Di susun Oleh :
1. Mujaiyinul Alam (162010200122)
2. Edvito Hendrick Hernanda (162010200)
3. Achmad Sirojuddin (162010200)
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2018
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................................ i
Saat kolonial Belanda menjajah bumi nusantara, Pendidikan Islam telah tersebar
luas dalam wujud “pondok pesantren”, dimana islam diajarkan di
musholla/langgar/masjid. Sistem yang digunakan seperti sistem sorogan, bandongan,
dan wetonan. Sorogan adalah sistem pendidikan dimana secara perorangan menghadap
kyai dengan membawa kitab, kyai membacakan dan mengartikan kemudian sang santri
menirukannya. Bandongan atau Wetonan adalah sang kyai membaca, mengartikan dan
menjelaskan maksud teks dari kitab tertentu namun sang santri hanya mendengarkan
penjelasan dari sang kyai.
Sistem pendidikan semasa itu hanya berorientasi pada hafalan teks semata,
sehingga tidak merangsang santri untuk berdiskusi. Cabang ilmu agama yang diajarkan
sebatas Hadits dan Mustholah Hadist, Fiqih dan Usul Fiqih, Ilmu Tauhid, Ilmu
Tasawuf, Ilmu Mantiq, Ilmu Bahasa Arab. Ini berlangsung hingga awal abad ke-20.
Sudah barang tentu di sekolah Belanda para murid tidak diperkenalkan pendidikan
Islam sehingga menjadikan cara berfikir dan tingkah laku mereka banyak yang
menyimpang dari ajaran Islam.
Melihat kenyataan ini K.H Ahmad Dahlan beserta para tokoh bertekad untuk
memperbaharui pendidikan bagi umat Islam. Pembaharuan yang dimaksud meliputi dua
segi, yaitu segi cita-cita dan segi teknik. Segi cita-cita adalah untuk membentuk manusia
muslim yang berakhlaqul karimah, alim, luas pandangan dan paham terhadap masalah
keduniaan, cakap, serta bersedia berjuang untuk kemajuan agama Islam. Sedang dari
Segi teknik adalah lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan
pendidikan modern terutama system/model pembelajaran yang diterapkan selama
pelaksanaan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua bentuk.
Tradisionalisme
Sinkretisme
2. Faktor Eksternal
Kristenisasi
Kolonialisme Belanda
Secara teoritik, ada tiga alasan mengapa pendidikan AIK perlu diajarkan:
1. Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama
Islam dan mempunyai alam fikiran modern/tajdid/dinamis.
2. Memperkenalkan alam fikiran tajdid, dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh
dan sekaligus mengamalkannya, dan.
3. Perlunya etika/akhlak peserta didik yang menempuh pendidikan di lembaga
pendidikan Muhammadiyah.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam
dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Memang, Muhammadiyah sejak tahun 1912 telah menggarap dunia
pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru
disusun pada 1936. Pada mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H.
Ahmad Dahlan: “(Jadilah manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja
untuk Muhammadiyah)”
Bahkan hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat mendorong
timbulnya kepercayaan syirik dan merusak aqidah Islam. Inti gerakan pemurnian
ajaran Islam seperti pendahulunya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab
cukup bergema. K.H. Ahmad Dahlan dan pengikutnya teguh pendirian dalam upaya
menegakkan ajaran Islam yang murni sesuai al-Qur’an dan Hadis, mengagungkan
ijtihad intelektual bila sumber-sumber hukum yang lebih tinggi tidak bisa digunakan,
termasuk juga menghilangkan taklid dalam praktik fiqih dan menegakkan amal
ma’ruf nahi munkar.
Dahlan merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan yang ada di
Indonesia saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan
adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat. Karena itu Dahlan merentaskan beberapa
pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model
Muhammadiyah khususnya, antara lain:
1. Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga
sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan
tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis
pendidikan Beliau mesti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau
membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap
pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat
kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal,
yaitu:
a) Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat
dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat
dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci
b) Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia
c) Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang
hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
2. Pendidikan Agama
Bahwa awal usaha Muhammadiyah dalam hal kualitas mengalami dua masalah
sekaligus, yaitu, pertama, terlambatnya pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan
penambahan jumlah yang spektakuler, sehingga dalam beberapa hal kalah bersaing
dengan pihak lain. Kedua, tidak meratanya pengembangan mutu lembaga pendidikan.
Dalam sejumlah aspek banyak disoroti kelemahan amal usaha khususnya di bidang
pendidikan yang kurang mampu menunjukkan daya saing di tingkat nasional apalagi
internasional. Amal usaha Muhammadiyah tidak mengalami proses inovasi yang merata
dan signifikan, sehingga cenderung berjalan di tempat, kendati beberapa lainnya mulai
bangkit mengembangkan ide-ide dan metode baru dalam peningkatan kualitas dan
keberadaan amal usaha Muhammadiyah.
Menurut Suyanto, “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah
kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar
baca tulis yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan
bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru
sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “di ditiru”
Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan,
atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan). Namun kenyataan dilapangan
menunjukkan adanya guru terlebih-lebih guru honorer, yang tidak berasal dari
pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system
seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak
mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu
permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan
Muhammadiyah masa kini.
Menurut Suyanto era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik.
Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran
tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma
pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung
secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran
berbasis factual atau pengetahuan.
Sebagimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari pada kemajuan
teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan). Teknologi menawarkan
berbagai kesantaian dan ketenangan yang semangkin beragam.
Dampak negatif dari teknologi moderen telah mulai menampakan diri di depan
mata kita, yang pada prinsipnya melemahkan daya mental-spiritual / jiwa yang sedang
tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilannya. Pengaruh negatif dari
teknologi elektronik dan informatika dapat melemahkan fungsi-fungsi kejiwaan lainya
seperti kecerdasan pikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah
kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologi-elektronis dan informatika seperti
Komputer, foto copy dan sebagainya.(Arifin,1991,hal: 9 )
Alat-alat diatas dalam dunia pendidikan memang memiliki dua dampak yaitu dampak
positif dan juga dampak negatif. Misalnya pada pelajaran bahasa asing anak didik tidak
lagi harus mencari terjemah kata-kata asing dari kamus, tapi sudah bisa lewat komputer
penerjemah atau hanya mengcopy lewat internet. Nah dari sinilah nampak jelas bahwa
pengaruh teknologi dan informasi memiliki dampak positif dan negatif
Dari semua bentuk penyimpangan ini membutuhkan suatu upaya yang sangat serius
untuk mengatasinya. Salah satu cara mengatasinya adalah melalui pendidikan, dalam
hal ini pendidikan kemuhammadiyahan. Dengan kemuhammadiyahan dampak-dampak
buruk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa di minimalisir.
Jadi ini dapat disimpulkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu cepat telah memberikan dampak-dampak bagi kehidupan kita, baik itu
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak tersebut menyebabkan bangsa
Indonesia melakukan banyak penyimpangan. Di dalam pendidikan,
kemuhammadiyahan adalah salah satu upaya yang diperlukan. Kemuhammadiyahan
berperan aktif untuk mengelola dan memanage dampak-dampak buruk yang disebabkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi minimalisir.
1. Revitalisasi
Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital”, artinya penting. Kata “re” sebelum kata
“vital” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk
melakukan upaya atau usaha. Jadi kata “revitalisasi” itu berarti upaya untuk melakukan
perbaikan (pementingan) dari beberapa kekurangan yang yang ada dan diketahui
sebelumnya. Perbaikan, maksud arti dari kata revitalisasi biasanya lebih sering
digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata. Seperti paradigma,
konsep dan yang lain-lain. Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi
berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya
kurang terberdaya.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang secara sengaja direncanakan oleh pendidik dan
dialami oleh peserta didik dalam bentuk interaksi antara pendidik dan peserta didik di
lingkungan pendidikan dan menjadikan materi pendidikan sebagai sarana pembelajaran
menuju perbaikan tingkah laku, sikap, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
seperti yang diinginkan pendidik. Sedangkan Ahmad Marimba mendefinisikan
pendidikan sebagai suatu bimbingan atau pembinaan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasamani dan rohani peserta didik menuju kepribadian yang
utama. Prinsip dari rencana pendidikan itu biasanya dilakukan dengan penuh sadar
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan
yang diperlukan dirinya untuk terjun di tengah-tengah masyarakat.
3. Pendidikan Muhammadiyah
DAFTAR PUSTAKA
http://immawatimulfiani.blogspot.com/2017/02/muhammadiyah-sebagai-gerakan-
pendidikan.html
https://www.scribd.com/doc/313839193/AIK-II-Muhammadiyah-sbg-Gerakan-
Pendidikan-FK-KELOMPOK-7-pdf