Anda di halaman 1dari 18

BAB I

KONSEP LANSIA
A. Defenisi Lansia

Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh

semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari

oleh siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup

seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah “beranjak jauh”

dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu

yang penuh dengan manfaat (Hurlock dalam Murwani, 2011).

Menurut UU RI nomor 13 tahun 1998, Depkes (2001) yang

dimaksud dengan usia lanjut adalah seorang laki-laki atau perempuan yang

berusia 60 atau atau lebih, baik yang secara fisik masih berkemampuan

(potensial) maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu berperan aktif

dalam pembangunan (tidak potensial).

Wheeler, mengungkapkan usia tidak hanya dilihat dari perhitungan

kronologis atau berdasarkan kalender saja, tetapi juga menurut kondisi

kesehatan seseorang (health age) dan berdasarkan daya pikirnya sehingga

umur sesungguhnya dari seseorang merupakan gabungan dari ketiga-

tiganya (harianto 2005).

B. Batasan Lanjut Usia

Menurut organisasi ksehatan dunia (WHO)lanjut usia meliputi:


1. Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 44 sampai 59

tahun.
2. Usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun
3. Usia tua (old) antara 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) usia diatas 90 tahun

Menurut depkes RI membagi lansia sebagai berikut:

1. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun)sebagai masa

virilitas
2. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium
3. Kelompok usia lanjut (65> ) sebagai masa senium
C. Permasalahan Umum yang Terjadi pada Lansia

Proses menua adalah prose salami yang disertai adanya penurunan

kondisi fisik , psikologis maupun social yang saling berinteraksi satu sama

lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan

secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.

Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :

1. Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan

orng lain)
2. Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan

karena berbagai sebab, diantaranya setelah menjalani masa pensiun,

setalah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup.

Hal ini dapat menimbulkan ganguan keseimbangan (homeostasis)

sehingga membawa lansiake arah kerusakan / kemerosotan

( deteriorisasi) yang progresif terutama karena aspek psikologis yang

mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis. Hal itu biasanya

bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat,


misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat,

terpaksa berurusan dengan penegak hokum, atau trauma psikis.

D. Proses menua

Secara tekhnik proses menua (aging procces) berlangsung setelah

konsepsi, istilah menua tidak sinonim dengan tua. Aged adult atau lanjut

usia adalah orang dewasa yang system-sistem biologisnya telah dewasa.

Dan karena usianya yang sudah lanjut terjadi perubahan strukur dan

fungsi. Perubahan itu sangat berjalan mulus sehingga tidak menimbulkan

ketidak mampuian ataua dapat terjadi sngat nyata dan berakibat ketidak

mampuan total. Proses menua merupakan proses terus menerus secara

alamia, yang dimulai sejak lahir dan pada umumnya dialami pada semua

makhluk hidup.proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak sama

cepatnya. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakn proses

berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi ransangan dari dalam

maupun dari luar tubuh.

Proses menua yang tejadi pada usia lanjut secara linier dapat

digambarkan melalui 3 tahap yaitu:

a. Kelemahan
b. Keterbatasan fungsional
c. Keterhambatan

Menurut morse dan furst, proses penuaan dapat dilihat dari 3 segi

yaitu:

a. Penuaan biologis
b. Penuaan psikologis
c. Penuaan sosiologis

B. KONSEP KASUS

1. Konsep Medis
a. Definisi

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak


menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual maupun
potensial. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang
menyakitkan tubuh yang dikatakan individu/seseorang yang
mengalaminya, yang ada kapanpun orang tersebut mengatakannya.
Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa
semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak diketahui. Oleh
karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya pada laporan
pasien.

Nyeri punggung bawah adalah perasaan nyeri di daerah


lumbasakral dan sakroiliakal, nyeri pinggang bawah ini sering disertai
penjalaran ke tungkai sampai kaki. (Harsono, 2000)
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual maupun
potensial. Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah
bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya tidak
diketahui. Oleh karena itu, keberadaan nyeri adalah berdasarkan hanya
pada laporan pasien.

Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah adalah suatu
sensasi nyeri yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya
lumbal bawah, L4-L5 dan L5-SI.

b. Etiologi
Kebanyakan nyeri punggung bawah disebabkan oleh salah satu dari
berbagai masalah muskuloskeletal (misal regangan lumbosakral akut,
ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, osteoartritis
tulang belakang, stenosis tulang belakang, masalah diskus
intervertebralis, ketidaksamaan panjang tungkai). Penyebab lainnya
meliputi obesitas, gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor
retroperitoneal, aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik.
Kebanyakan nyeri punggung akibat gangguan muskuloskeletal akan
diperberat oleh aktifitas, sedangkan nyeri akibat keadaan lainnya tidak
dipengaruhi oleh aktifitas .
 Perubahan postur tubuh biasanya karena trauma primer dan
sekunder.
o Trauma primer seperti : Trauma secara spontan, contohnya
kecelakaan.
o Trauma sekunder seperti : Adanya penyakit HNP, osteoporosis,
spondilitis, stenosis spinal, spondilitis,osteoartritis.
 Ketidak stabilan ligamen lumbosacral dan kelemahan otot.
 Prosedur degenerasi pada pasien lansia.
 Penggunaan hak sepatu yang terlalu tinggi.
 Kegemukan.
 Mengangkat beban dengan cara yang salah.
 Keseleo.
 Terlalu lama pada getaran.
 Gaya berjalan.
 Merokok.
 Duduk terlalu lama.
 Kurang latihan (oleh raga).
 Depresi /stress

c. Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah
stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi
dan persepsi nyeri disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari
komponen system nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah factor
dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan
terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama.
Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa
bagi orang lain.

Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam


kulit yang berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara
potensial merusak, dimana stimuli tersebut sifatnya bisa kimia,
mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang
kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan asalnya
pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah local.
Sel-sel mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini
mengakibatkan pelepasan histamin dari sel-sel mast dan
mengakibatkan vasodilatasi. Serabut kutaneus terletak lebih kearah
sentral dari cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai
simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ internal yang
lebih besar. Sejumlah substansi yang dapat meningkatkan transmisi
atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan
substansi P. Prostaglandin dimana zat tersebut yang dapat
meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin.
Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap
transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam
konsentrasi yang kuat dalam system saraf pusat.

Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat


memproses sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar,
neuron pada system assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi
sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan
organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya interaksi antara
stimulus nyeri dan sensasi nyeri.

Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal


ini kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang
elastik yang tersusun atas banyak unit vertebrae dan unit diskus
intervertebrae yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset,
berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung
yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain
tetap dapat memberikanperlindungan yang maksimal terhadap sum-
sum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap
goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh
membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan
toraks sangat penting ada aktifitas mengangkat beban. Bila tidak
pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas,
masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan
pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.

Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat


ketika usia bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama
tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia
akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi
diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung biasa.
Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling
berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau
kerusakan sendi dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf
ketika keluar dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang
menyebar sepanjang saraf tersebut.
d. Manifestasi Klinis

Pasien biasanya engeluh nyeri punngung akut maupun nyeri


punggung kronis dan kelemahan. Selama wawancara awal kaji lokasi
nyeri, sifatnya dan penjalarannya sepanjang serabut saraf (sciatica),
juga dievaluasi cara jalan pasien, mobilitas tulang belakang, refleks,
panjang tungkai, kekuatan motoris dan persepsi sensoris bersama
dengan derajat ketidaknyamanan yang dialaminya. Peninggian
tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri
menunjukkan iritasi serabut saraf.

Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot


paravertebralis (peningkatan tonus otot tulang postural belakang
yang berlebihan) disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang
normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang. Bila pasien
diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal akan relaksasi
dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang.

Kadang-kadang dasar organic nyeri punggung tak dapat


ditemukan. Kecemasan dan stress dapat membangkitkan spasme otot
dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa merupakan anifestasi depresi
atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan dan
kehidupan. Bila kita memeriksa pasien dengan nyeri punngung
bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variable
lingkungan dan situasi kerja (2,4).

e. Evaluasi Diagnostik

Prosedur diagnostik perlu dilakukan pada pasien yang


mendertita nyeri punggung bawah. Sinar X- vertebra mungkin
memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi, infeksi, osteoartritis atau
scoliosis. Computed Tomografi (CT) berguna untuk mengetahui
penyakit yang mendasari, seperti adanya lesi jaringan lunak
tersembunyi disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus
intervertebralis. USG dapat membantu mendiagnosa penyempitan
kanalis spinalis. MRI memungkinkan visualisasi sifat dan lokasi
patologi tulang belakang (2).

f. Penatalaksanaan

Kebanyakan nyeri punggung bisa hilang sendiri dan akan


sembuh dalam 6 minggu dengan tirah baring, pengurangan stress dan
relaksasi. Pasien harus tetap ditempat tidur dengan matras yang
padat dan tidak membal selama 2 sampai 3 hari. Posisi pasien dibuat
sedemikian rupa sehingga fleksi lumbal lebih besar yang dapat
mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala
tempat tidur ditinggikan 30 derajat dan pasien sedikit menekuk
lututnya atau berbaring miring dengan lutu dan panggul ditekuk dan
tungkai dan sebuah bantal diletakkan dibawah kepala. Posisi
tengkurap dihindari karena akan memperberat lordosis. Kadang-
kadang pasien perlu dirawat untuk penanganan “konservatif aktif”
dan fisioterapi. Traksi pelvic intermiten dengan 7 sampai 13 kg
beban traksi. Traksi memungkinkan penambahan fleksi lumbal dan
relaksasi otot tersebut.

Fisioterapi perlu diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme


otot. Terapi bisa meliputi pendinginan (missal dengan es),
pemanasan sinar infra merah, kompres lembab dan panas, kolam
bergolak dan traksi. Gangguan sirkulasi , gangguan perabaan dan
trauma merupakan kontra indikasi kompres panas. Terapi kolam
bergolak dikontraindikasikan bagi pasien dengan masalah
kardiovaskuler karena ketidakmampuan mentoleransi vasodilatasi
perifer massif yang timbul. Gelombang ultra akan menimbulkan
panas yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan akibat
pembengkakan pada stadium akut.

Obat-obatan mungkin diperlukan untuk menangani nyeri akut.


Analgetik narkotik digunakan untuk memutus lingkaran nyeri,
relaksan otot dan penenang digunakan untuk membuat relaks pasien
dan otot yang mengalami spasme, sehingga dapat mengurangi nyeri.
Obat antiinflamasi, seperti aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID), berguna untuk mengurangi nyeri. Kortikosteroid jangka
pendek dapat mengurangi respons inflamasi dan mencegah
timbulnya neurofibrosis yang terjadi akibat gangguan iskemia.

2. Konsep Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1) Riwayat kesehatan

a) Riwayat Penyakit

 Keluhan Utama (keluhan yang dirasakan pasien saat


dilakukan pengkajian)
b) Riwayat penyakit sekarang
 Diskripsi gejala dan lamanya
 Dampak gejala terhadap aktifitas harian
 Respon terhadap pengobatan sebelumnya
 Riwayat trauma
c) Riwayat Penyakit Sebelumnya
 Immunosupression (supresis imun)
 Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas
(kangker)
 Nyeri yang menetap merupakan pertimbangan
untuk kangker atau infeksi.
 Pemberatan nyeri di kala terbaraing (tumor
instraspinal atau infeksi) atau pengurangan nyeri
(hernia nudeus pulposus / HNP)
 Nyeri yang paling berat di pagi hari
(spondiloartropati seronegatif: ankylosing spondyli-tis,
artristis psoriatic, spondiloartropati reaktif, sindroma
fibromialgia)
 Nyeri pada saat duduk (HNP, kelainan faset sendi,
stenosis kanal, kelahinan otot paraspinal, kelainan sendi
sakroilikal, spondilosis / spondilolisis / spondilolistesis,
NPB-spesifik)
 Adanya demam
 Gangguan normal (dismenore, pasca-monopause
/andropause)
 Keluhan visceral (referred pain)
 Gangguan miksi
 Saddle anesthesia
 Kelemahan motorik ekstremitas bawah
(kemungkinan lesi kauda ekwina)
 Lokasi dan penjalaran nyeri.
2) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan Umum
b) Pemeriksaan persistem
 Sistem persepsi dan sensori
(pemeriksaan panca indera : penglihatan, pendengaran,
penciuman, pengecap, perasa)
 Sistem persarafan (Pemeiksaan neurologik)
 Sistem pernafasan
(Nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan jalan nafas.)
 Sistem kardiovaskuler
(Nilai tekanan darah, nadi, irama, kualitas, dan
frekuensi)
 Sistem Gastrointestinal
(Nilai kemampuan menelan,nafsu makan, minum,
peristaltic dan eliminasi)
 Sistem Integumen
(Nilai warna, turgor, tekstur dari kulit pasien )
 Sistem Reproduksi
( Untuk pasien wanita )
 Sistem Perkemihan
(Nilai Frekuensi Bak, warna, bau, volume )
b. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri b.d agens cedera biologis (masalah musculoskeletal)

2. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, dan


berkurangnya kelenturan
3. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi
tulang

c. Intervensi keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan penurunan fungsi tulang

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24


jam nyeri dapat terkontrol atau berkurang
Kriteria hasil:
- Mampu mengontrol nyeri (tahu, penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan
tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

Intervensi
a) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
dan faktor prepitasi
b) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien
d) Ajarkan teknik non farmakologis
e) Tingkatkan istirahat
f) Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekauan
sendi, kerusakan integritas struktur tulang

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan hambatan mobilitas fisik teratasi
Kriteria hasil :
- Aktivitas fisik klien meningkat
- Klien mengerti tujuan mobilitas

Intervensi:
a) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
b) Observasi TTV sebelum atau sesudah latihan dan lihat
respon pasien saat latihan
c) Latih pasien dalam pemenuhan kebuthan ADL secara
mandiri sesuai kemampuan
d) Ajarkan pasien tentang teknik mobilisasi dan berikan
bantuan jika perlu
e) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan
cegah saat cedera
3) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi
tulang

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam


diharapkan tidak terjadi cedera pada pasien
Kriteria hasil:
- Klien terbebas dari cedera
- Klien mampu menjelaskan cara atau metode untuk
mencegah cedera

Intervensi:
a) Kaji kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan konsisi
fisik dan fungsi kognitif pasien juga riwayat penyakoit
terdahulu
b) Kontrol lingkungan pasien yang berbahaya misalnya
memindahkan perabotan
c) Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
d) Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
pasien.
e) Berikan penjelasan pada pasien atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.

Daftar Pustaka :

1. Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1, EGC, Jakarta, 2002

2. Brunner & Suddarth, Alih Bahasa Monica Ester, SKP ; Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, 2002
3. Ruth F. Craven, EdD, RN, Fundamentals Of Nursing, Edisi II,
Lippincot, Philadelphia, 2000

4. Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, EGC,
Jakarta, 1997

Anda mungkin juga menyukai