Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nely Masruroh

NIM : 142011101061

RESUME JURNAL

Judul Jurnal Computed Tomography Measurements as A Standart of Exophthalmos?


Two-Dimensional Versus Three-Dimensional Techniques

Pengukuran Dengan CT Sebagai Suatu Standar untuk Eksoftalmus?


Teknik Dua Dimensi Versus Tiga Dimensi

Jie Guo, Jiang Qian & Yifei Yuan

Journal of Current Eye Research. 2018;43(5):647-653 Available Online: 29


January 2018

Pendahuluan Derajat eksoftalmos merupakan tanda penting pada Thyroid Eye Disease
(TED). Jadi, mengukur eksoftalmos sangat penting untuk mengevaluasi
tingkat keparahan penyakit dan efek dari pengobatan yang telah diberikan.
Oleh karena itu, metode untuk mengukur derajat eksoftalmos secara akurat
penting bagi dokter spesialis mata.
Beberapa metode telah diusulkan untuk mengukur posisi aksial dari bola
mata termasuk eksoftalmometri, computed tomography (CT), dan 3D
imaging optikal.
Kemajuan terbaru dalam teknik pencitraan dewasa ini memungkinkan
adanya generasi rekonstruksi 3D dari gambar CT. Dibandingkan dengan
gambar dua dimensi (2D), gambar 3D memberikan lebih banyak pandangan
komprehensif dari orbit dan meningkatkan orientasi serta identifikasi lokasi
dalam gambar.
Dalam penelitian ini, peneliti mengukur derajat eksoftalmos pada pasien
dengan Thyroid Eye Disease (TED) dengan menggunakan teknik CT 2D
dan 3D. Perbedaan antara keduanya dibahas dan faktor – faktor yang
kemungkinan mempengaruhi akurasi dan realibilitas CT dibahas.
Tujuan Membandingkan pengukuran eksoftalmos menggunakan metode Computed
Tomography (CT) dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D).
Metode Penelitian ini mengevaluasi 50 pasien berturut-turut (100 mata) yang
Penelitian didiagnosis dengan TED di Rumah Sakit Mata dan THT Universitas Fudan,
Shanghai, China dari Desember 2012 hingga Agustus 2016. Catatan klinis
termasuk jenis kelamin, usia, durasi penyakit, ketajaman visual, tes refleksi
kornea, dan skor aktivitas klinis (CAS) dikumpulkan. Terdapat 26 wanita
dan 24 laki-laki terdaftar dalam penelitian, dan usia rata-rata dari pasien
adalah 47 tahun (rentang 21 tahun hingga 68 tahun). Semua pasien ada di
dalam fase tidak aktif, dan nilai CAS adalah <4/7. Kriteria ekslusi meliputi
fraktur orbital atau zigomatik. Penelitian ini berpegang pada prinsip
Deklarasi Helsinki dan telah disetujui oleh Komite Etik Universitas Fudan.
Informed consent diperoleh dari semua pasien.

Pasien disesuaikan posisinya sebelum pemeriksaan. Posisi pasien


dipertahankan tegak dan pasien disuruh untuk melihat lurus kedepan. CT
scan dijalankan dengan ketebalan 0,75 mm. Semua data direkam dalam
format DICOM (Digital Imaging and Communications in Medicine) dan
dimpor ke software iPlan CMF versi 3,0 untuk analisis gambar.

Untuk pengukuran menggunakan CT 2D, Gambar aksial meliputi lensa


paling tebal dipilih, dan dibuat garis pada pinggiran orbital bagian anterior
lateral. Kemudian, pusatnya kornea ditandai dengan tanda titik sebagai apex
kornea, dan jarak tegak lurus antara titik dan garis ini didefinisikan sebagai
nilai exophthalmos E2D (Gambar 1). Untuk kasus-kasus di mana lensa
paling tebal dari mata bilateral tidak dalam gambar aksial yang sama,
eksoftalmos untuk mata kanan dan kiri diukur secara independen.
Nilai Eksoftalmos diukur secara independen oleh dokter mata
berpengalaman pada saat yang sama. Eksoftalmometri helter digunakan
sebagai teknik standar. Setiap pengukuran dilakukan dua kali untuk
menghitung rata-rata. Semua pengukuran eksoftalmos diulang dua kali oleh
peneliti yang sama pada hari yang berbeda tanpa mengacu pada pengukuran
sebelumnya untuk menilai reprodusibilitas pengukuran. Kemudian
pengukuran mata bilateral dicatat. Nilai rata-rata didapatkan dengan standar
deviasi. Analisis data menggunakan SPSS. Kesepakatan pengukuran dinilai
menggunakan koefisien korelasi intraclass (ICC) dan formula Dahlberg. Uji
T berpasangan digunakan untuk menilai data berpasangan pada pasien.
Korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis korelasi antar data. Semua
data dengan P <0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil Reprodusibilitas pengukuran untuk pemindaian yang sama
Pembacaan tiruan dari pengamat yang sama menunjukkan ICC masing-
masing adalah 0,993, 0,989, dan 0,988 untuk E2D, E3D, dan EC. Nilai
Dahlberg adalah 0,48 mm, 0,58 mm, dan 0,59 mm untuk E2D, E3D, dan
EC, masing-masing. Pembacaan tiruan dari pengamat yang berbeda
menunjukkan ICCs adalah 0,963, 0,949, dan 0,928 untuk E2D, E3D, dan
EC, masing-masing. Nilai Dahlberg adalah 0,53 mm, 0,64 mm, dan 0,71
mm untuk E2D, E3D, dan EC, masing-masing.

Perbedaan antara E3D dan E2D


Rata-rata E2D adalah 20,1 ± 3,9 mm (10,1 mm – 28,2 mm) dan E3D adalah
19,1 ± 4 mm (9,2 mm-27,1 mm) untuk Ctscan pra operasi dari 50 pasien.
Ada perbedaan yang signifikan antara E2D dan E3D untuk pasien yang
sama (p <0,05). Perbedaan antara E2D dan E3D adalah 0,9 ± 1,2 mm (−2,6
mm – 3,52 mm). Perbedaan mutlak 2 mm atau lebih diamati pada 20%
(20/100) dari mata, dan 51% (51/100) menunjukkan perbedaan 1 mm atau
lebih. Selain itu, ada 27 (54%) pasien dengan strabismus dan 23 (46%)
tanpa strabismus pada penelitian ini. Perbedaan antara E2D dan E3D
signifikan di masing-masing kelompok (p = 0,042 dan 0,019 masing-
masing).

Pengukuran klinis dan CT


Nilai rata-rata dari eksoftalmometer Hertel adalah 19,7 ± 3,6 mm (12 mm –
27 mm). Ada perbedaan yang signifikan antara E2D dan pengukuran
eksoftalmometer Hertel (p = 0,02). Namun, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara E3D dan pengukuran eksoftalmometer Hertel (p = 0,27).
Selain itu, E3D menunjukkan korelasi yang lebih baik dengan pengukuran
Hertel dibandingkan E2D (ICC 0,939 dan 0,877, masing-masing).

Analisis exophthalmos relatif


Perbedaan E3D bilateral dan EC dihitung dan dicatat sebagai nilai
exophthalmos relatif disebut RE3D dan REC. Nilai rata-rata RE3D adalah
−0.47 ± 2.64 mm (−6.32 mm – 5.21 mm), dan nilai rata-rata REC adalah
−0,42 ± 2,4 mm (−6,69 mm4,47 mm). Meski tidak ada perbedaan signifikan
antara RE3D dan REC (p = 0,3), perbedaan mutlak adalah 0,76 ± 0,69 mm
dan 22% (11/50) dari kasus memiliki perbedaan mutlak 1 mm atau lebih
(−3,01 mn – 2,58 mm)
Puncak kornea dan bola mata

Pembahasan Derajat eksoftalmos dan perubahannya adalah parameter penting dalam


pengelolaan pasien dengan TED. Eksoftalmometer adalah alat pengukur
yang paling sering digunakan secara klinis untuk evaluasi eksoftalmos.
Namun, akurasi dan keandalan pengukuran yang dilakukan dengan
eksoftalmometer dipengaruhi oleh pengalaman dokter, prosedur
eksoftalmometer, pembengkakan jaringan lunak dan perbedaan tipe dari alat
CT imaging membantu mencapai nilai yang lebih akurat dalam
eksoftalmometer. Pada penelitian sebelumnya, pengukuran CT eksoftalmos
dianggap standar untuk perbandingan perangkat. Karena itu, akurasi dan
reliabilitas pengukuran CT sangat penting.
Ada perbedaan yang signifikan antara pengukuran eksoftalmos yang
dilakukan menggunakan metode 2D dan 3D, dan lebih dari separuh mata
menunjukkan perbedaan 1 mm atau lebih. Ada juga mata yang
menunjukkan perbedaan 2 mm atau lebih. Dalam penelitian sebelumnya
yang membandingkan pengukuran eksoftalmometer dan CT, perbedaan
rata-rata di antara kedua metode berkisar antara 0,03 mm hingga 1,2 mm.
Namun demikian, kesalahan pengukuran CT tidak dapat dikecualikan dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini, metode pengukuran eksoftalmos
menggunakan 3D lebih konsisten dengan yang menggunakan
eksoftalmometer Hertel.
Kesimpulan Kesimpulannya, penelitian ini memperkenalkan metode pengukuran
eksoftalmos menggunakan teknik CT 3D. Pengukuran CT yang dilakukan
dengan menggunakan metode 3D lebih baik dibanding metode 2D
konvensional. Pengukuran 3D juga lebih konsisten dengan hasil
eksoftalmometer. Posisi pusat bola mata dapat dianggap sebagai tanda
penting dalam mengevaluasi eksoftalmos, khususnya untuk pasien dengan
strabismus berat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi
kelayakan metode ini.

Anda mungkin juga menyukai