Anda di halaman 1dari 13

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Steven Johnson merupakan sindrom kelainan kulit pada selaput lendir
orifisium mata gebital. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus. Steven
Johnson tersebut disebabkan oleh beberapa mikroorganisme virus dll.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun, kebawah kemudian umurnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun,
penderita dapat soporous sampai koma, mulainya penyakit akut dapat disertai
gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan
nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika. A. M.
Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang bisa disingkat SSJ
merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-obatan.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya
sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven Johnson dapat timbul sebagai
gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan kemerahan pada
kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan, serta
dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat
terjadi luka-luka seperti keropeng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan
kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS angka kejadiannya dapat meningkat
secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson
karena Sindrom Steven Johnson sangat berbahaya bahkan dapat menyebabkan
kematian. Sindrom tidak menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab
Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan
dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit Steven Johnson sendiri gatal-gatal
pada kulit dan badan kemerah-merahan dan Sindrom ini bervariasi ada yang berat
dan ada yang ringan. ( Support, Edisi November 2008 )

1
2

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Asuhan keperawatan pasein steven johnson syndrome

1.3 Tujuan
Agar mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Sindrom
Steven Johnson

2
3

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Teoritis Medis


2.1.1 Defenisi

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,


vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk
(Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter,
dr.Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut
tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).
Sindrom Stevens-Johnson Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, sindrom
Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun
yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Sindrom Stevens-
Johnson (SSJ) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular,
eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa
maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai
purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002)

2.1.2 Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat
dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
 Penisilline dan semisentetiknya

3
4

 Sthreptomicine
 Sulfonamida
 Tetrasiklin
 Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol)
 Klorpromazin
 Karbamazepin
 Tegretol
 Jamu
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
5. Makanan

2.1.3 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif
tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III


Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil

4
5

tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan
siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV


Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel
yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun,
penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai
gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan
nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi
purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di
bibir kelainan yang sering tampak yaitu krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian
atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat
menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernafas.

5
6

3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen,
perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut
dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16
% diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan
atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi
kebutaan karena gangguan lakrimasi.

2.1.6 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson
berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah
masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan
dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit
(K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi

6
7

protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis


25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta
kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 %
dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena
sehari dan hemostatik.
4. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
 Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
 Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

2.2 Teoritis Keperawatan


A. Pengkajian
a. Data Subyektif

7
8

 Klien mengeluh demam tinggi, lemah letih, nyeri kepala, batuk, pilek,
dan nyeri tenggorokan / sulit menelan.
b. Data Obyektif
 Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi
erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
 Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
 Kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan
iridosiklitis.
 Nefritis dan onikolisis.
c. Data Penunjang
 Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
 Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel
darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,
spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
 Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
5. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis

8
9

C. Intervensi Keperawatan
N
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
o
1. Gangguan integritas Menunjukkan kulit dan a. Observasi kulit setiap hari a.Menentukan garis dasar dimana
kulit b.d. inflamasi jaringan kulit yang utuh catat turgor sirkulasi dan perubahan pada status dapat dibandingkan
dermal dan epidermal sensori serta perubahan dan melakukan intervensi yang tepat.
lainnya yang terjadi. b.Menurunkan iritasi garis jahitan dan
b. Gunakan pakaian tipis dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
alat tenun yang lembut. terbuka terhadap udara meningkat proses
c. Jaga kebersihan alat tenun. penyembuhan dan menurunkan resiko
d. Kolaborasi dengan tim medis infeksi.
untuk pemberian c.Untuk mencegah infeksi.
kortikosteroid. d.Untuk mencegah infeksi lebih lanjut.

2. Gangguan nutrisi kurang Menunjukkan berat a. Kaji kebiasaan makanan a.Memberikan pasien/orang terdekat rasa
dari kebutuhan tubuh badan yang disukai/tidak disukai. kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
b.d. kesulitan menelan stabil/peningkatan berat perawatan dan dapat memperbaiki
badan. pemasukan.

9
10

b. Berikan makanan dalam b.Membantu mencegah distensi


porsi sedikit tapi sering. gaster/ketidaknyamanan.
c. Hidangkan makanan dalam c.Meningkatkan nafsu makan.
keadaan hangat. Kalori protein dan vitamin untuk
d. Kerjasama dengan ahli gizi memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan
dan mendorong regenerasi jaringan.
3. Gangguan rasa nyaman, a. Melaporkan nyeri a.Kaji keluhan nyeri, perhatikan 1. Nyeri hampir selalu ada pada beberapa
nyeri b.d. inflamasi pada berkurang. lokasi dan intensitasnya. derajat beratnya keterlibatan jaringan
kulit b. Menunjukkan b.Berikan tindakan kenyamanan 2. Meningkatkan relaksasi, menurunkan
ekspresi dasar ex: pijatan pada area yang tegangan otot dan kelelahan umum
wajah/postur tubuh sakit. 3.Metode IV sering digunakan pada awal
rileks. c.Pantau TTV. untuk memaksimalkan efek obat.
d.Berikan analgetik sesuai Menghilangkan rasa nyeri.
indikasi.
4. Gangguan intoleransi Klien melaporkan a.Kaji respon individu terhadap a.Mengetahui tingkat kemampuan individu
aktivitas b.d. kelemahan peningkatan toleransi aktivitas. dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
fisik aktivitas. b.Bantu klien dalam memenuhi b.Energi yang dikeluarkan lebih optimal.
aktivitas sehari-hari dengan

10
11

tingkat keterbatasan yang c.Energi penting untuk membantu proses


dimiliki klien. metabolisme tubuh.
c.Jelaskan pentingnya d.Klien mendapat dukungan psikologi dari
pembatasan energi. keluarga.
d.Libatkan keluarga dalam
pemenuhan aktivitas klien.
5. Gangguan Persepsi a. Kooperatif dalam a. Kaji dan catat ketajaman a.Menetukan kemampuan visual
sensori: kurang tindakan. pengelihatan. b.Memberikan keakuratan thd pengelihatan
penglihatan b.d b. Menyadari b. Kaji deskripsi fungsional apa dan perawatan.
konjungtifitis hilangnya yang dapat dilihat/tidak c.Meningkatkan self care dan mengurangi
pengelihatan secara c. Sesuaikan lingkungan dengan ketergantungan.
permanen. kemampuan pengelihatan: d. Meningkatkan rangsangan pada waktu
- Orientasikan thd kemampuan pengelihatan menurun.
lingkungan.
- Letakan alat-alat yang
sering dipakai dalam
jangkuan pengelihatan
klien.
- Berikan pencahayaan

11
12

yang cukup.
- Letakan alat-alat
ditempat yang tetap.
- Berikan bahan-bahan
bacaan dengan tulisan
yang besar.
- Hindari pencahayaan
yang menyilaukan.
- Gunakan jam yang ada
bunyinya.
d. Kaji jumlah dan tipe
rangsangan yang dapat
diterima klien.

12
13

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari
eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis dengan keadaan umum bervariasi
dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat
disertai purpura. Penyebab dari penyakit SSJ ini belum diketahui dengan pasti,
namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab infeksi virus, jamu,
bakteri, obat, makanan, dan lain-lain. sindrom ini terlihat adanya trias kelainan
berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir, kelainan mukosa, kelainan mata.
Adapun diagnosanya berupa gangguan integritas kulit, gangguan nutrisi,
gangguan nyaman, gangguan intoleransi aktivitas, gangguan persepsi sensori.

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok menyadari masih minimnya bahan
yang kelompok gunakan untuk menyusun makalah ini. Untuk itu kelompok
menyarankan supaya ada pihak lain dapat membahas masalah ini lebih mendalam
mengenai masalah ini. Dan tentunya bagi perawat yang melakukan asuhan
keperawatan diharapkan harus menganalisa keadaan pasien dengan baik dan tepat.

13

Anda mungkin juga menyukai