PENDAHULUAN
Bahwa keluhan sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik sering
kita dengar. Meskipun sesungguhnya kita tidak bisa menutup mata bahwa. masih
ada satu-dua kritik sastra yang ditulis, baik oleh kalangan akademisi sastra maupun
oleh penulis sastra yang merangkap sebagai “kritikus”. Dalam pertemuan-
pertemuan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) memang muncul
sejumlah kritik atau ulasan sastra, namun agaknya kurang memadai kalau ditinjau
dari segi kualitas maupun kuantitas.
1
Sejenis kritik sastra yang bukan melulu sebagai juru kampanye bagi si sastrawan,
tetapi sebagai lawan tanding baginya dan karyanya.
2
1.5 Manfaat Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Para sastrawan yang karya-karyanya memberi corak sastra periode ini pada
umumnya sudah mulai menulis pada tahun 60-an, lebih-lebih sesudah 1965, seperti
Sutardji Calzoum Bachri, Danarto dan Kuntowijoyo, telah menulis sejak awal tahun
60-an. Akan tetapi karya yang penting, karya garda depannya, baru terbit sekitar
tahun 1970. Masa integrasi Angkatan 70 ini adalah selama dekade 70-an, dengan
karya sastra Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering karya Iwan Simatupang, Godlob,
karya Danarto, cerpen-cerpen Budi Darma yang belum dibukukan Kotbah di atas
Bukit novel Kunto Wijoyo, novel-novel Putu Wijaya Telegram dan Stasiun serta
dramanya Aduh, drama-drama Arifin C. Noor Kapai-kapai, dan sebagainya.
4
Dalam bidang puisi di antara yang menonjol adalah Sutardji C.Bachri
dengan O, Amuk Kapak, karya Sapardi Djoko Damono, Akuarium, Mata Pisau dan
Perahu Kertas, Gunawan Muhammad Prelude, dan sajak-sajak Abdul Hadi W.M
dan Darmanto Jt. Tokoh-tokoh penting sastrawan angkatan 70 ini sebenarnya telah
muncul pada periode angkatan 50 yang menulis pada era 60-an seperti : Umar
Kayam (Bawuk, Sri Sumarah), Gunawan Muhammad ( Asmaradana), Tufik Ismail
(Tirani). Bur Rasuanto (Mereka Telah Bangkit), Sapardi Djoko Damono ( Dukamu
Abadi), Abdul Hadi WM (Meditasi), Sutardji C. Bachri (O, Amuk), Linus Suryadi
( Pengakuan Pariyem), Iwan Simatupang (Merahnya , Kering), J.B. Mangunwijaya
(Burung-burung Manyar), Budi Darma (Olenka), N.H.Dini (Pada Sebuah Kapal).
Periode Angkatan 70-an dengan ciri-ciri sastranya dalam karya sastra puisi
muncul 4 jenis gaya puisi yaitu puisi mantera, puisi imajisme, puisi lugu dan puisi
lirik. Puisi-puisi mempersoalkan masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, jurang
kaya miskin, menggunakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat dalam balada.
Prosesnya menggabarkan kehidupan masyarakat sehari-hari, kehidupan pedesaan
dan daerah, seperti Pulang karya Toha Mochtar, Di Tengah Padang (Bastari
Asmin), Penakluk Ujung Dunia (Bokor Hutasuhut).
5
Ada yang membagi kritik sastra menjadi dua: akademis dan nonakademis.
Ada kritik sastra akademis dan ada kritik sastra non-akademis. Keduanya sampai
hari ini memang terus diproduksi, tetapi juga terus dipandang bermasalah. Kritik
sastra akademis konon sulit diakses kalangan di luar kampus, pembahasannya
formal, kering, kaku, mengintelektualkan sastra, mengabaikan spirit kreatif sastra,
memperbudak sastra demi teori, dan sebagainya. Akan tetapi, kritik sastra
nonakademis dinilai cenderung dangkal, picik, bias, memanjakan kata-hati,
menyesatkan, dan sebagainya.
6
Kritik sastra sendiri, menurut T.S. Eliot, seharusnya bukanlah ‘kerja
amatiran’, di mana para kritikus harus mendisiplinkan prasangkanya. Kritik sastra
harus selalu menyatakan suatu akhir dalam pandangan, yang dengan kata lain bisa
dikatakan, bahwa kritik kelihatan seperti uraian, penjelasan suatu karya seni dan
pembetulan suatu selera. Kebanyakan kritikus terjebak dalam suasana yang tidak
mendukung: baik itu dalam usaha saling akur, saling hasut, menjatuhkan, menekan,
menyombongkan, saling menenangkan, berpura-pura bahwa mereka orang yang
santun dan yang lainnya sangat diragukan reputasinya.
2.3 Dampak Dari Adanya Isu Terbaru dalam Kritik Sastra Mutakhir
7
mereka tidak mengajarkan kritik sastra, karena, sebaliknya, mereka juga tidak
pernah diajarkan bagaimana melakukannya. Pernyataan metaforis ini bisa jadi
terlampau menyederhanakan, jika bukan melebih-lebihkan. Yang pasti, pernyataan
itu menghadapkan kita pada situasi yang membahayakan kritik sastra. Para kaum
terpelajar sastra bukan hanya tidak mampu mengajarkan kritik sastra tetapi juga
tahu bagaimana mengamalkannya. Ini tampaknya akibat malapraktik terhadap
kritik sastra, yang menurut Eagleton berlangsung pada dua sisi. Pertama, kritik
sastra sebagai pengamalan secara kritis kepekaan terhadap bentuk, “pembacaan
dekat” yang menyingkap inti, kompleksitas jalinan teks, dan keberlimpahan
“makna”—tidak terjadi. Kedua, tidak adanya keyakinan akan tanggung jawab
sosial-politik para pelakunya.
8
BAB III
3.1 Simpulan
Misi atau dasar Filsafat arus baru mutakhir adalah manusia mempunyai
potensi yang unik yang penting ada dialog antara tokoh dengan pengarangnya.
Karya-karya sastra kebanyakan bersifat misterius karena bukan berhadapan dengan
kenyataan, tidak mungkin ada dialog dengan sesuatu misteri dan hasilnya tidak
komunikatif. Munculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir
dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya
sastra bercorak baru, baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini
mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G30 S/PKI. Dalam periode 70-an
pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas berupa
kemungkinan bentuk baik prosa, puisi drama semakin tidak jelas.
3.2 Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
https://zenhae.wordpress.com/2009/11/03/ancaman-yang-cemerlang-bagi-kritik-
sastra/, diakses 3 November 2009
10