Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang

menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positif

T-sel dan makrofag– komponen komponen utama sistem kekebalan sel),

dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini

mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-

menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Masalah

HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan

perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah kasus

AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan.

Menurut Menkes, sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan

Juni 2012, kasus HIV / AIDS tersebar di 378 (76%) dari 498

kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia. Namun, saat ini

sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV yang meningkat melalui

jalur parental (ibu kepada anaknya), terutama di beberapa ibu kota

provinsi. Menurut laporan perkembangan HIV AIDS di Indonesia yang

dilakukan oleh Menkes dari tahun 1987-Juni 2012 kasus AIDS terbanyak

dilaporkan dari DKI Jakarta (5.118 kasus), Papua (4865 kasus), Jawa timur

(4664 kasus), Jawa Barat (4043 kasus), Bali (2775 kasus), Jawa Tengah

(1948 kasus), Kalimantan Barat (1358 kasus), Sulawesi Selatan (999

kasus), Riau (731 kasus), DIY (712 kasus). Tetapi, angka kematian AIDS

menurun dari 3,7% pada tahun 2010 menjadi 0.2% pada tahun 2012.

1
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh

Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah virus sitopatik yang

diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus

Lentivirus

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV AIDS


2.1.1 Definisi HIV AIDS

HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus

(HIV) merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan

tubuh manusia (terutama CD4 positif T-sel dan makrofag–

komponenkomponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan

atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya

penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan

mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem kekebalan dianggap

defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya

memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan

tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap

berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang

yang tidak mengalami defisiensi kekebalan.3

Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan

yang parah dikenal sebagai “infeksi oportunistik” karena infeksi-infeksi

tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah. 4 Pada

tahun-tahun pertama setelah terinfeksi tidak ada gejala atau tanda infeksi,

kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa dirinya

telah terinfeksi. Segera setelah terinfeksi, beberapa orang mengalami 65

gejala yang mirip gejala flu selama beberapa minggu. Penyakit ini disebut

3
sebagai infeksi HIV primer atau akut. Selain itu tidak ada tanda infeksi

HIV. Tetapi, virus tetap ada di tubuh dan dapat menular pada orang lain.5

Menurut Depkes RI (2003), definisi HIV yaitu virus yang

menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama

sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia.

Gejalagejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang

menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya

tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh

akibat infeksi HIV tersebut.6

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh

infeksi HIV dan ditandai dengan berbagai gejala klinik, termasuk

immunodefisiensi berat disertai infeksi oportunistik dan kegananasan, dan

degenerasi susunan saraf pusat. Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel

sistem imun termasuk sel T CD4+, makrofag dan sel dendritik. Tingkat

HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan

indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS.6 Menurut

Depkes RI (2003), AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune

Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang

biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Sindrom AIDS timbul

akibat melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh karena sel

CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusakoleh Virus HIV. 7 Pada tahun

1993, CDC memperluas definisi AIDS, yaitu dengan memasukkan semua

4
orang HIV positif dengan jumlah CD4+ di bawah 200 per μL darah atau

14% dari seluruh limfosit.8

2.1.2 Prevalensi anemia

Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat

yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

dilihat jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat

meningkat secara signifikan. Menurut Menkes, sejak pertama kali

ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012, kasus HIV / AIDS tersebar di

378 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di Indonesia.

Namun, saat ini sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV yang

meningkat melalui jalur parental (ibu kepada anaknya), terutama di

beberapa ibu kota provinsi. Menurut laporan perkembangan HIV AIDS di

Indonesia yang dilakukan oleh Menkes dari tahun 1987-Juni 2012 kasus

AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta (5.118 kasus), Papua (4865

kasus), Jawa timur (4664 kasus), Jawa Barat (4043 kasus), Bali (2775

kasus), Jawa Tengah (1948 kasus), Kalimantan Barat (1358 kasus),

Sulawesi Selatan (999 kasus), Riau (731 kasus), DIY (712 kasus). Tetapi,

angka kematian AIDS menurun dari 3,7% pada tahun 2010 menjadi 0.2%

pada tahun 2012.9

Penyebaran HIV AIDS menurut Menkes, presentasi kasus AIDS

pada tahun 1987 – Juni tahun 2012 dilaporkan berdasarkan kelompok

umur tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (41,5%), diikuti

5
kelompok umur 30-39 tahun (30,8%), kelompok umur 40-49 tahun

(11,6%) , kelompok umur 15-19 tahun (4,1%) dan umur 50-59 tahun

(3,7%). Sedangkan presentasi kasus AIDS lebih banyak terdapat pada

laki-laki (70%) dari pada perempuan (29%).9

2.1.3 Faktor Risiko HIV/AIDS


Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :10, 11

1. Perilaku berisiko tinggi :

• Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa

menggunakan kondom

• Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum

secara bersama tanpa sterilisasi yang memadai.

• Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner, pasangan

seks individu yang diketahui terinfeksi HIV, kontaks seks per

anal.

2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.

3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa penapisan.

4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat

yang tidak disterilisasi.

Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan

yang berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma,

cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi

6
untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata

dan lain lain.10, 11

2.1.4 Etiologi HIV

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh

Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah virus sitopatik yang

diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus

Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat

molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau

envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada

glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri

dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein

p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA

dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas

glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya

infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor

spesifik CD4 dari sel Host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis

dua dan suatu membran selubung yang mengandung protein.1, 2, 12

Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah

salinan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus.

Gen DNA tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti

halnya virus yang lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di

dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk

membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara

7
lain: reverse transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh

kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus.

Dikenal dua tipe HIV yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983 13 dan

HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika

Barat.14 Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1,

sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di

Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat

dengan Afrika Barat.13, 14

HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi

mempunyai perbedaan struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak

punya vpx , sedangkan HIV-2 sebaliknya.15,16 Perbedaan struktur genom ini

walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan

patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV.

Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian – penelitian

klinis dan laboratoris lebih sering sering dilakukan terhadap HIV-1.17, 18

Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas

penyakit infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi

lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan

drastis sel T dari darah tepi.15

2.1.5 Patogenesis infeksi HIV/AIDS

Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya

dikendalikan sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi

infeksi kronik progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit

8
dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan

menghitung jumlah sel T CD4+ dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi

masuknya virus ke dalam tubuh, sel T CD4+ dan monosit dalam darah

atau sel T CD4+ dan makrofag dalam jaringan mukosa merupakan sel – sel

pertama yang terinfeksi. Besar kemungkinan bahwa sel dendritik berperan

dalam penyebaran awal HIV dalam jaringan limfoid, karena fungsi normal

sel dendritik adalah menangkap antigen dalam epitel lalu masuk ke dalam

kelenjar getah bening. Setelah berada dalam kelenjar getah bening, sel

dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui kontak antar sel. Dalam

beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjar berlipat ganda dan

mengakibatkan viremia. Pada saat itu, jumlah partikel HIV dalam darah

banyak sekali disertai sindrome HIV akut. Viremia menyebabkan virus

menyebar di seluruh tubuh dan menginfeksi sel T, monosit maupun

makrofag dalam jaringan linfoid perifer. Sistem imun spesifik kemudian

akan berupaya mengendalikan infeksi yang tampak dari menurunnya kadar

viremia, walaupun masih tetap dapat dideteksi.19

Infeksi akut awal ditandai oleh infeksi sel T CD4+ memori (yang

mengekspresikan Chemokine (C-C motif) reseptor 5 (CCR5) dalam

jaringan limfoid mukosa dan kematian banyak sel terinfeksi. Setelah

infeksi akut, berlangsunglah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan

limfa merupakan tempat replikasi virus dan destruksi jaringan secara terus

menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat banyak dan jumlah

sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa minggu

sampai beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam, limfadenopati,

9
gatal – gatal. Selama periode ini sistem imun dapat mengendalikan

sebagian besar infeksi, karena itu fase ini disebut fase laten.19

Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan infeksi

HIV yang asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak

menunjukkan gejala atau simptom untuk beberapa tahun yang akan datang.

Di fase ini juga hanya sedikit virus yang diproduksi dan sebagian besar sel

T dalam darah tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel

T dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin

lama makin menurun hingga 500-200 sel/mm 3. Jumlah sel T dalam

jaringan limfoid adalah 90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada

awalnya sel T dalam darah perifer yang rusak oleh virus HIV dengan cepat

diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel oleh virus HIV yang terus

bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan menurunkan

jumlah sel T dalam darah tepi.20

Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain

akan merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T.

Selanjutnya penyakit menjadi progresif dan mencapai fase letal yang

disebut AIDS, pada saat mana destruksi sel T dalam jaringan limfoid

perifer lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi menurun hingga

dibawah 200/mm3. Viremia meningkat drastis karena replikasi virus di

bagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi

opportunistik, cachexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat.

Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka terhadap berbagai jenis

10
infeksi dan menunjukkan respon imun yang infektif terhadap virus

onkogenik.20

Selain tiga fase tersebut ada masa jendela yaitu periode di mana

pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun

virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang cukup banyak.

Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12

minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan

karena pada perode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial

menularkan HIV kepada orang lain.20

dikendalikan sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi

infeksi kronik progresif pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit

dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan

menghitung jumlah sel T CD4+ dalam darah tepi. Bergantung pada lokasi

masuknya virus ke dalam tubuh, sel T CD4+ dan monosit dalam darah atau

sel T CD4+ dan makrofag dalam jaringan mukosa merupakan sel – sel

pertama yang terinfeksi. Besar kemungkinan bahwa sel dendritik berperan

dalam penyebaran awal HIV dalam jaringan limfoid, karena fungsi normal

sel dendritik adalah menangkap antigen dalam epitel lalu masuk ke dalam

kelenjar getah bening. Setelah berada dalam kelenjar getah bening, sel

dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui kontak antar sel. Dalam

beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjar berlipat ganda dan

mengakibatkan viremia. Pada saat itu, jumlah partikel HIV dalam darah

banyak sekali disertai sindrome HIV akut. Viremia menyebabkan virus

menyebar di seluruh tubuh dan menginfeksi sel T, monosit maupun

11
makrofag dalam jaringan linfoid perifer. Sistem imun spesifik kemudian

akan berupaya mengendalikan infeksi yang tampak dari menurunnya kadar

viremia, walaupun masih tetap dapat dideteksi.19

Infeksi akut awal ditandai oleh infeksi sel T CD4+ memori (yang

mengekspresikan Chemokine (C-C motif) reseptor 5 (CCR5) dalam

jaringan limfoid mukosa dan kematian banyak sel terinfeksi. Setelah

infeksi akut, berlangsunglah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan

limfa merupakan tempat replikasi virus dan destruksi jaringan secara terus

menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat banyak dan jumlah

sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa minggu

sampai beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam, limfadenopati,

gatal – gatal. Selama periode ini sistem imun dapat mengendalikan

sebagian besar infeksi, karena itu fase ini disebut fase laten.19

Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan infeksi

HIV yang asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak

menunjukkan gejala atau simptom untuk beberapa tahun yang akan datang.

Di fase ini juga hanya sedikit virus yang diproduksi dan sebagian besar sel

T dalam darah tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel

T dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin

lama makin menurun hingga 500-200 sel/mm 3. Jumlah sel T dalam

jaringan limfoid adalah 90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada

awalnya sel T dalam darah perifer yang rusak oleh virus HIV dengan cepat

diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel oleh virus HIV yang terus

12
bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan menurunkan

jumlah sel T dalam darah tepi.20

Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain

akan merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T.

Selanjutnya penyakit menjadi progresif dan mencapai fase letal yang

disebut AIDS, pada saat mana destruksi sel T dalam jaringan limfoid

perifer lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi menurun hingga

dibawah 200/mm3. Viremia meningkat drastis karena replikasi virus di

bagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi

opportunistik, cachexia, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat.

Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka terhadap berbagai jenis

infeksi dan menunjukkan respon imun yang infektif terhadap virus

onkogenik.20

Selain tiga fase tersebut ada masa jendela yaitu periode di mana

pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun

virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang cukup banyak.

Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12

minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan

karena pada perode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial

menularkan HIV kepada orang lain.20

2.1.6 Manifestasi Klinis

13
Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV.

Gejalanya meliputi demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan

(nyeri saat menelan), batuk, nyeri persendian, diare, pembengkakkan

kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada kulit (makula / ruam).21

Diagnosis AIDS dapat ditegakkan apabila menunjukkan tes HIV positif

dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor .21

Tabel 2. Gejala mayor dan minor diagonis AIDS

GEJALA MAYOR GEJALA MINOR

Berat badan turun >10% dalam 1 bulan Batuk menetap >1 bulan
Diare kronik >1 bulan
Dermatitis generalisata

Demam berkepanjangan >1 bulan Herpes Zooster multisegmental

dan berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasi orofaringeal
Demensia / HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif

Limfadenopati generalisata

Infeksi jamur berulang pada alat

kelamin wanita

Retinitis virus sitomegalo


Dikutip dari : Buku Informasi Dasar HIV/AIDS dari kepustakaan 35

Beberapa tes HIV adalah Full Blood Count (FBC), pemeriksaan

fungsi hati, pemeriksaan fungsi ginjal : Ureum dan Creatinin, analisa urin,

14
pemeriksaan feses lengkap. Pemeriksaan Penunjang adalah tes antibodi

terhadap HIV, Viral load, CD4/CD8.21

Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV menurut

WHO SEARO 2007.22

1. Keadaan umum :

- Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar

- Demam (terus menerus atau intermitten, temperatur oral

> 37,5oC) yang lebih dari satu bulan,

- Diare (terus menerus atau intermitten) yang lebih dari

satu bulan.

- Limfadenopati meluas

2. Kulit :

Post exposure prophylaxis (PPP) dan kulit kering yang luas

merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan

seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis

sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS(ODHA) tapi

tidak selalu terkait dengan HIV.

3. Infeksi

15
- Infeksi Jamur : Kandidiasis oral, dermatitis seboroik,

kandidiasis vagina berulang

- Infeksi viral : Herpes zoster,

- herpes genital (berulang), moluskum kotangiosum,

kondiloma.

- Gangguan pernafasan : batuk lebih dari 1 bulan, sesak

nafas, tuberkulosis, pneumonia berulang, sinusitis

kronis atau berulang.

Gejala neurologis : nyeri kepala yang makin parah (terus menerus dan

tidak jelas penyebabnya), kejang demam, menurunnya fungsi

kognitif.

BAB III
KESIMPULAN

16
3.1 Kesimpulam
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus
(HIV) merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan
tubuh manusia (terutama CD4 positif T-sel dan makrofag–
komponenkomponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan
atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya
penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan
mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Masalah HIV dan AIDS adalah
masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat
serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Menurut Menkes,
sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012.

DAFTAR PUSTAKA

17
1. WHO. HIV/AIDS. Available from : http://www.who.int/topics/hiv_ aids/en/.

2. UNAIDS. UNAIDS World AIDS Day Report 2011. Geneva (Swizerland); 2011.

13. Brooks, GF, Butell JS, Morse SA. “AIDS dan Lentivirus”. In: Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg Edisi 23. Editor: Elferia RN,
Ramadhani D, Karolina S, Indriyani F, Rianti SSP, Yulia P. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2007; p. 617.

4. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Info HIV dan AIDS. Jakarta; 2010.

5. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil kesehatan kota Semarang. Semarang


(Indonesia): Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2011; p. 50-1.

6. Djoerban Z, Djauzi S. “HIV/AIDS di Indonesia”. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi V. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPD FKUI. 2009; p. 2861.

7. Siregar, F. A. Pengenalan dan pencegahan AIDS. Sumut (Indonesia): Universitas


Sumatera Utara; 2004. (Disertasi).

8. WHO. WHO case definitions of HIV for surveilance and revised clinical

stagging and immunological classification of HIV related disease in adult and children.
Geneva (Switzerland); 2007.

9. Nasronudin. HIV/AIDS. In: Penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan mendatang.
Editor: Hadi U, Vitanata, Erwin AT, Suharto, Bramantono, Soewandojo E. Surabaya:
Airlangga University Press. 2007; p. 15 – 7. 69

10. Dewi RS. Angka harapan hidup sebagai indikator derajat kesehatan di Indonesia.
Surabaya (Indonesia): Universitas Airlangga; 2010. (Tesis).

11. Adetunji J. Trends in under-5 mortality rates and the HIV/AIDS epidemic. Bulletin
World Health Organitation; 2000.

12. KM Harisson. Life Expectancy Still Shorter for People With HIV; 2009.

18
13. JW Mellors, A Munoz, JV Giorgi, JB Margolick, CJ Tassoni, P Gupta et al. Plasma
viral load and CD4+ lymphocytes as prognostic markers of HIV-1 infection. Ann Intern
Med. 1997; 126(12):946-54.

14. R Baker. HIV viral load supercedes CD4 count as best marker for predicting risk of
AIDS and death. BETA.1996; 9-11. (Abstrak).

15. Wainberg MA, Zaharatos GJ, Brenner BG. Development of Antiretroviral Drug
Resistance. N Engl J Med. 2011; 365:637-46.

16. Horn T. HIV drug resistence and resistance testing; 2001.

17. Sterling TR, Vlahov D, Astemborski J, Hoover DR, Margolick JB, Quinn TC. Initial
Plasma HIV-1 RNA Level and Progression To AIDS in Women And Men. N Engl J Med.
2001; 344(10):720-5.

18. AG Babiker, T Peto, K Porter, AS Walker, JH Darbishire. Age as a determinant of


survival in HIV infection. J Clin Epidemiol. 2001; 54(12):16-21. (Abstrak).

19. Nguyen N, Holodny M. HIV infection in ederly. Clin Interv Aging. 2008; 3(3): 453
72. 70

20. Chen NE, Gallant JE, Page KR. A systematic review of HIV/AIDS

survival and delayed diagnosis among hispanics in the United States. Journal of
Immigrant and Minority Health. 2012; 14(1):65-81. (Abstrak).

21. Losina E, Schackman BR, Sadownik SN, Gebo KA, Walensky RP, Chiosi JJ,
Weinstein MC et al. Racial and gender disparities in life expectancy losses among HIV-
infected persons in the United States. Clin Infect Dis. 2009; 49(10):1570-8.

22. Swindells S, Cobos DG, Lee N, Lien EA, Fitzgerald AP, Pauls JS et al. Racial/ethnic
differences in CD4 T cell count and viral load at presentation for medical care and in
follow-up after HIV-1 infection. Journal of The International AIDS Society. 2002;
16(13):1832–4.

19

Anda mungkin juga menyukai