Anda di halaman 1dari 17

KELOMPOK 3

12 PERBANKAN 1
NAMA-NAMA KELOMPOK :
1. IRMA NAINGGOLAN
2. SULASTRI JITMAU
3. SARTIKA SAGISOLO
4. PAYANG KENDI

PAJAK PENGHASILAN

A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN (PPh)


Pajak penghasilan (PPh) tersusun atas dua kata. Dua kata tersebut adalah pajak dan penghasilan.
Pajak dapat diartikan sebagai iuran yang dibayar oleh masyarakat kepada negara sebagai bukti pengabdian
terhadap negara. Pajak yang diberikan kepada negara berkaitan dengan beberapa hal seperti lahan yang
dimanfaatkan untuk usaha, bangunan, penghasilan dan lain-lain. Pemberian pajak terhadap negara dilakukan
untuk menambah uang kas negara dan membantu pembangunan nasional. Berkaitan dengan pemberiannya
kepada negara, pajak memiliki ketentuan sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang.

Penghasilan dapat diartikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang dimiliki oleh individu atau kelompok
untuk menambah kekayaannya dan digunakan untuk konsumsi. Penghasilan umumnya sering disama artikan
dengan pendapatan. Hal ini karena pendapat juga berkaitan dengan penambahan keuangan atau kondisi ekonomi
seseorang yang tujuannya menambah kekayaan. Dan kekayaan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Penghasilan memiliki berbagai bentuk dan didapatkan dengan cara bekerja atau melakukan usaha.

Berdasarkan pengertian di atas maka Pajak Penghasilan adalah pajak atau iuran yang dibayar masyarakat
kepada negara yang berasal dari penghasilannya. Secara sederhana maka pajak penghasilan dapat dikatakan
sebagai pajak yang dikenakan kepada masyarakat atas penghasilan yang dimilikinya.

B. SUBJEK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN


Pajak penghasilan memiliki subjek yang dikenakan wajib pajak. Antara subjek dan wajib pajak merupakan dua
hal yang tidak dapat terpisahkan. Terdapat beberapa subjek dalam pajak yang merupakan subjek wajib pajak
penghasilan.

Subjek pajak penghasilan tersebut adalah sebagai berikut:


a. Individu (perseorangan atau orang pribadi).
b. Warisan yang belum terbagi dan masih dimiliki seseorang dengan hak penuh.
c. Lembaga atau badan.
Lembaga atau badan disini adalah sekumpulan orang yang memiliki modal dalam satu kesatuan. Badan ini
terdiri dari badan yang melakukan usaha dan badan yang tidak melakukan usaha. Badan ini memiliki nama dan
bentuk beragam. Beberapa contoh badan yang dapat menjadi subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
 Perseroan terbatas (PT)
 Firma
 Yayasan
 Organisasi
 Koperasi
 Dan lain-lain.

d. Bentuk usaha tetap.


Dalam bentuk usaha dijelaskan mengenai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia. Orang tersebut berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan. Umumnya dapat berupa badan usaha yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk badan usaha tetap adalah
sebagai berikut:
 Cabang perusahaan
 Kantor perwakilan
 Gudang
 Gedung kantor
 Pabrik
 Bengkel
 Dan lain-lain

Subjek-subjek yang telah disebutkan di atas akan dikenai wajib sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang
telah ditetapkan. Akan tetapi terdapat beberapa subjek penghasilan yang tidak termasuk subjek pajak. Sehingga
jika tidak termasiuk subjek pajak maka tidak dikenai wajib pajak.

C. OBJEK PAJAK PENGHASILAN (PPh)


Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan. Penghasilan yang dimaksudkan disini adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia. Penghasilan tersebut dapat digunakan untuk konsumsi dan menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan. Penghasilan ini memiliki nama dan berbagai bentuk. Yang termasuk dalam objek pajak
penghasilan yaitu:
 Penggantian atau imbalan yang didapatkan melalui pekerjaan atau jasa, yang diterima individu atau
kelompok (bentuk berupa gaji dan lain-lain).
 Penghargaan, Hadiah yang didapatkan dari undian, dan lain-lain.
 Keuntungan yang diperoleh melalui usaha (laba usaha).
 Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (misalnya penjualan lahan yang menghasilkan
keuntungan).
 Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak.
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
 Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
 Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
 Dan lain-lain.

BUKAN OBEK PAJAK PENGHASILAN


 Bukan Merupakan Obyek Pajak Sedang penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (3) UU. PPh adalah sebagai berikut : (a). Bantuan atau sumbangan, termasuk
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan (b). Harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; Warisan; Harta termasuk
setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; Penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak
atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 (UU. PPh); Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa; Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat; (1) dividen berasal
dari cadangan laba yang ditahan; dan (2) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; Iuran yang diterima atau diperoleh
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai; Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; Bagian laba
yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif; Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama
sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha (terhitung mulai 1 Januari 2009 ketentuan ini dihapus);
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut; (2) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan (2) sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; Sisa lebih yang
diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan
kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan, Bantuan atau santunan yang
dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

OBJEK PAJAK BENTUK USAHA TETAP


Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap
1. 2. Objek Pajak BUT a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai; b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk
usaha tetap di Indonesia; c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Ps. 5(1) UU PPh Biaya-biaya yang berkenaan
dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh dikurangkan dari
penghasilan bentuk usaha tetap. Ps. 5(2) UU PPh
2. 3. PENGHASILAN BUT DARI - USAHA/KEGIATAN BUT - HARTA YANG DIMILI KI /
DIKUASAI BUT PENGHASILAN KANTOR PUSAT DARI - USAHA / KEGIATAN -
PENJUALAN BARANG-BARANG - PEMBERIAN JASA YG SEJENIS DGN YG DILAKUKAN
BUT DI INDONESIA PENGHASILAN YG TSB DLM PS.26 YG DITE- RIMA /DIPEROLEH
KANTOR PUSAT DI INDONESIA SEPANJANG ADA HUBUNGAN EFEKTIF ANTARA BUT
DGN HARTA/KEGIATAN YG MEMBERI KAN PENGHASILAN OBJEK PAJAK BUT Pasal 5
ayat (1) a. c. b.
3. 4. OBJEK BUT Ps.5(1)b UU PPh BANK DI LUAR INDONESIA BANK BUT DI INDONESIA PT.
A DI INDONESIA PINJAMAN BUNGA PT. B DI INDONESIA PINJAMAN PENGHASILAN
DARI USAHA YG SEJENIS DGN YG DILAKUKAN BUT DI INDONESIA BUNGA
4. 5. OBJEK BUT PS.5(1)c JASA MANAJEMEN; JASA PEMASARAN; JASA PRODUKSI
PERJANJIAN/ LISENSI PENGGUNAAN MERK “X Inc” X. Inc DI LUAR INDONESIA BUT DI
INDONESIA PT. Y DI INDONESIA ROYALTI HUBUNGAN EFEKTIF ANTARA BUT DGN
HARTA/KEGIATAN YG MEMBERIKAN PENGHASILAN
5. 6. Dalam Menentukan Besarnya Laba Suatu Bentuk Usaha Tetap: a. biaya administrasi kantor pusat yg
diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yg
besarnya ditetapkan oleh Dirjen Pajak (KEP- 62/PJ./1995 tgl 24-7-1995); b. pembayaran kpd kantor
pusat yg tidak diperbolehkan dibebankan sbg biaya adalah: 1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan
penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; 2) imbalan sehubungan dgn jasa manajemen dan jasa
lainnya; 3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan; c. pembayaran sebagaimana
tsb pada huruf b yg diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sbg Objek Pajak, kecuali
bunga yg berkenaan dgn usaha perbankan. Ps. 5(3) UU PPh
6. 7. kerugian fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dgn PhKP setelah dikurangi dgn PPh. Ps. 22 PP
94/2010 Dalam menghitung PPh sdd Ps. 26 ayat (4) UU PPh, terhadap BUT yg terutang PPh pada
suatu tahun pajak, PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 AYAT (4)
7. 8. Contoh: Ph neto komersial BUTdi Ind. th 2009 sebesar Rp16.000.000.000 dan penyesuaian fiskal
positif sebesar Rp1.500.000.000. Sisa kerugian th sebelumnya yg masih dapat dikompensasikan dalam
tahun 2009 sebesar Rp7.500.000.000. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4)
sebagai berikut: Uraian PPh Pasal 17 PPh Pasal 26 (4) Penghasilan Neto Komersial 16.000.000.000
Penyesuaian Fiskal Positif 1.500.000.000 Penghasilan Neto Fiskal 17.500.000.000 Kompensasi
Kerugian 7.500.000.000 Penghasilan Kena Pajak (PhKP) 10.000.000.000 PPh Badan Terutang 28%
2.800.000.000 PhKP setelah dikurangi pajak 7.200.000.000 PPh Pasal 26 (4) = 20% 1.440.000.000
Dalam menghitung PPh Ps. 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000 tsb tidak boleh
diperhitungkan sebagai pengurang PhKP setelah dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00). Ps. 22 PP
94/2010
8. 9. PELUNASAN PPh PASAL 26 AYAT (4) (1) PPh yg terutang dari PhKP sesudah dikurangi pajak
dari suatu BUT di Indonesia sdd Pasal 26 ayat (4) UU PPh harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan
PPh disampaikan. (2) Dalam hal WP BUT memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh sdp ayat (1), PPh yg terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum
penyampaian pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. Ps. 23 PP
94/2010 Sesuai dengan ketentuan Ps. 3 ayat (3) UU KUP, batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh
bagi Wajib Pajak badan adalah paling lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak. Dengan demikian,
pelunasan PPh yg terhutang harus dilakukan sebelum batas akhir penyampaian SPT Tahunan tsb.

PENGHASILAN KENA PAJAK

PENGERTIAN PENGHASILAN PAJAK


Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.

BIAYA YANG DI PERKENANKAN SEBAGAI PENGURANGAN PENGHASILAN BRUTO

Beban-beban yang dapat dapat di perkenankan sebagai pengurangan penghasilan bruto dapat dibagi 2, yaitu
beban atau biaya yang mempunyai kemampuan massa manfaat tidak lebih dari 1 lebih tahun dan yang
mempunyai manfaat lebih dari 1 tahun.

Beban yang mempunyai massa manfaat tidak lebih dari 1 merupakan biaya pada rahun yang bersangkutan,
misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga. Biaya rutin pengelohan limbah dan sebagainya, sedangkan
pengeluaran yang mempunyai massa manfaat lebih dari 1 tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan
atau melalui amortitasi.

Di samping itu, apabila dalam satu tahun pajak di dapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
kerugian-kerugian tersebut dapat di kurangkan dari penghasilan bruto.

BIAYA-BIAYA YANG TIDAK DI PERKENANKAN SEBAGAI PENGURANGAN PENGHASILAN


BRUTO

Pengeluaran dan biaya yang tidak berkaitan ( baik langsung maupun tidak langsung ) dengan kegiatan
mendapatkan, menagih,dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan, tidak dapat di
kurangkan dari hasil penghasilan bruto.
Selain itu, pengeluaran yang bersifat pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran tidak
dapat dikurangkandari penghasilan bruto.

HARGA PEROLEHAN

a.Harga .perolehan untuk aktiva/harta berwujud yang diperoleh dengan pembelian tunai terdiri dari biaya/uang
yang dikeluarkan/terjadi untuk memperoleh aktiva/harta berwujud sampai ditempat dan siap dipakai, antara
lain :
1. Harga beli aktiva/harta berwujud tersebut.
2. Biaya pengiriman.
3. Biaya asuransi.
https://www.ilmudasar.com/2018/02/Pajak-Penghasilan-PPh.html4. Biaya pemasangan.
5. Biaya bea balik nama (notaris dan lain-lain)
6. Biaya lain yang berhubungan langsung dengan perolehan akiva/harta berwujud tersebut.
Apabila terhadap untuk pembelian tanah dan bangunan tidak bisa dipisahkan biaya notaris untuk tanah dan
bangunan maka biaya notaris dialokasikan sesuai harga masing-masing tanah dan bangunan.
Contoh :
Harga tanah 20.000.000, Bangunan 60.000.000, biaya notaris 1.000.000.
Maka biaya notaris untuk tanah dialokasikan 20.0000.000 / 80.000.000 = 250.000
Maka biaya notaris untuk bangunan dialokasikan 60.0000.000 / 80.000.000 = 750.000

b. Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh, maka harga perolehan / dasar
penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.

c.Apabila akitva/harta berwujud diperoleh dengan cara hibah/sumbangan maka harga perolehan / dasar
penyusutan bagi penerima hibah adalah nilai sisa buku harta hibahan.

d.Apabila akitva / harta berwujud diperoleh dengan cara hibah/sumbangan/warisan dari keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat maka harga perolehan / dasar penyusutan bagi penerima hibah adalah
harga NJOP tahun diterimanya aktiva/harta tersebut.

e.Apabila akitva / harta berwujud diperoleh dengan cara sewa guna usaha dengan hak opsi maka harga
perolehan / dasar penyusutan bagi lessee (yang mengunakan barang) adalah nilai sisa (residual-value) barang
modal yang bersangkutan.

PENILAIAN PERSEDIAAN BARANG DAN HPP ( Harga Penjualan Pokok)

01. Metode Penilaian Persediaan FIFO

Sebagai ilustrasi mengenai metode penilaian persediaan FIFO dalam sistem persediaan periodik, kita akan
memberikan contoh ayat jurnal persediaan awal dan pembelian barang pada bulan Januari 2018 berikut ini :

Perhitungan fisik pada tanggal 31 Januari 2018 terdapat sisa persediaan sebanyak 150 unit.

Dengan menggunakan metode FIFO, biaya sisa persediaan pada akhir periode berasal dari biaya perolehan
paling akhir.

Biaya 150 unit dalam persediaan akhir pada tanggal 31 Januari 2018 dihitung sebagai berikut :
Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000 dari biaya barang tersedia untuk
dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga pokok penjualan sebesar Rp 2.630.000.

Sebagaimana ditunjukkan seperti berikut ini :

Persediaan akhir 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000 berasal dari biaya perolehan paling kahir. HPP sebesar
Rp 2.630.000 berasal dari biaya persediaan awal dan biaya paling awal.

Dan untuk menggambarkan hubungan antara harga pokok penjualan (HPP) untuk bulan Januari 2018 dan
persediaan akhir per 31 Januari 2018, saya sajikan sebuah gambar.

Perhatikan gambar ilustrasi berikut ini:

Penggunaan Metode Penilaian Persediaan FIFO


Ketika metode penilaian persediaan FIFO digunakan selama periode inflasi atau kenaikan harga-harga secara
umum, biaya unit yang lebih awal akan lebih rendah dibandingkan dengan biaya unit paling akhir, seperti
ditunjukkan dalam contoh di atas.

Oleh karena itu metode FIFO akan menghasilkan laba kotor yang lebih tinggi.

Akan tetapi, persediaan perlu diganti dengan harga yang lebih tinggi daripada yang ditunjukkan oleh HPP
(harga pokok penjualan).

Kenyataannya, neraca akan melaporkan persediaan akhir pada nilai yang kurang lebih sama dengan biaya
penggantian atau biaya untuk membeli barang persediaan sejenis saat ini.

Ketika tingkat inflasi mencapai dua digit, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1970 an di Amerika Serikat,
laba kotor yang tinggi yang dihasilkan dari penggunaan metode FIFO sering disebut laba persediaan atau laba
ilusi.

Sebaliknya, selama periode deflasi atau penurunan harga-harga secara umum, pengaruhnya adalah
kebalikannya.

02. Metode Penilaian Persediaan LIFO

Saat metode penilaian persediaan LIFO digunakan, sisa biaya persediaan pada akhir periode berasal dari biaya
perolehan paling awal.

Berdasarkan data seperti yang sama dengan contoh metode FIFO, biaya 150 unit dalam persediaan akhir per 31
Januari 2018 dihitung sebagai berikut :

Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000 dari biaya barang tersedia untuk
dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.830.000

Perhatikan seperti ditunjukkan berikut ini :


Persediaan akhir per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000 berasal dari biaya perolehan paling awal.

HPP (harga pokok penjualan) sebesar Rp 2.830.000 berasal dari biaya persediaan paling akhir.

Hubungan harga pokok penjualan untuk bulan Januari 2018 dan persediaan akhir per 31 Januari 2018 bisa
dilihat pada gambar ilustrasi berikut ini :

Penggunaan Metode Penilaian Persediaan LIFO

Saat metode LIFO digunakan selama periode inflasi atau kenaikan harga-harga hasilnya adalah kebalikan
dengan dua metode yang lain.

Seperti ditunjukkan dalam contoh di atas, metode LIFO akan menghasilkan jumlah yang lebih tinggi untuk HPP
(Harga Pokok Penjualan).
Dan jumlah yang lebih rendah untuk laba kotor dan jumlah yang lebih rendah untuk persediaan akhir,
dibandingkan dengan metode yang lain.

Alasan pengaruh ini adalah biaya peroehan unit yang paling akhir kurang lebih sama dengan biaya
penggantiannya.

Dalam periode inflasi, biaya unit yang lebih baru akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga unit yang lebih
awal.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa metode LIFO nyaris berhasil membandingkan biaya saat ini dengan
pendapataan saat ini (matching current costs against current revenues).

Selama periode kenaikan harga-harga, metode LIFO menawarkan penghematan dalam pajak penghasilan.

Karena melaporkan jumlah laba bersih yang lebih rendah dibandingkan metode FIFO dan biaya rata-rata.

Pada saat inflasi dua digit tahun 1970-an di AS, banyak perusahaan beralih dari metode FIFO menjadi LIFO
untuk menghemat pembayaran pajak.

Tapi, persediaan akhir dalam neraca bisa berbeda dari biaya penggantian saat ini.

Dalam kasus seperti ini, Laporan Keuangan biasanya memasukkan catatan yang menyebutkan selisih yang
diperkirakan antara persediaan LIFO dan persediaan FIFO.

Dan perlu disadari bahwa pada saat deflasi, atau secara umum terjadi penurunan harga-harga, maka
pengaruhnya sebaliknya.

( Baca juga : Cara Menghitung HPP Usaha Jus Buah (Tutorial + Case Study)

03. Metode Penilaian Persediaan Biaya Rata-rata

Metode biaya rata-rata disebut juga dengan metode biaya rata-rata tertimbang (weighted average method).

Ketika metode ini digunakan biaya dipadankan terhadap pendapatan sesuai dengan rata-rata biaya unit yang
terjual.

Biaya unit rata-rata tertimbang yang sama digunakan dalam menghitung biaya persediaan pada akhir periode.

Untuk perusahaan yang memiliki barang penjualan yang terdiri dari berbagai pembelian unit yang identik,
penerapan metode biaya rata-rata hampir menyerupai arus fisik barang.
Biaya unit rata-rata tertimbang dihitung dengan membagi jumlah biaya unit setiap barang yang tersedia untuk
dijual selama periode tertentu dengan jumlah unit barang terkait.

Dengan menggunakan data biaya yang sama dengan contoh metode FIFO dan LIFO, biaya rata-rata 280 unit
adalah sebesar Rp 21.000, dan biaya 150 unit dalam persediaan akhir, dihitung sebagai berikut :

Biaya unit rata-rata : Rp 5. 880.000 /280 unit = Rp 21.000


Persediaan 31 Januari 2018, 150 unit dengan biaya Rp 21.000 per unit = Rp 3.150.000

Mengurangi biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.150.000 dari biaya barang tersedia untuk dijual
sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.730.000, seperti
ditunjukkan berikut ini :

Penggunaan Metode Penilaian Persediaan Biaya Rata – rata

Metode biaya rata-rata adalah hasil kompromi antara metode FIFO dan LIFO. Pengaruh kecenderungan harga
diambil rata-ratanya dalam menghitung HPP (Harga Pokok Penjualan) dan persediaan akhir.

Untuk serangkaian pembeliaan, biaya rata-rata akan tetap sama, tanpa memperhatikan arah kecenderungan
harga.

Sebagai contoh, urutan biaya unit yang secara keseluruhan dibalik dengan biaya unit seperti disajikan dalam
contoh di atas, tidak akan berpengaruh terhadap harga pokok penjualan (HPP), laba kotor atau persediaan akhir
yang dilaporkan.

Untuk me-refresh kembali, sekarang ada satu contoh lagi perhitungan biaya persediaan.

Perhatikan Contoh soal berikut ini:

Unit suatu barang yang tersedia untuk dijual selama tahun berjalan adalah sebagai berikut :
Terdapat 16 unit barang dalam penghitungan fisik persediaan per 31 Desember. Menggunakan sistem periodik
dalam menentukan persediaan.

Hitunglah biaya persediaan menggunakan : 1) metode FIFO, 2) Metode LIFO, dan 3) Metode biaya rata-rata.

Jawaban :

#1. Metode FIFO

= 16 unit X Rp 62.000 = Rp 992.000

#2. Metode LIFO

= (6 unit X Rp 50.000) + (10 unit X Rp. 55.000)


= Rp 850.000

#3. Metode Biaya Rata-rata

= Rp 2.310.000 / 40 = Rp 57.750
= 16 unit X Rp. 57.750 = Rp 924.000

04. Kesimpulan

Dari pembahasan ketiga metode di atas, arus biaya yang berbeda diasumsikan untuk masing-masing dari tiga
metode alternatif biaya persediaan.

Perhatikan bahwa jika biaya unit tetap stabil, seluruh metode akan mendapatkan hasil yang sama.

Akan tetapi karena harga berubah-ubah, tiga metode tersebut biasanya akan menghasilkan jumlah yang berbeda
untuk :

 Harga pokok penjualan (HPP) untuk periode berjalan

 Laba kotor dan laba bersih untuk periode tersebut

 Persediaan akhir
Dengan menggunakan contoh, misalnya penjualan sebesar Rp 3.900.000, hasil dari perhitungan 130 unit x Rp
30.000, penggalan laporan laba rugi berikut ini menunjukkan pengaruh setiap metode saat harga naik.

(Baca juga : 2 Cara Simpel Menghitung Laba Pembangunan Perumahan (Case Study)

Perhatikan laporan laba rugi sebagian di atas, metode FIFO menghasilkan jumlah paling rendah untuk HPP
(Harga Pokok Penjualan)

Dan jumlah paling tinggi untuk laba kotor dan laba bersih dan juga persediaan akhir.

Di satu sisi, metode penilaian persediaan LIFO menghasilkan jumlah paling tinggi untuk HPP (harga pokok
penjualan).

Dan jumlah paling rendah untuk laba kotor dan laba bersih, dan juga persediaan akhir.

Metode penilaian persediaan biaya rata-rata menghasilkan jumlah di antara yang dihasilkan FIFO dan LIFO.

Perhitungan Penghasilan ( Pengusaha Kena Pajak)

Ada tiga klasifikasi tarif yang berlaku bagi badan usaha yang penghasilan brutonya berbeda-beda

Penghasilan Kotor (Bruto) Tarif Pajak


(Rp)

Kurang dari Rp4.8 Miliar 1% x Penghasilan Kotor


(Peredaran Bruto)
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar {0.25 - (0.6 Miliar/Penghasilan Kotor)} x PKP

Lebih dari Rp50 Miliar 25% x PKP

Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan Usaha

a. Perhitungan pajak penghasilan jika penghasilan kotor kurang dari Rp4.8 Miliar

Pada tahun 2017, PT. Maju Bersama memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp3 Miliar. Maka besar pajak
penghasilan PT. Maju Bersama adalah Rp3 Miliar x 1% = Rp30 juta. Cukup sederhana perhitungannya.

Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2017, PT. Maju Bersama telah menyetor pajak
penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp8 juta dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp2 juta. Maka, pajak
penghasilan terutang PT. Maju Bersama adalah Rp30juta–Rp8juta-Rp2 juta = Rp20 juta.

Inilah sisa pajak yang dibayar PT. Maju Bersama ke Kas Negara atas pajak penghasilan badan usaha di tahun
2017. Pajak ini bisa dicicil dengan meminta persetujuan dari kantor pajak setempat. Dalam bentuk tabel, berikut
adalah ringkasan dari perhitungan pajak penghasilan PT. Maju Bersama.

No Keterangan Jumlah

1 Penghasilan Kotor 3.000.000.000

2 Kredit Pajak PPh 21 8.000.000

3 Kredit Pajak PPh 23 2.000.000

4 Pajak Penghasilan Badan (1% x (1) 30.000.000

5 Pajak Penghasilan Terhutang ((4)-(2)-(3)) 20.000.000

b. Perhitungan pajak penghasilan jika penghasilan kotor lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar
PT. Maju bersama memperoleh penghasilan kotor di tahun 2017 sebesar Rp10 Miliar, dan Penghasilan Kena
Pajak adalah Rp3 Miliar, maka besar pajak PT. Maju Bersama menggunakan formula berikut:

(0.25 - (0.6 Miliar Gross Income)) Penghasilan Kena Pajak.


(0.25 - (0.6 Miliar 10 Miliar)) 3 Miliar = Rp570 juta (19%)

Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2017, PT.Maju Bersama telah menyetor pajak
penghasilan karyawan ke kas negara sebesar, Rp 200 juta dan PPh Pasal 23 sebesar Rp100 juta. Maka, pajak
penghasilan terutang PT. Maju Bersama adalah Rp570 juta-Rp200 juta-Rp100 juta = Rp270 juta. Inilah sisa
pajak yang dibayar PT. Maju Bersama ke Negara atas pajak penghasilan badan usaha tersebut di tahun 2017.

Berikut adalah ringkasan dari perhitungan pajak penghasilan PT. Maju Bersama.

No Keterangan Jumah

1 Penghasilan Kotor 10.000.000.000

2 Pengeluaran (Biaya) 7.000.000.000

3 Penghasilan Kena Pajak (PKP) (1-2) 3.000.000.000

4 Kredit Pajak PPh 21 200.000.000

5 Kredit Pajak PPh 23 100.000.000

6 Pajak Penghasilan Badan (25 - (600.000.00010.000.000.000)) x (3) 570.000.000

7 Pajak Penghasilan Terutang ((6)-(4)-(5)) 270.000.000

Perhitungan pajak penghasilan bila penghasilan kotor lebih dari Rp50 Miliar

PT. ABC memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp70 Miliar, dan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp28
Miliar, maka besar pajak PT. ABC adalah 25% x Rp28 Miliar = Rp7 Miliar

Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2017, PT. ABC telah menyetor pajak penghasilan
karyawan ke kas negara sebesar Rp2 Miliar dan PPh Pasal 23 sebesar Rp1 Miliar. Maka, pajak penghasilan
terutang PT. ABC adalah Rp7 Miliar-Rp2 Miliar-Rp1 Miliar = Rp4 Miliar. Inilah sisa pajak yang dibayar
PT. ABC ke Negara atas pajak penghasilan badan usaha tersebut di tahun 2017.
Dalam bentuk tabel, berikut adalah ringkasan dari perhitungan pajak penghasilan PT.ABC.

No Keterangan Rp

1 Penghasilan Kotor 70.000.000.000

2 Pengeluaran (Biaya) 42.000.000.000

3 Penghasilan Kena Pajak (PKP) (1-2) 28.000.000.000

4 Kredit Pajak PPh 21 2.000.000.000

5 Kredit Pajak PPh 23 1.000.000.000

6 Pajak Penghasilan Badan (25% x (3) 7.000.000.000

7 Pajak Penghasilan Terhutang ((6)-(4)-(5)) 4.000.000.000

Contoh penghitungan pajak penghasilan perusahaan di atas merupakan ilustrasi perhitungan pajak yang sudah
diesederhanakan. Pada kenyataannya, proses penghitungan pajak penghasilan dalam perusahaan tidaklah
sesederhana itu dan memerlukan laporan dari berbagai akun keuangan.

Anda mungkin juga menyukai