Anda di halaman 1dari 22

CERVICAL FRACTURE AND MANAGEMENT

Diajukan Oleh :
Bellavia Fransisca
17360091

Pembimbing :

dr. Aswedi Putra Sp. OT

BAGIAN ILMU BEDAH RS PERTAMINA BINTANG AMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya


kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat
dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang
sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa. Dan dapat
juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga (Masjoer A, 2005).

Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan


sesuaijenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smelzter and Bare, 2002).
Fraktur servikal yaitu suatu kondisi vertebra servikal dimana vertebra atau
lebih mengalami fraktur atau dislokasi, kedua kondisi ini dapat
menyebabkan tekanan pada medula spinalis, dan mengakibatkan disfungsi
neurovaskuler. Terjadinya kecelakaan secara tiba-tiba yang menyebabkan
fraktur sering kali membuat orang panik dan tidak tahu tindakan apa yang
harus dilakukan. Ini disebabkan tidak adanya kesiapan dan kurangnya
pengetahuan terhadap fraktur tersebut. Seringkali untuk penanganan
fraktur ini tidak tepat, karena kurangnya informasi yang tersedia. Oleh
karena itu dalam makalah ini akan membahas mengenai fraktur servikal
dan penanganan kegawatdaruratan fraktur servikal.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Servikal

Tulang belakang servikal terbentuk dari 7 ruas vertebra


pertama dari tulang belakang, yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis.
Dimulai dari bagian bawah skull dan berakhir pada bagian atas torak.
Vertebra servikal terdiri dari C1 sampai C7, sedangkan nervus servikalis
terdiri dari C1 sampai C8. Tulang servikal berbentuk “C” terbalik (lordotic
view) dan lebih mobile dari tulang belakang di daerah torakal dan lumbal.
Vertebra servikalis selain berfungsi melindungi medula spinalis dari
kerusakan, juga menyangga kepala, dan menggerakan kepala rotasi, ke
depan serta ke belakang. Berbeda dengan tulang belakang yang lain, dalam
tulang servikal berjalan arteri vertebralis yang mensuplai darah ke otak,
yang hanya melalui vertebra C1 sampai C6 (Eidelson, 2004; Davenport,
2009).
Dua tulang vertebra pertama disebut tulang atlas (C1) dan axis
(C2), berfungsi untuk gerakan rotasi. Tulang atlas (C1) memiliki arkus
anterior yang tebal , arkus posterior yang tipis dengan 2 prominent masses
dan tidak memiliki korpus vertebra. Setiap tulang vertebra memiliki
perbedaan secara anatomis, tetapi secara umum tulang vertebra terdiri atas
bagian anterior yang disebut korpus dan bagian posterior yang disebut
arkus vertebra. Keduanya membentuk foramen vertebrae yang dilalui
medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedicle yang
membentuk sisi arkus dan lamina yang pipih, yang melengkapi arkus
dibagian belakang (Anonim, 2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009).
Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung
luar, annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus.
Diskus ini berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan
pergerakan antara korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat
diantara tulang yang disebut ligament longitudinal. Ligamen longitudinal
anterior berjalan di depan korpus vertebra dan ligamen longitudinal
posterior berada di posterior korpus vertebra, di depan medula spinalis
(Anonim, 2010).

Gambar 1. Korpus vertebra C1 (atlas) dan C2 (axis)


Gambar 2. Korpus vertebra C3, C5, C6

B. Pengertian Fraktur Servikal


Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari
leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7
buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah
tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua
korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan
(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di
dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf,
yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi
syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh
tulang. Fraktur servikal yaitu suatu kondisi vertebra servikal dimana
vertebra atau lebih mengalami fraktur atau dislokasi, kedua kondisi ini
dapat menyebabkan tekanan pada medula spinalis, dan mengakibatkan
disfungsi neurovaskuler.

C. Epidemiologi
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah
penyakit jantung, kanker dan stroke, tercatat ᄆ 50 meningkat per 100.000
populasi tiap tahun, 3 % penyebab kematian ini karena trauma langsung
medula spinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-
laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40%
spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka
tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi
cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada
usia dekade 3

D. Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas
(44%), kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), dan
kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relative rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran
atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah
pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan
ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang
luas.
b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda
lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering
dikemukakan pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet,
penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut
lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
E. Jenis Fraktur Servikal
Berikut merupakan beberapa jenis fraktur dan dislokasi area
servikal, serta cidera spinal dibawah leher:
1. Fraktur Jefferson
Merupakan fraktur cincin atlas, biasanya tulang patah pada dua lokasi,
yaitu anterior dan yang lain lateral. Hal ini kebanyakan terjadi karena
pukulan pada kepala didaerah verteks. Bila patahan tulang (bagian
lateral) tampak bergeser lebih dari 7mm pada foto proyeksi frontal,
kemungkinan ligamen transversumnya robek. Konfirmasi tentang
cidera ligamentum ini dipastikan berdasar adanya gerakan abnormal
antara odontoid, dan atlas pada pemeriksaan radiologis. Gejala klinis
fraktur atlas biasanya hanya berupa nyeri lokal. Jarang defisit
neurologis.
Penanganan bagi kasus yang terbukti tidak ada cedera ligamen, adalah
pemasangan traksi skeletal saja. Tindakan operasi ditujukan untuk
kasus dengan ligamen ikut cidera. Tindakan operasinya adalah fraksi
diantara oksiput dengan lamina dan pada saat pasca bedah dipasang
jaket halo.

(Gambar foto polos fraktur Jefferson)

(Gambar fraktur Jefferson)


2. Fraktur Prosesus Odontoid
Fraktur prosesus odontoid biasanya merupakan akibat trauma hebat
pada kepala di daerah oksiput. Pada awalnya fraktur ini jarang
menimbulkan defisit neurologis. Fraktur prosesus odontoid C2
diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomis garis frakturnya :
a. Fraktur tipe I mempunyai garis fraktur pada bagian atas odontoid
dekat perletakan ligamentum alaris, dengan demikian sering kali
tampak sebagai suatu fraktur avulsi.
b. Fraktur tipe II terjadi pada leher odontoid diaman dens menempel
pada korpus C2. Tindakan operasi stabilisasi fraktur tipe II
dilakukan dengan mengikat lamina C1 dan prosesus spinosus C2,
atau memasang klem halifax. Prosedur alternatif lain yang dapat
diterapkandengan memasang sekrup melalui sumbu tulang ke
dalam prosesus odontoid melalui pendekatan anterolateral dan
pemantauan fluroskopi.
c. Fraktur tipe III adalah yang paling sering dijumpai, paling tidak
stabil dan kerap mengalami non – union. Fraktur ini akan pulih
hanya dengan stabilisasi melalui pemasangan traksi servikal

(Gambar foto polos Fraktur Prosesus Odontoid)


3. Dislokasi Odontoid
Dens dapat mengalami dislokasi sebagai akibat abnormalitas
kongenital, trauma ligamentum krusiatum, proses inflamasi (reumatoid
artritis, infeksi retrofaring) atau pada kasus sindroma down. Jarak
normal antara dens dan cincin anterior atlas pada anak-anak maksimal
5,4mm dan tidak boleh lebih dari 2,5mm pada dewasa.
Pergeseran yang lebih dari 5mm perlu dicurigai akan adanya robekan
ligamentum alaris, dan bila didiamkan dapat menimbulkan kompresi
pada medula atau di atas foramen magnum. Penanganan yang ideal
adalah upaya mengurangi pergeseran tadi dan melakukan fusi
posterior.
(Gambar foto polos Dislokasi Odontoid)

4. Fraktur Hangman

(Gambar foto Fraktur Hangman)


Fraktur hangman yaitu fraktur pada pedikel C2, dan dapat disertai pula
translokasi anterior korpus C2 (diatas C3). Biasanya fraktur ini terjadi
akibat cidera hiperekstensi leher. Dinamakan Hangman karena sesuai
dengan kelainan yang terjadi pada seseorang yang dihukum gantung
dengan simpul di depan dagu. Fraktur ini jarang menampilkan defisit
neurologis mengingat fraktur menimbulkan pemisahan antara korpus
C2 dengan elemen posterior.
Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe :
a. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau
angulasi disini hanya minimal saja, seta cukup diterapi dengan
pemasangan collar neck.

(Gambar collar neck)


b. Tipe II menunjukkan angulasi dan translasi yang bermakna dan
penanganannya adalah pemasangan jaket Halo.
c. Tipe III adalah fraktur yang menimbulkan dislokasi faset C2
bilateral dan sangat tidak stabil sehingga untuk kasus ini perlu
dioperasi untuk stabilisasi.

5. Fraktur Teardrop
Suatu fragmen kecil yang mengalami avulsi dari badan vertebra
anterior bagian bawah (cidera fleksi dengan kompresi anterior).
(Gambar Fraktur Teardrop)

(Gambar Fraktur Teardrop)

6. Fraktur Badan Vertebra


Yaitu fraktur kompresi pada tubuh

7. Fraktur dan Dislokasi Servikal Bawah


Fraktur dan dislokasi servikal bawah diklasifikasikan berdasarkan
kerusakan-kerusakan yang menjadi para korpus dan diskus
intervertebralis, struktur masa bagian lateral (pedikel dan prosesus
transverus) atau faset posterior, lamina, dan prosesus spinosus.
Pergeseran salah satu vetebra ke anterior atau posterior (jarang)
terhadap vertebra lainnya dikatagorikan menjadi :
a. Ringan : bergeser 1 – 3 mm
b. Sedang : bergeser 3 – 5 mm
c. Berat : bergeser > 5 mm
Pergeseran ini diduga terjadi akibat mekanisme hiperekstensi dan
kerap dikaitkan dengan adanya spondilosis yang diderita sebelumnya.
Biasanya subluksasi posterior dapat disertai dengan fraktur avulsi
korpus vertebra.

F. Tanda dan Gejala Fraktur Servikal


Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klnik fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan
adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan
jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir
pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah
di jaringan sekitarnya.
d. Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme
otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau
trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi
abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

G. Patofisiologi Fraktur Servikal


Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical
adalah kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan
luka akibat tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera,
cidera servikal di bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial.
Cidera cervical atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis
Occiput-C2. Cidera tulang belakang cervical bawah termasuk fraktura dan
dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas tulang belakang C5 adalah
yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang
tebal dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-
masing sisinya. Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis
membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan
mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk
articulasio atlanto-axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar
kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1
dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan ketidakmampuan
menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1
dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat
terjadi hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal
yang dapat menyebabkan komplience paru menurun. Pada C4-C7 dapat
terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh
ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari
anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan
mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga
terjadi gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi
intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma,
otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera
pada medulla spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya
benturang keras mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis
medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi
nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik
akson dan neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga
terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif akibat cedera neural
sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal
maka akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan
gangguan pada saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan
menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada
jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam
beberapa menit atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent
dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat
substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan dari cedera
neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah
peningkatan level Ca pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan
pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat
menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula
spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan
terjadinya depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan
merangsang pelepasan katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan
nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adnya kerusakan mitokondria akibat defisit
suplai O2 dapat merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas),
disertai terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator
inflamasi dapat mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan
manifestasi sel mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
H. Penanganan Fraktur Servikal
a. Penatalaksanaan awal

Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa


trauma, sehingga perlu dilakukan stabilisasi segera di tempat
kejadian. Penatalaksanaan pertama cedera servikal berdasarkan
prinsip umum ATLS (advanced trauma life support) yaitu evaluasi
awal berdasarkan primary survey ABCD (airway and C-spine
control, breathing and ventilatory, circulation and stop bleeding,
disability and environment). Bila airway tidak adekuat, perlu
dilakukan intubasi tanpa menggerakkan kepala (C-spine
protection). Evaluasi dan assesmen berulang diperlukan pada
pasien dengan trauma kepala dan karena pasien dengan kesadaran
menurun tidak dapat mengetahui adanya nyeri pada leher. Bila
stabil dilanjutkan ke secondary survey (head to toe examination)
(Foster, 2009; Mahadewa, 2009).
Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di
tempat kejadian. Perhatian utama selama penatalaksanaan awal
adalah adanya gangguan fungsi neurologi karena gerakan yang
patologis (trauma). Diperkirakan 3% sampai 25% trauma medula
spinalis terjadi saat awal trauma, saat transit atau pada saat
penatalaksanaannya. Telah dilaporkan beberapa kasus dengan
outcome yang buruk karena kesalahan penanganan cedera servikal.
Stabilisasi tulang belakang, manajemen hemodinamik dan
gangguan otonom sangat penting pada trauma akut. Prinsip khusus
penatalaksanaan cedera servikal adalah reposisi/realignment,
imobilisasi, dan fiksasi tulang belakang sesuai indikasi. Semua
pasien dengan cedera servikal atau yang potensial untuk cedera
servikal, harus dilakukan imobilisasi sampai dieksklusi adanya
trauma servikal. Bila terdapat kecurigaan trauma, stabilisasi kepala
dan leher secara manual atau dengan collar. Beberapa alat yang
direkomendasikan American College of Surgeons dapat digunakan
untuk imobilisasi pre-hospital adalah hard backboard, rigid
cervical collar, dan pita pengikat. Imobilisasi ini dapat mengurangi
gerakan sehingga menurunkan morbiditas, karena gerakan
patologis (trauma) pada servikal menyebabkan kerusakan pada
medula spinalis atau radiks saraf. Teknik imobilisasi dan
penanganan pasien pre-hospital yaitu tulang belakang harus
dilindungi selama manajemen pasien dengan trauma multipel.
Posisi ideal adalah imobilisasi seluruh tulang belakang posisi netral
dengan permukaan yang keras. Dapat dilakukan secara manual,
servikal collar semi rigid, side head support dan pengikat.
Pindahkan pasien secara hati-hati menggunakan logroll technique
untuk mencegah displacement ke arah lateral. Papan spine
direkomendasikan, juga dapat digunakan bantal, head blocks.
Traksi untuk mendapatkan dan mempertahankan alignment yang
baik, imobilisasi eksternal untuk stabilisasi sementara dan
farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder (Gondim,
2009; Mahadewa, 2009).
Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi
gastrointestinal (ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract
infection, hidronefrosis), dermatologi (dekubitus), dan
muskuloskeletal (fraktur, nyeri akut dan kronis). (Gondim, 2009).

b. Traksi dan imobilisasi


Pada fraktur sevikal dengan malalignment, sebelum terapi
definitif, dilakukan pemasangan servikal traksi dengan Crutchfield
traction atau Halo Tong Traction dengan beban sesuai dengan level
kerusakan segmen servikalnya. Halo vest sering digunakan sebagai
alat definitf eksternal fiksasi untuk cedera spinal servikal.
Philadelphia collar bersifat semi rigid, sintetik foam brace dimana
pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan
rotasi. Miami-j collar bersifat lebih kaku dan lebih nyaman untuk
sandaran. Brace yang adekuat melakukan imobilisasi adalah
Thermoplastic Minnerva Body Jacket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ
lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman
dibandingkan halo vest, sedangkan halo vest lebih baik membatasi
rotasi. Pasien cedera servikal diberikan imobilisasi untuk
mencegah penekanan medula spinalis lebih lanjut (Mahadewa,
2009)
Gambar 4. Philadelphia collar, Miami J collar

Gambar 5. Halo Tong Traction,


Thermoplastic Minnerva Body Jacket

c. Medikamentosa
Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal
adalah golongan kortikosteroid. Steroid berfungsi
memperbaiki cedera medula spinalis dan diberikan pada 8 jam
pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat menurunkan
respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear
(PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular.
Dosis yang diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit
pertama diikuti 45 menit berikutnya dengan dosis 5,4
mg/kgbb/jam selama 23 jam (Mahadewa, 2009; Cohen, 1997).

d. Bedah
Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis
karena deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom,
diperlukan tindakan dekompresi. Tujuan terapi awal adalah
untuk dekompresi medula spinalis dengan memperbaiki
diameter sagital normal dari kolumna vertebralis.
Berkurangnya dislokasi baik parsial atau komplit juga akan
mengurangi nyeri. Dislokasi yang disertai instabilitas tulang
belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Indikasi
operasi cedera servikal adalah (Mahadewa, 2009):
 Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur
pada daerah servikal, bilamana traksi atau manipulasi gagal
 Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis,
dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior
medula spinalis, meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat
 Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana
tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat
penekanan medula spinalis oleh diskus intervertebralis. Perlu
dilakukan pemeriksaan myelografi dan CT Scan untuk
membuktikannya
 Fragmen yang menekan lengkung saraf
 Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
 Lesi parsial medula spinalis yang memburuk setelah mulanya
dengan cara konservatif maksimal menunjukkan perbaikan,
harus dicurigai adanya hematoma
 Jika masih terdapat kelemahan motorik yang signifikan setelah
suatu periode perbaikan
 Jika terdapat instabilitas spinal
Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan
neurologis progresif akibat penekanan dan pada luka tembus.
Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit
tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat. Pasien
dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma
harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis akibat osteofit,
penebalan ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan
operasi segera. Terdapat 3 indikasi utama untuk melakukan
tindakan operasi yaitu untuk dekompresi elemen saraf, koreksi
deformitas, dan stabilisasi segmen (Mahadewa, 2009; Cohen,
1997) .

Gambar 6. Gambaran radiologis fraktur cervical


Imaging Cervical trauma
Gambar 7. Gambaran radiologis fraktur cervical
Imaging Cervical trauma

e. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk
mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi kecacatan, dan
menyiapkan penderita kembali ke masyarakat. Tim rehabilitasi
yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah saraf, ahli bedah
tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli
terapi kerja.
Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap
pertama pada fase akut yaitu semasa pasien dalam pengobatan
yang intensif, terutama dikerjakan oleh perawat dan
fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah
latihan, masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan
miksi dan defekasi. Tahap kedua adalah rehabilitasi jangka
panjang dengan tujuan mengembalikan penderita kembali ke
masyarakat, yang meliputi menyiapkan keadaan mental
penderita agar tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi
pada penderita dan keluarga tentang perawatan di rumah,
latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi, latihan
menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi
penderita.
 Terapi fisik dilakukan untuk pemulihan ROM (range of
motion) dan meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal
terpenting adalah memperkuat otot ekstremitas atas, juga
menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh. Otot ekstremitas
atas biasanya lebih parah dari ekstremitas bawah, maka pasien
akan kesulitan untuk menggunakan alat bantu berjalan yang
membutuhkan bantuan tangan.
 Terapi rehabilitasi kerja ditujukan untuk perbaikan kemampuan
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, memperkuat
ekstremitas atas, dan perbaikan ROM. Bidai digunakan untuk
mempertahankan posisi fungional tangan dan kaki juga
mencegah kontraktur.
 Terapi bicara diberikan untuk pasien yang mengalami disfagia
akibat pemakaian alat-alat untuk mempertahankan stabilitas
servikal atau akibat fusi servikalis anterior. Pasien diajarkan
cara menelan agar tidak memperparah disfagi dan mencegah
aspirasi. (Mahadewa, 2009)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.


2. Bare & Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC
3. Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica
Aesculpalus, FKUI, Jakarta
4. Lewis. 2000. Medical Surgical Nursing ; Assesment and Management of
Clinical Problems, Mosby, Philadelphia.
5. Anderson, Foster. 2009. Antropologi Kesehatan. Jakarta : Universitas
Indonesia Press
6. Mahadewa, Tjokorda. 2009. Diagnosis Tata Laksana Kegawat Daruratan
Tulang Belakang. Jakarta. Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai