Anda di halaman 1dari 13

Kompas Online, 12 Juli 2000

PENGOBATAN GANGGUAN PSIKOSOMATIS

Pengobatan gangguan psikosomatik pada dasarnya harus dilakukan dengan beberapa cara
dengan mempertimbangkan pengobatan somatis (berorientasi pada organ tubuh yang
mengalami gangguan), pengobatan secara psikologis (psikoterapi dan sosioterapi) serta
psikofarmakoterapi (penggunaan obat-obatan yang berhubungan dengan psikologi). Metode
mana yang kemudian dipilih oleh dokter sangat tergantung pada jenis kasus dan faktor-faktor yang
terkait dengannya.

Seringkali pengobatan psikosomatis hanya bersifat simptomatis (berdasarkan gejala yang timbul),
sehingga penyakit ini sering berulang dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Hal ini dapat terjadi
karena sebenarnya etiologi utama dari penyakit ini belum diketahui atau tidak dicari dan terlebih
karena memang terdiri dari banyak faktor yang saling terkait (khususnya faktor psikologis). Memang
pada kasus-kasus yang berat, gejala penyakit akan hilang dengan pemberian obat-obat simptomatis
karena gangguan psikologis sudah berkembang sehingga penyakit somatis (penyakit yang didasari
oleh adanya gangguan pada organ tubuh) yang lebih mendominasi.

Pada kasus tahap awal, biasanya pengobatan hanya ditujukan kepada faktor somatis (fisik).
Hal ini dapat menyebabkan penyakit timbul kembali dan yang lebih parah akan menurunkan
kepercayaan pasien akan kemungkinan penyakitnya sembuh yang sebenarnya akan memperparah
kelainan psikosomatiknya sendiri. Akan tetapi memang agak sulit untuk membedakannya dengan
gangguan psikosomatis sehingga baru dapat dibedakan bila kejadiannya telah berulang. Disinilah
perlunya psikoterapi sebagai pendamping terapi somatik.

Sebagaimana telah sering diuraikan, hubungan antara penyakit somatik dan kondisi psikologis
seseorang sangatlah erat sehingga dapat memungkinkan terjadinya interaksi antara keduanya.
Masalah yang menyebabkan seseorang datang ke dokter yang berhubungan dengan kondisi
psikologisnya dapat berhubungan dengan dua hal, yaitu masalah yang tampaknya berhubungan
dengan masalah pasien di masa lalu atau masalah yang tampaknya berasal dari stres dan tekanan
masa sekarang yang melebihi pengendalian sadar pasien. Atau dapat pula terjadi kombinasi dari
kedua masalah tersebut. Psikoterapi bertujuan untuk menggali masalah-masalah psikologis
yang tersembunyi pada pasien dengan harapan setelah masalah-masalah tersebut
disingkirkan, keluhan fisik pasien dapat turut hilang.

Pada keadaan tertentu dimana terapi somatik dan psikoterapi telah dilakukan tetapi penyakit masih
menetap atau terus berulang perlu dipertimbangkan penggunaan psikofarmaka (obat-obat yang biasa
digunakan dalam bidang psikologi) karena mungkin gangguan psikologis yang diderita berhubungan
dengan kondisi kimiawi di otak yang mengalami ketidakseimbangan.

Obat-obatan ini (Psikofarmaka) bekerja pada gangguan psikosomatik dengan mempengaruhi afek
(perasaan) dan emosi serta fungsi vegetatif yang berkaitan. Terapi jenis ini dapat didefinisikan
sebagai suatu usaha untuk mengobati atau mengoreksi perilaku, pikiran, atau mood
(keinginan) yang mengalami gangguan akibat perubahan zat kimia atau cara fisik lainnya.
Hubungan antara keadaan fisik tubuh dengan otak pada satu sisi dan pengaruhnya pada sisi lain
sangatlah kompleks dan belumlah dimengerti seluruhnya. Tetapi berbagai parameter normal dan
abnormal seperti persepsi, perasaan dan kognisi (kemampuan berfikir) mungkin dipengaruhi oleh
adanya perubahan fisik dalam sistem saraf pusat walaupun dalam jumlah sangat minimal.

Karena tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan gangguan yang mempengaruhinya, terapi
obat gangguan mental adalah bersifat empiris (bukti yang didapatkan setelah pemberian obat).
Namun demikian, banyak terapi organik yang langsung memperbaiki kelainan pada otak telah
terbukti sangat efektif dan merupakan terapi pilihan untuk kondisi tertentu.

Pada dasarnya psikofarmaka bekerja lebih intensif pada penyakit psikosomatik daripada obat lokal
simtomatis tetapi kurang spesifik dibanding obat tersebut karena pada umumnya tidak
mempengaruhi faktor etiologisnya.

Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah Obat Tidur, Obat Penenang,
dan Antidepresan. Penggunaan jenis obat ini perlu pengawasan yang ketat karena seringkali
menimbulkan efek samping seperti ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan
keracunan obat, depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan
psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan). (Adi)
Tempo Interaktif, 8 Agustus 2001

SOMATISASI Gejalanya ada dan cukup mengganggu, seperti


sakit kepala, sesak napas, nyeri dada, nyeri
HARUS punggung, insomnia, tapi biasanya dokter tak
menemukan penyakitnya. Kalau demikian
DISEMBUHKAN Anda menderita apa yang disebut somatisasi,
SENDIRI dan hanya diri sendiri yang bisa
menyembuhkannya.

Dalam beberapa bulan ini hampir setiap


bulan Sally (29) menemui dokter. Ia khawatir
hal terburuk terjadi pada dirinya, kanker.
Betapa tidak? Konsultan komputer yang
tinggal di Atlanta, AS, ini sudah lebih dari tiga
tahun menderita sakit perut kronis dan sakit
kepala. Anehnya, dokter belum juga
menemukan penyakit yang dideritanya.
Karena itu ia setuju dilakukan serangkaian
pemeriksaan sekali lagi.

Dengan gugup Sally meremas-remas tisu di


tangannya sambil menantikan vonis dokter.
Tapi ternyata pemeriksaan menunjukkan hasil
negatif. Hal yang semestinya menggembirakan itu justru mengesalkan karena
berarti penderitaannya masih akan berlanjut. "Kami tak menemukan penyakit
Anda. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Anda benar-benar sehat," kata dokter itu
sambil menaruh berkas laporan itu di meja kerjanya.

Setengah putus asa seminggu kemudian, Sally menemui dokter lain. Kali ini
masih tentang penyakit "aneh"nya yang tak kunjung sembuh itu. Oleh dokter
yang terakhir ini ia dinyatakan menderita somatisasi, yaitu manifestasi
penderitaan emosional dalam bentuk gejala fisik yang tidak jelas. Kondisi aneh
yang membikin frustrasi dokter dan pasien. Tak terhitung berapa juta biaya
dihabiskan untuk ke dokter, pelbagai pemeriksaan dan pengobatan yang
akhirnya tidak manjur itu. Syukur, telah ditemukan cara efektif untuk
menanggulangi dan meringankan derita akibat somatisasi.

Tak berbahaya tapi mencemaskan


"Somatisasi sebenarnya merupakan proses normal lantaran derita emosional
terwujud menjadi gejala-gejala fisik," jelas Steven Locke, MD, kepala bagian
medis Harvard Pilgrim Health Care, lembaga perawatan kesehatan terbesar di
New England, AS. Gejalanya berkisar dari yang wajar-wajar saja, seperti muka
memerah, sampai yang menakutkan, seperti nyeri dada yang hebat.

Tingkatan manifestasi somatisasi ini pun ada bermacam-macam. Beberapa


orang hanya mengalami sedikit gejala, sementara yang lainnya banyak.

"Bila gejalanya ringan-ringan saja, somatisasi sebenarnya tidak berbahaya,"


lanjut Locke. "Bukankah kita semua pernah mengalami derita emosional
dengan gejala fisik, seperti sakit kepala? Bedanya, pada penderita somatisasi
ekstrim, gejala fisik itu dapat sampai berpengaruh terhadap seluruh aspek
kehidupannya."

Untuk memahami somatisasi secara benar, harus dimengerti hubungan antara


perasaan (emosi), tingkah laku, dan gejala fisik awal. Pikiran dan tubuh,
merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Tidak ada emosi yang dialami tanpa
ditemani manifestasi fisik dari emosi itu. Demikian juga tidak akan ada sensasi
fisik tanpa adanya manifestasi emosional dari pengalaman fisik itu. Jadi,
mereka saling berhubungan dan tidak mungkin dipisahkan. Akibatnya, pada
saat seseorang mengalami penderitaan secara emosional, semisal pertengkaran
atau permusuhan, tidak puas terhadap diri sendiri, kekecewaan atau kehilangan
seseorang tanpa dukungan dari lingkaran terdekatnya, maka semua itu akan
termanifestasi di badan dengan berbagai macam gejala.

Menurut Kurt Kroenke, MD, guru besar ilmu kedokteran di Indiana University
School of Medicine, sekaligus peneliti somatisasi, gejala tak jelas yang dialami
oleh penderita penyakit ini meliputi banyak hal. Misal, nyeri dada, pening, sakit
kepala, sakit punggung, sesak napas, insomnia, sakit pada bagian perut, mati
rasa dan perih, sembelit, serta letih.

Ada banyak faktor yang berkaitan dengan gangguan somatisasi. Yang menarik,
sekitar separuh dari pasien mengalami kecemasan atau depresi, meskipun
umumnya dapat ditanggulangi sehingga gejala-gejalanya dapat dikurangi.
Uniknya, gejala somatisasi cenderung dialami para wanita daripada kaum pria.
Bahkan hasil penelitian menunjukkan, pasien wanita pada umumnya pernah
mengalami pelecehan fisik atau seksual. Faktor umum lain, kondisi keluarga
yang berantakan.

Somatisasi juga cenderung dialami sejak usia muda. Gejalanya mulai muncul
ketika pasien berusia kurang dari 30 tahun. "Kalau gejala fisik yang tidak jelas
itu baru muncul di usia 50 atau 60 tahun, kecil sekali kemungkinan itu kasus
somatisasi. Dalam kasus seperti itu, dokter mesti mencari kemungkinan adanya
gangguan depresi atau kecemasan," jelas Kroenke.

Metode pertolongan diri


Ada beberapa metode untuk membantu penderita somatisasi. Salah satunya
yang berhasil adalah yang diselenggarakan Personal Health Improvement
Program, yang diadakan Harvard Pilgrim Health Care selama enam minggu.

Kursus itu mengajarkan beberapa kecakapan, terutama bagaimana mengamati


sensasi dalam tubuh dan pikiran, serta perasaan yang muncul, tanpa terburu-
buru menduga penyebabnya.

"Dengan sikap netral, mereka bisa lebih menghayati pengalaman itu. Selesai
berlatih selama periode itu, orang jadi meningkat kesadarannya terhadap
somatisasi dan dapat menanggulanginya sebelum gejala itu menyebabkan
penyakit betulan," kata Locke.

Dalam program itu pasien juga belajar menangani permintaan dan janji,
termasuk tega menolak permintaan bila memang tak dapat memenuhinya. Ini
untuk menghindari beban janji itu kelak yang bisa menimbulkan juga rasa
kesal. "Hidup itu penuh dengan permintaan, janji, dan penolakan. Kita perlu
belajar bagaimana mengkomunikasikan permintaan, apakah kita sebagai pihak
penerima atau pemberi, supaya relasi kita dengan orang lain terpelihara baik.
Yang penting, jangan sampai kita 'tertimbun' oleh beban janji yang tidak dapat
dipenuhi atau kekesalan yang menumpuk," jelas Locke.

Personal Health Improvement Program memiliki tingkat keberhasilan yang


sangat baik. Hasil pengamatan terhadap penderita selama setahun,
menunjukkan penurunan angka kunjungan dokter 50% bagi penderita yang
melaksanakan program itu. Malah pada kasus-kasus yang berat, kunjungan ke
dokter berkurang sampai dua pertiganya saja. Selain menurunkan kadar
somatisasi, depresi, dan kecemasan, fungsi kemasyarakatan para penderita juga
meningkat.

Kalau program pertolongan diri sendiri, semacam Personal Health


Improvement Program tidak tersedia di sekitar kita, berikut ini tip yang
barangkali bisa membantu.

o Cari dokter yang serius menangani Anda dan gejala-gejala yang Anda
alami. Artinya dokter yang mau mendengarkan keluhan pasien, tanpa
cepat-cepat merekomendasikan pelbagai pemeriksaan. "Saya anjurkan
dokter umum atau dokter keluarga saja, bukan spesialis," kata Kroenke.
o Jangan mengharapkan kesembuhan secara cepat. Mungkin dokter perlu
waktu 6 - 12 bulan untuk sungguh-sungguh memahami riwayat dan
gejalanya. Periksakan diri terhadap gangguan depresi atau kecemasan.
Obat depresi banyak mengurangi gejala somatisasi.
o Jangan biarkan gejala gangguan somatisasi sampai melumpuhkan
aktivitas karena malah akan semakin memperburuk kondisi kita.
Usahakan sedapat mungkin untuk mempertahankan gaya hidup normal,
baik dalam pekerjaan maupun kehidupan keluarga. Jika penderita
mencoba melakukan aktivitas seperti biasa, lama-kelamaan gejala itu
akan cenderung berkurang.
o Buatlah buku harian untuk mencatat gejala-gejala yang timbul. Catat
apa yang sedang Anda lakukan dan rasakan saat gejala-gejala tersebut
menyerang. Catatan ini akan memberikan wawasan mendalam tentang
penyebab somatisasi dan berguna untuk mengambil langkah yang lebih
baik, saat gejala itu muncul lagi.
o Tiap hari sisihkan waktu untuk menenangkan pikiran dan bermeditasi.
"Ini akan membantu mengenali dan memunculkan perasaan yang
terpendam," jelas Locke. Perasaan yang selama ini ditekan sehingga
tidak disadari dapat muncul ke permukaan. Sesungguhnya, mengakrabi
suasana jiwa, perasaan dan pikiran sendiri yang biasanya tidak disadari
adalah proses yang alami. Dengan cara ini, pemecahan persoalan dapat
diperoleh tanpa harus mengakibatkan gangguan somatik.
o Olahraga secara teratur mampu mengurangi stres dan juga
menyehatkan. Semisal jalan-jalan sekitar tempat tinggal kita atau
olahraga seperti tenis. Tentu saja olah raga perlu diatur sesuai usia dan
kondisi fisik.
o Perhatikan menu makanan sehari-hari. Kafein, misalnya, dapat
menyebabkan serangan panik, yang kemudian dapat menimbulkan
sesak napas, berdebar-debar, dan sakit dada. "Penderita somatisasi mesti
mempertimbangkan kembali menu mereka, kalau perlu
membicarakannya dengan ahli gizi, siapa tahu ada bahan makanan yang
bisa memicu timbulnya gejala," saran Locke.
o Jika banyak mengalami masalah dalam pergaulan, cari kursus yang
mengajarkan cara-cara efektif untuk mengenali diri dan ketrampilan
berkomunikasi. Kurang bisa berkomunikasi dengan baik mengakibatkan
stres, yang dapat termanifestasi pada berbagai macam gejala.
o Sadarilah bahwa selalu ada yang tidak dapat diubah dalam hidup. "Ini
kebijaksanaan yang kami ajarkan," ujar Marcia Orlowski, manager
pelatihan dan pengembangan klien dengan Harvard Pilgrim Health
Care's Personal Health Improvement Program. Karena itu apa gunanya
memikirkan hal tersebut? Ironisnya, "Banyak orang stres berat karena
memikirkan hal-hal di luar kekuasaan mereka," tambah Orlowski.

o Bersedia memaafkan, baik diri sendiri maupun orang lain. Ini


memungkinkan kita bergerak ke hal lain dalam hidup dan tidak terpaku
merenungi, menyesali, kesal tentang suatu kejadian. (Don
Vaughan/Rye)

Kompas Cyber Media, 3 Mei 2002


HUBUNGAN ANTARA ORANG TUA,
GURU DAN MURID
Hubungan orang tua dan anak pada masa pra sekolah, sebelum masuk sekolah, biasanya
tidak ada masalah. Ada beberapa kasus yang melaporkan bahwa anaknya sudah
memberikan tanda-tanda hyperactive. Tetapi umumnya orang tua masih memiliki
toleransi yang tinggi, karena anak tersebut pada waktu itu sedang lucu-lucunya. Masalah
baru dirasakan atau baru menjadi masalah ketika anak sudah duduk di bangku sekolah.
Saat ini hubungan telah menjadi hubungan segi tiga yaitu orang tua, guru dan anak.

Mengapa anak saya tidak dapat mengikuti pelajaran seperti


anak-anak yang lain?
Persoalan kesulitan belajar pada masa kanak-kanak merupakan hal yang sering dihadapi
orang tua dan guru. Sukar menangkap pelajaran, cepat lupa bila diajarkan
sesuatu, tidak dapat konsentrasi, tidak mengerti huruf, sukar membaca dan
menulis, sukar dalam berhitung, dsb., merupakan keluhan yang sering kita
dengar.

Apakah yang menyebabkannya? Berdasarkan pengalaman,


dapat dikatakan a.l.:
1. Faktor-faktor yang sering ditemukan dalam lingkungan pendidikan di rumah atau
di sekolah (Cara pendidikan yang salah).
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kurang masaknya anak untuk belajar.
4. Faktor-faktor kejiwaan (Emosional Problem).

Tetapi sayang tidak semua orang tua dan guru dapat menginsyafi hal ini dan anaklah yang
selalu dianggap bersalah.

Cara mengatasinya?
 Mempelajari problema-problema sekitar pendidikan anak terutama yang
berhubungan dengan kesukaran belajar.
 Memberi bantuan secara pedagogis dan didaktis kepada anak.
 Mengembangkan pemikiran/pengertian dari pada pendidik terutama
guru-guru kearah sbb:
1. Bahwa pengertian pendidikan dan pengajaran yang mula-mula
hanya ditujukan kepada pembentukan intelektual, terus
berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, dimana
pembentukan kepribadian mempunyai tempat yang sentral.
2. Hubungan guru dan murid hendaknya diwarnai oleh rasa sayang
dan kagum. Karena anak sayang dan kagum, maka ia mau
mendengar, menurut dan mengerjakan apa yang ditugaskan
gurunya.
3. Disiplin yang terlalu kaku dan keras, atau sebaliknya, dan disiplin
yang tidak konsisten, tidak akan menghasilkan kemantapan
disiplin dalam diri anak-anak.

Sehubungan dengan apa yang dikatakan di atas dapat ditambahkan bahwa anak belum
dapat berbuat seperti orang dewasa, yaitu menilai orang lain menurut
kebutuhannya. Misalnya, orang dewasa dapat mengatakan : "Saya dapat
menghargai dia sebagai guru, ia adalah orang yang keras, tetapi saya belajar
banyak dari dia. Meskipun sebagai pribadi saya benci kepadanya." Tetapi
"anak" belum dapat membedakan seseorang sebagai guru dan sebagai pribadi.
Jika anak tidak menyukai gurunya sebagai pribadi maka ia juga tidak mau
menerima pelajaran yang diberikan gurunya tersebut. Karena seorang anak
masih terpaut pada suatu totalitas secara emosional. Oleh karena itu hubungan
antara anak dan guru dan orang tua merupakan faktor yang amat penting yang
dapat mempengaruhi prestasi anak.

Orang tua dan guru yang memahami perkembangan anak


akan mampu melihat anak secara lebih bijaksana.
Mereka akan menghadapi anak sebagai individu yang sedang berkembang, yang berarti
bahwa mereka tidak melihat anak sebagai produk akhir atau sebagai miniatur
orang dewasa (orang dewasa yang kecil). Karena pengertian kedua pihak
tersebut yaitu guru dan orang tua, mengenai hakekat anak yaitu sifat-sifat,
kemampuan dan keterbatasan anak, diharapkan akan ada sesuatu keserasian
antara cara-cara orang tua mendidik anaknya di rumah dan cara-cara guru
menghadapi anak di sekolah. Dengan demikian proses belajar diharapkan dapat
lebih lancar dan kesulitan belajar dapat dicegah.

Suatu kenyataan yang harus diakui bahwa pada masa kini sering dijumpai kelas-kelas
yang besar dengan jumlah murid 40 atau lebih, sehingga sukar sekali memupuk
relasi yang baik antara guru dan murid. Usaha-usaha ke arah relasi yang baik
antara guru dan murid harus diprioritaskan dan dihargai. Perlu diadakan
pemeriksaan terhadap segenap situasi dari anak, karena masih sering terdapat
anak-anak dengan kesulitan belajar dipandang dari sudut prasangka tertentu,
misalnya: dikatakan bahwa segala kesukaran disebabkan oleh gangguan-
gangguan emosional. Sehingga komplikasi-komplikasi yang bersifat pedagogis-
didaktis tidak dihiraukan. Atau kesukaran belajar hanya ditinjau dari sudut
inteligensi tanpa melihat adanya pengaruh dari akibat-akibat somatis, neuro-
psikologis atau lainnya. Oleh karena itu untuk memeriksa serta memberi
bantuan yang baik terhadap anak dengan kesulitan belajar diperlukan suatu team
work antara psikolog, neurolog, psikiater, orthopaedagog, social worker, supaya
tidak ada penilaian yang diambil dari satu sudut.

PENGALAMAN I
Pada suatu hari sepasang suami istri datang ke rumah kami membawa putranya berumur
4 tahun yang baru mau masuk TK B. Kiki namanya. Ibunya menceritakan bahwa ketika
penerimaan murid baru, Kiki di tes, diberi beberapa pertanyaan dan tugas sederhana oleh
Kepala Sekolah TK tersebut. Tetapi Kiki diam saja tidak mau menjawab atau melakukan
sesuatu yang diperintahkan kepadanya. Hal ini berulang kali dilakukan tetapi Kiki tetap
diam saja. Dari wajahnya tampak bahwa Kiki takut sekali, ia selalu memegang baju
ibunya. OLeh Kepala Sekolah disarankan agar Kiki dibawa ke Unit Kelas Khusus untuk
diobservasi dan dinilai, apakah Kiki bisa mengikuti pelajaran di TK atau tidak.

Kedua orang tua Kiki bekerja, ia di titipkan pada Omanya, baru pada sore hari ketika
orang tuanya pulang kantor, Kiki diajak pulang. Tampak dari wajah ibu Kiki, ia kecewa
sekali apabila Kiki tidak dapat diterima di TK tersebut, sebab rumah Kiki dan TK tsb
seberang menyeberang. Mereka mohon supaya kami dapat menolong anaknya dan
berjanji akan berbuat apa saja yang diajarkan oleh kami untuk kemajuan Kiki.
Pendekatan pertama yang dilakukan ialah dengan menghampiri Kiki dan duduk di
sebelahnya sambil mengelus-elus kepalanya. Saya berusaha mengagumi apa yang saya
lihat dari anak itu. Kemudian saya berkata: "Aduh, bagus ya sepatunya! Eeee celananya
koq ada gambar, gambar apa nih?" Kiki mulai memandang saya dan mulai
menjawabnya: "Mobil". "Oh, ya, ini mobil apa sih?". "Mobil balap", jawabnya. Dalam
hati saya mulai berkata, wah lumayan mau bicara. Lalu saya mulai bertanya lagi: "Ibu
lupa namanya, siapa sih?". (Sambil menepuk-nepuk dada anak itu). "Kiki", jawabnya.
Saya lanjutkan lagi bertanya: "Tadi Kiki kemari naik apa?". "Naik mobil", jawabnya.
"Mobilnya merk apa?". "Toyota DX", jawabnya pula. "Warna mobilnya apa?". ""Biru",
katanya. "Mau tidak Kiki datang lagi ke rumah ibu?". "Mau", katanya.

Kedua orang tua Kiki tersenyum gembira sambil mengangguk-anggukan kepalanya


mendengar dialog kami tadi. Sejak itu, mulailah kami menyusun rencana untuk
menimbulkan motivasi sebagai persiapan sekolah. Motorik halus dan kasarnya jelek
sekali. Tidak dapat memegang pinsil dengan baik. Mewarnai, menggunting dan
menempel juga jelek sekali. Menulis angka belum bisa, pengenalan akan lambang
bilangan juga belum tahu. Ibu Kiki berusaha keras untuk melakukan apa yang saya
ajarkan kepada Kiki juga diajarkan di rumah. Kami hargai sekali kesabaran dan
ketekunan ibu ini. Atas kerja sama yang baik antara saya dan orang tua Kiki dan setelah
berlangsung kurang lebih satu tahun terjadi perubahan yang besar sekali. Perbandingan
pekerjaan pada saat permulaan dan pada saat kini dapat dilihat di Unit Kelas Khusus.
Sekarang Kiki yang baru duduk di TK B sudah dapat membaca, dikte dan matematika
dengan baik sekali. Jadi kunci dari keberhasilan di atas ialah kasih sayang dan rasa
kagum pada anak, akan membuat anak tersebut mau menurut dan mengerjakan
apa saja yang ditugaskan oleh gurunya.
PENGALAMAN II (Lingkungan keluarga - pendidikan
yang salah)
Seorang siswa berusia 7 tahun, wanita, dengan gejala utama yaitu tidak bisa tertawa.
Penampilan anak ini membangkitkan rasa kasihan. Ada suatu yang menekan jiwa anak ini
tetapi anak seusia itu tidak dapat menjabarkan perasaannya. Daya (bukan nama
sebenarnya) datang diantarkan oleh tantenya. Menurut cerita tantenya, ayah Daya seorang
yang keras dan disiplin yang tidak pada tempatnya. Segala yang dikatakan oleh ayahnya,
entah itu betul atau salah harus diturut oleh seluruh isi rumah tersebut. Ia seorang
pengusaha yang berhasil. Tantenya ingin supaya Daya dapat seperti anak-anak lainnya,
riang gembira.

Ketika Daya masuk TK B perkembangan di sekolah baik sekali. Seperti anak lain, Daya
adalah anak yang periang dan banyak bertanya, segala apa yang dilihatnya selalu ditanya,
apa ini, mengapa begitu, dsb. Pada suatu hari dia melihat sebuah majalah yang penuh
dengan gambar-gambar. Karena banyak diantara gambar-gambar tersebut dia tidak
mengerti maka dia menghampiri ayahnya yang pada waktu itu baru mulai istirahat sambil
membaca koran. Daya menunjukkan gambar-gambar yang ia ingin minta penjelasan lebih
lanjut. Oleh ayahnya hanya dijawab: "Pergi tanya pada Tante". Daya masih saja bertanya
dan ia tidak mau pindah tempat. Daya tetap duduk di sebelah ayahnya sambil terus
merengek bertanya nih apa, ini kenapa, Pa ini koq begini, dsb. Akhirnya ayah Daya kesal
dan Daya dibentak, keras sekali suaranya, membuat anak ini lompat sampai terkencing-
kencing karena takut dan terkejut mendengar suara ayahnya. "Awas, ya kalau tanya-
tanya lagi. Kalau di sekolah juga kamu harus diam, tidak boleh banyak bicara". Kata-
kata itu keluar seenaknya saja dari mulut ayahnya.

Tanpa disadari Daya sekarang menjadi anak yang pendiam dan pemurung, selalu tampak
ketakutan dan ragu-ragu dalam bertindak. Hal ini terus berjalan, sampai akhirnya ketika
Daya telah duduk di kelas II. Prestasi belajarnya terus menurun, tidak mau bergaul
dengan teman-teman lain, selalu ragu-ragu dalam mengerjakan sesuatu. Daya dibawa atas
insiatif tantenya yang ingin melihat keponakannya itu seperti anak-anak lainnya. Dua kali
seminggu dia datang untuk terapi. Mula-mula tidak banyak bicara. Kalau ditanya hanya
mengangguk saja atau mengelengkan kepalanya, kadang-kadang tidak ada reaksi apa-
apa. Selang sebulan lamanya proses terapi, mulai timbul kebutuhan untuk datang ke
rumah Daya (home-visit), ingin berkenalan langsung dengan ke dua orang tuanya.

Rumahnya mewah sekali, penyambutannya kaku, tidak ramah dan saya dipersilahkan
menunggu. Keseluruhan ruangan tampak rapih sekali, semuanya memberikan suasana
yang sunyi dan dingin, padahal keluarga ini mempunyai anak kecil. Kedatangan saya
yang pertama disusul dengan dengan yang ke dua, tidak membawa hasil apa-apa. Tetapi
saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Daya. Ibu Daya tampaknya juga merasa
tertekan seperti anaknya. Saya terus melanjutkan terapi saya sambil memberikan
bimbingan kepada tantenya mengenai apa saja yang harus dilakukannya di rumah.
Pada suatu hari ibu Daya datang ke rumah saya dan sedikit demi sedikit mulai bertanya,
kelihatannya sangat hati-hati sekali. Ini suatu tanda yang baik bahwa beliau mulai terbuka
dan menerima keadaan anaknya serta menjalankan petunjuk-petunjuk yang diberikan.
Selanjutnya, karena ibu Daya sudah dekat dengan saya maka dia pernah bertanya: "Bu
Nita, bagaimana merubah seseorang yang kami cintai?" Dalam hati saya berkata: "nah,
inilah yang kami cari". Lalu saya katakan kepadanya agar meminta kepada Tuhan agar
kita diberi kekuatan, kesabaran dan kehalusan budi dalam mendampingi suami kita.
Bawakanlah hal ini setiap saat pada waktu berdoa. Ibu itu mulai menitikkan air matanya,
ia menyatakan bahwa selama ini ia memang tidak mengikut sertakan Tuhan di dalam
kehidupannya. Akibatnya ia selalu tegang dan hampa walaupun dalam hal materi sangat
berkecukupan.

Di dalam doa saya, juga Daya dan orang tuanya selalu diikut sertakan, mohon kepada
Tuhan agar kami diberi petunjuk bagaimana mengubah ayah Daya. Hubungan dengan ibu
Daya makin lama makin akrab dan surprise suatu hari ayah dan ibu Daya datang berdua.
Saya terkejut sekali dan mempersilahkan mereka duduk tetapi ayah Daya tidak mau
duduk malahan melihat sekeliling rumah saya yang berantakan bekas kertas coret-
coretan, sisa-sia kerta lipat, guntingan-guntingan bekas menempel. Dia melihat masih ada
dua anak yang belum dijemput, mereka sedang menggambar, menggunting-gunting. Dari
wajah anak-anak ini tampak gembira sekali, tidak ada rasa takut, anak-anak ini sangat
intim hubungannya dengan saya. Sesekali anak-anak itu menghampiri saya dan
menyandarkan dirinya kepada saya, sambil mengatakan: "Bu, Bu, saya bisa Bu". Kata
"saya bisa" inilah membuat anak-anak ini gembira termasuk saya.

Saya katakan kepada ke dua orang tua Daya bahwa saya juga ingin pada suatu hari
mendengar Daya berkata demikian. Rupanya ayah Daya memperhatikan suasana rumah
saya, hubungan saya dengan anak-anak serta dialog-dialog anak-anak dengan saya.
Ketika saya menoleh ke ayah Daya, saya melihat matanya berkaca- kaca, dengan
tersendat dia mengeluarkan perkataan yang tidak begitu jelas kepada isterinya. "Maafkan
saya, selama ini saya telah melakukan yang salah terhadap kamu dan anak-anak".
Suasana pada waktu itu begitu mengharukan dan kami bertiga lalu menundukkan
kepala berdoa bersama. "Ya Tuhan, Engkau maha pemurah, maha pengasih dan
maha penyayang. Engkau telah merubah hati dan pikiran kami. Kami mohon Tuhan
untuk selanjutnya Engkau yang memberikan akal budi dan kebijaksanaan dalam
mendidik anak- anak kami".

Sesudah kejadian itu perubahan pada Daya banyak sekali. Baik sikap maupun prestasi
belajarnya di sekolah. Suatu hari ia bercerita bahwa tadi malam ia tidur bersama-sama
ayahnya. Kami sungguh bahagia dibuatnya.

Jadi kita dapat merubah seseorang anak yang sudah dicap bodoh, malas, tidak
dapat mengikuti pelajaran disekolah, nakal dsbnya kalau kita mengetahui latar
belakang anak tersebut.
PENGALAMAN III
Putra dari ayah seorang dokter dan ibu seorang insinjur yang sudah terlampau
menyulitkan. Tentu mengherankan bahwa putra seorang yang berpendidikan tinggi tidak
mengenal sopan santum. Perkataan yang keluar dari anak ini kasar, jorok dan suka
menyakitkan. Kedua orang tuanya hampir putus asa menghadapi tingkah laku anaknya itu
baik di rumah maupun di sekolah.

Tentu saja prestasi belajar anak ini buruk sekali dan selalu membuat keributan dimana dia
berada. Dia duduk di kelas V, umurnya 12 tahun, namanya Doni (bukan nama
sebenarnya). Lama saya bercakap-cakap dengan Doni, sehingga akhirnya rahasia
keluarganya terungkapkan. Ditanya: "Di rumah dengan siapa?". "Sendirian saja". Jadi
ayah dan ibu sangat sibuk, tidak pernah bertemu dan bercakap-cakap dengannya, tidak
punya waktu sedikitpun untuk puteranya itu. Bagaimana caranya menyembuhkan anak
yang sukar dididik? Penemuan ini merupakan hasil yang lama sekali, kita harus
memperhatikan betul-betul segala sesuatu yang berhubungan dengan anak tersebut.
Untuk menemukan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seorang anak adalah tidak
mudah dan membutuhkan waktu. Tuhan itu maha kasih, saya rasakan betul hal itu.

Tanpa saya sadari suatu metode yang saya terapkan mampu membuka hati dan pikiran
anak-anak yang saya hadapi. Sekali lagi kasih sayang yang pertama-tama kita harus
berikan kepada anak didik kita. Kasih sayang ini tidak sia-sia karena ia akan membalas
kita, ia memberikan respons. Kasih sayang itu mengandung kesabaran dan keiklasan
yang tidak ada taranya sehingga tidak terasa bahwa kita telah melakukan sesuatu yang
sungguh menakjubkan yaitu anak tersebut berubah. Sikap kita yang demikian merupakan
budi pekerti tersendiri, hanya tidak diberikan dengan cara seperti kita mengajar di kelas.

Pendekatan selalu saya lakukan melalui pengajaran agama dan membawakannya harus
pandai, harus dapat mencekam jiwa anak. Juga penting seorang guru mengetahui dan
mengerti sedikit Moment Psychology. Biasanya anak yang pernah mendapat nilai baik
pada pelajaran yang ia senangi, ia berkeinginan pula untuk mendapatkan nilai yang baik
pada pelajaran yang ia benci atau sukar baginya. Suatu hari Doni bertanya: "Bagaimana
ya Bu supaya bisa membuat Matematika yang sudah saya benci sekali." "Di rumah
Mama enggak pernah perduli, apalagi papa, begitu juga guru lesnya kaya begitu. Lama-
lama saya sebel nih". "Mari kita latihan", kata saya. "Kita ulangi lagi satu jenis hitungan
sampai bisa, paling tidak sudah punya bayangan". Mengulang suatu jenis hitungan atau
pelajaran lain adalah latihan sabar, disiplin dan iklas. Agamanya? Kita mengajar anak
supaya ia minta kepada Tuhan, supaya Tuhan memberikan kepadanya hati dan
otak yang terang. Kata-katanya harus sederhana tetapi kena. Doni sekarang
menjadi anak yang berprestasi cukup dan kepercayaan pada dirinya juga baik. Ia
tekun bekerja.

Pengalaman-pengalaman di atas diperoleh langsung di lapangan, semua persoalan


harus kita perhatikan, pikirkan dan coba melaksanakannya. Bukan
mengelakan atau melarikan diri. Rupanya dapat disimpulkan bahwa
dalam masyarakat bisa ditemukan bermacam-macam sifat dan sikap orang
tua, seperti diktator, lemah, mau memang sendiri, sewenang-wenang dsb.
Biasanya dari keluarga bahagia dihasilkan anak-anak yang manis dan
bahagia juga. Dari keluarga yang sombong akanmenghasilkan anak yang
sombong. Dari keluarga urakan akan menghasilkan anak-anak yang
urakan. Dari keluarga yang halus akan menghasilkan anak-anak yang
halus pula.

Dasar/pegangan dari pendidikan yang saya jalankan ini adalah seperti kita dapat
baca dalam Alkitab 1 Yoh 3:18: "Anak-anakku, marilah kita mengasihi
bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan
dalam kebenaran".

Dra. Julianita S. Gunawan

Anda mungkin juga menyukai