Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan sastra Indonesia hari-hari ini sangat pesat. Orang sulit


menghitung jumlah karya sastra yang terbit saat ini. Para penulis sastra
bermunculan dari berbagai daerah bahkan bisa dikatakan setiap daerah mempunyai
puluhan penulis sastra atau pun ratusan. Di koran dan majalah para sastrawan muda
bermunculan. Komunitas-komunitas sastra bertebaran. Akan tetapi, perkembangan
yang menggembirakan itu berjalan tanpa kritik sastra. Sastra Indonesia hari-hari ini
boleh dibilang krisis atau paceklik kritikus.

Padahal, kritik sastra sangat penting peranan bagi upaya peningkatan


kualitas karya sastra sastrawan. Kritik sastra pun bisa menjadi sarana sosialisasi dan
apresiasi sastra. Chairil Anwar mungkin tidak pernah kita dengar namanya kalau
H.B. Jassin tidak membuat pengakuan terhadap puisi-puisinya. Pengakuan Jassin
yang membuat nama Chairil melangit dan puisi-puisinya sangat populer di
Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada seorang kritikus yang bisa membahas dan
mengkritisi karya sastra yang berlimpah ruah tersebut, agar sastra tidak hanya
menjadi perbincangan para sastrawan saja dan hanya selesai di ruang itu pula.

Bahwa keluhan sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik sering
kita dengar. Meskipun sesungguhnya kita tidak bisa menutup mata bahwa. masih
ada satu-dua kritik sastra yang ditulis, baik oleh kalangan akademisi sastra maupun
oleh penulis sastra yang merangkap sebagai “kritikus”. Dalam pertemuan-
pertemuan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) memang muncul
sejumlah kritik atau ulasan sastra, namun agaknya kurang memadai kalau ditinjau
dari segi kualitas maupun kuantitas.

Padahal, kita membutuhkan ada keseimbangan antara produksi karya sastra


dan produksi kritik sastra. Kita membutuhkan lebih banyak lagi kritik sastra untuk
mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang makin bertebaran akhir-akhir ini.

1
Sejenis kritik sastra yang bukan melulu sebagai juru kampanye bagi si sastrawan,
tetapi sebagai lawan tanding baginya dan karyanya.

1.2 Rumusan Masalah

Selanjutnya dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah


yang akan dicari jawabannya, antara lain:

1. Apa saja yang termasuk sastra mutakhir?


2. Apa contoh isu terbaru dalam kritik sastra mutakhir?
3. Bagaimana dampak dari adanya contoh isu dalam kritik sastra mutakhir
tersebut?

1.3 Batasan Masalah

Pembatasan ini membatasi ruang lingkup permasalahan untuk mencapai


tujuan yang diharapkan. Adapun ruang lingkup penjelasan ini terbatas pada masalah
sebagai berikut:

1. Penjelasan sastra mutakhir..


2. Isu terbaru dalam kritik sastra mutakhir.
3. Dampak dari adanya isu dalam kritik sastra mutakhir.

1.4 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini antara lain:

1. Mendeskripsikan penjelasan mengenai sastra mutakhir.


2. Mendeskripsikan contoh isu terbaru dalam kritik sastra mutakhir.
3. Mendeskripsikan dampak dari adanya isu dalam kritik sastra mutakhir.

2
1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini antara lain:

1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang definisi sastra


mutakhir juga isu terbaru dalam kritik sastra mutakhir dan dampak yang
ditimbulkan dari adanya isu tersebut.
2. Makalah ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa dalam mencari data
untuk penyusunan tugas kuliah.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Karya Sastra Mutakhir

Perjalanan sastra Indonesia sejak zaman Abdullah dengan Hikayat


Abdullahnya kemudian disusul secara berturut-turut oleh angkatan : Balai Pustaka,
Pujangga Baru, 45 atau 66 kini secara relatif berakhir pada sastra mutakhir/sastra
kontemporer. Wajar apabila masing-masing angkatan membawa suatu
pembaharuan karena pada dasarnya sastra merupakan hasil karya manusia yang
akan terus berkembang apabila aturan-aturan ataupun fenomena-fenomena yang
terkandung dalam tiap-tiap periode/angkatan mempunyai perbedaan akibat
pembaharuan yang dibawa masing-masing.

Perbedaan-perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan oleh situasi


masyarakat pada saat suatu karya sastra dihasilkan. Di samping itu tidak dapat juga
dibantah adanya pengaruh kemajuan sastra diluar negeri. Dan hal ini tidak hanya
terjadi pada bidang puisi, drama ataupun cerita pendek saja, tetapi juga pada bidang
roman/novel. Sastra kontemporer muncul pada dekade 70-an lebih diwarnai oleh
kegelisahan masyarakat Indonesia. Perjalanan batin akan dijelajahi para pembaca
novel tahun 1970-an adalah pengalaman kegelisahan, baik berupa kegelisahan
sosial, kegelisahan batin maupun kegelisahan rumah tangga.

Para sastrawan yang karya-karyanya memberi corak sastra periode ini pada
umumnya sudah mulai menulis pada tahun 60-an, lebih-lebih sesudah 1965, seperti
Sutardji Calzoum Bachri, Danarto dan Kuntowijoyo, telah menulis sejak awal tahun
60-an. Akan tetapi karya yang penting, karya garda depannya, baru terbit sekitar
tahun 1970. Masa integrasi Angkatan 70 ini adalah selama dekade 70-an, dengan
karya sastra Merahnya Merah, Ziarah, dan Kering karya Iwan Simatupang, Godlob,
karya Danarto, cerpen-cerpen Budi Darma yang belum dibukukan Kotbah di atas
Bukit novel Kunto Wijoyo, novel-novel Putu Wijaya Telegram dan Stasiun serta
dramanya Aduh, drama-drama Arifin C. Noor Kapai-kapai, dan sebagainya.

4
Dalam bidang puisi di antara yang menonjol adalah Sutardji C.Bachri
dengan O, Amuk Kapak, karya Sapardi Djoko Damono, Akuarium, Mata Pisau dan
Perahu Kertas, Gunawan Muhammad Prelude, dan sajak-sajak Abdul Hadi W.M
dan Darmanto Jt. Tokoh-tokoh penting sastrawan angkatan 70 ini sebenarnya telah
muncul pada periode angkatan 50 yang menulis pada era 60-an seperti : Umar
Kayam (Bawuk, Sri Sumarah), Gunawan Muhammad ( Asmaradana), Tufik Ismail
(Tirani). Bur Rasuanto (Mereka Telah Bangkit), Sapardi Djoko Damono ( Dukamu
Abadi), Abdul Hadi WM (Meditasi), Sutardji C. Bachri (O, Amuk), Linus Suryadi
( Pengakuan Pariyem), Iwan Simatupang (Merahnya , Kering), J.B. Mangunwijaya
(Burung-burung Manyar), Budi Darma (Olenka), N.H.Dini (Pada Sebuah Kapal).

Periode Angkatan 70-an dengan ciri-ciri sastranya dalam karya sastra puisi
muncul 4 jenis gaya puisi yaitu puisi mantera, puisi imajisme, puisi lugu dan puisi
lirik. Puisi-puisi mempersoalkan masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, jurang
kaya miskin, menggunakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat dalam balada.
Prosesnya menggabarkan kehidupan masyarakat sehari-hari, kehidupan pedesaan
dan daerah, seperti Pulang karya Toha Mochtar, Di Tengah Padang (Bastari
Asmin), Penakluk Ujung Dunia (Bokor Hutasuhut).

2.2 Isu Terbaru dalam Kritik Sastra Mutakhir

Di kalangan akademisi sastra, sangat mungkin isu krisis kritik sastra


dipandang sebagai sekadar gunjingan tak berdasar. Maman S. Mahayana, misalnya,
mengatakan bahwa mereka yang beranggapan bahwa kritik sastra (Indonesia)
mengalami krisis, jawabannya ada tiga kemungkinan (1) dia tidak memahami
hakikat dan kategori kritik sastra, (2) dia tidak membaca sejarah, dan (3) tidak
memahami kritik sastra sekaligus tidak tahu sejarah dan sekadar cari sensasi yang
sebenarnya sudah sangat basi. Isu tentang kritik sastra mengalami krisis, itu isu
yang sangat basi, usang, dan kedaluwarsa. Lihatlah sejak awal tahun 1930-an,
berapa banyak esai sastra, resensi buku sastra, biografi sastrawan, ulasan atas karya
sastra. Itu semua adalah bagian dari kritik sastra.

5
Ada yang membagi kritik sastra menjadi dua: akademis dan nonakademis.
Ada kritik sastra akademis dan ada kritik sastra non-akademis. Keduanya sampai
hari ini memang terus diproduksi, tetapi juga terus dipandang bermasalah. Kritik
sastra akademis konon sulit diakses kalangan di luar kampus, pembahasannya
formal, kering, kaku, mengintelektualkan sastra, mengabaikan spirit kreatif sastra,
memperbudak sastra demi teori, dan sebagainya. Akan tetapi, kritik sastra
nonakademis dinilai cenderung dangkal, picik, bias, memanjakan kata-hati,
menyesatkan, dan sebagainya.

Zen Hae mengatakan bahwa telah menjadi rahasia umum, suburnya


penciptaan dan apresiasi sastra mutakhir ini belum dapat diimbangi dengan telaah
sastra yang memadai, apalagi untuk dapat berkembang menjadi tradisi pemikiran
pelbagai wacana sastra. Telaah sastra masih menjadi barang langka. Jika pun
tumbuh, ia hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya.
Di saat yang sama kita juga tidak memiliki majalah atau jurnal yang benar-benar
menyediakan dirinya untuk telaah sastra. Adapun lembar sastra di koran-koran
hanya bisa menyediakan ruang yang sangat terbatas untuk keluasan dan kedalaman
yang dibutuhkan sebuah telaah. Meminjam jargon Thomas Robert Malthus, telaah
sastra tumbuh menurut “deret hitung”, karya sastra berkembang menurut “deret
ukur”.

Ronan McDonald mengatakan bahwa kritikus telah mati. Era kritikus


sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya
pada masa puncak modernisme pada abad 20, kritikus seni (termasuk kritikus
sastra) menduduki peran hierarkhis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang
seni daripada orang kebanyakan, sosok panutan yang pendapat atau penafsirannya
diyakini berbobot istimewa. Pada era posmodern pada abad 21 sekarang, aspek
hierarkhis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan
pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni. Kritikus bukan lagi
ia yang berkuasa menentukan ukuran mutu atau nilai seni dan mengarahkan
perhatian dan apresiasi khalayak ramai terhadap suatu kreasi artistik.

6
Kritik sastra sendiri, menurut T.S. Eliot, seharusnya bukanlah ‘kerja
amatiran’, di mana para kritikus harus mendisiplinkan prasangkanya. Kritik sastra
harus selalu menyatakan suatu akhir dalam pandangan, yang dengan kata lain bisa
dikatakan, bahwa kritik kelihatan seperti uraian, penjelasan suatu karya seni dan
pembetulan suatu selera. Kebanyakan kritikus terjebak dalam suasana yang tidak
mendukung: baik itu dalam usaha saling akur, saling hasut, menjatuhkan, menekan,
menyombongkan, saling menenangkan, berpura-pura bahwa mereka orang yang
santun dan yang lainnya sangat diragukan reputasinya.

Memang, landasan utama kritik sastra adalah kejujuran dan sikap


mengesampingkan terlebih dahulu siapa seorang penulis ketika membaca sebuah
karya. Simpulan-simpulan dan argumentasi-argumentasi tulisan kritik sastra akan
disemangati oleh kehendak dan upaya untuk membaca karya itu sendiri, bukan
untuk memunculkan atau pun menyerang “figur” atau pun “nama diri” seorang
penulis atau pun pengarang. Kritik sastra yang baik adalah kritik sastra yang imbang
–dalam arti membicarakan atau pun mengulas kelebihan, sumbangan, keunikan
sebuah karya yang dibahas dan dibicarakan, sekaligus tidak menutup-nutupi aspek-
aspek kelemahan, kekurangan, warisan, dan jejak-jejak karya-karya lain yang
ditulis sebelumnya dalam sebuah karya yang tengah dibicarakandan dibahas oleh
sebuah tulisan atau ulasan kritik sastra.

2.3 Dampak Dari Adanya Isu Terbaru dalam Kritik Sastra Mutakhir

Buruknya nasib kritik sastra dan pengajarannya bukanlah melulu


pengalaman negara-negara bekas jajahan imperium Eropa. Dalam hal ini,
Indonesia. Ternyata ia juga pengalaman negara(-negara) bekas penjajah. Terutama
Inggris. Sekitar lima tahun lalu, Terry Eagleton, teoretikus sastra Marxis paling
terkemuka saat ini, menyatakan kritik sastra sebagai seni sedang “sakratul
maut”.[1] Pasalnya, hampir tidak ada mahasiswa sastra yang ia temui mengamalkan
kritik sastra dalam kegiatan akademis mereka, meski mereka terbilang cemerlang
dan cakap. Kesalahan utamanya, menurut ia, adalah karena dosen-dosen sastra

7
mereka tidak mengajarkan kritik sastra, karena, sebaliknya, mereka juga tidak
pernah diajarkan bagaimana melakukannya. Pernyataan metaforis ini bisa jadi
terlampau menyederhanakan, jika bukan melebih-lebihkan. Yang pasti, pernyataan
itu menghadapkan kita pada situasi yang membahayakan kritik sastra. Para kaum
terpelajar sastra bukan hanya tidak mampu mengajarkan kritik sastra tetapi juga
tahu bagaimana mengamalkannya. Ini tampaknya akibat malapraktik terhadap
kritik sastra, yang menurut Eagleton berlangsung pada dua sisi. Pertama, kritik
sastra sebagai pengamalan secara kritis kepekaan terhadap bentuk, “pembacaan
dekat” yang menyingkap inti, kompleksitas jalinan teks, dan keberlimpahan
“makna”—tidak terjadi. Kedua, tidak adanya keyakinan akan tanggung jawab
sosial-politik para pelakunya.

Ketidakpekaan terhadap bentuk menyebabkan penyederhanaan terhadap


kerja kritik sastra. Mereka memahami apa yang disebut “bentuk” seolah-olah
melulu soal metrum dan rima dalam puisi, dan “analisis isi” hanyalah sejumput
catatan tentang apa yang terjadi pada sebuah novel. Dengan tambahan sedikit
komentar evaluatif, tentu saja. Sementara ketidakpercayaan akan tanggung jawab
sosial-politik untuk menyelami konteks kultural sebuah karya sastra menyebabkan
kritik sastra dituding melulu melayani permainan estetika belaka. Kelalaian itu
adalah lahan subur bagi pertumbuhan cultural studies.

8
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Misi atau dasar Filsafat arus baru mutakhir adalah manusia mempunyai
potensi yang unik yang penting ada dialog antara tokoh dengan pengarangnya.
Karya-karya sastra kebanyakan bersifat misterius karena bukan berhadapan dengan
kenyataan, tidak mungkin ada dialog dengan sesuatu misteri dan hasilnya tidak
komunikatif. Munculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir
dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya
sastra bercorak baru, baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini
mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G30 S/PKI. Dalam periode 70-an
pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas berupa
kemungkinan bentuk baik prosa, puisi drama semakin tidak jelas.

Di kalangan akademisi sastra, sangat mungkin adanya isu-isu terbaru


mutakhir krisis kritik sastra dipandang sebagai sekadar gunjingan tak berdasar. Dari
adanya isu-isu tersebut maka muncullah dampak dari ketidakpekaan terhadap
bentuk menyebabkan penyederhanaan terhadap kerja kritik sastra tersebut.

3.2 Saran

Kritik sastra diharapkan membongkar asumsi-asumsi yang


melatarbelakangi sebuah karya, serta memperlihatkan apa yang tersembunyi atau
hanya disampaikan secara tersirat. Eksperimen untuk menciptakan karya-karya
baru memang diperlukan, namun harus tetap memperhatikan batas-batasnya agar
karya sastra yang dihasilkan lebih jelas dan mudah dimengerti oleh penikmat sastra.
Adapun kiranya agar makalah ini dapat dijadikan suatu referensi bagi pembaca,
agar lebih memahami tentang hakikat kritik sastra.

9
DAFTAR PUSTAKA

Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: GrahaIlmu.

https://zenhae.wordpress.com/2009/11/03/ancaman-yang-cemerlang-bagi-kritik-
sastra/, diakses 3 November 2009

10

Anda mungkin juga menyukai