Anda di halaman 1dari 56

Studi Literatur

HAZARD BIOLOGI

Disusun oleh:
Zena Anzani Suci O 030.11.320
Agus Haerani 030.12.007
Amri Ageng Winahyu 030.12.015
Angeline A.T.Wantah 030.12.022
Indira Wulandari 030.09.120
Nadya Anggun M 030.09.165

Pembimbing:
dr. Reza Tandean, Mhsc(OM), Sp. OK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU HYGIENE PERUSAHAN, KESEHATAN DAN


KESELAMATAN KERJA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 27 AGUSTUS – 29 SEPTEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN

STUDI LITERATUR DENGAN JUDUL


“HAZARD BIOLOGI”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Hygiene Perusahaan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 27 Agustus – 29 September 2018

Jakarta, September 2018

dr. Reza Tandean, Mhsc(OM), Sp. OK

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya kita dapat menyelesaikan makalah mengenai ilmu kesehatan dan
keselamatan kerja yang berjudul “Hazard Biologi”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat
mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Hygine Perusahaan
Kesehatan dan Keselamatan kerja. Dalam kesempatan ini, kita ingin mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan
dan penyelesaian makalah, terutama kepada:

1. dr. Reza Tandean, Mhsc(OM), Sp. OKselaku pembimbing dalam laporan


kasus ini.
2. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Dan Keselamatan
Kerja.
3. Kami menyadari dalam penyelesaian makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan
makalah ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam bidang ilmu kesehatan dan keselamatan kerja

Jakarta, September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Rabies 2
2.1.1 Definisi 2
2.1.2 Patogenesis 2
2.1.3 Gejala Klinis 3
2.1.4 Penatalaksanaan 4
2.1.5 Pencegahan 6
2.2 Anthrax 7
2.2.1 Definisi 7
2.2.2 Patogenesis 7
2.2.3 Gejala Klinis 9
2.2.4 Penatalaksanaan 11
2.2.5 Pencegahan 15
2.3 Leptospirosis 16
2.3.1 Definisi 16
2.3.2 Etiologi 16
2.3.3 Gejala Klinis 17
2.3.4 Penegakkan Diagnosis 21
2.3.5 Penatalaksanaan 24
2.3.6 Pencegahan 25
2.4 Hepatitis 26
2.4.1 Definisi 26
2.4.2 Etiologi 27

iii
2.4.3 Klasifikasi 29
2.4.4 Gejala Klinis 29
2.4.5 Penegakkan Diagnosis 30
2.4.6 Penatalaksanaan 30
2.4.7 Pencegahan 30
2.5. Malaria 31
2.5.1 Definisi 31
2.5.2 Epidemiologi 31
2.5.3 Klasifikasi Malaria 32
2.5.4 Siklus Hidup Plasmodium 34
2.5.5 Tanda dan Gejala 36
2.5.6 Penegakkan Diagnosis 37
2.5.7 Kemoprofilaksis 39
2.5.8 Penatalaksanaan 42
2.6 Brucellosis 43
2.6.1 Definisi 43
2.6.2 Etiologi 43
2.6.3 Patogenesis 44
2.6.4 Gejala Klinis 45
2.6.5 Penatalaksanaan 45
2.6.6 Pencegahan 47
BAB III KESIMPULAN 48
DAFTAR PUSTAKA 49

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tenaga kerja merupakan modal utama dalam pengembangan usaha,


sehingga mereka harus mendapatkan perlindungan keselamatan kerja dari
perusahaan. Selain itu, untuk menunjang terciptanya suasana dan lingkungan
pekerjaan yang aman dan sehat, perusahaan harus melaksanakan beberapa
program untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap tempat kerja selalu mengandung
berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau
dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Potensi bahaya adalah segala
sesuatu yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian, kerusakan, cidera,
sakit, kecelakaan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan
dengan proses dan sistem kerja.1
Lingkungan kerja beserta semua faktor-faktornya dapat merugikan
kesehatan pekerja apabila tidak dikelolah dengan baik. Penyakit akibat kerja
timbul karena pekerja terpapar pada lingkungan kerja yang mengandung
bermacam-macam bahaya kesehatan baik yang bersifat kimia, fisik, biologi,
fisiologi dan mental psikologi.2Salah satu dari macam bahaya kesehatan adalah
bahaya biologi, yang nantinya akan kami bahas. Bahaya biologi dapat
didefinisikan faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas tenaga kerja yang bersifat
biologi disebabkan oleh makhluk hidup meliputi hewan, tumbuhan, dan
produknya serta mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja.
Bahaya biologi dapat dibagi menjadi dua yaitu yang menyebabkan infeksi dan
non-infeksi. Bahaya dari yang bersifat non infeksi dapat dibagi lagi menjadi
organisme viable, racun biogenik dan alergi biogenik.1,2
Bahaya tidak hanya berhenti pada satu tempat saja, bahaya akan muncul
dimana dan kapan saja. Identifikasi bahaya, pemeliharaan dan pemantauan
terhadap lingkungan kesehatan kerja harus dilaksanakan secara terus-menerus
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Keselamatan, kesehatan dan
lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan, sehingga dalam
prakteknya, ketiga komponen tersebut harus sinergi dan terpadu.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hazard adalah segala sesuatu yang dapat berpotensi menjadi bahaya bahkan
accident atau incident. Hazard biologi adalah potensi bahaya yang ditimbulkan
dari faktor makluk hidup yaitumerujuk pada organisme maupun bahan yang
berasal dari organisme yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Jenis
hazard biologis terdiri dari virus, bakteri, jamur, parasit.Berikut contohpenyakit
yang disebabkan oleh hazard biologi.2

2.1 RABIES
2.1.1 Definisi
Penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh virus RNA dari genus
Lyssavirus yang ditularkan oleh hewan ke manusia melalui jilatan atau gigitan
hewan yang terjangkit virus rabies yang dapat menyebabkan kematian.Masa
inkubasi virus rabies bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-
rata 1-2 bulan tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasanya kerusakan
jaringan tempat gigitan, persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan
tubuh.3
2.1.2 Patogenesis
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan
atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang,
serigala, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa
utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi
kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus
rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada
tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut
saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.3
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih
dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan
luasnya kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem
saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh.

2
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas
dalam semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf
volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap
organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti
kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya.3,4,5

Gambar 1. Patogenesis Rabies

2.1.3 Gejala Klinis


A. Pada Manusia
 Fase prodromal, gejala tidak spesifik dan berlangsung beberapa hari,tidak
lebih dari seminggu, yaitu :
o Demam
o Sakit kepala
o Malaise dan myalgia
o Di lokasi gigitan terasa gatal, nyeri dan kesemutan
 Fase neurologis Akut, terdiri dari 2 bentuk :
o Ensefalitik
- Hiperaktif, bingung, halusinasi, gangguan saraf kranial (III,
VII, VIII), stimulasi otonom (hipersalivasi, hiperlakrimasi,

3
dilatasi pupil, tekanan darah labil), spasme muscular, kejang
akibat rangsang taktil, visual, suara, penciuman (fotofobia,
aerofobia, hidrofobia)
o Paralitik
- Lumpuh dari ekstremitas yang digigit lalu ke seluruh tubuh
dan otot pernapasan.
 Fase Koma : terjadi 1 – 2 minggu setelah fase neurologis akut. Umumnya
terjadi kematian akibat aritmia atau miokarditis.

B. Pada Hewan
Ditandai dengan hewan yang tidak menurut/mengenal pemiliknya,
mudah terkejut, mudah berontak bila diprovokasi, suka menggigit apa
saja tanpa provokasi, gelisah, agresif, air liur berlebihan, takut air dan
suara, gelisah dan agresif, ekor dilengkungkan ke bawah perut.
2.1.4 Penatalaksanaan
a. Perawatan luka
Tindakan pertama yang harus dilaksanakan adalah membersihkan luka dari
saliva yang mengandung rabies. Luka segera dibersihkan dengan cara
disikat dengan sabun dan air mengalir selama 10-15 menit, kemudian
dikeringkan dan diberi antiseptik.6
b. Vaksin anti rabies (VAR)
Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat
kontak dengan hewan pengidap rabies.
Dosis dan cara pemberian vaksin anti rabies :
 Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine) terdiri dari
vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam
syringe.
o Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit; cara
pemberiannya adalah disuntikkan secara intramuskular
(im) di daerah deltoideus/ lengan atas kanan dan kiri.
Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu 0,5 ml dengan

4
4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian
sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21
satu kali pemberian.
o Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan
SAR sesudah digigit; cara pemberiannya sama di atas.
Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu Dasar 0,5 ml
dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali
pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan
hari ke 21 satu kali pemberian. Ulangan 0,5 ml sama
pada anak dandewasa pada hari ke 90.
 Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)
o Dosis dan cara pemberian sesudah digigit adalah : cara
pemberian untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara
subcutan (sc) disekitar pusar. Sedangkan untuk
vaksinasi ulang disuntikkan secara intracutan (ic)
dibagikan fleksor lengan bawah. Dosis untuk vaksinasi
dasar pada anak adalah 1 ml, dewasa 2 ml diberikan 7
kali pemberian setiap hari, untuk ulangan dosis pada
anak 0,1 ml dan dewasa 0,25 ml diberikan pada hari ke
11,15,30 dan hari ke 90.
o Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR
sesudah digigit ; cara pemberian sama dengan diatas.
Dosis dasar untuk anak 1 ml, dewasa 2 ml diberikan 7
kali pemberian setiap hari, untuk ulangan dosis pada
anak 0,1 ml dan dewasa 0,25 ml diberikan pada hari ke
11,15,25,35 dan hari ke 90.
 Serum anti rabies (SAR)
Dosis dan cara pemberian serum anti rabies :
o Serum heterolog (Kuda),mempunyai kemasan bentuk vial
20 ml (1 ml = 100 IU). Cara pemberian: disuntikkan secara
infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya

5
disuntikkan intramuskular. Dosis 40 Iu/KgBB diberikan
bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan
melakukan skin test terlebih dahulu.
o Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml ( 1
ml = 150 IU). Cara pemberian : disuntikkan secara infiltrasi
disekitar luka sebanyak mungkin,sisanya disuntikkan
intramuskular. Dosis 20 Iu/ kgBB diberikan bersamaan
dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan sebelumnya
dilakukan skin test.6
2.1.5 Pencegahan
 Mengedukasi masayarakat mengenai tatacara penanganan pasca
gigitan hewan tersangka rabies dan perlunya tindakan imunisasi
 Jangan biarkan hewan peliharaan di lepas secara bebas tanpa
pengawasan atau kendali ikatan
 Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala
di pusat kesehatan
 Segera lapor ke puskesmas/rumah sakit apabila tergigit oleh hewan
tersangka rabies
 Apabila melihat binatang dengan gejala rabies segera laporkan
pada Pusat Kesehatan Hewan atau dinas peternakan.
 Memberikan vaksinasi pra pajanan pada orang yang secara kontinu
bagi yang sering atau berisiko tinggi terpajan virus rabies, seperti
pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja kontak hewan penular,
dan lain-lain.7

6
Jadwal vaksinasi pra pajanan dilakukan secara IM pada orang dewasa dan
anak >2 tahun di otot deltoid, sedangkan anak <2 tahun dilakukan di paha
anterolateral.

Tabel 1. Vaksinasi pra pajanan menurut rekomendasi WHO


Rute Pemberian Hari Injeksi Jumlah Kunjungan

Intra Muskular (1 vial) 3 dosis (1-1-1 pada hari 3


0, 7, 21 atau 28)

Intra Dermal (0,1 mL) 3 dosis (1-1-1 pada hari 3


0, 7, 21 atau 28)

2.2 ANTHRAX
2.2.1 Definisi
Anthrax adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis.
Penyakit tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput
seperti domba, kambing, dan ternak. Penyakit ini paling sering menyerang
herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan, namun juga dapat menjangkit
manusia karena terekspos hewan-hewan yang telah terjangkit, jaringan hewan
yang tertular, atau spora anthrax dalam kadar tinggi. Penyakit ini bersifat zoonosis
yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia, namun tidak dapat
ditularkan antara sesama manusia. Hingga kini belum ada kasus manusia tertular
melalui sentuhan atau kontak dengan orang yang mengidap anthrax. Anthrax
bermakna "batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit
para korban akan berubah hitam. Penyakit Anthrax kerap disebut juga dengan
Malignant pustule, Malignant edema, Woolsorters disease, Rag pickers disease,
Charbon.8

2.2.2 Patogenesis
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit,
inhalasi (ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan
difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada
anthrax kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi

7
primer yang menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami
germinasi di dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan
keluar dari makrofag, berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan
limfadenitis hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi,dan
menyebabkan septikemia.9
Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid
virulen yaitu pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 pada Bacillus anthracis
menghasilkan eksotoksin LF (Lethal Factor) dan EF (Edema Factor) disamping
menghasilkan Protective Antigen (PA). Antigen pelindung (PA) dari toksin
anthrax mengikat ATR (Anthrax Toxin Receptor) pada permukaan sel host.
Bentuk PA yang berukuran 83-kDa dipecah oleh sel protease purin permukaan
dan menghasilkan monomer 63-kDa. Heptamerisasi PA menginduksi
pengelompokan ATRs, kemudian terjadi hubungan kompleks ATRs dengan
ikatan lipid, dan domain binding faktor edema (EF) atau faktor letal (LF).
Kemudian terjadi endositosis EF dan LF. EF menyebabkan kenaikan cAMP yang
menyebabkan edema sel, sedangkan LF merupakan metalloprotease yang
memiliki kofaktor Zn2+ mengalami translokasi ke sitosol melalui pori membran
dan menyebabkan nekrosis dan hipoksia pada sel.10

Gambar 2. Peran edema toxin dan lethat toxin pada patogenesis Anthrax

Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan FL


dan atau FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama
reseptornya akan melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel kemudian
mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah translokasi FE

8
dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis,
dan hipoksia. FE merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang
mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cy-clic adenosine
monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema. FE menghambat fungsi
netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc
metal-loprotease yang menghambat aktifitas mitogen-activated protein kinase
kinase (MAPKK) in vitro dan dapat menyebabkan hambatan signal intraselular.
FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis-α (TNF-α) dan
interleukin-1 (IL-1) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian
mendadak. Sebagai respon terhadap toxin, tubuh akan membentuk
cytokines(TNF-α, dan IL-1) dan vasodilator substance (nitric oxide, prostaglandin
E₂, prostacycline) yang disebut juga proinflamatory cytokines. Pada waktu yang
bersamaan tubuh membentuk anti inflamatory cytokines (IL-10, IL-11, IL-13
dsb). Bila keduanya seimbang akan terjadi homeostasis, bila proinflamatory lebih
dominan, maka akan terjadi Systemic Inflamatory Respons (SIRS). Plasmid
pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan capA) yang terlibat dalam sintesis
kapsul polyglutamyl. Kapsul menghambat proses fagositosis bentuk vegetatif
Bacillus anthracis.10,11
2.2.3 Gejala Klinis
Gejala penyakit anthrak pada manusia yang terjadi saat menderita penyakit
anthrax tergantung kepada jenis penyakit anthrax yang dideritanya.
a. Cutaneous Anthrax
Gejalanya berupa benjolan yang awalnya kecil dan kemudian membesar.
Benjolan ini bisa sangat gatal. Masa inkubasinya (masa yang dibutuhkan
dari sejak masuk hingga menjadi penyakit) adalah sekitar 5 -7 hari. Lalu,
benjolan menjadi terisi cairan dengan diameter 1-3 cm. Lama-kelamaan
benjolan berair ini akan membentuk luka seperti lecet dengan bagian
pinggiran yang kemerah-merahan. Di hari ke-7 hingga ke-10 terjadi
pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kepala, dan demam.

9
b. Inhalational Anthrax
Gejalanya pertama muncul di hri ke-1 sampai hari ke-7. Akan tetapi
menghilang setelah 60 hari. Gejala yang terjadi pada inhalational anthrax
biasa adalah berupa flu, sakit tenggorokan, demam, dan sakit otot. Adapun
untuk inhalational anthrax yang tidak biasa (membahayakan), gejala bisa
ditambah dengan sesak napas dan demam tinggi. Kematian bisa terjadi
dalam 24-36 jam setelah gejala berkembang.
c. Gastrointestinal Anthrax
Gejala terjadi di hari ke-1 sampai ke-6 yang berupa kerusakan/borok
lambung, borok lidah dan tonsil, sakit tenggorokan, hilang selera makan,
muntah-muntah, dan demam. Gejala ini bisa ditambah dengan sakit bagian
perut, muntah darah, dan berak darah. Dalam 2 hingga 4 hari terjadi cairan
akan mengisi rongga perut. Kematian akan terjadi di hari ke-2 sampai hari
ke-5
d. Oropharyngeal Anthrax
Gejala yang terjadi berupa demam; pembengkakan kelenjar getah bening
di leher, sakit tenggorokan yang berat, susah menelan, serta sakit lambung
dan lidah.12
Gejala penyakit anthrak pada hewan, yaitu :
1. Perakut (sangat cepat) terjadi sangat mendadak dan segera mengikuti
kematian, sesak napas, gemetar, kemudian hewan rebah kadang terdapat
gejala kejang. Pada sapi kambing dan domba mungkin terjadi kematian
yang mendadak tanpa menimbulkan gejala penyakit terlebih dahulu.
2. Bersifat akut (cepat) pada sapi, kambing, domba dan kuda : demam (suhu
tubuh mencapai 41,50C), gelisa, sesak napas, kejang, dan diikuti kematian,
kadang sesaat sebelum kematian kelaur darah kehitaman yang tidak
membeku dari lubang kumlo (lubang hidung, mulut, telinga, anus dan alat
kelamin). Pada kuda dapat terjadi nyeri perut (kolik) diare berdarah,
bengkak daerah leher dada, perut bagian bawah dan alat kelamin bagian
luar.12

10
2.2.4 Penatalaksanaan
 Pengobatan
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus anthrax
inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak
dianjurkan pada anthrax kulit. Anthrax kulit dengan gejala sistemik, edema luas,
atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotik intravena. Walaupun
sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis anthrax inhalasi,
gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. Bacillus anthracis alami resisten
terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti
sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar kuman
sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin,
sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin,
tetrasiklin, linezolid, dan makrolid.
Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol,
eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan. Pada anthrax kulit
dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus
tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda.
Oleh karena anthrax inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka
pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian
antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena
pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang
yang memiliki risiko tinggi terkena anthrax harus segera diberikan antibiotik
sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada
studi klinis terkontrol mengenai pengobatan anthrax inhalasi.33
Untuk kasus anthrax inhalasi Food and Drug Administration (FDA)
menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik
pilihan.Untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan
sebagai berikut :
a. Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan (hewan besar 20-30
ml, hewan kecil 10-1 ml)
b. Penyuntikan antibiotika

11
c. Penyuntikan kemoterapetika
d. Penyuntikan antiserum dan antibiotika atau antiserum dan
kemoterapetika.
Cara penyuntikan antiserum homolog ialah IV atau SC, sedangkan untuk
antiserum heterolog SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit, disusul
dengan vaksinasi.
Bacillus anthracis kerentanannya terhadap hampir semua antibiotika
sangatlah tinggi.Yang paling disukai adalah dengan clindamycin yang mempunyai
aktivitas terhadap Bacillus anthracis dan potensi anti-eksotoksin.Pengalaman
beberapa pasien menunjukkan respon yang lebih bagus ketika clindamycin 600
mg (iv)/ 8 jam atau 300 mg (po)/8 jam plus rifampicin 300 mg (po)/12 jam plus
golongan quinolone (levofloksasin).
Peniciline masih merupakan antibiotika yang paling ampuh, dengan cara
pemberian tergantung tipe dan gejala klinisnya, yaitu:
a. Anthrax Kulit
b. Procain Penicilline 2 x 1,2 juta IU, secara IM, selama 5-7 hari
c. Benzyl Penicilline 250.000 IU, secara IM, setiap 6 jam, sebelumnya
harus dilakukan skin test terlebih dahulu.
d. Apabila hipersensitif terhadap penicilline dapat diganti dengan
tetracycline, chloramphenicol atau erytromicine.
e. Anthrax Saluran Pencernaan & Paru
f. Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan dengan
Streptomycine 1-2 g untuk tipe pulmonal dan tetracycline 1 g perhari
untuk tipe gastrointestinal.
g. Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma
expander dan regimen vasopresor. Anthrax Intestinal menggunakan
Chloramphenicol 6 gram perhari selama 5 hari, kemudian
meneruskan 4 gram perhari selama 18 hari, diteruskan dengan
eritromisin 4 gram perhariuntuk menghindari supresi pada sumsum
tulang.8,13

12
Tabel 2. Terapi Farmakologis Infeksi Bacillus Anthracis

 Profilaksis Setelah Terpajan


Karena anthrax berasal dari bioterorisme mungkin dilakukan perubahan
strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan
obat pilihan utama. Mengingat kemungkinan adanya β-laktamase maka oleh CDC
pemberian amoksisilin sebagai profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan
setelah 10-14 hari pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat
kontraindikasi terhadap dua jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia<
18 tahun, atau terdapat intoleransi).
Mengingat kemungkinan adanya perubahan strain yang resisten terhadap
beberapa antibiotik pada bioterorisme maka kelompok kerja pertahanan sipil di
AS yang terdiri atas para ahli menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin

13
sebagai alternatif) sebagai salah satu obat dari rejimen kombinasi antibiotik yang
diberikan pada ibu hamil penderita anthrax inhalasi. Selain itu kelompok kerja
tersebut juga menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin sebagai
alternatif) pada ibu hamil untuk pengobatan infeksi anthrax inhalasi pada kejadian
massal atau profilaksis setelah pajanan. Pada ibu hamil, bila doksisiklin yang
diberikan, maka pemeriksan fungsi hati secara periodik harus dilakukan.8,13

Tabel 3. Pengobatan infeksi anthrax inhalasi pada kejadian massal atau profilaksis
setelah pajanan

 Vaksinasi
Di Amerika pemberian vaksin anthrax(anthrax vaccine adsorbed/AVA)
terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan. Sebanyak
0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada minggu ke 0, 2, dan
4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster dilakukan setiap tahun.1 Para
ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan
bahwa pada penduduk yang terpajan kuman anthrax akibat bioterorisme maka
pemberian antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi
akan memberikan proteksi yang optimal.8,13

14
 Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi
Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi anthrax dari
manusia ke manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu
penderita anthrax dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan
yang umum dilakukan. Menghindari kontak terhadap penderita hanya di
berlakukan pada penderita anthrax kulit dengan lesi yang berair. Pakaian yang
terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi sebaiknya
dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf.2 Dekontaminasi dapat dilakukan
dengan memberikan larutan sporosidal yang biasa dipakai di rumah sakit pada
tempat yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat
dipergunakan untuk dekontaminasi.8,13
2.2.5 Pencegahan
Cara pencegahan penyakit anthrax adalah dengan menghindari kontak
langsung dengan binatang atau benda-benda yang membawa bakteri penyakit ini.
Ternyata bakteri ini memiliki kemampuan yang unik. Jangkitan yang disebabkan
oleh penyakit ini tidak mudah untuk di musnahkan, karena bakteri ini memiliki
kecenderungan untuk merubah bentuknya menjadi spora yang amat stabil. Saat
berubah menjadi spora bakteri ini dapat masuk kedalam tanah dan mampu
bertahan selama lima puluh sampai enam puluh tahun di dalam tanah. Uniknya
bila tanah tempat ia tinggal tergenang air, kuman ini dapat tumbuh kembali dan
menyerang hewan ataupun manusia yang ada di sekitamya. Selain itu saat terjadi
musim kemarau biasanya ternak menaik rumput sampai ke akarnya. Inilah yang
membuat penyakit ini akan terus terulang di daerah yang pernah terkena antrax.
Kuman ini dapat terserap oleh akar tumbuh-tumbuhan, bahkan hingga dapat
masuk ke dalam daun dan buah, hingga mampu menginfeksi tenak maupun
manusia yang mengkonsumsinya. Bahkan serangga, burung, anjing, dan binatang-
binatang lain juga dapat menjadi perantara penularan penyakit ini, apabila telah
mengalami kontak langsung dengan bakteri penyebab penyakit ini.12,13
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencuci tangan sebelum makan,
hindari kontak dengan hewan atau manusia yang sudah terjangkit anthrax, belilah
daging dari rumah potong hewan yang resmi, masaklah daging dengan sempurna,

15
hindari menyentuh cairan dari luka anthrax, melaporkan secepat mungkin bila ada
masyarakat yang terjangkit anthrax.Bagi peternak atau pemilik hewan ternak,
upayakan untuk menvaksinka hewan ternaknya. Dengan Pemberian SC,untuk
hewan besar 1 ml dan untuk hewan kecil 0,5 ml.Vaksin ini memiliki daya
pengebalannya tinggi berlangsung selama satu tahun.12,13

2.3 LEPTOSPIROSIS
2.3.1 Definisi
Leptospirosis adalah zoonosis bakteri yang umum di seluruh dunia,
terutama negara berkembang. Organisme ditularkan melalui urin binatang, yang
mungkin tidak menunjukkan tanda penyakit. Manusia biasanya menjadi sakit
setelah kontak dengan urin yang terinfeksi, atau melalui kontak dengan air, tanah
atau makanan yang telah terkontaminasi. Leptospirosis disebabkan oleh
interogans Leptospiraspirochete. Ada lebih dari 200 serovar patogenik, yang
dibagi menjadi 25serogrup. Infeksi memberi kekebalan spesifik serovar, tetapi
infeksi lebih lanjut dapat terjadi dengan serovar yang berbeda. Sumber infeksi
adalah hewan yang terinfeksi. Rute transmisi utama adalah melalui kulit yang
terluka dan kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi dalam waktu
lama.Penyakit ini sering tidak terdiagnosis karena tanda dan gejalanya sulit
dibedakan dari penyakit endemis lainserta kurang tersedia laboratorium
diagnostik.14
2.3.2 Etiologi
Leptosiprosis disebabkan spesies patogenik dari genus Leptospira, suatu
bakteri spirochaeta aerob obligat. Leptospira sangat motil, berukuran 0,25 x 6,25
μm. Leptospira bersarang di tubulus ginjal pejamu mamalia dan keluar di urin.
Leptospira dapat bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
padakondisi, seperti suhu 28°C - 32°C dan pH netral atau sedikit basa.15

16
Gambar 3. Mikrograf elektron Leptospira

Pada iklim sedang infeksi leptospira didapatkan terutama melalui paparan


rekreasional (mengendarai kano, berlayar, ski air) atau pekerjaan, atau hidup di
daerah kumuh.Insiden yang terjadi pada orang yang baru saja berlibur di daerah
tropis juga merupakan bukti dari resiko dari daerah yang dikunjungi. Di daerah
tropik, paparan terutama melalui aktivitas pekerjaan seperti bersawah. Terdapat
sekitar 160 spesies hewan yang menjadi tempat perlindungan bakteri tersebut,
reservoir yang paling penting adalah tikus. Yang ada di mana-mana adalah
icterohaemorrhagiae dengan spesies tikus Rattus, hardjo dengan sapi, canicola
dengan anjing, dan pomonadengan babi dan sapi.Rattus norvegtcus juga terbukti
terdapat pada dada dan dapat di tularkan melalui air susu, baik hewan dan
manusia.Hewan yang terinfeksi dapat terbebas dari gejala dan menyebarkan
organisme di dalam urinnya selama hidupnya.15,16
2.3.3 Gejala Klinis
Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi dari ringan hingga berat. Infeksi
dapat asimptomatik, tetapi pada 5-15%kasus dapat berat atau fatal.Masa inkubasi
leptospirosis 7-12 hari, dengan gejala demam, sakit kepala dan nyeri otot.
Perjalanan penyakit secara klasik bifasik, yaitu fase bakteremikakut diikuti fase
imun,pada kasus beratkedua fase ini bergabung, pada kasus ringanfase imun
mungkin tidak terjadi. Manifestasiklinis leptospirosis secara umum terbagi dua,
yaitu penyakit anikterik yang self limiteddan penyakit ikterik (Penyakit Weil)
dengan tampilan lebih berat.

17
 Leptospirosis Anikterik
Fase akut dicirikan oleh demam awitanmendadak, menggigil, nyeri
kepalaretroorbita, anoreksia, nyeri perut, mual, dan muntah. Demam sering
melebihi 40oC dandidahului kekakuan. Terdapat juga myalgia dengan
karakteristik nyeri tekan betis, paha,abdomen, dan regio paraspinal
(lumbosakral),jika mengenai regio leher dan kuduk akan menyerupai meningitis.
Pada kasusringan demam akan menghilang setelah 3-9 hari.Injeksi konjungtiva
biasanya muncul 2-3hari setelah awitan demam dan melibatkankonjungtiva bulbi.
Tidak ada pus ataupun sekret serosa dan tidak ada perlengketanbulu mata dan
kelopak mata. Injeksi ringansering terlewatkan. Dapat puladitemukan injeksi
faring, splenomegali,hepatomegali, limfadenopati, dan lesi kulit,namun jarang dan
tidak jelas.
Sebagian besar pasien menjadi asimptomatikdalam 1 minggu. Setelah
beberapa hari (2-3hari), pada beberapa pasien gejala kembalimuncul, disebut fase
kedua atau faseimun. Leptospira hilang dari darah, cairanserebrospinal, dan
jaringan, namun munculdi urin (leptospiruria). Muncul antibody IgM, karena itu
disebut fase imun. Gejalautama fase ini adalah meningitis pada 50% kasus,
meskipun pleiositosis pada cairanserebrospinal dapat ditemukan pada 80-
90%pasien pada minggu kedua. Dapat terjadipula neuritis optik dan neuropati
perifer.Uveitis biasanya merupakan manifestasi yangmuncul belakangan, 4-8
bulan setelah awitan penyakit.

18
Gambar 4. Fase Leptospirosis

 Leptospirosis Ikterik (Penyakit Weil)


Penyakit Weil merujuk pada leptospirosis beratdan mengancam nyawa,
dicirikan oleh ikterus, disfungsi ginjal, dan perdarahan. Meskipun ikterus
merupakan tanda utama, kematian bukan disebabkan oleh gagal hati. Prognosis
tidak ditentukan oleh derajat ikterus, namunoleh adanya ikterus karena semua
kematianpada leptospirosis terjadi pada kasus ikterik.Ikterus tampak pertama kali
antara hari ke 5-9, intensitas maksimum 4 atau 5 hari kemudian dan terus
berlanjut selama rata-rata 1 bulan. Mayoritas pasien memiliki hepatomegali dan
nyeri ketok pada perkusi hati menunjukkan penyakit masihaktif.
Perdarahan kadang terjadi pada kasus anikterik tetapi paling sering pada
penyakit yang berat.Manifestasi perdarahan yang paling seringadalah purpura,
petekie, epistaksis, perdarahangusi, dan hemoptisis minor. Kematian dapat terjadi
akibat perdarahan subaraknoid dan perdarahan masif saluran cerna. Adanya
perdarahan konjungtiva sangat berguna untuk diagnostik, dan jika disertai sklera

19
ikterik dan injeksi konjungtiva, merupakan temuan yang sangat sugestif untuk
leptospirosis.
Semua bentuk leptospirosis dapat menyebabkan disfungsi ginjal. Gambaran
mulai dari yang ringan berupa proteinuriaringan dan abnormalitas sedimen urin
hinggaberat berupa cedera ginjal akut. Yang seringditemukan adalah gagal ginjal
non-oliguriadengan hipokalemia ringan (41-45% kasus).Anuria total dengan
hiperkalemia merupakan tanda prognostik buruk.
Gangguan kesadaran pada leptospirosis berat biasanya disebabkan oleh
ensefalopati uremikum, pada kasus anikterik biasanya disebabkan ensefalitis
aseptik. Pada pasien penyakit Weil yang berhasil bertahan, fungsi ginjal akan
kembali normal.
Faktor utama penyebab cedera ginjal akut pada leptospirosis adalah
nefrotoksisitas langsung dari leptospira dan respons imun yang diinduksi toksin.
Adanya leptospira dijaringan ginjal akan memicu proses nefritis interstisial dan
nekrosis tubular akut. Pada leptospirosis berat akan dijumpai perubahanstatus
hemodinamik seperti sepsis. Akibatvasodilatasi sistemik, kadaraldosterone dan
hormon antidiuretik akan meningkat, sehingga terjadi vasokonstriksi ginjal dan
penurunan diuresis. Bilirubin yang tinggi juga menurunkan filtrasi glomerulus dan
kemampuan pemekatan urin. Rabdomiolisis yang sering terjadi pada leptospirosis
juga dapat menyebabkan cedera ginjal melalui vasokonstriksi ginjal, obstruksi
tubulus, dan toksisitas langsung myoglobin.
Komplikasi paru yang paling sering pada leptospirosis adalah sindrom
paru berat terkait leptospirosis (severepulmonary hemorrhagic syndrome/ SPHS)
dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Faktor risiko komplikasi paru
adalah keterlambatan pemberian antibiotik dan trombositopenia pada awitan
penyakit. Perdarahan paru terjadi akibat vaskulitis, juga dapat dikaitkan dengan
trombositopenia dan koagulopati konsumtif. Kematian akibat leptospirosis terjadi
pada 10-15% kasus, biasanya akibat perdarahan paru, gagal ginjal, atau gagal
jantung dan aritmia akibat miokarditis.14,15,16

20
2.3.4 Penegakan Diagnosis
Diagnosis Leptospira dapat ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Setiap pasien demam akut mempunyai riwayat,
setidaknya 2 hari, tinggal di daerah banjir atau memiliki risiko tinggi terpapar
(berjalan kaki di banjir atau air yang terkontaminasi, kontak dengan cairan dari
hewan, berenang di air banjir atau menelan air yang terkontaminasi dengan atau
tanpa luka) dan menunjukkan setidaknya dua dari gejala berikut: mialgia, nyeri
tekan betis, injeksi konjungtiva, menggigil, nyeri perut, sakit kepala, ikterus, atau
oliguria. Pasien dengan gejala tersebut hendaknya dipertimbangkan sebagai
tersangka kasus leptospirosis. Setiap kasus tersangka leptospirosis dengan tanda
vital stabil, sklera anikterik, keluaran urin yang baik, tidak ada meningismus/
iritasi meningen; sepsis/syok sepsis; sulit bernapas; atau ikterus, dan bisa
mengonsumsi obat per oral dianggap leptospirosis ringan dan dapat ditatalaksana
dengan rawat jalan. Kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital tidak stabil,
ikterus atau sklera ikterik, nyeri perut, mual, muntah dan diare, oliguria/anuria,
meningismus/ iritasi meninges, sepsis/syok sepsis, perubahan status mental atau
sulit bernapas dan hemoptisis dianggap leptospirosis sedang – berat dan perlu
dirawat inap.
Leptospira dapat di kultur dari sampel darah dancairan serebrospinal pada
hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari urin selama minggukedua dan ketiga
dalam media khusus. Kultur dan isolasi masihmenjadi baku emas, dapat
mengidentifikasiserovar, tetapi membutuhkan media khususdengan waktu
inkubasi beberapa minggu dan membutuhkan mikroskop lapangangelap, sehingga
tidak sesuai untuk perawatanindividual. Sejumlah metode deteksi DNAleptospira
dengan reaksi rantai polymerase lebih sensitif daripada kultur, dan
dapatmemberikan konfirmasi diagnosis lebih awalpada fase akut, namun belum
menjadi standarrutin. Kultur tidak dianggap berguna untuk tes rutin untuk
diagnosis individu.
Respons antibodi IgM yang kuat, muncul sekitar 5-7 hari setelah awitan
gejala, dapat dideteksi menggunakan beberapa uji komersial berbasis ELISA,
aglutinasi latex dan teknologi uji cepat imunokromatografik. Uji serologi ini

21
mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap genus Leptospira. Tetapi uji ini
sensitivitasnya rendah (63-72%) padasampel fase akut (penyakit kurang dari 7
hari). Jika sampel serum diambil setelah hari ketujuh, sensitivitas meningkat
menjadi >90%.Oleh karena itu, sampel kedua hendaknya diambil pada kasus
tersangka leptospirosis dengan hasil awal negatif atau meragukan. Antibiotik yang
diberikan sejak awal penyakit mungkin menyebabkan respons imun dan antibodi
tertunda. IgM positif menunjukkan leptospirosis saat ini atau baru terjadi, namun
antibodi IgM dapat tetap terdeteksi selama beberapa tahun.

Gambar 5. Antibodi pada Leptospirosis

Pada uji aglutinasi mikroskopik (MAT), peningkatan titer empat kali lipat
dari serum akut kekonvalesens merupakan konfirmasi diagnosis. Akan tetapi
metode ini kompleks, deteksi antibodi terhadap suspensi antigen hidup dengan
cara serum pasien diencerkan lalu diletakkan pada panel leptospira patogenik
hidup. Hasilnya dilihat pada mikroskop lapangan gelap dan diekspresikan sebagai
persentase organisme yang dibersihkan dari lapang pandang melalui aglutinasi.
Uji hanya dilakukan di laboratorium rujukan, dapat memberikan informasi
mengenai serovar yang diduga menginfeksi, sehingga memiliki nilai
epidemiologis. Di daerah endemis, titer yang meningkat hanya sekali harus
diinterpretasikan secara hati-hati karena antibodi bertahan selama bertahun-tahun
setelah infeksi akut.

22
Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah sistem skor
yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan laboratorium. Berdasarkan
kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif leptospirosis dapat
ditegakkan jika:
 Skor bagian A atau bagian A + bagian B = 26 atau lebih; atau
 Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih. Skor antara 20 dan
25 menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi belum
terkonfirmasi.14,15,16

Gambar 6. Kriteria Faine

23
2.3.5 Tatalaksana
Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis pada fase
penyakit manapun tetapi efektif pada 7-10 hari setelah terinfeksi dan harus
diberikan segera pada yang terdiagnosis atau yang curiga terkena leptospira. Pada
kasus ringan obat terpilih adalah doksisiklin 100 mg. Obat alternatif adalah
amoksisilindan azitromisin dihidrat. Pasien sakit berat hendaknya dirawat inap.
Antibiotik terpilihpada leptospirosis sedang-berat adalah penicillin G, benzyl
penicillin. Obat alternatif di antaranyasefalosporin generasi ketiga
(seftriakson,sefotaksim) dan azitromisin dihidrat parenteral. Antibiotik harus
diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin dihidrat selama 3 hari. Pada
leptospirosis sedang berat, terapi suportifdengan perhatian pada keseimbangan
cairandan elektrolit serta fungsi paru dan jantungsangat penting. Pasien yang
menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis atau hemodiafiltrasi jika
tersedia. Transfusi darah dan produk darah mungkin diperlukan pada perdarahan
berat. Transfusi trombosit dini dianjurkan jika trombosit kurang dari 50 ribu/mm3
atau pada turun bermakna dalam waktu singkat.

Gambar 7. Antibiotik untuk Leptospirosis

Perdarahan paru sering membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik segera.


Pasien SPHS memiliki bukti fisiologis dan patologisuntuk ARDS, sehingga
ventilasi denganvolume tidal rendah dan post-expiratoryend pressure tinggi.
Dukungan pernapasan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat
sangat penting karena pada kasus tidak fatal fungsi paru dapat sembuh sempurna.
Penggunaan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan, beberapa studi

24
menunjukkan manfaat jika diberikan pada awal ARDS. Metilprednisolon
diberikandalam 12 jam pertama awitan keterlibatanparu dengan dosis 1 g iv/hari
selama 3 haridilanjutkan prednisolon oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Plasma
feresis dosis rendah (25mL/kg) juga bermanfaat pada perdarahan paru ringan. Dua
siklus plasmaferesisberjarak 24 jam disertai siklofosfamid 20 mg/kg setelah siklus
pertama plasmaferesis dapat meningkatkan ketahanan hidup.14,15,16
2.3.6 Pencegahan
Pencegahan infeksi menggunakan doksisiklin200 mg 1 kali seminggu dapat
bermanfaat pada orang berisiko tinggi untuk periode singkat, misalnya anggota
militer dan pekerja agrikultur tertentu. Antibiotik dimulai 1 sampai2 hari sebelum
paparan dan dilanjutkan selama periode paparan. Infeksi leptospira hanya
memberikan imunitas spesifik sehingga dapat terjadi infeksi berikutnya oleh
serovar berbeda. Selain itu dapat juga di vaksinasi, tujuan vaksinasi bukan untuk
mencegah infeksi, tetapi untuk mencegah siklus infeksi penyakit. Tujuan lain dari
vaksinasi adalah pencegahan infeksi pada manusia. Jika hewan menyebarkan
penyakit lebih sedikit, kecil kemungkinan manusia terinfeksi karena kontak
dengan hewan yang terinfeksi. Perlindungannya tidak 100%. Ketika vaksinasi
dilakukan selamainfeksi itu memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap
infeksi ulang. Hewan yang terinfeksi tidak akan berhenti mencukur setelah
vaksinasi. Itu perlindungan vaksin adalah 6 hingga 12 bulan. Vaksin komersial
leptospira tersedia secara global untuk ternak, babi dan anjin gtetapi vaksinasi
telah terbukti hanya efektif pada sebagian hewan,Vaksinasi yang sukses program
memerlukan studi epidemiologi lanjutan untuk menilai kejadian berbagai serovar
Leptospira yang berbeda populasi.

25
Gambar 8. Alur Profilaksis Leptospirosis

Leptospirosis di daerah tropik sulit dicegah karena banyaknya hewan


serovoar yang tidak mungkin dieliminasi. Banyaknya serovar menyebabkan
vaksin spesifik reservoar kurang bermanfaat. Padakondisi ini, cara paling efektif
adalahmenyediakan sanitasi yang layak di komunitas daerah kumuh perkotaan.
Pada orang yang sudah terpapar denganleptospira, masih dapat diberikan
terapiprofilaksis pasca-paparan; digunakandoksisiklin disesuaikan berdasarkan
risiko individu.14,15,16

2.4 HEPATITIS
2.4.1 Definisi
Istilah “Hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati,
yang bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan
(termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan
penyakit autoimun. Ada 5 jenis Hepatitis Virus yaitu Hepatitis A, B, C, D,
dan E. Antara Hepatitis yang satu dengan yang lain tidak saling
berhubungan.17

26
2.4.2 Etiologi
Hepatitis disebabkan oleh virus yang sesuai dengan namanya. Hepatitis A
disebabkan oleh virus Hepatitis A, Hepatitis B disebabkan oleh virus
Hepatitis B, dan Hepatitis C disebabkan oleh virus Hepatitis C. Demikian
juga dengan Hepatitis D dan E.17

2.4.3 Klasifikasi
 HEPATITIS A
 Penyebabnya adalah virus Hepatitis A, dan merupakan penyakit endemis di
beberapa negara berkembang. Selain itu merupakan Hepatitis yang ringan,
bersifat akut, sembuh spontan/sempurna tanpa gejala sisa dan tidak
menyebabkan infeksi kronik.
 Penularannya melalui fecal oral. Sumber penularan umumnya terjadi karena
pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang
tercemar, sanitasi yang buruk, dan personal hygiene rendah.
 Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM antibodi dalam serum
penderita.
 Gejalanya bersifat akut, tidak khas bisa berupa demam, sakit kepala, mual
dan muntah sampai ikterus, bahkan dapat menyebabkan pembengkakan hati.
 Tidak ada pengobatan khusus hanya pengobatan pendukung dan menjaga
keseimbangan nutrisi.
 Pencegahannya melalui kebersihan lingkungan, terutama terhadap makanan
dan minuman dan melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS).17,18,19
 HEPATITIS B
 Etiologinya virus Hepatitis B dari golongan virus DNA.
 Masa inkubasi 60-90 hari.
 Penularannya vertikal 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5%
intra uterina. Penularan horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik
tercemar, pisau cukur, tatto, transplantasi organ.
 Gejala tidak khas seperti rasa lesu, nafsu makan berkurang, demam ringan,
nyeri abdomen sebelah kanan, dapat timbul ikterus, air kencing warna teh.

27
 Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati serum transaminase (ALT
meningkat), serologi HBsAg dan IgM anti HBC dalam serum.
 Pengobatan tidak diperlukan antiviral, pengobatan umumnya bersifat
simpomatis.
 Pencegahannya:
 Telah dilakukan penapisan darah sejak tahun 1992 terhadap Bank Darah
melalui PMI.
 Imunisasi yang sudah masuk dalam program Nasional: HBO (<12 jam).
DPT/HB1 (2 bulan), DPT/HB2 (3 bulan), DPT/HB3 (4 bulan).
 Menghindari faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan.
17,18,19

 HEPATITIS B KRONIK
 Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut
 Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila
penularan terjadi saat bayi maka 95% akan menjadi Hepatitis B kronik.
Sedangkan bila penularan terjadi pada usia balita, maka 20-30% menjadi
penderita Hepatitis B kronik dan bila penularan saat dewasa maka hanya 5%
yang menjadi penderita Hepatitis B kronik.
 Hepatitis B kronik ditandai dengan HBsAg (Hepatitis B surface Antigen)
positif (>6 bulan). Selain HBsAg, perlu diperiksa HbeAg (Hepatitis B E-
Antigen, anti –Hbe dalam serum, kadar ALT (Alanin Amino Transferase),
HBV-DNA (Hepatitis B Virus – Deoxyribunucleic AcidI) serta biopsi hati.
 Biasanya tanpa gejala.
 Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah tersedia 7 macam obat untuk
Hepatitis B (Interferon alfa- 2a, Peginterferon alfa- 2a, Lamivudin, Adefovir,
Entecavir, Telbivudin dan Tenofovir).
 Prinsip pengobatan tidak perlu terburu-buru tetapi jangan terlambat.
 Adapun tujuan pengobatan memperpanjang harapan hidup, menurunkan
kemungkinan terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma.17,18,19
 HEPATITIS C
 Penyebab utamanya adalah sirosis dan kanker hati.
 Etiologi virus Hepatitis C termasuk golongan virus RNA (Ribo Nucleic
Acid).

28
 Masa inkubasi 2-24 minggu.
 Penularan Hepatitis C melalui darah dan cairan tubuh, penularan masa
perinatal sangat kecil, melalui jarum suntik (IDUs, tatto), transplantasi
organ, kecelakaan kerja (petugas kesehatan), hubungan seks dapat
menularkan tetapi sangat kecil.
 Kronisitasnnya 80% penderita akan menjadi kronik.
 Pengobatan Hepatitis C: Kombinasi pegylated interferon dan ribavirin.
 Pencegahan Hepatitis C dengan menghindari faktor risiko karena sampai
saat ini belum tersedia vaksin Hepatitis C.17,18,19
 HEPATITIS D
 Virus Hepatitis D paling jarang ditemukan tapi paling berbahaya.
 Hepatitis D juga disebut virus Delta, virus ini memerlukan virus Hepatitis B
untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang telah
terinfeksi virus Hepatitis B.
 Tidak ada vaksin tetapi otomati orang akan terlindungi jika telah diberikan
imunisasi Hepatitis B.17,18,19
 HEPATITIS E
 Dahulu dikenal sebagau Hepatitis Non A-Non B.
 Etiologi virus Hepatitis E termasuk virus RNA.
 Masa inkubasi 2-9minggu.
 Penularan melalui fecal oral seperti Hepatitis A.
 Diagnosis dengan didapatkannya IgM dan IgG antiHEV pada penderita yang
terinfeksi.
 Gejalanya ringan menyerupai gejala flu, sampai ikterus.
 Pengobatannya belum ada pengobatan antivirus.
 Pencegahannya dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama kebersihan
makanan dan minuman.
 Vaksinasi Hepatitis E belum tersedia.17,18,19

2.4.4 Gejala Klinis


Gejala hepatitis secara umum sangat bervariasi dan tidak khas. Gejala dari
semua virus Hepatitis serupa dan dapat mencakup satu atau lebih dari gejala

29
berikut: demam, malaise, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri
perut, nyeri sendi, hingga ikterik.17

2.4.5 Penegakkan Diagnosis


Untuk hepatitis A, diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM antibodi
dalam serum penderita. Hepatitis B, diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati
serum transaminase (ALT meningkat), serologi HBsAg dan IgM anti HBC dalam
serum pada kasus akut. Sedangkan kasus Hepatitis B kronik, ditandai dengan
HBsAg (Hepatitis B surface Antigen) positif (>6 bulan). Selain HBsAg, perlu
diperiksa HbeAg (Hepatitis B E-Antigen, anti –Hbe dalam serum, kadar ALT
(Alanin Amino Transferase), HBV-DNA (Hepatitis B Virus – Deoxyribunucleic
AcidI) serta biopsi hati. Untuk Hepatitis C, tidak ada penanda marker serologis
sampai saat ini. Hepatitis D, bisa dilakukan pemeriksaan yang sama dengan
Hepatitis B. Dan Hepatitis E, didapatkannya IgM dan IgG antiHEV pada penderita
yang terinfeksi.

2.4.6 Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan pada kasus Hepatitis A, D, dan E belum ada
pengobatan khusus maupun antiviralnya. Secara umum, hanya diberikan
terapi simtomatis. Sedangkan pada Hepatitis B saat ini telah tersedia 7 macam
obat untuk Hepatitis B (Interferon alfa- 2a, Peginterferon alfa- 2a, Lamivudin,
Adefovir, Entecavir, Telbivudin dan Tenofovir). Untuk Hepatitis C, pengobatannya
menggunakan kombinasi pegylated interferon dan ribavirin.

2.4.7 Pencegahan
Pencegahan untuk kasus Hepatitis A, C dan E adalah dengan menjaga
kebersihan lingkungan, terutama makanan dan minuman serta menghindari
faktor-faktor risiko. Karena penyebaran virus Hepatitis A dan E adalah
melalui fecal-oral. Sedangkan pada kasus Hepatitis B sudah tersedia
vaksinasi. Untuk Hepatitis D, karena virus ini baru akan berkembang jika
sudah ada virus Hepatitis B sebelumnya, maka bisa dicegah dengan
melakukan vaksinasi virus Hepatitis B.

30
2.5 MALARIA
2.5.1 Definisi
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (Plasmodium)
bentuk aseksual yang masuk ke tubuh manusia lewat gigitan nyamuk malaria
(Anopheles) betina. Parasit malaria terdiri dari beberapa spesies:
 Plasmodium vivax, penyebab malaria tersiana
 Plasmodium malariae, penyebab malaria kuartiana
 Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika
 Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale
Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah P.falciparum dan
P.vivax atau campuran keduanya. Sedangkan P.ovale P.malariae pernah
ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan Timor Leste. Malaria ditularkan oleh
beberapa spesies nyamuk Anopheles. Penularan penyakit malaria tidak terjadi
pada suhu di bawah 16°c atau di atas 33°c dan ketinggian diatas 200 meter dari
permukaan laut. Kondisi optimum untuk transmisi adalah lingkungan dengan
kelembaban tinggi dan suhu antara 20°-30°c dengan curah hujan yang tidak
terlalu tinggi.
2.5.2 Epidemiologi
Penyakit malaria merupakan salah satu prioritas masalah kesehatan global.
Pengendalian dan pemberantasan malaria tertuang dalam poin ke-6 Millennium
Development Goals (MDGs), yakni menghentikan dan memulai pencegahan dan
penyebaran HIV-AIDS, malaria, dan penyakit berat lainnya. Malaria sendiri,
mengancam sekitar 3,2 miliar penduduk dunia dan 1,2 miliar memiliki risiko
tinggi. Sedangkan penemuan kasus malaria secara global tahun 2013 sebesar 198
juta kasus dengan 584.000 kematian. Kasus malaria terberat ditemukan di
kawasan Afrika dengan estimasi kematian sebesar 90% dari penemuan dan 78%
kematian pada anak balita (WHO, 2014).
Kawasan Asia Tenggara juga menjadi perhatian kasus malaria. Terdapat 1,4
miliar penduduk berisiko terkena malaria, dan 352 juta pada risiko tinggi (WHO,
2014). Kasus malaria di Asia Tenggara dan Selatan terdapat di 10 negara yakni
Timor Leste, Sri Lanka, Butan, Bangladesh, Thailand, Korea Selatan, Nepal,

31
Myanmar, India dan Indonesia. Menurut WHO (2014), kasus malaria di kawasan
Asia Tenggara dan Selatan tahun 2013 sebesar 1,5 juta kasus. Proporsi malaria
tertinggi dari jumlah kasus tahun 2013 adalah India (58%), Myanmar (22%) dan
Indonesia (16%).
Sedangkan di Indonesia malaria masih menjadi masalah kesehatan yang
sejak dahulu belum bisa diberantas. Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI,
sampai akhir 2017 masih ada 248 kabupaten dan kota yang masih harus berjuang
melawan malaria dengan 261.617 kasus, 100 di antaranya meninggal dunia.
Masih ada lima provinsi yang belum terdapat eliminasi malaria yaitu NTT, Papua,
Maluku, Papua Barat, dan Maluku Utara.20

Gambar 9. Epidemiologi Malaria di Indonesia

2.5.3 Klasifikasi Malaria


Menurut Harijanto (2000) pembagian jenis-jenis malaria berdasarkan jenis
plasmodiumnya antara lain sebagai berikut:
a. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum)
Malaria tropika/falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling
berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali,
parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14
hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh
Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa ring/cincin kecil yang

32
berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya
spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin). Klasifikasi
penyebaran Malaria tropika yaitu plasmodium falciparum menyerang sel
darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium falciparum sering kali
menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan
banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan
akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih
berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral,
gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
b. Malaria Kuartiana (Plasmoduim Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan
Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/lebih biru.
Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-
kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae
mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/rossete.
Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri
pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise.
Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik
dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan
edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
c. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Ovale (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae,
skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di
tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk
eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan
fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua
malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari,
walau pun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan
jarang terjadi lebih dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan terjadi pada
malam hari.

33
d. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda
yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan
plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax
berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen
kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh
eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini
secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan
mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap
72 jam.
Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang sistem
tubuh, malaria tropika merupakan malaria yang paling berat ditandai dengan
panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering
terjadinya komplikasi.

2.5.4 Siklus Hidup Plasmodium21

Gambar 10 . Siklus Hidup Plasmodium

Penderita malaria yang digigit oleh nyamuk (vector), darahnya akan terhisap
ke dalam tubuh vektor dan terbawa plasmodium dari berbagai stadium aseksual
yang ada di dalam sel darah, yaitu stadium tropozoit, stadium schizon, dan
stadium gametosit. Stadium tropozoit dan schizon bersama darah dicerna oleh

34
vektor kemudian mati. Sedangkan stadium gametosit terus hidup dan masuk ke
dalam lambung nyamuk vektor. Di dalam lambung, inti mikrogametosit
membelah menjadi 4 sampai 8 buah yang masing-masing memiliki bentuk
panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25µ menonjol keluar dari sel
induk, bergerak-gerak sebentar dan kemudian melepaskan diri. Proses ini
(eksflagelasi) hanya berlangsung beberapa menit pada suhu yang optimal. Flagel
atau mikrogametosit kemudian mengalami proses pematangan kemudian mencari
makrogametosit untuk melakukan perkawinan. Hasil perkawinan itu disebut zigot.
Pada mulanya zigot hanya merupakan bentuk bulat yang tidak
bergerak, tetapi dalam waktu 18-24 jam berubah menjadi bentuk panjang
seperti cacing yang dapat bergerak dengan ukuran 8-24 µ yang disebut
ookinet. Ookinet kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke
permukaan luar lambung dan menjadi bentuk bulat yang disebut ookista.
Jumlah ookista pada dinding luar lambung nyamuk vektor berkisar antara
beberapa buah sampai beberapa ratus buah. Ookista makin lama makin
besar sehingga merupakan bulatan-bulatan semi transparan, berukuran 40-
80µ dan mengandung butir-butir pigmen. Bila ookista makin membesar dan
intinya membelah-belah, pigmen tak tampak lagi. Inti yang sudah
membelah kemudian dikelilingi oleh protoplasma dan merupakan bentuk-
bentuk memanjang yang ujungnya runcing dengan inti di tengahnya.
Bentuk ini disebut sporozoit dengan ukuran panjang 10-15µ. Ookista
kemudian pecah dan ribuan sporozoit keluar dan bergerak dalam rongga
badan nyamuk vektor untuk mencapai kelenjar liur.
Nyamuk yang mengandung sporozoit dalam kelenjar ludahnya,
kalau menggigit manusia disamping mengeluarkan air ludahnya,
sporozoitnya juga ikut terbawa masuk ke dalam tubuh manusia. Dalam
tubuh manusia, sporozoit mengalami perkembangan sebagai berikut:
a. Schizogoni
Sporozoit Plasmodium dalam waktu 1/2-1 jam sudah masuk ke dalam
jaringan hati. Sporozoit dari P.vivax dan P.ovale sebagian berubah
menjadi hypnosoit, sebagian lagi berubah menjadi schizon hati.

35
Sedangkan sporozoit P.falciparum dan P.malariae, semuanya
berubah menjadi schizon hati. Hypnosoit P.vivax dan P.ovale
sewaktu-waktu bisa berubah menjadi schizon hati. Karena itu untuk
P.vivax dan P.ovale dikenal adanya rekurensi yaitu kambuh dalam
jangka waktu panjang. Schizon hati mengandung ribuan merozoit yang
akan pecah dan keluar dari jaringan hati untuk kemudian masing-masing
merozoit ini menginvasi sel darah merah. Fase masuknya sporozoit ke
dalam jaringan hati sampai keluar lagi dalam bentuk merozoit, disebut
fase schizogoni jaringan hati atau fase pra-eritrosit. Lamanya fase pra-
eritrosit dan besarnya schizon hatiserta jumlah merozoit pada satu
schizon hati, berbeda-beda untuk tiap spesies Plasmodium.
b. Schizogoni eritrosit
Merozoit yang telah masuk ke dalam sel darah merah, kemudian berubah
menjadi bentuk tropozoit, yaitu tropozoit muda, tropozoit lanjut, dan
tropozoit tua. Tropozoit ini selanjutnya membentuk schizon darah yang
mengandung merozoit yaitu bentuk s chizon muda, schizon tua, dan
schizon matang. Schizon matang mengalami sporulasi yaitu melepaskan
merozoit untuk kemudian menginvasi sel darah merah baru, siklus
schizogoni eritrosit berulang kembali. Fase masuknya merozoit ke
dalam sel darah merah sampai terbentuknya merozoit untuk menginvasi
sel darah merah baru, disebut fase schizogoni eritrosit. Lamanya fase
eritrosit dan jumlah merozoit dalam schizon hati, berbeda-beda untuk
setiap spesies plasmodium.
2.5.5 Tanda dan Gejala
Diagnosis malaria, secara umum terdiri dari diagnosis berdasarkan gejala
klinis serta diagnosis berdasarkan pemeriksaan secara laboratorium. Diagnosa
malaria secara klinis, pada umumnya terdiri dari pemeriksaan gejala demam
(berkala), panas, tingkat kesadaran, pusing dll. Gejala klasik ditemukan pada
penderita yang berasal dari daerah non-endemis, yang belum mempunyai
kekebalan (non-imun); dengan kata lain, baru pertama kali menderita malaria.

36
Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria (Malaria Paroksismal) secara
berurutan yaitu:
a. Periode dingin
Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus
diri dengan selimut dan pada saat menggigil sering seluruh tubuh bergetar
dan gigi gemertak, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan, pada anak
bisa terjadi kejang. Periode ini berlangsung 15–60 menit diikuti dengan
meningkatnya temperatur.
b. Periode panas
Muka penderita merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan suhu tubuh
dapat sampai 40°c atau lebih. Periode ini lebih lama dapat sampai 2 jam atau
lebih seiring dengan irama siklus eritrositik kemudian diikuti keadaan
berkeringat.
c. Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai
basah, temperature turun drastic, penderita merasa kelelahan dan sering
tertidur dengan nyenyak dan setelah bangun tidak ada keluhan kecuali
badan lemah. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.
Pada pasien–pasien yang tinggal di daerah endemis malaria, gejala tersebut
tidak khas oleh karena penderita telah mengalami semi imun. Lebih sering dialami pada
malaria klasik, yaitu penderita yang berasal dari daerah non-endemik atau yang baru
pertama kali menderita malaria. Seluruh rangkaian Trias Malaria berlangsung ± 6-
10 jam. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi Plasmodium vivax.
2.5.6 Penegakan Diagnostik
1. Pemeriksaan mikroskopis malaria
Diagnosis malaria sebagai mana penyakit pada umumnya didasarkan
pada manifestasi klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan
ditemukannya parasit (plasmodium) di dalam penderita. Uji
imunoserologis yang dirancang dengan bermacam-macam target
dianjurkan sebagai pelengkap pemeriksaan mikroskopis dalam
menunjang diagnosis malaria atau ditujukan untuk survey

37
epidemiologi di mana pemeriksaan mikrokopis tidak dapat dilakukan.
Diagnosis definitif demam malaria ditegakan dengan ditemukanya
parasit plasmodium dalam darah penderita. Pemeriksaan mikrokropis
satu kali yang memberi hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis
deman malaria. Untuk itu diperlukan pemeriksaan serial dengan
interval antara pemeriksaan satu hari.
Pemeriksaan mikroskropis membutuhkan syarat-syarat tertentu agar
mempunyai nilai diagnostik yang tinggi (sensitivitas dan spesifisitas
mencapai 100%).
a) Waktu pengambilan sampel harus tepat yaitu pada akhir
periode demam memasuki periode berkeringat. Pada periode
ini jumlah trofoizoit dalam sirkulasi dalam mencapai maksimal
dan cukup matur sehingga memudahkan identifikasi spesies
parasit.
b) Volume yang diambil sebagai sampel cukup, yaitu darah
kapiler (finger prick) dengan volume 3,0-4,0 mikro liter untuk
sediaan tebal dan 1,0-1,5 mikro liter untuk sedian tipis.
c) Kualitas preparat harus baik untuk menjamin identifikasi
spesies plasmodium yang tepat.
d) Identifikasi spesies plasmodium
e) Identifikasi morfologi sangat penting untuk menentukan
spesies plasmodium dan selanjutnya digunakan sebagai dasar
pemilihan obat.
2. QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)
Prinsip dasar: tes floresensi yaitu adanya protein pada plasmodium
yang dapat mengikat acridine orange akan mengidentifikasi eritrosit
terinfeksi plasmodium. QBC merupakan teknik pemeriksaan dengan
menggunakan tabung kapiler dengan diameter tertentu yang dilapisi
acridine orange tetapi cara ini tidak dapat membedakan spesies
plasmodium dan kurang tepat sebagai instrumen hitung parasit.
3. Pemeriksaan imunoserologis

38
Pemeriksaan imunoserologis didesain baik untuk mendeteksi antibodi
spesifik terhadap paraasit plasmodium maupun antigen spesifik
plasmodium atau eritrosit yang terinfeksi plasmodium teknik ini terus
dikembangkan terutama menggunakan teknik radio immunoassay dan
enzim immunoassay.

4. Pemeriksan Biomolekuler
Pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik
parasit/plasmodium dalam darah penderita malaria. Tes ini
menggunakan DNA lengkap yaitu dengan melisiskan eritrosit
penderita malaria untuk mendapatkan ekstrak DNA.
2.5.7 Kemoprofilaksis
Dikenal dua jenis kemoprofilaksis malaria:
1. Profilaksis kausal
Profilaksis jenis ini bertujuan menghambat perkembangan parasit di hati
dan eritrosit manusia serta dalam tubuh nyamuk (sporontosidal), sehingga
tahap infeksi eritrosit dapat dicegah dan transmisi lebih lanjut dapat
dihambat. Obat yang digunakan untuk profilaksis kausal adalah obat
golongan inhibitor DHFR (dihydrofolate reductase ethymidylate
synthetase), seperti primetamin, proguanil,dan klorproguanil.22
2. Profilaksis supresif
Profilaksis jenis ini bertujuan menghambat perkembangan stadium
aseksual pada eritrosit, tetapi tidak dihati. Obat golongan ini mempunyai
aktivitas gametosidal terhadap p.vivax, p.malariae, tetapi tidak terhadap
p.falciparum. Contohnya adalah klorokuin, amodiakuin dan yang terbaru
meflokuin. Obat profilaksis malaria harus diminum secara teratur untuk
memastikan konsentrasi anti malarianya.22

39
Gambar 11. Obat Malaria
Profilaksis yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah sebagai
berikut:
1. Untuk perorangan dan kelompok sementara (tidak menetap): klorokuin 2
tablet sekaligus setiap minggu, diminum pada hari yang sama, 2 minggu
sebelum, selama, dan sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah
endemis.
2. Untuk kelompok menetap (pindah tinggal ke daerah endemis): klorokuin
2 tablet sekaligus setiap minggu, diminum pada hari yang sama, 2 minggu
sebelum dan selama 12 minggu setelah sampai di lokasi daerah endemis,
kemudian dihentikan. Selanjutnya obat malaria hanya digunakan untuk
terapi.
3. Untuk ibu hamil: klorokuin diminum pada bulan ke-3 kehamilan sampai
masa nifas.
4. Di tempat ada resistensi P.falciparum terhadap klorokuin: sulfadoksin-
pirimetamin1 tablet setiap minggu.
Obat anti-malaria
1. Sulfadoksin pirimetamin
Sulfadoksin adalah turunan sulfonamida. Obat ini jarang digunakan sebagai
terapi tunggal, biasanya dikombinasi dengan pirimetamin untuk pengobatan dan
pencegahan infeksi p.falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Mekanisme

40
kerjanya adalah dengan menghambat pembentukan asam dihidropteroat secara
inhibisi kompetitif, yang menyebabkan kematian parasit.
Pirimetamin adalah turunan diaminopirimidin yang merupakan skizontisida
eksoeritrositik dan eritrositik terhadap p.falciparum serta skizontisida
eksoeritrositik terhadap P.vivax. Obat ini juga merupakan sporontosida yang
cukup efektif.
Efek samping kombinasi sulfadoksin-pirimetamin antara lain anemia
aplastik dan dermatitis eksfoliatif. Dosis pirimetamin oral untuk pencegahan
malaria ialah 25 mg/minggu, dimulai 1 hari sebelum ke daerah yang diduga ada
malaria dan dilanjutkan 6-8 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut.
Sediaan kombinasi sulfadoksis 500 mg dan pirimetamin 25 mg merupakan
obat pilihan kedua untuk pencegahan dan pengobatan malaria yang resisten
terhadap klorokuin. Untuk pencegahan malaria dapat diberikan 1 dosis sediaan
kombinasi ini sekali seminggu.
2. Klorokuin
Klorokuin hanya efektif pada fase eritrosit. Efektivitasnya sangat tinggi
terhadap p.vivax dan p.falciparum, juga efektif terhadap gamet p.vivax. Obat ini
bekerja terhadap merozoit pada fase eritrositik aseksual dan menggganggu
skizogoni eritrositik. Juga sebagai gametosida. Klorokuin akan menghancurkan
gametosit sehingga mencegah penyebaran plasmodium ke nyamuk Anopheles.
Klorokuin fosfat merupakan obat pilihan untuk pencegahan dan pengobatan
serangan akut malaria. Kombinasi dengan primakuin digunakan untuk
pencegahan serangan semua jenis malaria. Pada dosis kumulatif, profilaksis lebih
dari 100 gram (lebih dari 5 tahun profilaksis) meningkatkan risiko retinopati, yang
diduga berhubungan dengan deposisi klorokuin pada jaringan yang kaya akan
melanin.
Dosis oral untuk pencegahan malaria adalah 300 mg/minggu, dimulai 2
minggu sebelum ke daerah yang diduga ada malaria dan dilanjutkan 8 minggu
setelah meninggalkan daerah tersebut.

41
3. Meflokuin
Efek parasitidalnya mirip dengan kuinin. Dengan dosis tunggal yang lazim,
meflokuin dapat menghilangkan demam dan parasitemia pada penderita yang
terinfeksi p.falciparum yang resisten terhadap klorokuin di daerah endemis, juga
efektif untuk pengobatan malaria yang disebabkan oleh p.vivax. Obat ini belum
tersedia di Indonesia. Di negara lain tersedia dalam bentuk tablet 250 mg.
Toksisitas umumnya ditandai dengan mual, muntah, pusing, rasa lemah, dan
disforia. Pada dosis profilaksis, insiden rekasi neuropsikiatrik akut hanya
1:10.000 (kejang, psikosis, ensefalopati). Tidak dianjurkan untuk wanita hamil
dan bayi. Untuk profilaksis pada dewasa dan anak, dapat diberikan 4 mg basa/kg
BB sekali seminggu.

4. Doksisiklin
Obat ini mempunyai efek bakteriostatik pada mikroorganisme yang sensitif
dengan jalan menghambat sintesis protein. Untuk profilaksis malaria, digunakan
dosis: dewasa 100mg/hari, anak >8 tahun, 2 mg/kg BB sehari sampai mencapai
dosis dewasa. Profilaksis dapat dimulai 1-2 hari sebelum masuk ke daerah
endemis. Diteruskan setiap hari selama dan 4 minggu setelah meninggalkan
daerah endemis.
2.5.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan khusus pada kasus-kasus malaria dapat diberikan tergantung dari
jenis plasmodium sebagai berikut:
a. Malaria Tersiana/ Kuartiana
Biasanya ditanggulangi dengan klorokuin namun jika resisten perlu di
tambahkan meflokuin single dose 500 mg p.c (atau kinin 3x600 mg selama
4-7 hari). Terapi ini disusul dengan pemberian primaquin 15 mg /hari
selama 14 hari)
b. Malaria Ovale
Berikan kinin dan doksisklin (hari pertama 200 mg, lalu 1x100 mg selama
6 hari). Atau meflokuin (2 dosis dari masing-masing 15 dan 10 mg/ kg
dengan interval 4-6 jam). Pirimethamin-sulfadoksin (dosis tunggal dari 3

42
tablet ) yang biasanya di kombinasikan dengan kinin (3 dd 600 mg selama
3 hari).
c. Malaria Falcifarum
Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam
dosis tunggal sebanyak 2-3 tablet. Kina 3x650 mg selama 7 hari.
Antibiotik seperti tetrasiklin 4x250 mg/hari selama 7-10 hari dan
aminosiklin 2x100 mg/hari selama 7 hari

2.6 BRUCELLOSIS
2.6.1 Definisi
Brucellosis merupakan penyakit zoonis yaitu penyakit infeksi yang
ditularkan dari hewan ke manusia. Penularan terjadi melalui kontak langsung
dengan hewan yang terinfeksi, minum susu dari hewan yang terinfeksi dan
menghirup udara yang tercemar oleh bakteri gram negatif dari genus Brucella.
Brucellosis memiliki dampak ekonomi yang sangat tinggi berkaitan dengan
produktivitas hewan penderita dan pada manusia akibat durasi pengobatan yang
lama.23
2.6.2 Etiologi
Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella sp termasuk jenis gram
negatif. Morfologi berbentuk coccobacillus, dengan panjang 0,6 – 1,6 µm, tidak
bergerak (non- motil),tidak berkapsul, tidak membentuk spora dan anaerobik
fakultatif. Dalam media biakan koloni berbentuk seperti setetes madu bulat, halus,
berbentuk cembung, licin, mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter 1- 2
mm. Secara biokimia dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, tidak
membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan memerlukan temperatur
20⁰ – 40⁰ C.24
Diluar induk semang dapat bertahan hidup pada berbagai lingkungan dan
waktu tertentu. Kemampuan hidup di tanah kering selama 4 hari di luar suhu
kamar, pada tanah lembab dapat bertahan hidup selama 66 hari, di tanah becek
dapat bertahan hidup selama 151 sampai 185 hari. Kuman brucella dapat hidup
dalam kotoran dan limbah kandang selama 2 hari dengan suhu relatif tinggi. Pada

43
tempat minum ternak dapat hidup selama 5 -114 hari. Terdapat empat jenis
brucella yang hidup di dalam hewan dan dapat menginfeksi manusia yaitu :
- B. Abortus yang hidup didalam sapi
- B. Mellitensis hidup dalam kambing dan domba
- B. Suis hidup didalam babi
- B.canis pada anjing
Sumber penularan brucellosis antara lain dari hewan sapi, babi, domba, dan
kambing. Sumber penularan yang lebih potensial dari hewan ke manusia adalah
sapi melalui kontak dengan placenta, fetus, cairan organ reproduksi hewan, darah
dan urin melalui kulit yang luka. Pekerjaan yang memiliki resiko seperti pada
dokter hewan, peternak, pekerja pemerah susu, pemotong hewan, petugas
laboratorium. Selain melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi brucellosis
dapat ditularkan melalui menghirup udara yang tercemar oleh bakteri brucella sp
dan mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri brucella.25
2.6.3 Patogenesis
Brucellosis merupakan penyakit sistemik yang mempengaruhi hampir
semua organ tubuh. Kuman brucella yang masuk ke dalam epitel akan dimakan
neutrofil dan sel makrofag masuk ke limfoglandula. Bakterimia muncul dalam
waktu 1 sampai 3 minggu setelah infeksi apabila sistem kekebelan tubuh tidak
mampu mengatasi. Kuman brucella terlokalisir dalam sistem reticuloendhothelial
seperti hati, limpa, sumsum tulang belakang membentuk granuloma.25,26
Komponen dinding sel brucella baik pada strain halus seperti B. Melitensis,
B. Abortus, B. Suis maupun pada strain kasar sepertiB. Canisterdiri dari
peptidoglikan protein, membran luaryang terdiri dari lipoprotein dan
lipopolisakarida. Lipopolisakarida inilah yang membentuk virulensi kuman dan
bertanggung jawab terhadap efek penghambatan bakterisidal di dalam makrofag.
Kuman brucella strain kasar mempunyai virulensi lebih rendah pada
manusia.Kuman brucella bersifat fakultatif intraseluler yaitu kuman mampu
hidup dan berkembang biak dalam sel fagosit memiliki 5-guanosin monofosfat
yang berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam neutrofil, sehingga kuman
mampu hidup dan berkembang biak di neutrofil.25,26

44
2.6.4 Gejala Klinis
Masa inkubasi pada manusia yang terinfeksi brucella bervariasi sekitar 5
hari sampai 2 minggu. Gejala yang muncul tidak spesifik seperti demam,
kelemahan dan lelah tubuh, merasa kedinginan dan berkeringat pada malam hari,
sakit kepala, nyeri sendi (60% terjadi nyeri didaerah lumbal tulang belakang).

Brucellosis gejala berdasar waktu dibagi menjadi :


- Akut
Gejala seperti flu, demam, menggigil, pusing kepala, nyeri punggung,
malaise, diare.
- Subakut
Gejala demam, arthritis, epididimo-orchitis, malaise, nyeri otot, pusing
kepala, nyeri leher yang lebih berat, abortus spontan pada wanita hamil.
- Kronis
Gejala Anoreksia, kehilangan berat badan, nyeri sendi, pusing kepala,
insomnia, depresi, konstipasi, arthritis, irritabilitas, endocarditis,
meningitis.
- Hipersensitif ditemukan pada orang yang terkena antigen dalam jumlah
sedikit
Gejala kulit kemerahan, malaise, demam, gangguan persendian23,24,25

Pada brucellosis yang tidak ditangani dengan benar dapat menimbulkan


komplikasi spondilitis, endocarditis, meningoenchepalitis, dan pada wanita hamil
dapat menggugurkan kandungan.

2.6.5 Penegakan diagnosis dan Penatalaksanaan


Penegakan diaganosis brucellosis pada manusia sulit diketahui hanya dari
gambaran klinis yang tidak spesifik, maka diperlukan uji laboratorium untuk
penegakan diagnosa seperti uji the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
untuk membedakan infeksi lama atau baru, uji polymerase Chain Reaction (PCR),
Agglutination reaction (Wright reaction), dan Complement fixation test (CFT).25,26

45
Brucellosis harus segera diobati untuk mencegah terjadi komplikasi dan
relapsis. Pengobatan yang diberikan untuk pasien brucellosis pemberian antibiotik
dengan waktu dan dosis sebagai berikut :26

Gambar 12. Antibiotik untuk Brucellosis

Pada orang dewasa dan anak di atas umur 8 tahun antibiotika yang
dianjurkan doksisiklin dan rifampisin selama 6 samapai 8 minggu, sedangkan
anak di bawah 8 tahun sebaiknya diberikan rifampisin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole (TPM-SMX) selama 6 minggu. Penderita brucellosis dengan
spondilitis direkomendasikan antibiotika doksisiklin dan rifampisin
dikombinasikan dengan aminoglikosida (gentamisin) selama 2 sampai 3 minggu
kemudian diikuti dengan doksisiklin dan rifampisin selama 6 minggu. Brucellosis
pada ibu hamil kontraindikasi diberikan tetrasiklin.terapi optimal untuk ibu hamil
dengan brucellosis belum daapat ditentukan karena efek obat untuk kehamilan.
Co-trimoxazole telah digunakan pada ibu hamil dan telah dilaporkan
keberhasilannya. Alternatif lain bisa diberikan rifampisin selama setidaknya 45
hari tergantung pada hasil klinis.26

46
2.6.6 Pencegahan
Pencegahan pada brucellosis pada manusia dapat dilakukan dengan
penanggulangan dan kontrol penyakit pada hewan sebagai hospes, mengurangi
kontak langsung dengan hewan terinfeksi, saat kontak memakai alat pelindung
diri seperti memakai sepatu boot, baju panjang. Selain itu drekomendasikan
konsumsi susu yang sudah terpasteurisasi dan memasak produk asal ternak
sebelum dikonsumsi. Bakteri ini mudah mati pada pemanasan basah suhu 121⁰ C
selama 15 menit dan pemanasan kering pada suhu 160⁰ – 170⁰ C selama satu
jam.Apabila ada ternak yang terinfeksi segera dipisahkan dan diperiksakan pada
dokter hewan.
Tindakan pengendalian brucellosis pada ternak merupakan kombinasi dari
manajemen peternakan, program vaksinasi dan test and slaughter. Vaksinasi
merupakan metode yang efektif untuk mencegah brucellosis pada hewan dapat
dilakukan pada prevalensi hewan yang terkena > 2% menggunakan vaksinasi
B.abortus strain 19. Sedangkan test and slaughter efektif untuk kontrol
brucellosis pada ternak yaitu metode teknik uji dan pemotongan.25,26

47
BAB III

KESIMPULAN

Hazard biologi adalah potensi bahaya yang ditimbulkan dari faktor makluk
hidup yaitumerujuk pada organisme maupun bahan yang berasal dari organisme
yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Jenis hazard biologis terdiri dari
virus, bakteri, jamur, parasit. Berikut contoh penyakit yang disebabkan oleh
hazard biologi seperti Rabies, Hepatitis, Malaria, Anthrax dan Brucellosis
merupakan contoh hazard biologi yang cukup berpotensi ditemukan di tempat
kerja. Gejala yang biasa ditimbulkan dari penyakit tersebut bermacam-macam,
dari asimptomatik sampai bisa mengancam nyawa. Oleh karena itu diperlukan
penegakan diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan khusus serta pemeriksaan penunjang. Kejadian timbulnya penyakit
yang disebabkan oleh hazard biologis ini sangat erat hubungannya dengan tempat
kerja masing-masing. Sehingga diperlukan tindakan yang tepat untuk pencegahan.
Apabila pencegahan dapat dilakukan dengan baik, diharapkan dapat menurunkan
prevalensi terjadinya hazard biologis di tempat kerja. Sehingga dapat
meningkatkan produktivitas dan mengurangi dampak sosioekonomi dari
timbulnya penyakit hazard biologi di tempat kerja tersebut.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Paramita. Pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja terhadap prestasi


kerja karyawan. Jakarta.2012
2. Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia. 2018. Tentang Keselamatan
dan kesehatan kerja lingkungan kerja, Jakarta : Departemen
Ketenagakerjaan.
3. World Health Organization. Rabies. Available at :
http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies . Accessed on
August 30, 2018.
4. Kemenkes RI. Situasi dan Analisis Rabies. Pusat Data dan Informasi.
Jakarta. 2014
5. Batan I.W, Suatha I.K. Faktor-faktor yang Mendorong Kejadian Rabies
pada Anjing di Desa-Desa di Bali. Jurnal Veteriner Fakultas kedokteran
Hewan Universitas Udayana. Bali. 2016:17(2)
6. Tanzil K. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal Widya
Kesehatan dan Lingkungan Bagian Mikrobiologi Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya. Jakarta. 2014:1(1). Hal 61-7
7. Centers for Disease Control and Prevention. Rabies. Available at :
https://www.cdc.gov/rabies/index.html . Accessed on August 30, 2018.
8. Anthrax: current, comprehensive infection on pathogenesis, microbiology,
epidemiology, diagnosis, treatment and prophy- laxis. Available
9. Inglesby TV, Henderson DA, Barlett JG. Anthrax as a Biological Weapon
Medical and Public Health Management. JAMA 2011; 281:1735-45.
10. Inglesby TV, O’Toole T, Henderson DA, Bartlett JG, Ascher MS, Eitzen
E, et al. Anthrax as a biological weapon: updated recom- mendations for
management. JAMA 2011; 287 (17):2236-52.
11. Friedlander AM. Capter 22 : Anthrax. In : Medical Aspects of Chemical
and Biological Warfare.
12. WHO guidelines for the surveillance and control of anthrax in humans and
animals. Available at: http//who.int/emc-document/
zoonoses/docs/whoczdi986.html

49
13. Shafazand S, Doyle R, Ruoss S, Weinacker A, Raffin TA. Inhala- tion
Anthrax, Epidemiology, Diagnosis and Management. Chest
1999;116:1369-76.
14. Al-orry Wallled, M. Arahou, Hassikou R. Leptospirosis: transmission,
diagnosis, and prevention. International Journal of Innovation and Applied
Studies.Apr2016.14(3).p257-467
15. Amin, L.Z. Leptospirosis. CDK-243.2016.43(8).p 576-580.
16. Goarant, C. Leptospirosis: risk factor and management challenges in
developing countries. Research and Report in Tropical Medicine.
2016:7.p.49-62
17. Rahmah S. Indriani C. Hubungan Faktor Perilaku Dengan Kejadian
Hepatitis A di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Accessed on
September 2018. Available at:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/472
18. Lemin S M. Ott J J. Damme P V. Shouval D. Type A Viral Hepatitis: A
Summary and Update on the Molecular Virology, Epidemiology,
Pathogenesis and Prevention. Accessed on September 2018. Available at:
https://www.journal-of-hepatology.eu/article/S0168-8278(17)32278-X/pdf
19. NSW Government. Hepatitis A. Accessed on September 2018. Available
at:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9
&ved=2ahUKEwjt94Pf_ZXdAhVJv48KHZ4UCsEQFjAIegQIABAC&url
=http%3A%2F%2Fwww.mhcs.health.nsw.gov.au%2Fpublicationsandreso
urces%2Fpdf%2Fpublication-
20. Harijanto, P. Data dan informasi kesehatan Epidemiologi Malaria.
Accessed on September 2018. Availabe at:
https://www.scribd.com/document/60922336/Buletin-Malaria
21. WHO. 2008. World Malaria Report 2006: Geneva. WHO/UNICEF.
22. Laksono, RD. Proflaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Acessed on September 2018. Available at:

50
http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_188Profilaksis%20Malaria%20di
%20Perbatasan%20Indonesia-Timor%20Leste.pdf
23. Noor Susan, Hananto Miko. Seroprevalensi dan Ancaman Brucella
Abortus Pada Pekerja Peternakan Sapi Perah Di Kecamatan Cilawu
Garut.2016;7(3) 211-216
24. Novita Risqa. Brucellosis : Penyakit Zoonis Yang Terabaikan. 2016;4(3)
25. Galinska Elzbieta, Zagorski Jerzy. Brucellosis In Human – Etiolg,
Diagnostics, Clinical Forms. 2013;20(2) 233-238
26. Skalsky Keren, Yahav Dafna. Treatment of Human Brucellosis :
Systematic Review And Meta Analysis Of Randomised Controlled Trials

51

Anda mungkin juga menyukai