Jakarta
International Diabetes Federation, (2005) cited in JaruneeNumpul, (2009).
Development in nursing guideline for diabetic foot screening and
preventive diabetic foot ulcer. Thematic paper master degree in family
nurse practitioner, Graduate study, MahidolUniversity,Bangkok, Thailand.
Mahendra., Tobing, A., Krisnatuti, D., & Alting, B. (2008). Care Your Self Diabetes
Melitus. Jakarta: Penebar plus+.
Mangoenprasodjo, A. S. & Hidayati, S. M. (2005). Terapi Alternatif Dan Gaya
Hidup Sehat. Yogyakarta: Pradipta Publishing.
Namwongpornhom,Ampaporn and Sukdeewong, Namoi (2010) . Diabetic foot
ulcer and factor related to foot ulcer in Diabetes Mellitus Type 2.
Journal of Thai Nursing Council. 25(3) 51-61
Rahmawati (2010). Hubungan Latihan Jasmani Terhadap Kadar Glukosa Darah
Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2. Skripsi Fakultas Sebelas Maret.
Resi dkk (2015). Perbedan Sensitivitas Tangan Dan Kaki Sebelum Dan Sesudah
Dilakukan Terapi Pijat Refleksi Pada Penderita Diabetes Mellitus. JOM Vol.
2. Oktober
Rischa Fadillah. 2017. Hubungan Frekuensi Melakukan Senam Kaki Diabetik
Terhadap Skor Ankle Brachial Index pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
di Rumah Sakit TNI AD Kota Kediri. Skripsi PSIK UB. Tidak dipublikasikan.

Rujinwiwat, Wanassanan, (2008). Survillance Report in Non Communicable


Disease Retrieved 24,June,2010 : Web site:
http://www.epid.moph.go.th/ncd/chronic/chronic_ 51_0910141504.pd
Utomo, dkk (2015). Kadar HBA1C pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Puskesmas Bahu Kecamatan Malalayang Kota Manado. Jurnal e-Biomedik
Volume 3 Nomor 1, Januari-April.
Wicaksono, R.P. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
,Semarang. diunduh http://www.eprints.undip.ac.id
World Health Statistics(2008).Retrieved November 29,2008 from:World
Health Organization : Web site:
http://www.who.int/whosis/whostat/EN_WHS08_Full.pdf

Anda mungkin juga menyukai