Diajukan Oleh :
Bellavia Fransisca
17360091
Pembimbing :
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. Anatomi Servikal
C. Epidemiologi
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah
penyakit jantung, kanker dan stroke, tercatat ᄆ 50 meningkat per 100.000
populasi tiap tahun, 3 % penyebab kematian ini karena trauma langsung
medula spinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-
laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40%
spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka
tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi
cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada
usia dekade 3
D. Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas
(44%), kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), dan
kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relative rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran
atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah
pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan
ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang
luas.
b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda
lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
dikemukakan pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet,
penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut
lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
E. Jenis Fraktur Servikal
Berikut merupakan beberapa jenis fraktur dan dislokasi area
servikal, serta cidera spinal dibawah leher:
1. Fraktur Jefferson
Merupakan fraktur cincin atlas, biasanya tulang patah pada dua lokasi,
yaitu anterior dan yang lain lateral. Hal ini kebanyakan terjadi karena
pukulan pada kepala didaerah verteks. Bila patahan tulang (bagian
lateral) tampak bergeser lebih dari 7mm pada foto proyeksi frontal,
kemungkinan ligamen transversumnya robek. Konfirmasi tentang
cidera ligamentum ini dipastikan berdasar adanya gerakan abnormal
antara odontoid, dan atlas pada pemeriksaan radiologis. Gejala klinis
fraktur atlas biasanya hanya berupa nyeri lokal. Jarang defisit
neurologis.
Penanganan bagi kasus yang terbukti tidak ada cedera ligamen, adalah
pemasangan traksi skeletal saja. Tindakan operasi ditujukan untuk
kasus dengan ligamen ikut cidera. Tindakan operasinya adalah fraksi
diantara oksiput dengan lamina dan pada saat pasca bedah dipasang
jaket halo.
4. Fraktur Hangman
5. Fraktur Teardrop
Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan vertebra
anterior bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).
(Gambar Fraktur Teardrop)
c. Medikamentosa
Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal
adalah golongan kortikosteroid. Steroid berfungsi
memperbaiki cedera medula spinalis dan diberikan pada 8 jam
pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat menurunkan
respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear
(PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular.
Dosis yang diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit
pertama diikuti 45 menit berikutnya dengan dosis 5,4
mg/kgbb/jam selama 23 jam (Mahadewa, 2009; Cohen, 1997).
d. Bedah
Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis
karena deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom,
diperlukan tindakan dekompresi. Tujuan terapi awal adalah
untuk dekompresi medula spinalis dengan memperbaiki
diameter sagital normal dari kolumna vertebralis.
Berkurangnya dislokasi baik parsial atau komplit juga akan
mengurangi nyeri. Dislokasi yang disertai instabilitas tulang
belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Indikasi
operasi cedera servikal adalah (Mahadewa, 2009):
Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur
pada daerah servikal, bilamana traksi atau manipulasi gagal
Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis,
dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior
medula spinalis, meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat
Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana
tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat
penekanan medula spinalis oleh diskus intervertebralis. Perlu
dilakukan pemeriksaan myelografi dan CT Scan untuk
membuktikannya
Fragmen yang menekan lengkung saraf
Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
Lesi parsial medula spinalis yang memburuk setelah mulanya
dengan cara konservatif maksimal menunjukkan perbaikan,
harus dicurigai adanya hematoma
Jika masih terdapat kelemahan motorik yang signifikan setelah
suatu periode perbaikan
Jika terdapat instabilitas spinal
Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan
neurologis progresif akibat penekanan dan pada luka tembus.
Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit
tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat. Pasien
dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma
harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis akibat osteofit,
penebalan ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan
operasi segera. Terdapat 3 indikasi utama untuk melakukan
tindakan operasi yaitu untuk dekompresi elemen saraf, koreksi
deformitas, dan stabilisasi segmen (Mahadewa, 2009; Cohen,
1997) .
e. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk
mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi kecacatan, dan
menyiapkan penderita kembali ke masyarakat. Tim rehabilitasi
yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah saraf, ahli bedah
tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli
terapi kerja.
Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap
pertama pada fase akut yaitu semasa pasien dalam pengobatan
yang intensif, terutama dikerjakan oleh perawat dan
fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah
latihan, masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan
miksi dan defekasi. Tahap kedua adalah rehabilitasi jangka
panjang dengan tujuan mengembalikan penderita kembali ke
masyarakat, yang meliputi menyiapkan keadaan mental
penderita agar tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi
pada penderita dan keluarga tentang perawatan di rumah,
latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi, latihan
menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi
penderita.
Terapi fisik dilakukan untuk pemulihan ROM (range of
motion) dan meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal
terpenting adalah memperkuat otot ekstremitas atas, juga
menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh. Otot ekstremitas
atas biasanya lebih parah dari ekstremitas bawah, maka pasien
akan kesulitan untuk menggunakan alat bantu berjalan yang
membutuhkan bantuan tangan.
Terapi rehabilitasi kerja ditujukan untuk perbaikan kemampuan
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, memperkuat
ekstremitas atas, dan perbaikan ROM. Bidai digunakan untuk
mempertahankan posisi fungional tangan dan kaki juga
mencegah kontraktur.
Terapi bicara diberikan untuk pasien yang mengalami disfagia
akibat pemakaian alat-alat untuk mempertahankan stabilitas
servikal atau akibat fusi servikalis anterior. Pasien diajarkan
cara menelan agar tidak memperparah disfagi dan mencegah
aspirasi. (Mahadewa, 2009)
DAFTAR PUSTAKA