TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi
Tumor otak primer diderita sebanyak 2 persen dari seluruh jenis kanker pada orang
dewasa di AS, dari 17.000 tumor primer otak yang terdiagnosis tiap tahunnya, sekitar 60-80%
merupakan glioma. Nilai insidensi glioma berdasarkan usia (ICD-O-3 morphology codes
9440 - 9480) berkisar 4,67 hingga 5,73 dari 100.000 orang. Glioma (ICD-O-3 morphology
codes 9380-9384, 9391-9460, 9480) didapati mencapai 28% dari seluruh tumor SSP dan 80%
dari tumor malignan (Ostrom et al., 2013). Glioblastoma dapat dikategorikan sebagai tumor
primer ataupun sekunder, melalui dua jalur, yaitu de novo dan progresif (gambar 1).
Astrositoma yang melalui jalur de novo berarti berasal dari fokus primer (astrosit itu sendiri).
2.3. Lokasi
Glioblastoma multiform paling sering timbul di area subkortikal bagian white matter
dari hemisfer otak. Lokasi tumor paling sering adalah di lobus temporal (31%), parietal
(24%), frontal (23%), dan lobus oksipital (16%). Lebih tepatnya paling sering di lobus
frontotemporal. Infiltrasi tumor sering berekstensi ke korteks didekatnya atau ke ganglia
basalis. Ketika tumor di korteks frontal menyebar melewati korpus kalosum menuju ke
hemisfer kontralateralnya, akan menciptakan gambaran lesi yang simetris bilateral, yang
disebut juga dengan glioma kupu-kupu (Omuro, 2013).
Fisher et.al melakukan analisis komorbid sebelum dan sesudah diagnosis dan
melapokan bahwa kejang merupakan komorbid yang paling sering ditemukan.Schwartzbaum
et. al. menunjukkan resiko epilepsi dalam tujuh tahun sebelum diagnosis
ditegakkan.Tindakan operasi meningkatkan resiko thrombosis vena dalam dan emboli paru,
baik akibat tumor itu sendiri maupun akibat terapi, meskipun tidak signifikan (Omuro, 2013).
2.6. Diagnosis
Untuk diagnosis astrositoma, radiologi memegang peranan penting. Hingga sekarang
tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis. Menggunakan CT atau
MRI konvensional sangat sulit untuk melakukan klasifikasi.Perkembangan MRI saaat ini
sudah memungkinkan melakukan klasifikasi secara non invasif, mengevaluasi perkembangan
tumor, atau menilai kesuksesan terapi (Omuro, 2013).
Pada CT scan, gambaran khas adalah masa yang menyangat kontras pada bagian tepi
dengan nekrosis sentral atau kista. Bentuk lesi biasanya tidak beraturan disertai dengan
penumbra. Green et.al menunjukkan sel tumor dapat ditemukan sampai sejauh 15 mm diluar
cincin (Omuro, 2013).
Pada MRI penyangatan ini dapat terlihat pada T1 karena bagian ini merupakan bagian
yang pada dengan sel tumor disertai pembuluh darah yang abnormal.Inti yang nekrosis
tampak sebagai daerah hipointens dan sinyal yang berkurang dibagian tepi menunjukkan
edema (Omuro, 2013).
Positron emission tomografi (PET) dapat digunakan untuk membedakan nekrosis
dengan perdarahan dan memiliki nilai prognosis. Peningkatan metabolism glukosa
berhubungan dengan harapan hidup yang lebih rendah dan berguna untuk menentukan
volume tumor yang tersisa setelah operasi (Omuro, 2013).
MR Spectroscopy (MRS) menunjukkan penurunan N-asetil aspartate (NAA)
dibandingkan jaringan saraf normal. Peningkatan laktat ditemukan pada daerah yang nekrosis
dan hipoksia.Pemingkatan rasio kolin-kreatin menunjukkan proliferasi seluler dan
progresifitas glioma (Omuro, 2013).
2.7. Terapi
Modalitas terapi yang ada saat ini tidak bersifat kuratif. Tantangan terbesar adalah
tumor yang heterogen dan agesif, disertai sulitnya melakukan kontrol local (Ishkanian, 2011).
Penatalaksanaan standar meliputi pembedahan radikal diikuti dengan radioterapi maupun
kemoterapi (Ishkanian, 2011). Secara umum, kombinasi temozolamide dan kemoterapi
terbukti memberikan keuntungan. Didapati peningkatan harapan hidup sebesar tiga bulan dan
kemungkinan harapan hidup sebesar 17% (Omuro, 2013).
Terapi yang kurang agresif, biasanya berupa radiasi atau kemoterapi saja kadang-
kadang dianjurkan pada kelompok usia tua atau dengan resiko tinggi. Pada kelompok pasien
dengan usia diatas 70 tahun, radioterapi saja meningkatkan harapan hidup dibandingkan
kelompok yang tidak menjalani radioterapi. Secara umum, rerata harapan hidup penderita
GBM yang hanya mendapat pembedahan adalah sebesar 6,9 bulan (Omuro, 2013).
2.7.2. Pembedahan
Prinsip pembedahan pada GBM bukanlah kuratif, meskipun luasnya pembedahan
dan jumlah sisa tumor setelah operasi akan mempengaruhi harapan hidup secara
signifikan. Pada kelompok pasien dengan sisa masa yang menyangat kontras, harapan
hidup adalah sebesar 11,8 bulan. Sementara itu, jika masa yang menyangat kontras
tidak terlihat pada MRI kontras, harapan hidup adalah 16,7 bulan. Reseksi total pada
prinsipnya akan memberikan keuntungan yang lebih jika dibandingkan reseksi
subtotal. Dua meta-analis menunjukkan rata – rata harapan hidup lebih panjang tiga
bulan pada kelompok yang mendapat reseksi total. Reseksi subtotal akan
meningkatkan resiko perdarahan setelah operasi dan kemungkinan herniasi, disebut
wounded glioma syndrome. Karena itu luasnya pembedahan harus ditentukan sebelum
operasi karena hal ini dipengaruhi loksasi tumor.Fado et.al menunjukkan korelasi
antara morbiditas dan mortalitas dengan lokasi tumor.Mortalitas dan komplikasi
setelah operasi lebih banyak terjadi pada lesi yang berlokasi di garis tengah dan otak
dalam (Y.-H. Kim & Kim, 2012)
Kontraindikasi relatif untuk pembedahan adalah lesi luas pada sisi dominan, lesi
dengan keterlibatan bilateral yang hebat, GBM multipel, usia tua, dan karnofsky
dibawah 70. Sebagai alternatif Piepmeyer dan Quigley menyarankan bahwa tujuan
operasi adalah mengurangi efek masa, bukan hanya sitoreduksi (Hentschel & Lang,
2003).
Kualitas hidup harus selalu menjadi pertimbangan.Dengan bantuan radiologi
modern, kualitas hidup lebih mungkin untuk dipertahankan tanpa menyebabkan
munculnya defisit baru.Kebanyakan rekurensi GBM terjadi pada dasar tumor atau 2
cm disekitar tumor.Operasi kembali pada kasus ini sebaiknya dipertimbangkan hanya
pada kasus dengan efek masa yang jelas. PET scan dan MR spektroskopi akan
berguna untuk membedakan tumor rekuren dengan nekrosis setelah radiasi. PET scan
dilaporkan lebih superior dibandingkan MR spektroskopi untuk menyingkirkan perlu
tidaknya dilakukan operasi kembali (Y.-H. Kim & Kim, 2012)
2.7.3. Radioterapi
Radioterapi menunjukkan meningkatnya angka harapan hidup 3 – 4 bulan sampai
7 – 12 bulan dibandingkan dengan operasi saja. Dosis 60 Gy sebanyak 5 hari dalam
seminggu dengan dosis terbagi 1,8-2,0 Gy selama 6 minggu adalah dosis lazim yang
digunakan. Dosis dibawah 45 Gy tidak dianjurkan karena angka median survival yang
rendah yaitu 4 bulan dibandingkan dengan radiasi standar (Taw, Gorgulho, Selch, &
De Salles, 2012).
Respon radiasi terhadap glioblastoma ditemukan bervariasi.Karakteristik GBM
adalah fase remisi terjadi hanya dalam jangka waktu pendek. Rekurensi terutama
terjadi pada satu tahun pertama dan berhubungan dengan perburukan klinis.meskipun
demikian, pada dasarnya radioterapi akan menyebabkan fase remisi dengan perbaikan
difisit neurologis serta berkurangnya masa yang menyangat kontras. Fokal radioterapi
digunakan untuk mengurangi kerusakan jaringan disekitar otak. Hal ini didukung oleh
dua studi yang membandingkan radiasi whole-brain dan rekurensi tumor dimana
rekurensi tumor terjadi 2 cm dari tempat tumor awal sebanyak 90% dan terjadi pada
78% pasien. Meskipun demikian resiko terjadinya efek samping lebih tinggi pada
pasien yang menjalani radiasi whole-brain (Taw et al., 2012).
Untuk mengurangi kerusakan pada jaringan otak yang sehat, brakiterapi mungkin
dapat menjadi pilihan. Sayangnya, brakiterapi tidak terbukti meningkatkan harapan
hidup secara signifikan.Sneed et.al dalam penelitiannya menunjukkan median harapan
hidup dua bulan lenih panjang pada kelompok brakiterapi.Kelemahan utama
brakiterapi adalah lebih dari separuhnya memerlukan pembedahan tambahan untuk
membuang jaringan sudah rusak akibat radiasi.Waters et.al hanya mampu
menbuktikan perbaikan progression free survival, tetapi overall survival tidak
berbeeda dengan kelompok radioterapi konvensional (Taw et al., 2012).
Pada GBM yang rekuren, peranan radioterapi masih diperdebatkan. Beberapa
penelitian membuktikan stereotaktik radiosurgery akan bermanfaat, tetapi beberapa
penelitian lain tidak mendukung hal tersebut. Harapan pada masa depan antara lain
adalah dengan penggunaan radio sensitizer atau kemoterapi dengan target molekuler
(Taw et al., 2012).
2.7.4. Kemoterapi
Sekitar seperempat pasien mengalami peningkatan harapan hidup signifikan
setelah pemberian kemoterapi adjuvant. Dalam meta-analisisnya, Stewart et.al
menyimpulkan kemoterapi meningkatkan survival rate satu tahun pada 6 sampai 10
persen kasus (Nagasawa et al., 2012).
Kemoterapi yang paling banyak digunakan saat ini adalah temozolamide.
Temozolamide merupakan kemoterapi oral yang digunkan pada penderita yang baru
pertama kali didiagnosis dengan GBM.Kemoterapi ini disetujui penggunaanya oleh
FDA pada tahun 2005 dan telah terbukti meningkatkan harapan hidup. Pemberian
temozolamide bersamaan dengan radiasi berhubungan dengan peningkatan
progression free survival (6,9 dibandingakn 5 bulan), overall survival (14,6
dibandingkan 12,1 bulan), serta kecenderungan untuk tetap hidup setelah dua tahun
(26% dibandingkan 10%) (Nagasawa et al., 2012).
Temozolamide akan memetilasi rantai DNA, membentuk N-3-metil adenine, N-7-
metilguanin, dan O-6-guanin. Proses ini akan merusak rantai DNA dan pada akhirnya
menyebabkan terjadinya apoptosis. Sayangnya, 60% sel glioma memiliki O-6-metil-
guanin metil transferase (MGMT) yang menghalangi metilasi ini dan menyebabkan
resistensi terhadap temozolomide. Jika gen ini dapat dihambat, misalnya melalui
metilasi gen promoter MGMT, akan terjadi gangguan sintesis enzim perbaikan tumor
pada 40% kasus. Ini terbukti meningkatkan harapan hidup menjadi 21,7 bulan
(dibandingkan 12,7 bulan) dan harapan hidup dua tahun menjadi 46% (dibandingkan
13%). Penggunaan kortikosteroid ditakutkan akan menghalangi aktifitas metilasi
MGMT dan menyebabkan MGMT lebih stabil. Hal lain yang dapat menyebabkan
resistensi terhadap temozolomide adalah base excision repair (BER) dan poly (ADP-
ribose) polymerase (PARP) (Nagasawa et al., 2012).
Obat-obatan yang dapat mengatasi permasalahan MGMT ini antara lain O6-
benzilguanin, inhibitor PARP. Selain itu, pSTAT3 kelihatannya dapat menjadi target
yang potensial karena berperan dalam peningkatan MGMT setelah transkripsi dan
terlihat ikut meningkat bersama MGMT pada kasus glioblastoma rekuren (Nagasawa
et al., 2012).
Meskipun temozolamide merupakan terapi glioblastoma lini pertama, penelitian
lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan kelompok mana yang paling banyak
mendapatkan manfaat dari kemoterpi ini (Nagasawa et al., 2012).
Selain temozolomide, kemoterapi lain yang banyak digunakan adalah nitrosourea,
terutama carmustine (BCNU). BCNU merupakan polimer yang ditanamkan pada
dasar tumor.BCNU meningkatkan harapan hidup sebesar dua bulan dengan respon
maksimum sebesar 30 sampai 40%.Sayangnya, penggunaan BCNU berhubungan
dengan peningkatan resiko kebocoran CSF dan peningkatan TIK akibat edema dan
efek masa (Nagasawa et al., 2012).
Pembedahan yang dilanjutkan dengan radioterapi meningkatkan harapan hidup
satu tahun (44%), 3 tahun (6%) dan 5 tahun (0%). Sebagai perbandingan, jika
dilakukan penambahan BCNU atau cisplatin sebagai adjuvant, harapan hidup satu
tahun menjadi 46%, 3 tahun menjadi 18%, dan 5 tahun menjadi 18% (Nagasawa et al.,
2012).
Pada kasus glioblastoma rekuren, kemoterapi belum terbukti meningkatkan
harapan hidup. Pada kasus rekuren, kemoterapi antiangiogenik memberikan sedikit
keuntungan.Kombinasi Bevacizumab dengan irinotecan memperbaiki survival 6 bulan
menjadi 46% (dibandingkan 21% pada kelompok yang hanya mendapatkan
temozolamide).Keuntungan tambahan dari penggunaan bevacizumab adalah
berkurangnya edema disekitar tumor (Nagasawa et al., 2012).
Hambatan terbesar dari kemoterapi pada SSP adalah sawar darah otak. Sawar
darah otak akan sangat menghalangi masuknya kemoterapi pada SSP. Salah satu cara
mengatasinya adalah dengan pemberian intraventrikel. Meskipun demikian, belum
ada penelitian yang membuktikan efektivitas metode ini (Nagasawa et al., 2012).
2.9. NF-κB
NF-κB adalah kelompok faktor transkripsi yang berikatan dengan rantai ringan
immunoglobulin kappa pada sel B yang aktif. Secara structural, NF-κB terdiri dari
homodimer dan heterodimer berupa NF-κB1, NF-κB2, REL A, dan c-REL. pada sel yang
tidak aktif, NF-κB biasanya tidak aktif akibat peranan inhibitor IκBa. Jika terjadi stimulus
berupa sitokin maupun kerusakan DNA, terjadi fosforilasi IkBa, dan pada akhirnya
menyebabkan lepasnya NF-κB.NF-κB yang sudah bebas kemudian bergerak menuju nucleus
dan berperan sebagai faktor transkripsi. Sitokin-sitokin yang dapat mengaktifkan NF-κB ini
antara lain TNF, EGF, dan VEGF (Puliyappadamba et al., 2014).
Aktifasi NF-kB bisa melalui dua cara yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Pada
jalur klasik aktivasi NF-kB terjadi melalui heterodimer p50 & p65 selanjutnya NF-kB
dimer diinaktifkan oleh protein I-kB. Signal reseptor cenderung mengaktivasi
multisubunit I-kB kinase (IKK) kompleks yang akan memfosforilasi I-kB dalam dua
kunci serin. Fosforilasi I-kB menandainya untuk degradasi translokasi ke dalam inti,
mengikat DNA dan terjadi aktivasi transkripsi. Sementara pada jalur alternatif, NF-kB
dimer dalam kondisi inaktif oleh adanya pemanjangan domain C-terminal pada salah
satu bentuk prekursor, p50 atau p52. p50 & p52 disintesis sebagai prekursor yg lebih
panjang menjadi p105 dan p100. Pemanjangan domain C-terminal pada prekursor
(strukturnya homolog dengan I-kB dan memiliki fungsi yang sama). Jika prekursor
p105 diproses menjadi p50, maka p100 tidaklah demikian, tetapi disimpan sebagai
partner regulator pada NF-kB heterodimer. Pada jalur survival sel B terlihat ikatan
heterodimer p100-RelByg akan menjadi inaktif oleh adanya pemanjangan domain C-
terminal sampai p100 diaktifkan oleh molekul famili TNF (B -cell activating factor,
BAFF) (Furnari, 2007).
Pada tingkatan molekul, sistem imun innate yang dipusatkan pada aktivasi dari
NF-kB mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin
proinflamasi, kemokin, molekul adesi, NO dalam merespon stimulasi oleh sinyal yang
berhubungan dengan patogen atau stres. Selain itu NF-kB mengontrol ekspresi dari
banyak gen adaptif seperti MHC dan gen penting untuk regulasi apoptosis (Furnari,
2007).