Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN TUTORIAL A

BLOK 27

Disusun oleh:
Kelompok B7

Anggota:
Sarah Ummah Muslimah 04011181419022
Agung Budi Pamungkas 04011181419046
Kemala Andini Prizara 04011181419052
Ainindia Rahma 04011181419214
Dwi Taufik Oktariansyah 04011281419090
Fitria Masturah 04011281419116
Hawari Martanusa 04011281419118
Masagus M I N A 04011281419124
Erlina Purnamayani 04011281419126
Gwendolyn Sharon Emeralda Prasetyo 04011281419136

Tutor: dr. Atika Akbari, SpA

PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari
skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam pembuatan laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan
laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca
akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................2

DAFTAR ISI...............................................................................................................................3

BAB I..........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................................4

BAB II.........................................................................................................................................5

ISI............................................................................................................................................5

I. Skenario........................................................................................................................5

II. Klarifikasi Istilah..........................................................................................................6

III. Identifikasi Masalah..................................................................................................... 7

IV. Analisis Masalah.......................................................................................................... 8

V. Learning Issue............................................................................................................28

VI. Kerangka Konsep.......................................................................................................42

VII. Sintesis…………………………………………………………………...................43

BAB III.....................................................................................................................................46

Kesimpulan........................................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................47

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Blok Infeksi Tropis adalah blok ke-27 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada
kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk
menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Kasus yang
dipelajari tentang Leptospirosis.

B. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

C. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Atika Akbari, SpA
2. Moderator : Sarah Ummah Muslimah
3. Sekretaris : 1. Dwi Taufik Oktariansyah
2. Agung Budi Pamungkas
4. Waktu : 1. Senin, 14 Agustus 2017
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
2. Rabu, 16 Agustus 2017
Pukul 13.00 – 15.30 WIB

BAB II
ISI

I. Skenario

4
Tn. Badu 40 Tahun, pekerjaan petani sawah, dibawah ke IGD karena penurunan
kesadaran sejak 8 jam yang lalu.
Sejak 6 hari lalu, Tn. Badu menderita demam tinggi, terus-menerus. Demam disertai
sakit kepala, nyeri otot-otot betis, mual, mata merah, dan penglihatan silau. BAB dan BAK
biasa.
Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh badan bewarna kuning, BAB biasa, BAB
berkurang dan warnanya teh tua, Demam masih ada.
Sejak 8 jam yang lalu Tn. Badu tidak BAK, dan selalu mengantuk. Demam masih
ada, badan kuning masih ada.
Keterangan : Saat ini musim hujan

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Tampak sakit berat, kesadaran somnolen, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100 x/menit,
pernapasan 20 x/menit, suhu tubuh 39oC
Keadaan spesifik:
Mata: konjungtiva palpebra pucat, tampak conjungtival injection, ikterik, fotofobia
Abdomen: Hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae
Ekstremitras: nyeri tekan musculus gastrocnemius dextra et sinistra

Hasil laboratorium:
Hb 9,8 g/dL Leukosit: 13.000/mm3 Trombosit: 250.000/mm3
Ureum: 70 mg/dL Kreatinin: 2,8 mg/dL Bilirubin indirek: 0,5
mg/dL
Enzim kreatinin phospokinase(CPK): 3 Bilirubin direk: 2,8
mg/dL
Urinalisa protein: +2

II. Klarifikasi Istilah

No. Istilah Definisi


1. Demam tinggi Peningkatan suhu tubuh diatas 37,50C, dengan suhu
berkisar antara 38-400C.
2. Somnolen Kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
5
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu menjawab secara verbal.
3. Conjungtival Melebarnya pembuluh darah arteri konjungtiva posterior
injection atau injeksi pada konjungtiva yang disebabkan akibat
pengaruh mekanis, alergi, ataupun infeksi pada jaringan
konjungtiva.
4. Ikterik Peningkatan kadar billirubin total dalam darah (perubahan
warna kulit atau sklera menjadi kuning).
5. Fotofobia Rasa takut atau kepekaan terhadap cahaya yang
berlebihan, biasanya karena cahaya tersebut menyebabkan
rasa nyeri.
6. musculus Otot yang paling supersifial dalam compartimentum
gastrocnemius posterius membentuk massa besar pada tonjolan betis.
7. CPK (creatine phosphokinase) adalah enzim yang dapat
ditemukan pada berbagai sel otot rangka, peningkatan
CPK menandakan adanya kerusakan dari sel oto rangka.
8. Bilirubin direk Bagian terbesar dari bilirubin dalam darah normal, tidak
larut dalam air, terikat pada albumin, dan merupakan
bilirubin yang sedang diangkut dari RES ke hati.
9. Bilirubin indirek Bilirubin direk yang dilepas ikatannya dengan albumin
dan akan berikatan dengan asam glukoranat prosesnya
terjadi di hati.

III. Identifikasi Masalah

No Masalah Prioritas

1. Tn. Badu 40 Tahun, pekerjaan petani sawah, Sejak 6 hari lalu, VVV
Tn. Badu menderita demam tinggi, terus-menerus. Demam
disertai sakit kepala, nyeri otot-otot betis, mual, mata merah, dan
penglihatan silau. BAB dan BAK biasa. Sejak 2 hari yang lalu
mata dan seluruh badan bewarna kuning, BAB biasa, BAB
berkurang dan warnanya teh tua, demam masih ada. dibawah ke
IGD karena penurunan kesadaran sejak 8 jam yang lalu. Sejak 8
6
jam yang lalu Tn. Badu tidak BAK, dan selalu mengantuk.
Demam masih ada, badan kuning masih ada. Keterangan : Saat
ini musim hujan.
2. Pemeriksaan Fisik VV
Keadaan umum:
Tampak sakit berat, kesadaran somnolen, tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 100 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu tubuh
39oC.
3. Keadaan spesifik: VV
Mata: konjungtiva palpebra pucat, tampak conjungtival injection,
ikterik, fotofobia
Abdomen: Hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae
Ekstremitras: nyeri tekan musculus gastrocnemius dextra et
sinistra
4. Hasil laboratorium: V
Hb 9,8 g/dL Leukosit: 13.000/mm3 Trombosit: 250.000/mm3
Ureum: 70 mg/dL Kreatinin: 2,8 mg/dL Bilirubin indirek: 0,5
mg/dL
Enzim kreatinin phospokinase(CPK): 3 Bilirubin direk: 2,8
mg/dL
Urinalisa protein: +2

IV. Analisis masalah


1. Tn. Badu 40 Tahun, pekerjaan petani sawah, Sejak 6 hari lalu, Tn. Badu menderita
demam tinggi, terus-menerus. Demam disertai sakit kepala, nyeri otot-otot betis,
mual, mata merah, dan penglihatan silau. BAB dan BAK biasa. Sejak 2 hari yang lalu
mata dan seluruh badan bewarna kuning, BAB biasa, BAB berkurang dan warnanya
teh tua, demam masih ada. dibawah ke IGD karena penurunan kesadaran sejak 8 jam
yang lalu. Sejak 8 jam yang lalu Tn. Badu tidak BAK, dan selalu mengantuk. Demam
masih ada, badan kuning masih ada. Keterangan : Saat ini musim hujan
a. Bagaimana hubungan antara pekerjaan dan gejala yang dialami Tn. Badu?
Jawab :
Faktor lingkungan pekerjaaan termasuk salah satu faktor penting yang
menimbulkan Tn.Badu mengalami gejala tersebut. Kebanyakan petani mengalami

7
leptospirosis karena kontak dengan air atau tanah yang dapat dicemari oleh urin
hewan yang mengandung leptospira. Hewan yang biasanya menularkan leptospira
adalah jenis binatang pengerat, terutama tikus. Sedangkan hewan peliharaan
seperti kucing, anjing, kelinci, kambing, sapi, kerbau dan babi dapat menjadi
hospes perantara dalam penularan leptospirosis.
Pada umumnya bakteri leptospira menular pada daerah kulit yang terluka,
akan tetapi bakteri ini juga bisa masuk melalui mulut, mata, serta hidung.
Leptospira mampu bertahan hidup dalam ginjal hewan dalam waktu yang relatif
lama. Sehingga penularan yang terjadi banyak melalui urin hewan tersebut.
Bakteri yang ada pada urin ini akan ditularkan pada manusia melalui media
berupa air, tanah, makanan, minuman, tanaman, dan daerah yang lembab.
Pekerjaan yang memiliki kontak langsung dengan air, tanah, lumpur, dan
intensitas tinggi terhadap hewan memiliki risiko yang lebih tinggi. Selain itu
disebabkan karena adanya genangan air ataupun banjir.

b. Apa faktor presdiposisi dari keluhan Tn. Badu?


Jawab :
Faktor presdisposisi pada Tn. Badu adalah :
1. Musim hujan/banjir
2. Petani
3. Tinggal di lingkungan yang banyak tikus
4. Banyak berkontak dengan tikus atau sumber penularan lainnya
5. Laki-laki
6. Usia dewasa 10-39 tahun

c. Bagaimana mekanisme dari :


1. demam tinggi yang persisten?
Jawab :
Penderita kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira
pathogen  leptospira masuk ke aliran darah melalui lesi kulit atau mukosa 
leptospira menuju organ-organ  kekebalan tubuh aktif  Leptospira lisis 
endotoksin dilepaskan  merangsang makrofag untuk datang  lepasnya
sitokoin IL1, IL-6 – TNF alpha  Sitokin berikatan dengan reseptornya di
hipotalamus  mengaktivasi fosfolipase A2 melepaskan asam arakidonat 

8
leh enzim COX2 diubah menjadi PGE2  cAMP menaikkan set point 
respon tubuh dibuat untuk meningkatkan panas  suhu tubuh meningkat

Pada kasus, termasuk demam kontinyu yaitu demam yang tidak berfluktuasi
lebih dari 10C selama 24 jam dan terus menerus, sudah masuk ke kondisi yang
berat.

2. demam yang disertai sakit kepala?


Jawab :
Pada fase leptosperolemia: leptospira virulen masuk ke tubuh melalui kulit
yang terluka atau mukosa (dibantu oleh hyaluronidase dan burrowing
motility)bakteri bermultifikasi (yang nonvirulen gagal bermultifikasi)
bakteri masuk ke LCS  respon meningitis terjadi sewaktu terbentuknya
respon antibody penebalan meninges dengan peningkatan sel mononuclear
arachnoid  sakit kepala terutama di bagian frontal dan kaku di leher juga.

3. nyeri otot-otot betis?


Jawab :
Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan otot sehingga kreatinin
fosfokinase (CPK) pada sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan
CPK ini dapat membantu penegakan diagnosis klinis leptospirosis. Kerusakan
otot terjadi karena leptospira endotoksin masuk ke dalam darah dan alirannya
menimbulkan reaksi kimia kinin, bradikinin, dan prostaglandin dan reaksi

9
kimia tersebut menyebabkan mialgia atau nyeri pada otot. Karena leptospirosis
sukanaya pada otot-otot besar terutama betis.

4. mual?
Jawab :
Mual disebabkan oleh bakteri menyerang hati dan ginjal, pada hepar
leptospira akan menginvasi hepar sehingga menyebabkan hepatomegali,
meningkatkan bilirubin hepar, mengakibatkan nekrosis local, dan kolestasis.
Selain itu, terjadi kerusakan pada saluran gastrointestinal yang
menimbulkan impuls iritatif yang merangsang pusat muntah di batang otak
yang memerintahkan otot abdomen serta diafragma untuk berkontraksi
sehingga menyebabkan mual ataupun muntah.

5. mata merah dan penglihatan silau?


Jawab :
- Leptospira menginvasi pembuluh darah yang menuju mata  terjadi
peradangan pada dinding pembuluh darah (vaskulitis)  conjungtival
injection
- Leptospira menginvasi ruang anterior mata pada fase leptospiremia 
terjadi uveitis  fotofobia
- Leptospira beradar dalam darah dan LCS masuk ke mata dalam bilik
anterior dan timbul respon imun perdadangan pada bilik anterior sehingga
menjadi uveitis yang bagiannya badan sillier, iris , dan koriod atau disebut
bagian mata uvea

6. BAK berkurang dan warnanmya teh tua?


Jawab :
leptospira virulen masuk ke tubuh melalui kulit yang terluka atau mukosa
(dibantu oleh hyaluronidase dan burrowing motility) bakteri bermultifikasi
(yang nonvirulen gagal bermultifikasi) dinding endotel pembuluh darah
rusak dan timbul vaskulitis, sel darah merah lisis akibat enzim fosfolipase,
bakteri bermigrasi ke lumen dan interstisium tubulus ginjal vaskulitis
menghambat sirkulasi mikro dan peningkatan permeabilitas kapiler

10
kebocoran cairan ginjal hipovolemia  gagal ginjal edema dan
pendarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus ginjal. (Gangguan gagal ginjal
renal). Pre(dehidrasi, shock).
Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer
adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan
vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan
kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas leptospira yang penting adalah
perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide
(LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda
dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase
yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel
lain yang mengandung fosfolipid. Organ utama yang terinfeksi kuman
leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi
ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat,
vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas
kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu
penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai
edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara
perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara
mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai
hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.

7. penurunan kesadaran?
Jawab :
- Leptospira menyebabkan lisis sel darah merah sehingga terjadi rendahnya
kadar Hb pada Tn. Badu menyebabkan oksigen yang dibawa ke jaringan
otak berkurang. Hal ini menyebabkan pada Tn. Badu terjadi penurunan
kesadaran.
- Terjadinya vaskulitis di otak. Toksin dari leptospirosis masuk ke cairan
LCS bisa juga menyumbat aliran darah di otak.

11
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum:
Tampak sakit berat, kesadaran somnolen, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 100
x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu tubuh 39oC
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil Pemeriksaan Fisik
keadaan umum?
Jawab :
Interpretasi dan
Mekanisme
Pemeriksaan Fisik Hasil Nilai Normal
Abnormal

Keadaan Umum Tampak Sakit Berat Sehat Berdasarkan


kondisinya

Kesadaran Somnolen Kompos Mentis

Vital Sign

Tekanan Darah 110/70 mmHg 120/80 mmHg Normal

Nadi 100 x/menit 60-100x/menit Batas Normal

Pernapasan 20 x/menit 16-24x/menit Normal

Suhu Tubuh 39oC 36,5-37,5 oC Demam febris

3. Keadaan spesifik:
Mata: konjungtiva palpebra pucat, tampak conjungtival injection, ikterik, fotofobia
Abdomen: Hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae
Ekstremitras: nyeri tekan musculus gastrocnemius dextra et sinistra
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil Pemeriksaan Fisik
keadaan Spesifik?
Jawab :
Interpretasi :
- konjungtiva palpebra pucat, tampak conjungtival injection, ikterik,
fotofobia tidak normal
- Hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae tidak norma;
- Nyeri tekan musculus gastrocnemius dextra et sinistra tidak normal
12
Mekanisme :
- Mata : sama seperti diatas
- Hepar : hepatomegaly dikarenakan leptospira menginvasi
langsung ke dalam hepar, bilirubin meningkat. Di hepar teerjadi nekrosis
fokal dan kolestasis
- Myalgia otot : leptospira menginvasi otot, terjadi nekrosis lokal dan
vakuolisasi pada otot rangka

b. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan fisik mata, abdomen, dan nyeri tekan
musculus gastrocnemius?
Jawab :
Pemeriksaan fisik mata
Kelengkapan dan keluasan pengkajian mata bergantung pada informasi yang
diperlukan. Secara umum tujuan pengkajian mata adalah mengetahui bentuk dan
fungsi mata.
 Cara inspeksi mata
Dalam inspeksi mata, bagian-bagian mata yang perlu diamati adalah bola mata,
kelopak mata, konjungtiva, sklera, dan pupil.
1. Amati bola mata terhadap adanya protrusi, gerakan mata, lapang pandang, dan
visus.
2. Amati kelopak mata, perhatikan bentuk dan setiap kelainan dengan cara
sebagai berikut.
a. Anjurkan pasien melihat kedepan.
b. Bandingkan mata kanan dan kiri.
c. Anjurkan pasien menutup kedua mata.
d. Amati bentuk dan keadaan kulit pada kelopak mata, serta pada bagian
pinggir kelopak mata, catat setiap ada kelainan, misalnya adanya kemerah-
merahan.
e. Amati pertumbuhan rambut pada kelopak mata terkait dengan ada/tidaknya
bulu mata, dan posisi bulu mata.
f. Perhatikan keluasan mata dalam membuka dan catat bila ada dropping
kelopak mata atas atau sewaktu mata membuka (ptosis).
3. Amati konjungtiva dan sclera dengan cara sebagai berikut :

13
a. Anjurkan pasien untuk melihat lurus kedepan.
b. Amati konjungtiva untukmmengetahui ada/tidaknya kemerah-merahan,
keadaan vaskularisasi, serta lokasinya.
c. Tarik kelopak mata bagian bawah dengan menggunakan ibu jari.
d. Amati keadaan konjungtiva dan kantong konjungtiva bagian bawah, catat
bila didapatkan infeksi atau pus atau bila warnanya tidak normal, misalnya
anemic.
e. Bila diperlukan, amati konjungtiva bagian atas, yaitu dengan cara
membuka/membalik kelopak mata atas dengan perawat berdiri dibelakang
pasien.
f. Amati warna sclera saat memeriksa konjungtiva yang pada keadaan tertentu
warnanya dapat menjadi ikterik.
g. Amati warna iris serta ukuran dan bentuk pupil. Kemudian lanjutkan
dengan mnegevaluasi reaksi pupil terhadap cahaya. Normalnya bentuk
pupil adalam sama besar (isokor). Pupil yang mengecil disebut miosis,dan
amat kecil disebut pinpoint, sedangkan pupil yang melebar/ dilatasi disebut
midriasis.
Cara inspeksi lapang pandang.
a. Berdiri di depan pasien.
b. Kaji kedua mata secara terpisah yaitu dengan cara menutup mata yang
tidak diperiksa.
c. Beri tahu pasien untuk melihat lurus ke depan dan memfokuskan pada satu
titik pandang, misalnya hidung anda.
d. Gerakan jari anda pada satu garis vertical/ dari samping, dekatkan kemata
pasien secara perlahan-lahan.
e. Anjurkan pasien untuk member tahu sewaktu mulai melihat jari anda.
f. Periksa mata sebelahnya.
Pemeriksaan Fisik Abdomen
1. Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mendengarkan / mendeteksi adanya gas, cairan,
atau massa di dalam abdomen. Perkusi juga dilakukan untuk mengetahui posisi
limpa dan hepar. Bunyi perkusi pada abdomen yang normal adalah timpani,
namun bunyi ini dapat berubah pada keadaan – keadaan tertentu. Misalnya,
apabila hepar dan limpa membesar, bunyi perkusi akan menjadi redup,
14
khususnya perkusi di area bawwah arkus kostalis kanan dan kiri. Apabila
terdapat udara bebas pada rongga abdomen, daerah pekak pada hepar akan
hilang. Pada keadaan usu berisi terlalu banyak cairan, bunyi yang dihasilkan
pada perkusi seluruh dinding abdomen adalah hipertimpani, sedangkan daerah
hepar tetap pekak. Perkusi pada daerah yang berisi cairan juga akan
menghasilkan suara pekak. Latihan perkusi abdomen bagi mahasiswa
keperawatan harus dibimbing oleh instruktur yang berpengalaman dan
menguasai pengkajian abdomen.
Cara perkusi abdomen secara sistematis
a. Perkusi dimulai dari kuadran kanan atas kemudian bergerak searah jarum jam
(dari sudut pandang / perspektif pasien).
b. Perhatikan reaksi pasien dan catat bila pasien merasa nyeri atau nyeri tekan.
c. Lakukan perkusi pada area timpani dan redup. Suara timpani mempunyai cirri
nada lebih tinggi daripada resonan. Suara timpani dapat didengarkan pada
rongga atau organ yang berisi udara. Suara redup mempunyai cirri nada lebih
rendah atau lebih datar daripada resonan. Suara ini dapat didengarkan pada
massa padat, misalnya keadaan asites, keadaan distensi kandung kemih, serta
pembesaran atau tumor hepar dan limpa.
2. Palpasi
Palpasi Hepar
Palpasi hepar dapat dilakukan secara bimanual, terutama untuk mengetahui
adanya pembesaran.
Cara Palpasi Hepar :
a. Berdiri di samping kanan pasien.
b. Letakkan tangan kiri Anda pada dinding toraks posterior kira – kira pada
tulang rusuk ke-11 atau 12.
c. Tekan tangan kiri Anda ke atas sehingga sedikit mengangkat dinding dada.
d. Letakkan tangan kanan pada batas bawah tulang rusuk sisi kanan dengan
membentuk sudut kira – kira 45o dari otot rektus abdominis atau parallel
terhadap otot rektus abdominis dengan jari – jari kea rah tulang rusuk.
e. Sementara pasien ekshalasi, lakukan penekanan sedalam 4 – 5 cm kea rah
bawah pada batas tulang rusuk.
f. Jaga posisi tangan Anda dan minta pasien inhalasi / menarik napas dalam.

15
g. Sementara pasien inhalasi, rasakan batas hepar bergerak menentang tangan
Anda yang secara normal terasa dengan kontur reguler. Bila hepar tidak
terasa /teraba dengan jelas, minta pasien untuk menarik napas dalam,
sementara Anda tetap mempertahankan posisi tangan atau memberikan
tekanan sedikit lebih dalam. Kesulitan dalam merasakan hepar ini sering
dialami pada pasien obesitas.
h. Bila hepar membesar, lakukan palpasi di batas bawah tulang rusuk kanan.
Catat pembesaran tersebut dan nyatakan dengan berapa sentimeter pembesaran
terjadi di bawah batas tulang rusuk.
Cara pemeriksaan nyeri tekan M. Gastrocnemius
1. Reposisi posisi paseien dengan cara kaki ditekut atau diangkat keatas agar
pasien rileks
2. Lakukan penenkanan di bagian belakang betis secara gentle
3. Periksa respon pasien jika pasien mengeluh sakit maka tes nyeri tekan positif.

4. Hasil laboratorium:
Hb 9,8 g/dL Leukosit: 13.000/mm3 Trombosit: 250.000/mm3
Ureum: 70 mg/dL Kreatinin: 2,8 mg/dL Bilirubin indirek: 0,5
mg/dL
Enzim kreatinin phospokinase(CPK): 3 Bilirubin direk: 2,8
mg/dL
Urinalisa protein: +2
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil Pemeriksaan Fisik
keadaan umum? 2,3,4
Jawab :
Pemeriksaan Lab Hasil Lab Nilai Normal Interpretasi

Hemoglobin 9,8 mg/dl Pria : 13-16 Menurun


Wanita : 12-14

Ureum 70 mg/dl 7-20 mg/dl Hiperuremia

Enzim CPK 3 (CPK*3) Pria : <190U/L Meningkat


Wanita : <167 U/L

Urinalisa Protein +2 (-) negatif Kekeruhan mudah


16
dilihat & tampak
butir-butir dalam
kekeruhan, kadar ±
0,05-0,2%

Leukosit 13.000/mm3 4.500-11.000/mm3 Leukositosis

Kreatinin 2,8 mg/dl 0,6-1,2 mg/dl Meningkat

Trombosit 250.000/mm3 150.000-400.000/mm3 Normal

Bilirubin indirek 0,5 mg/dl 0.3-1.6 mg/dl Normal

Bilirubin direk 2,8 mg/dl 0-0,3 mg/dl Meningkat

Mekanisme abnormal :
Dalam perjalanan faste leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi
yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler menyebabkan
terjadi anemia pada Tn. Badu.
Pada leptosipirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ
dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologi ringan
ditemukan ginjal dan hati mengalami kelainan fungsi organ. Pada kasus berat akan
terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan luas dan disfungsi hepatoseluler
dengan retensi bilier. Peningkatan yang ekstrim pada kadar kreatinin dan ureum
merupakan salah satu tanda sindrom Weil dan merupakan tanda keterlibatan organ
ginjal. Bilirubin direk meningkat merupakan tanda kelainan fungsi pada organ
hati.
Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit,, dan sel
plasma. Mediator inflamasi menyerang infeksi leptospira menyebabkan leukosit
meningkat (leukositosis).
Kerusakan pada ginjal terutama pada membran gloerular, atau defek reabsorpsi
tubular, atau terjadi nefropati diabetik merupakan penyebab ditemukannya protein
dalam urin Tn. Badu. Nilai enzim CPK atau saat ini dikenal dengan CK terdapat di
otot jantung, otot rangka. Otak dan beberapa organ lain. Sejak tahun 1970-an CK
dibagi menjadi CK-MM, CK-BB, CK-MB, dan isoenzim mitokondrial. Oleh
karena itu CK total tidak spesifik sebagai penanda miokard.
5. Aspek Klinis

17
a. DD
Jawab :
DBD = demam, nyeri otot, khasnya trombositopenia, beda tipe demam.
Hepatitis A = kuning, myalgia, demam, lebih lama inklusi 2-6 minggu
Malaria berat = beda spelonomegali dan trias malaria.

b. Diagnosis Kerja
Jawab :
Leptospirosis berat (Weil’s Disease), Leptospirosis dengan komplikasi.

c. Algoritma penegakkan diagnosis


Jawab :
- Anamnesis : riwayat kontak dengan air yang tergenang, musim hujan,
keluhan sesuai dengan gejala leptospirosis
- Pemeriksaan fisik : Demam, bradikardia, nyeri tekan otot, ruam kulit,
hepatomegali
- Laboratorium
 Darah lengkap: leukositosis/normal, neutrofilia, peningkatan laju endap
darah
 Urinalisis: proteinuria, leukosituria, dan sedimen sel toraks
 Kimia darah: bila terdapat hepatomegali, bilirubin darah dan transaminase
meningkat, apabila terdapat komplikasi di ginjal dapat terjadi peningkatan
BUN, ureum, dan kreatinin
 Kultur: spesimen darah atau cairan serebrospinal pada fase leptospiremia
 Serologi: microscopic agglutination test (MAT) seperti uji carik celup,
macroscopic slide agglutination test (MSAT), polymerase chain reaction

18
(PCR), silver stain, fluorescent antibody stain, dan mikroskopik lapang
pandang gelap
- Faine modified score : 25 (A+B) atau 26 (A+B+C) yaitu skor utk menegakkan
leptospirosis
- Bila ada MAT score cukup 25 (periksa ini nanti)
- Pada pasien Skor modifikasi fainenya bernilai 26 dengan rincian (Sakit kepal,
Demam, Injeksi konjungtiva, gajala meningitis, nyeri otot, ikterik,
albuminuria, musim hujan, kontak dengan hewan)

d. Etiologi
Jawab :
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponemateceae,
suatu organisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis,
fleksibel, panjangnya 5-15 µm, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2
µm. salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait.
Terdapat gerak rotasi aktif tapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta
sangat halus sehingga hanya bisa dilihat pada mikroskop lapangan gelap sebagai
rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup mikroskop biasa
morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Secara sederhana genus leptospira
terdiri atas dua spesies: L. interrogans yang patogen dan L. biflexa yang non-
patogen. Spesies L. interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup

19
ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah
ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. Beberapa
serovar L. interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah: L.
icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. griptpothyposa, L. javanica, L.
celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. automnalis, L. hebdomadis, L. bataviae, L.
tarassovi, L. panama, L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. bufonis, L.
copenhageni, L. australis, L. cynopteri, dll.

e. Epidemiologi
Jawab :
Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina,
Brasilia, Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat,
Indonesia , dan sebagainya.
Di Indonesia sejak tahun 1936 telah dilaporkan leptospirosis dengan
mengisolasi serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan.
Secara klinis leptospirosis pada manusia telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta
oleh Van der Scheer. Namun isolasi baru berhasil dilakukan oleh Vervoort pada
tahun 1922.
Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia dilaporkan Fresh, di Sumatera
Selatan, Pulau Bangka serta beberapa rumah sakit di Jakarta. Tahun 1986, juga
dilaporkan hasil penyelidikan epidemiologi di Kuala Ci naku Riau, ditem u kan
serovar pyrogenes, semara nga, rachmati, icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica,
ballum dan tarasovi.
Pada Tahun 2010 baru 7 provinsi yang melaporkan kasus suspek Leptospirosis
yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu,
Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan.
Situasi Leptospirosis di Indonesia dari Tahun 2004 sampai tahun 2011
cenderung meningkat, tahun 2011 terjadi 690 kasus Leptospirosis dengan 62
orang meninggal (CFR 9%), mengalami kenaikan yang tajam bila dibandingkan 7
(tujuh) tahun sebelumnya, hal tersebut dikarenakan terjadi KLB di Provinsi
Yogyakarta (Kabupaten Bantul dan Kulon Progo). Kasus terbanyak dilaporkan
Provinsi DI.Yogyakarta yaitu 539 kasus dengan 40 kematian (CFR 7,42%) dan
Provinsi Jawa Tengah dengan 143 kasus dengan 20 kematian (CFR 10,6%).

20
Umumnya menyerang petani, pekerja perkebunan, pekerja tambang / selokan,
pekerja rumah potong hewan dan militer. Daerah yang rawan banjir, pasang surut
dan areal persawahan, perkebunan, peternakan memerlukan pengamatan intensif
untuk mengontrol kejadian Leptospirosis di masyarakat.

f. Faktor resiko
Jawab :
Faktor Risiko menurut Zein tahun 2009

Sedangkan faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian


leptospirosis antara lain kondisi lingkungan perumahan atau tempat kerja serta sanitasi
rumah. Beberapa faktor risiko penularan leptospirosis dari aspek ini diantaranya
keberadaan saluran pembuangan air limbah yang terbuka, keberadaan tikus disekitar
tempat tinggal dan lingkungan tempat kerja. Menurut Handayani dan Ristiyanto
(2008), sanitasi rumah merupakan faktor risiko leptospirosis, kondisi rumah yang
tidak memiliki plafon dan kondisi bangunan yang tidak utuh memudahkan tikus
masuk ke dalam rumah, dinding rumah yang tidak permanen memudahkan tikus
memanjat. Keberadaan sampah disekitar rumah juga menjadikan populasi tikus di
sekitar rumah meningkat.

g. Patogenesis
Jawab :

21
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang
tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri
leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan
mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air.
Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui
konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak
menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang
menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh. Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari
infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer
adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta
merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan
ekstravasasi sel.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel
dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan
aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira
mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit
dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam
ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah
satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai
edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara
perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik
tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan
hiperplasia sel Kupffer.

22
Gambar 4. Leptospirosis pathway dan gambaran klinisnya
h. Patofisiologi
Jawab :
Leptospira masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit dan membrane
mukosa yang terluka kemudian masuk kedalam aliran darah dan berkembang
khususnya pada konjungtiva dan batas oro-nasofaring. Kemudian terjadi respon
imun seluler dan humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibody spesifik. Leptospira dapat bertahan sampai ke ginjal dan sampai ke
tubulus konvoluntus sehingga dapat berkembang biak di ginjal. Leptospira dapat
mencapai ke pembuluh darah dan jaringan sehingga dapat diisolasi dalam darah
dan LCS pada hari ke 4-10 dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan LCS
ditemukan pleocitosis. Pada infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh
darah yang dapat menyebabkan vasculitis dengan terjadi kebocoran dan
ekstravasasi darah sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi proses imun
leptospira dapat lenyap dari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Dalam perjalana pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada endotel kapiler. Organ-
organ yang sering terkena leptospira adalah sebagai berikut :

23
1. Ginjal. Nefritis Interstisial dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi yang dapat terjadi tanpa disertai gangguan fungsi ginjal. Sedangkan
jika terjadi gagal ginjal akibat nekrosis tubular akut.
2. Hati. Pada organ hati terjadi nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer.
3. Jantung. Kelainan miokradium dapat fokal ataupun difus berupa interstisial
edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal dan juga
endokarditis.
4. Otot rangka. Pada otot rangka terjadi nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan
striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan oleh invasi langsung
leptospira.
5. Mata. Leptospira dapat masuk ke uvea anterior yang dapat menyebabkan
uveitis anterior pada saat fase leptospiremia.
6. Pembuluh darah. Bakteri yang menempel pada dinding pembuluh darah dapat
terjadi vaskulitis dengan manifetasi perdarahan termasuk pada mukosa, organ-
organ visceral dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan Saraf Pusat (SSP). Manifestasi masuknya bakteri ke dalam LCS
adalah meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi,
bukan pada saat masuk ke LCS. Terjadi penebalan meninges dengan
peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah
meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.canicola.

Weil Disease
Weil disease merupakan leptopsirosis yang berat ditandai dengan ikterus
biasanya disertai dengan perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan
demam tipe continue. Serotype leptospira yang menyebabkan weil disease adalah
serotype icterohaemorrhagica. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatic dan disfungsi vascular.

i. Manifestasi klinis
Jawab :
Pada manifestasi klinis leptospirosis, terdapat masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan
rata-rata 10 hari.
24
Tabel 1. Gambaran Klinis pada Leptospirosis

Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,


conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali,
ruam kulit, fotophobia.

Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema,


splenomegali, artralgia, gagal ginjal, perferal neuritis, parotitis, epididimis,
hematemesis, asites, miokarditis.

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia


dan fase imun.
a. Fase leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha,
betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan
hiperestesi kulit, demam tinggi yangdisertai menggigil, juga didapati mual
dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus
disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi
relatif, dan ikterus 50%. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva
suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular,
makulopapular, dan urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali,
hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat
ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan
organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah
onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti
oleh bebas demam selam 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan
ini disebut fase imun.

j. Tatalaksana dan pencegahan


Jawab :
Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self limited
disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan harus dimulai segera
pada fase awal penyakit.20 Secara teori, Leptospira sp. adalah mikroorganisme
yang sensitif terhadap antibiotik.

25
Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis berdasarkan Kriteria
Diagnosis WHO SEARO 2009

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis


adalah segera merujuk penderita leptospirosis bila adanya indikasi pada
disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan gangguan saraf.
Purpose of Drug Administration Regimen
Treatment Mild leptospirosis :
 Doxycycline, 100 mg orally bid or Ampicillin, 500–750 mg orally qid or

Amoxicillin, 500 mg orally qid (selama 7 hari), or azitromisin oral 1x1 g


hari 1 diikuti 1x500mg hari 2&3
Moderate/severe leptospirosis :
 Penicillin G, 1.5 million units IV qid (7days) or Ampicillin, 1 g IV qid (7

days)or Amoxicillin, 1 g IV qid (7days) or Ceftriaxone, 1 g IV once daily


(7days) or Cefotaxime, 1 g IV bid (7days)
Chemoprophylaxis :
 Doxycycline, 200 mg orally once a week

Penisilin-G efektif pd hari1-3kurang bermanfaat pd fase ke-2, tdk efektif


bila ada ikterus, gagal ginjal, meningitis

Penisilin-G pilihan I 1,5 juta unit tiap 6 jam selama 5-7 hari

Th/ suportif sesuai keparahan penyakit

Pencegahan
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi
faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian
leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa
terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk
disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder

26
yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian.

g. KIE
Jawab :
1. Hindari terpapar air yang terkontaminasi urin tikus : ke sawah pakai sepatu
boot
2. Hindari tepapar air yang tergenang (banjir, kolam, kubangan, got)
3. Antibiotika profilaksis : Doksisiklin tablet 200 mg perminggu.

k. Komplikasi
Jawab:
Pada hati: kekuningan yang terjadi pada hari ke4 dan ke 6
Pada ginjal: gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian
Pada jantung : berdebar tidak teratur jantung membengkak dan gagal jantung
Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas
Pada kehamiian : keguguran, prematur, bayi lahir cacat.

l. Prognosis
Jawab :
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

m. SKDI
Untuk Leptospirosis berat dengan komplikasi 3A, sedangkan untuk Leptospirosis
tanpa komplikasi 4A.

V. Learning Issue
1. Leptospira
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat menyebabkan penyakit infeksius
yang disebut leptospirosis. Leptospira merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat,
dengan panjang 5-15 µm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Salah satu ujung
bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait.

27
Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri lainnya. Sel bakteri
ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis. Di bawah membran luar, terdapat
lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta membran sitoplasma. Ciri khas
Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak diantara membran luar dan lapisan
peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik.
Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung
sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan
gelap.

Gambar 1. Leptospira interrogans danBakteri Leptospira sp. menggunakan mikroskop


elektron tipe scanning
Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan, tumbuh paling baik
pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH 7,4. Media yang bisa digunakan adalah
media semisolid yang kaya protein, misalnya media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang
sesuai untuk hidup leptospira adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah tropis.
Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp. dibagi menjadi Leptospira
interrogans yang merupakan spesies yang patogen dan Leptospira biflexa yang bersifat tidak
patogen (saprofit). Sampai saat ini telah diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada
L.interrogans. Serotipe yang paling besar prevalensinya adalah canicola, grippotyphosa,
hardjo, icterohaemorrhagiae, dan pomona.

28
Transmisi bakteri leptospira ke manusia dapat terjadi karena ada kontak dengan air atau
tanah yang tercemar urin hewan yang mengandung leptospira. Selain itu penularan bisa juga
terjadi karena manusia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan
bakteri leptospira.

Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan
dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit
sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi
leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke
dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau
gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh. Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi.
Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah
kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta merusak organ.
Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas
endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu
stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu

29
hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung
fosfolipid.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal
bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada
leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia.
Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal
ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan
subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa
tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis
sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.

2. Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia dan hewan. Penyakit ini
disebabkan oleh leptospira patogenik dan memiliki manifestasi klinis yang luas, bervariasi
mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan,
leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia. Leptospirosis
yang berat, ditandai oleh jaundice, disfungsi renal dan diatesis hemoragik, dikenal dengan
Weil’s syndrome.

Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama
sekali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai ikterus
ini dengan penyakit lain yang juga mnyebabkan ikterus. Bentuk beratnya dikenal sebagai
Weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slamp fever,
swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, dan lain-lain.
Leptospira acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan
konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade
terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang
termasuk emerging infectious disease.

Etiologi

30
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel,
panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung
organisme sering membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi
tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop
lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan
lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk
mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap. Leptospira
membutuhkan membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin
membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan
medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies; L. interrogans yang patogen dan
L. biflexa yang non patogen/saprofit. L. interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan
serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Beberapa serovar
L. interrogans yang dapat menginfeksi manusia diantaranya adalah L. icterohaemorrhagiae,
L. canicola, L. pomona, L. javanica, dan lain-lain.
Menurut bebrapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagica
dengan reservoar tikus, L. canicola dengan reservoar anjing, dan L. pomona dengan reservoar
sapi dan babi.

Epidemiologi
Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat
pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan
manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat,
disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan
penyakit ini di jepang pada tahun 1916. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi
sebagian besar berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia
pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.
Leptospirosis adalah zoonosis penting dengan penyebaran luas yang mempengaruhi
sedikitnya 160 spesies mamalia. Tikus, adalah reservoir yang paling penting, walaupun
mamalia liar yang lain yang sama dengan hewan peliharaan dan domestik dapat juga
membawa mikroorganisme ini. Leptospira meningkatkan hubungan simbiosis dengan
hostnya dan dapat menetap pada tubulus renal selama beberapa tahun.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi saat
musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur karena tanah
lembab dan bersifat alkalis.
Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus
leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak
beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah
diagnosis dan nonfatal.

31
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada
penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning,
risiko kematiannya lebih tinggi lagi.

Penularan
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan tanah, air, atau lumpur yang telah
terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi
jika terdapat luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat
yang terkontaminasi urine binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit
ini, bahkan air yang deras pun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat
gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira
di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit
yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi
mendapat penyakit ini adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan,
pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan, atau orang-orang yang mengadakan
perkemahan di hutan, dokter hewan.

Patogenesis
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah
dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon
imunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian
mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan di sana dan dilepaskan melalui
urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu
setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira
dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat
lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria
berlangsung 1-4 minggu.
Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis; invasi bakteri langsung, faktor
inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.

Patologi

32
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena
kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan anatara derajat
gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis
yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata
dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ.
Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan sel plasma. Pada
kasus yang erat terjadi kerusakan kapiler dengan pedarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak
dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia.
Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang
terjadi akibat komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ :
1. Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.
2. Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
3. Jantung
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat
fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.
Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan endokarditis.
4. Otot rangka

33
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan
kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung
leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Mata
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan
beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
6. Pembuluh darah
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan
serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit
7. Susunan saraf pusat
Leptospira mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan
terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada
saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme
imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuclear
arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering
disebabkan oleh L. canicola.

Weil Disease
Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai
perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, demam tipe kontinua, dan berkurangnya
kemampuan darah untuk membeku sehingga terjadi perdarahan dalam jaringan. Gejala awal
dari sindroma Weil lebih ringan dari leptospirosis.
Pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia. Pada kari ke-3 sampai hari ke-6, muncul
tanda-tanda kerusakan ginjal dan hati. Penderita akan merasakan sakit saat berkemih atau air
kemihnya berdarah. Kerusakan hati biasanya ringan dan akan sembuh total.
Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil
disease adalah serotipe icterohaemorragica, pernah juga dilaporkan oleh seotipe copenhageni
dan bataviae. Gambaran klinis berupa gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular.

Gambaran Klinis
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosos mempunyai
2 fase penyakit khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.
Manifestasi klinis yang sering terjadi ialah demam, menggigil, sakit kepala, meningismus,
anoreksia, mialgia, conjungtival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus,
hepatomegali, ruam kulit, fotofobia. Sedangkan manifestasi klinis yang jarang terjadi ialah
pneumonitis, hemoptoe, delirim, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal
ginjal, neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimitis, hematemesis, asites, miokarditis.

34
Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit
pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang diserai nyeri tekan. Mialgia
dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati
mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada
kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular, atau urtikaria. Kadang-
kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7
hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan
organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada
keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama
1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.

Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu
40°C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada
leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis,
gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia dan ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat
pada fase ikterik, purpura, ptekie, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi
perdarahan paling sering. Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus
merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis.
Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda
meningitis, tetapi pleiositosos pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda
meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2
hari. Pada fase ini leptospira dijumpai didalam urin.

35
PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN RADIOLOGI
Ditemukannya sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular) dan proteinuria
ringan pada leptospirosis anikterik menjadi gagal ginjal dan azotemia pada kasus yang berat.
Jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, jumlah leukosit
antara 3000-26000/μL, dengan pergeseran ke kiri; pada Weil’s sindrome, sering ditandai oleh
leukositosis. Trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% pasien dan dihubungkan dengan
gagal ginjal. Pada perbandingannya dengan hepatitis virus akut, leptospirosis memiliki
bilirubin dan alkali phospatase serum yang meningkat sama dengan peningkatan ringan dari
aminotransferase serum (sampai 200/ul). Pada Weil’s sindrome, protrombin time dapat
memanjang tetapi dapat dikoreksi dengan vitamin K. Kreatin phospokinase yang meningkat
pada 50 % pasien dengan leptospirosis selama minggu pertama perjalanan penyakit, dapat
membantu membedakannya dengan infeksi hepatitis virus.
Bila terjadi reaksi meningeal, awalnya terjadi predominasi leukosit polimorfonuklear dan
diikuti oleh peningkatan sel mononuklear. Konsentrasi protein pada LCS dapat meningkat
dan glukosa pada LCS normal.
Pada leptopirosis berat, lebih sering ditemukan abnormalitas gambaran radiologis paru
daripada berdasarkan pemeriksaan fisik berupa gambarab hemoragik alveolar yang menyebar.
Abnormalitas ini terjadi 3-9 hari setelah onset. Abnormalitas radiografi ini paling sering
terlihat pada lobus bawah paru.

Diagnosis
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit karena pasien biasanya datang meningitis,
hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui
asalnya dan diatesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang dengan pankreatitis. Pada
anamnesis penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok
risiko tinggi. Gejala atau keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala
terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal, atau sedikit
menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin
dijumpai proteinuria, leukosituria, dan cast. Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat
tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi
komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan
isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.

Kultur
Dengan mengambil specimen dari darah atau CSS selama 10 hari pertama perjalanan
penyakit. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil specimen pada fase
leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset
penyakit. Kadng-kadang kultur urin masih positif selama beberapa bulan atau tahun setelah
sakit. Untuk isolasi leptospira dari cairan atau jaringan tubuh, digunakan medium
Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris; atau medium Fletcher dan medium Korthof.
Spesimen dapat dikirim ke laboratorium untuk dikultur , karena leptospirosis dapat hidup

36
dalam heparin, EDTA atau sitrat sampai 11 hari. Pada specimen yang terkontaminasi,
inokulasi hewan dapat digunakan.

Serologi
Jenis uji serologi dapat dilihat pada table 3 pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira
dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaktion (PCR), silver stain,
atau fluroscent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap.

Jenis uji serologi pada Leptospirosis

Microscopic Agglutination Test (MAT) Macroscopic Slide AgglutinationTest (MSAT)


Uji carik celup : Enzyme linked immunosorbant assay
- Lepto Dipstick (ELISA)
- LeptoTek Lateral Flow Microcapsule agglutination test
Aglutinasi lateks kering Patoc-slide agglutination test (PSAT)
(LeptoTek Dry-Dot) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
Indirect Fluorescent antibody test (IFAT) Counter immune electrophoresis (CIE)
Indirect haemagglutination test (IHA)
Uji aglutinasi lateks
Complement fixation test (CFT)

DIAGNOSIS BANDING
Leptospirosis harus dibedakan dengan demam yang lain dihubungkan dengan sakit kepala
dan nyeri otot,seperti dengue, malaria, demam enterik, hepatitis virus, dan penyakit rickettsia.
* Dengue Fever * Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
* Hepatitis * Malaria
* Meningitis * Mononucleosis, influenza
* Enteric fever * Rickettsial disease
* Encephalitis * Primary HIV infection

Pengobatan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan
fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.(1)
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan, seperti : (1)
Pengobatan dan kemoprofilaksis leptospirosis
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 X 100 mg
Ampisilin 4 X 500-750 mg
Amoksisilin 4 X 500 mg
Leptospirosis sedang/berat Penisilin G 1,5 juta unit/ 6 jam (IV)
37
Ampisilin 1 gram/ 6 jam (IV)
Amoksisilin 1 gram/ 6 jam (IV)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/minggu

Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penicillin G, amoxiciliin, ampisilin
atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan
antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin.
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat
bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di dalam darah (fase leptospiraemia).
Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch- Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah
pemberian intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti-leptospira. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan
cairan, elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara
umum. Kalu terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis.
PROGNOSIS
Prognosis penderita dengan infeksi ringan sangat baik tetapi kasus yang lebih berat seringkali
lebih buruk. Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal, karena pada kasus dengan ikterus
angka kematian mencapai 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai
30-40%. Sedangkan leptospirosis selama kehamilan dapat meningkatkan mortalitas fetus.

Komplikasi
Komplikasi meliputi meningitis, fatigue berlebihan, gangguan pendengaran, distress respirasi,
azotemia, dan renal interstitial tubular necrosis yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal dan
kadang juga gagal hati. Bentuk berat dari penyakit ini disebut Weil’s disease. Masalah
kardiovascular juga dapat terjadi.
 Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6.
 Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
 Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang
dapat mengikabatkan kematian mendadak.
 Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
 Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran
pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
 Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.
Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes perantara
dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk
tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih
binatang reservoir. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk
mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang memiliki risiko tinggi dan terpapar
dalam waktu singkat. Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan Punama selama 3 minggu,

38
ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4-2% menjadi 0,2% san efikasi
pencegahan 95%.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama direkomendasikan, tetapi
vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Sementara itu, cara-cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat agar terhindar dari penyakit
ini, diantaranya:
 Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
 Mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan.
 Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya.
 Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis ( petugas kebersihan,
petani, petugas pemotong hewan dan lain lain ) dengan menggunakan sepatu bot dan
sarung tangan.
 Menjaga kebersihan lingkungan.
 Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah.
 Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
 Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung.
 Menghindari pencemaran oleh tikus.
 Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh tikus.
 Meningkatkan penangkapan tikus.

3. Weil’s Disease
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis
hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal
dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria penyakit Weil
tidak dapat didefinisikan dengan baik.
Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal
napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal.
Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap
kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian
sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia.

Diagnosa
Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat
penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Sebagai pemeriksaan penunjang, antara
lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk
mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit
39
dan akan menetap hingga minggu ketiga. Cairan tubuh lainnya yang mengandung Leptospira
adalah darah, serebrospinal, tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek. Selain
itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita,
misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan
membutuhkan waktu beberapa bulan.
Untuk menegakkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis.
Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis.
Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya
tidak sensitif. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic
agglutination test (MAT). Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk
mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara
spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis
yang parah. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira
pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen .

Pengobatan dan Pengendalian


Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik seperti doksisiklin, ampisillin,
atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan antibiotik antara
lain penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.
Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus
mewaspadai cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara
utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan
kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan
hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini.
Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu, para
peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak
perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama
sumber air.

40
41
VI. Kerangka Konsep
Musim Hujan Tn. Badu, 40 tahun Petani

L. interrogens masuk melalui kulit/mukosa yang intak

Leptosperonemia

endotoksin

Fosfolipase, Ureum meningkat, dan Inflamasi Hiperplasia dan hipertrofi sel kuffer, dan nekrosis sel
urinalisa protein +2 tubulus ginjal

TNF α, IL-1, IL6


RBC lisis Vaskulitis HR ↑ Gangguan pengeluaran bilirubin indirek
Kerusakan Demam
glomerulus ginjal Leukosit pada kontinu T0 ↑ Hepatomegali
Konjungtiva Hb turun, Perfusi Eksavasi Sel mual
berkurang (GGA) mata : uveitis
pucat
Dilatasi pada Potofobia
mata Pemfis abdomen
Jaundice
Sakit kepala Somnolen Hipovolemi Pada otot : nekrosis dan abnormal
vakualisasi miofibril
Mata merah BAK teh tua
CSF endotoksin Ginjal kompensasi
di otak Nyeri otot CPK
BAK meningkat
berkurang
Peningktan
BUN

Azotemia

42
VII. SINTESIS MASALAH
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans dan memiliki manifestasi klinis yang luas. Spektrum
klinis mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan,
leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus adalah
reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis lebih banyak ditemukan pada musim hujan.

Hasil Anamnesis (Subjektif)


Keluhan:
Demam disertai menggigil, sakit kepala, anoreksia, mialgia yang hebat pada betis disertai
nyeri tekan. Mual, fotofobia, penurunan kesadaran.

Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
1. Febris (39oC)
2. Ikterus (Sseluruh badan dan Sklera)
3. Nyeri tekan pada otot (Otot gastrocnemius)
4. Ruam kulit
5. Konjungtiva injeksi
6. Kaku kuduk sebagai tanda meningitis
7. Penurunan kesadaran

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-26000/μL, dengan pergeseran ke kiri,
trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% pasien dan dihubungkan dengan gagal
ginjal.
2. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular) dan proteinuria
ringan, jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat.

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis

43
Diagnosis dapat ditegakkan pada pasien dengan demam tiba-tiba, menggigil terdapat tanda
konjungtiva suffusion, sakit kepala, mialgia, ikterus dan nyeri tekan pada otot. Kemungkinan
tersebut meningkat jika ada riwayat bekerja atau terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi dengan kencing tikus.
Diagnosis Banding
1. Demam dengue,
2. Malaria,
3. Hepatitis virus,

Penatalaksanaan komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
1. Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.
2. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin. Pada kasus-kasus ringan dapat
diberikan antibiotik oral seperti doksisiklin, ampisilin, amoksisilin atau eritromisin. Pada
kasus leptospirosis berat diberikan dosis tinggi penisilin injeksi.

Komplikasi
1. Meningitis
2. Distress respirasi
3. Gagal ginjal karena renal interstitial tubular necrosis
4. Gagal hati
5. Gagal jantung

Konseling dan Edukasi


1. Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit, karena banyaknya hospes
perantara dan jenis serotipe. Bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular
leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih
binatang reservoir.
2. Keluarga harus melakukan pencegahan leptospirosis dengan menyimpan makanan dan
minuman dengan baik agar terhindar dari tikus, mencuci tangan dengan sabun sebelum

44
makan, mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang tercemar lainnya.

Prognosis
Prognosis jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya adalah dubia ad bonam.

Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke pelayanan sekunder (spesialis penyakit dalam) yang memiliki
fasilitas hemodialisa setelah penegakan diagnosis dan terapi awal.

45
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Tn. Badu 40 Tahun, pekerjaan petani sawah, dibawa ke IGD dengan penurunan
kesadaran karena Weil’s disease (leptospirosis berat).

46
DAFTAR PUSTAKA
Kozier, B., et al. (2004) Fundamental of Nursing: Concept, process, and practice. New Jersey
: Prentice Hall

Zein U. 2010. Leptospirosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Vol 3.5 th ed. Jakarta: Interna Publishing

Anonim. Leptospirosis, diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki pada tanggal 17-08-2017


pukul 07.00 WIB

Anonim. Leptopsirosis,diunduh dari http://medicastore.com/penyakit/Leptospirosis.html pada


tanggal 17-08-2017 pukul 07.00 WIB

Cunha, John P. Leptospirosis. http://www.medicinenet.com/leptospirosis/page2.htm pada


tanggal 17-08-2017 pukul 07.00 WIB

Dugdale, David C. Leptospirosis. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article pada


tanggal 17-08-2017 pukul 07.00 WIB

Muliawan, Sylvia Y. 2008. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia).
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Setiawan, I Made. 2008. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in Humans


volume.27- No.28. Universa Medicina

World Health Organization. 2003. Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance,
and control [internet]. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf

Shakinah, Sharifah. 2015. Leptospirosis dan Penyakit Weil’s. 25 (2): 49-52

Sumber: Francesco, Elizabeth De, Krasnalhia Livia Soares de Abreu, dan Geraldo Bezerra da
Silva Junior. 2010. J Bras Nefrol. 32 (4): 400-407.

Anonim, 2005, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, FK UI. Jakarta. Hal 1845-1848.

Hauser, Kasper et al, 2005, Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 editions, Mc Graw
Hill. New York. Page 988-990.

Kayser, et al, 2005, Medical Microbiology, thieme. Page 328-330.

47
Sandra, Gompf, 2008, Leptospirosis, last up date August, 11, 2008. Download from
www.emedicine.com/leptospirosis.html.

Human Leptospirosis : Guidance for Diagnosis, Surveillans and Control. WHO and
International Leptospirosis Society 2003.

48

Anda mungkin juga menyukai