Anda di halaman 1dari 5

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai penurunan fungsi
ginjal yang irreversible pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap
berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1
Penyakit ginjal kronik di Indonesia sendiri berdasarkan data dari Perkumpulan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) tahun 2014 didapatkan penyebab tersering adalah hipertensi (37%)
diikuti dengan nefropati diabetika (27%), Glomerulopati primer (10%), nefropati obstruksi (7%),
Pielonefritis kronik (7%), nefropati lupus (1%), nefropati asam urat(1%), ginjal polikistik (1%)
dan sisanya tidak diketahui.2

Faktor resiko terjadinya penyakit ginjal kronik berdasarkan karakteristik sosidemografi


antara lain adalah usia, jenis kelamin, status ekonomi, pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan
karekteristik jenis kelamin, jenis kelamin laki-laki beresiko 2 kali lebih besar mengalami
penyakit ginjal kronik dibandingkan perempuan. Berdasarkan karakteristik usia, usia diatas 60
tahun mempunyai resiko 2,2 kali lebih besar mengalami penyakit ginjal kronik dibandingkan
usia dibawah 60 tahun. Proporsi responden berpendidikan tinggi yang mengalami penyakit ginjal
kronik lebih sedikit dibandingkan dengan yang berpendidikan sedang/rendah. Penyakit ginjal
kronik juga lebih banyak terjadi pada responden dengan kuintil indeks kepemilikan ke 4.
Responden dengan riwayat merokok memiliki faktor resiko lebih besar untuk mengalami
penyakit ginjal kronik dibandingkan yang tidak memiliki riwayat merokok. 3,4
Berdasarkan laporan kasus, etiologi kejadian penyakit ginjal kronik pada pasien adalah adanya
riwayat hipertensi dan gout arthritis dengan faktor resiko riwayat merokok.

Penyakit ginjal kronis dibagi dalam 5 stadium sebagai berikut :1

Tabel 1. Stadium Penyakit Ginjal Kronik

Stadium Penjelasan LFG (ml/menit/1,73 𝒎𝟐 )

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↑ ringan 60 – 89


3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↑ sedang 30 – 59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↑ berat 15 – 29

5 Gagal ginjal ˂ 15 atau dialisis

Sumber : The Renal Association, 2013

Nilai LFG didapat dari perhitungan kadar kreatinin, usia dan berat badan pasien dengan
menggunakan rumus Cocroft-Gault :17 LFG = (140-usia) x BB / (72 x kadar kreatinin plasma) →
hasilnya dikalikan 0,85 untuk pasien wanita. Pada pasien ini didapatkan nilai LFG= 34,5.
Berdasarkan klasifikasi stadium penyakit ginjal kronis, pasien dapat diklasifikasikan dalam
stadium 3. Selain perhitungan LFG menggunakan rumus Cocroft-Gault, saat ini disarankan
perhitungan dengan menggunakan rumus Chronic Kidney disease epidemiology collaboration
(CKD-EPI). CKD-EPI dapat dihitung menggunakan data pasien berupa jenis kelamin, usia
pasien, ras, dan kreatinin serum pasien. Dengan menggunakan rumus CKD-EPI, nilai LFG pada
pasien ini yaitu 30,7ml/min/1.73m2 dan diklasifikasikan dalam penyakit ginjal kronis stadium 3.5
Pada pasien ini ditemukan hasil berupa peningkatan kadar ureum (67 mg/dL) dan
kreatinin serum (2,2 mg/dL), kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
(7,7 g/dL), hiponatremia (121 mEq/L), hipo atau hiperkalemia (2,68 mEq/L), hipokalsemia (6,7
mEq/L), hipoalbuminemia (2,88 mEq/L).
Penatalaksanaan pada pasien penyakit ginjal kronis meliputi terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat
perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, encegahan
dan terapi terhadap komplikasi, dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.1
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah pembatasan
asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG lebih rendah atau sama
dengan 60ml/menit, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan anjuran protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan diatas atau sebanyak 0,8 g/kgBB/hari untuk pasien pre dialysis, dan
untuk pasien yang sedang atau telah menjalani hemodialisis diberikan asupan protein sebanyak
atau lebih dari 1,2 g/kgbb/hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.
Dibutuhkan pemantauan teratur terhadap status nutrisi pasien. Pembatasan asupan cairan untuk
mencegah terjadinya edema dan penyakit kardiovaskular perlu dilakukan. Air yang masuk
kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insensible
water loss. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dianjurkan karena hiperkalemia dapat menyebabkan aritimia jantung yang fatal
sedangkan pembatasan natrium dianjurkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Terapi
farmakologis yang dianjurkan adalah pemakaian obat antihipertensi.1
Untuk terapi hipertensi pada penyakit ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB
atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan
hipertensi secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Namun, pada pasien dengan hiperkalemi atau
penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian ACEI atau beta blocker harus dihentikan.
Dalam hal renoprotektif ARB lebih unggul dari ACEI. ARB merupakan obat oral aktif dan
bekerja spesifik menghambat ikatan angiotensin II dengan reseptor AT1, sedangkan ACEI hanya
menghambat pembentukan angiotensin II melalui jalur ACE. Pada data penelitian hewan
menunjukkan bahwa ARB lebih sedikit mengurangi LFG bila dibandingkaan dengan ACEI.
Penelitian lain pada pasien dengan hipertensi nefrosklerosis menunjukkan hasil yang tidak
berbeda dari penggunaan jenis antihipertensi apapun dalam mencegah progresi penurunan LFG.
Pada pasien ini diberikan anti hipertensi candesartan 8mg sekali sehari pada malam hari.6
Komplikasi dari penyakit ginjal kronik dapat berupa penyakit kardiovaskular, gangguan
keseimbangan cairan, natrium, kalium, kaslium, fosfat, asidosis metabolik, osteodistrofi renal
dan anemia.1 Pada kasus didapatkan hb pasien 7,7 gr/dL. Anemia renal diakibatkan oleh karena
proses inflamasi kronik dari tubuh pada pasien dengan disfungsi renal, faktor-faktor yang
berkontribusi pada kejadian anemia antara lain : defisiensi eritropoietin, defisiensi besi,
kehilangan darah, dan pemendekan umur sel darah merah. Anemia pada penyakit ginjal kronik
disebabkan karena ketidakmampuan tubuh memproduki eritropoietin, sehingga berakibat pada
menurunnya sintesis hemoglobin, eritropoietin yang merupakan bagian penting dalam
eritrositosis diproduksi sebagian besar oleh tubulus proksimal ginjal. 7
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 gr/dL dan hematokrit
>30% baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi
konservatife target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Terapi yang angat
efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan rekombinan human eritropoietin yang telah
diproduksi untuk aplikasi terapi,yang diberikan intravena kepada pasien hemodialisa telah
dibuktikan data meningkatkan eritropoietin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk
mempertahankan kadar Hb normal setelah transfuse darah berakhir. Penelitian membuktikan
bahwa saat sejumlah eritropoietin diberikan intravena 3x seminggu setelah setiap dialisa pasien
merespon dengan peningkatan Ht dalam beberapa minggu.8
Progresivitas penyakit ginjal kronik tergantung pada usia, etiologi, dan individu. Pernah
dilaporkan bahwa nilai LGF yang rendah, albuminuria yang tinggi, usia muda, dan jenis kelamin
laki-laki berasosiasi pada lebih cepatnya progresivitas penyakit. Mortalitas pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik adalah 56% sedangkan pada pasien stadium 4-5 angka mortalitasnya
adalah sebesar 76%. 9
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Ilmu penyakit dalam edisi VI jilid II. Interna
Publishing. Jakarta.2015, hal 2161-7.
2. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Report of Indonesian Renal Registry. 2011.
3. Sulistiowati E, Idaiani S. Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Analisis
Cross-sectional Data Awal Stido Kohort Penyakit Tidak Menular Penduduk Usia 25-65
tahun di Kelurahan Kebon Kalapa, Kota Bogor Tahun 2011. Pusat teknologi terapan
kesehatan dan epidemiologi klinik. Jakarta. 2015;43:163-172.
4. Pranandari R. Supadmi W. Faktor Risiko Ggala Ginjal Kronik di Unit Hemodilasisis
RSUD Wates Kulon Progo. Universitas Ahmad Dahlan. 2015;11:316-320.
5. Levey AS, Steven LA, Schmid CH, Zhang YL, Castro AF, 3rd, Feldman HI, et al. A new
Equation to estimate glomerular filtration rate. Ann Intern Med. 2009;150(9):604-12.
6. Soelaeman MR. Hipertensi pada penyakit ginjal. . Ilmu penyakit dalam edisi VI jilid II.
Interna Publishing. Jakarta.2015, hal 2296-301.
7. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia. Managemen Anemia pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik. Diakses dari : http://www.kpcdi.org/2016/05/19/managemen-anemia-pada-
pasien-gagal-ginjal-kronik/
8. Bonomini M, Vecchio LD, Sirolli V, Locatelli F. New treatment approaches for the
Anemia of CKD. American Journal of Kidney Disease. 2016;67(1):133-142.
9. Levey AS, Jong PE, Coresh J, Nahas MEI, Astor BC, Matsushita K, Gansevoort RT,
Kasiske BL, Eckardt KU. The definition, classification and prognosis of chronic kidney
disease: a KDIGO Controversies conference report. Kidney international.2011;80:17-28.

Anda mungkin juga menyukai