Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanasan global telah menjadi isu yang menghangat beberapa dekade

belakangan ini, hal ini tidak terlepas semakin terasanya dampak negatif dari

pemanasan global tersebut. Dampak yang ditimbulkan dari pemansasan global

dirasakan oleh negara maju maupun negara berkembang. Akibat dampak yang

ditimbulkan dari pemanasan global, maka seluruh negara di dunia sepakat

untuk mengusahakan pencegahan pemanasan global tersebut. Salah satu usaha

pencegahan pemanasan global tersebut adalah penerapan Reducing Emission

From Deforestation Degradation (REDD) yaitu mekanisme pencegahan

pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah

deforestasidan degradasi hutan.

REDD lahir atas prakarsa Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan

Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 yang menghasilkan Rencana

Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi

iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui

pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang

terkandung dalam REDD. Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim

dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang

menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan

perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan

penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan

lahan.
REDD kemudian berkembang menjadi REDD-Pluss atau ditulis

REDD+ yang menyertakan tiga peran hutan lainnya dalam penyerapan dan

penyimpanan karbon. Sejak Cop13 di Bali, Indonesia telah mendukung

konsep REDD+, utamanya karena ruang lingkupnya lebih luas dan

peluangnya lebih besar dengan memasukkan tiga kegiatan lainnya, yaitu

konservasi karbon (conservation of carbon stock), pengelolaan yang lestari

dalam pengurusan hutan (suistanable management of forest), dan peningkatan

daya simpan karbon (enhanchment of carbon stock). Dengan tiga tambahan

kegiatan tersebut, maka kegiatan REDD+ meliputi kegiatan utama yang perlu

diterjemahkan ke dalam program dan proyek penurunan emsisi GRK di sekitar

hutan.

Penerapan REDD+ dilakukan di beberapa negara yang ditunjuk sebagai

negara percontohan seperi Indonesia, Bolivia, Brazil, Paraguay, Mizambieq,

Kongo, Panama, Papua Nugini, Vietnam dan Zambia. Pelaksanaan REDD di

beberapa Negara mengalami berbagai kendala terutama dalam soal

penghargaan atas hak komunitas local/adat yang berada di dalam dan sekitar

kawasan hutan tempat REDD+ akan diimplementasikan. Keberhasilan

penerapan REDD+ memerlukan dukungan seperti tata kelola hutan

(governance), aspek biofisik hutan serta aspek sosial ekonomi masyarakat

sekitar kawasan hutan.

Mengapa penerapan REDD+ dianggap menjadi program yang penting

dalam pengurangan GRK? Karena sejauh ini perubahan iklim telah banyak

menimbulkan kerusakan lingkungan. Masalah lingkungan dalam konteks ini

2
perubahan iklim, menyimpan bahaya laten bagi keberlangsungan hidup suatu

negara (Barnett, 2003). Ketika isu ini sudah masuk dalam domain publik,

maka upaya selanjutnya adalah menerimakan isu ini untuk dijadikan kajian

politik dan keamanan. Dalam beberapa negara, proses politisasi sudah

berjalan dengan sangat baik.

Colin MacAndrews (1994:380) mencatat bahwa isu lingkungan mampu

membangun dua kemajuan penting. Pertama, karakter isu lingkungan yang

tidak sensitif membuat pembahasan ini bisa dijadikan alternatif untuk

membuka tatanan yang tertutup atau elitis. Kedua, pembahasan masalah

lingkungan tidak hanya berkisar pada bagaimana permasalahan -

permasalahan yang ada dapat diselesaikan, namun juga bagaimana kapasitas

tatanan yang ada harus beradaptasi dengan tuntutan perubahan yang terjadi.

Artinya, dibutuhkan kelenturan lembaga untuk bisa berdialog dengan –dan

mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan masalah

lingkungan. Dua kemajuan ini membuat isu lingkungan secara publik equal

dengan isu-isu tradisional lain, seperti keamanan, integritas wilayah, dll.

Berangkat dari isu lingkungan dan keamanan tersebut, maka program REDD

menjadi agenda yang marak untuk diterapkan di banyak negara terutama

negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam penelitian ini merupakan studi perbandingan implementasi

REDD+ di Indonesia dan Brazil. Kedua negara tersebut menurut FAO

merupakan negara dengan hutan tropis terbesar (International Tropical

Timber Organization). Maka, menjadi peluang yang paling efektif untuk bisa

3
menjadi negara percontohan diterapkannya REDD+. Implementasi penerapan

REDD di Indonesia dimulai dengan pembentukan IFCA (Indonesia Forest

Climate Alliance) pada tahun 2007. Setelah itu Pemerintah Indonesia, dalam

hal ini Kementrian Kehutanan mengeluarkan tiga peraturan yang berkaitan

langsung dengan REDD yaitu: Permenhut No P.68/Menhut-II/2008,

Permenhut NO. P.30/Menhutt-II/2009, dan Permenhut No P. 36/Menhut-

II/2009.Isu lingkungan sudah melibatkan empat aktor utama dalam

perdebatan kebijakan publik, yaitu: pemerintah, partai politik, LSM, termasuk

media dan pelajar, dan kalangan bisnis (MacAndrews: 1994: 374).

Di Indonesia sendiri penerapan REDD masih memunculkan perdebatan

di kalangan masyarakat terutama yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) sebagai

mekanisme internasional yang bertujuan dapat memberi insentif yang bersifat

positif bagi negara berkembang serta upaya mengurangi emisi dari deforestasi

dan degradasi hutan, tetapi juga berdampak negatif pada masyakarat lokal.

Kekhawatiran ini diakibatkan minimnya informasi pemerintah dan sosialisasi

yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, minimnya keterlibatan

masyarakat lokal dalam penerapan REDD berpotensi menimbulkan konflik.

Berbeda di Brazil yang memiliki kemajuan besar dalam penerapan

REDD. Brazil menjadi contoh yang menarik karena membuat kemajuan besar

dalam membangun kerangka Undang-undang REDD. Selain itu, dengan

mempertimbangkan keterlibatan masyarakat adat dan beberapa NGO menjadi

salah satu pendukung implementasi REDD (Virgilio : 2010). Dua inisiatif

4
REDD telah diluncurkan oleh Pemerintah Nasional Brazil, yaitu: 1) Rencana

Aksi Nasional untuk Mencegah dan Kontrol Deforestasi di Amazon

(PPCDAM), yang meliputi peraturan teritorial dan pemantauan lingkungan,

serta mendorong pembangunan berkelanjutan di kawasan ini. 2) Rencana

Nasional Perubahan Iklim (2008), yang menetapkan target nasional untuk

pengurangan emisi di beberapa sektor dan termasuk Amazon. Tujuannya

adalah untuk mencapai pengurangan 80 persen pada tahun 2020.

Sejalan dengan aksi-aksi politik ini, Brazil telah mendirikan Dana

Amazon, dikelola oleh Bank Nasional Brasil untuk Pembangunan Ekonomi

dan Sosial (BNDES). Dibuat pada tahun 2008, (Cerbu, 2009) ini adalah

mekanisme pembiayaan non-penggantian yang membantu untuk mendorong

pelestarian hutan Amazon, memberikan kontribusi untuk mencegah dan

memerangi deforestasi, serta mempromosikan inisiatif pembangunan

berkelanjutan.

Melihat dua Negara yang menerapkan REDD+ tersebut, saya kira isu ini

menjadi penting untuk dibahas karena REDD+ berhubungan dengan wilayah

tertentu yang dikhawatirkan memendam bara konflik. Terlebih karena hutan

sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, telah memberikan

manfaat yang besar bagi umat manusia. Hutan mempunyai peranan sebagai

penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, yaitu sebagai paru-paru dunia,

dimana keseimbangan hutan di suatu wilayah saja mampu membawa

implikasi secara besar di tingkatan dunia. Maka tak heran banyak kalangan

5
yang memperdebatkan bagaimana REDD+ diterapkan di Negara yang

bersangkutan, dalam konteks penelitian ini yaitu Indonesia dan Brazil.

Dengan berbagai perdebatan maka REDD+ harus diterapkan

menggunakan landasan human security. Sejauh mana penerapan REDD+

dalam melihat keamanan manusia yang di dalamnya terdapat keamanan

lingkungan, personal dan keamanan komunitas. Kebijakan human security

(Zaini, 2003) merupakan sebuah integrasi, kesinambungan dan keamanan

yang menyeluruh dari rasa takut, konflik, kebodohan, kemiskinan,perampasan

sosial dan budaya dan kelaparan yang berpijak pada kebebasan positif dan

negatif. (“In policy terms, human security is an integrated, sustainable,

comprehensivesecurity from fear, conflict, ignorance, poverty, social and

cultural deprivation, and hunger, resting upon positive and negative

freedoms”).

Dalam beberapa perkembangan selanjutnya timbul kesadaraan bahwa

keamanan negara dan terpeliharanya perdamaian dan keamanan yang

ditentukan oleh terwujudnya suatu masyarakat yang sejahtera dan terlindungi.

Sehingga perwujudan keamanan manusia diperlukan untuk melengkapi

pendekatan konvensional keamanan yang dianut ini sehingga lebih

kompehensif (Van Ginkel). Salah satu agendanya adalah menempatkan

human security pada isu keamanan lingkungan hidup.

Berangkat dari beberapa argumen tersebut, menjadi dasar alasan saya

untuk mengambil topik penelitian ini karena isu lingkungan terutama

pengelolaan hutan yang tidak mendasarkan basis kemanusiaan dengan

6
penerapan human security. REDD+ secara keseluruhan merupakan kerangka

kerja yang mencakup upaya untuk mengurangi penebangan hutan, degradasi

hutan, konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan stok karbon

hutan. Maka, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan melihat persoalan

REDD+ yang diterapkan di Brazil dan Indonesia masih banyak perdebatan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakangnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana REDD+ diterapkan di Brazil dan Indonesia dalam

perspective human security?

2) Apa saja perbedaan antara Brazil dan Indonesia dalam menerapkan

REDD+? Apakah sudah berlandaskan human security?

1.3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan perumusan masalahnya, maka penelitian ini akan dibatasi

pada analisisi REDD+ di Brazil dan Indonesia dengan menggunakan

perspektif human security. Sertamelihat bagaimana tantangan dan harapan

yang dihadapi dalam proses implementasi REDD+ di Brazil dan Indonesia.

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarakan pembatasan masalahnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

7
1) Memahami dan mendeskripsikan penerapan REDD+ di Brazil dan

Indonesia dalam perspektif human security.

2) Mengetahui dan membandingkan perbedaan antara penerapan REDD+ di

Brazil dan Indonesia dalam perspektif human security.

1.5. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

perkembangan kajian Hubungan Internasional, khususnya tentang kajian

human security. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat pula dijadikan

sebagai referensi bagi mahasiswa lainnya yang ingin melakukan penelitian

sejenis.

2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, kontribusi

serta menjadi acuan kepada beberapa pihak yang berkepentingan dalam

kajian dan pengembangan terkait isu human security khususnya isu

lingkungan . Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan

pertimbangan dalam penerapan REDD+ di beberapa Negara lainnya.

8
2. Kajian Teoritik

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Hendrik Manulang dengan judul

“Politik Lingkungan: Analisis Reducing Emission From Deforestation

Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia”.

Penelitian tersebut dilakukan melalui studi pustaka, wawancara dan diskusi

dengan ahli. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui siapa saja

aktor-aktor serta kepentingan dari aktor-aktor yang terlibat dalam program

REDD. Selain itu bertujuan untuk menggambarkan secara objektif analisa

dampak mekanisme REDD bagi bidang sosial, politik, dan lingkungan hidup

Indonesia. Hal ini berkaitan dengan adanya inisiatif pemerintah Indonesia

untuk melaksanakan mekanisme REDD dikawasan wilayah kedaulatannya.

Penelitian lain dilakukan oleh Jovanka Spiric, 2009 “Investigating the

Socio-Economic Impact of REDD scheme implemented In the Nhambita

Community Carbon Proect, Mozambique”. Penelitian yang dilakukan oleh

Spiric berfokus pada dampak perkembangan ekonomi bagi masyarakat

Nhambita atas penerapan REDD. Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana

pengaruh dan dampak bagi kemajuan ekonomi di Nhambita pasca

diterapkannya program REDD. Penelitian yang saya lakukan merupakan studi

perbandingan antara REDD+ yang diterapkan di Indonesia dan Brazil dalam

perspective human security.

Penelitian ini ingin melihat apakah penerapan REDD+ di Indonesia dan

Brazil sudah memenuhi standar human security dimana penerapan REDD+

9
tersebut tidak mengancam kerusakan lingkungan, ketersediaan pangan dan

kemanan masyarakat adat setempat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Selain itu, posisi penelitian ini juga sebagai kajian perbandingan untuk

melihat perbedaan antara kedua Negara tersebut yaitu Brazil dan Indonesia.

Dari beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat negara mana yang sudah

terbilang berhasil dalam menerapkan REDD+ sesuai landasan human

security. Kontribusi atau manfaat dalam penelitian ini dapat menjadi refrensi

bagi penerapan REDD+ di Negara-negara lainnya terutama Negara-negara

berkembang. Penelitian ini menggunakan studi literatur dengan

memanfaatkan beberapa referensi yang ada.

2.2. Konsep Teori

Sesuai dengan penelitian tersebut, maka perlu diuraikan beberapa teori

yang relevan untuk mendukung dan mempermudah proses penelitian.

Beberapa teori yang mendukungan yaitu human security, Sovereignity as

Responsibility dan Kyoto Protokol. Landasan teori tersebut relevan digunakan

terutama dalam melihat rumusan masalah yang berkaitan dengan penerapan

REDD+ di Indonesia dan Brazil. Konsep human security dapat digunakan

untuk melihat apakah skema REDD+ yang diterapkan di kedua Negara terebut

sudah memprioritaskan keamanan manusia dan lingkungan.

Konsep Sovereignity and Responsibility melihat sejauh mana peran

Negara dalam menerapkan REDD+ di kedua Negara tersebut. Konsep

10
mengenai Kyoto Protokol adalah konsep yang menjadi landasan

diterapkannnya program REDD+ di Indonesia dan Brazil. Melalui Kyoto

Protokol sebagai dokumen yang bertujuan untuk merumuskan secara rinci

langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang

meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian

internasional perubahan iklim terutama bagi Negara berkembang. Selain itu,

konsep community security juga menjadi relevan untuk melihat bagaimana

respon dan kesiapan masyarakat adat di Indonesia dan Brazil.

2.2.1. Human Security

Konsep Human Security merupakan Perubahan pandangan dunia tentang

arti atau makna keamanan, dari keamanan tradisional/militer menjadi Non –

tradisional atau dikenal dengan istilahHuman Security. Perubahan Perspektif

tentang keamanan ini terjadi dalam pemikiran ilmuwan atau akademis seperti

Barry Buzan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde yang terangkum dalam mahzab

Kopenhagen (the Copenhagen School). Menurut the Copenhagen School,

(Floyd: 2007) sejak berakhirnya Perang Dingin (yang di warnai menurunya

hakikat ancaman militer), maka disiplin Hubungan Internasional dituntut

untuk memperluas obyek rujukan (reference object)-nya dengan tidak lagi

melulu berbicara “keamanan negara‟, tetapi juga menyangkut “keamanan

manusia.

Human security memusatkan kepada manusia (people-centered) dan

bukan negara (state-centered). Berdasarkan laporan tersebut juga terdapat

11
pembagian berbagai aspek yang melihat bahwa keamanan bisa dilihat dengan

berbagai pandangan: keamanan ekonomi (economic security), makanan (food

security), kesehatan (health security), lingkungan (environtmental security),

pribadi /individu (personal security), komunitas (community security), dan

politik (politic security). Lebih jauh bahwa human security bukan hanya

persoalan „tiadanya konflik dengan kekerasan‟, tetapi juga meliputi jaminan

terhadap Hak Asasi Manusia, good governace, akses pendidikan dan layanan

kesehatan, serta jaminan bahwa setiap individu memiliki kesempatan dan

peluang untuk memenuhi potensinya.

Argumen lain diperkuat oleh An Sen (1998) menyatakan keamanan

manusia berhubungan dengan berkurangnya atau mungkin hilangnya

ketidakamanan yang mengganggu kehidupan manusia “Human security is

concerned with reducing and when possible-removing the insecurities that

plague human lives”. Penjelasan ini searah dengan apa yang dijelaskan oleh

Komisi Keamanan Manusia, yaitu:

“Human security in its broadest sense embraces for more than the
absence of violent conflict. It encompasses human right, good
governance access to education and health care and ensuring that each
individual has opportunities and choices to fulfill his or her own
potential… freedom from want, freedom from fear and the freedom of the
future generations to inherit a healthy natural environment-these are
interrelated building blocks of human and therefore national, security
(Commission of Human Security:2003.p.4).
Makna keamanan dapat dipahami sebagai freedom from fear yang

memberi makna lebih kepada keamanan nasional, yakni tidak adanya ancaman

terhadap kedaulatan negara. Sedangkan makna freedom from want lebih

kepada pertumbuhan ekonomi atau pembangunan untuk memenuhi keperluan

12
asas hidup manusia. Dalam pernyataan ini penulis tambahkan kepada freedom

from dehumanization yakni adanya kebebasan dari perlakuan yang tidak

berprikemanusiaan atau dehumanisasi serta adanya jaminan dalam memenuhi

keperluan hidup mereka, kepastian untuk menjalani identitas budaya

kelompok suatu atau etnik serta kebebasan dalam mengekspresikannya.

Karena, sejauh ini kebanyakan konflik dan kekerasan yang terjadi disebabkan

oleh rendahnya pemahaman dan penghayatan keanekaragaman yang ada,

perbedaan agama, etnik, gender, serta akses terhadap sumber daya alam.

Tabel 1
Perubahan Paradigmatik State Security Menuju Human Security

State Security Human Security


Fokus Negara Individu, Rumah Tangga,
Masyarakat
Ancaman Ancaman terhadap batas Ancaman tanpa garis batas,
teritorial seperti: pencemaran
lingkungan, infeksi penyakit
dan terorisme
Aktor Negara (tokoh politik, Cakupan lebih luas seperti
militer) NGO
Tujuan Melindungi Negara Melindungi dan
memberdayakan manusia
Sumber: Bishop Antonio. J. Ladesma, SJ. 2005. Local Perspective in
Peacebuilding, GZOPJ, Quezon City, hal: 14
Tujuan utama keamanan masyarakat adalah bebas dari ketakutan,

keinginan, serta bebas untuk mendapatkan kehidupan yang bermartabat, serta

bebas untuk mengekspresikan identitas budaya yang ada. Dengan demikian

dalam kajian ini konsep keamanan yang penulis maksud adalah pembangunan

ekonomi maupun sosial hendaknya dapat menjadikan faktor keamanan

manusia (human security) sebagai prioritas. Maka, keamanan manusia perlu

13
dikaitkan dengan pembangunan masyarakat karena keamanan manusia

merupakan pra-syarat tercapainya pembangunan masyarakat yakni mencapai

kesejahteraan masyarakat dengan menekankan kepada aspek perlindungan,

partisipasi dan pemberdayaan.

Isu lingkungan merupakan bagian dari konsep studi keamanan modern,

isu tersebut dijadikan sebagai faktor-faktor pendukung ketika berbicara pada

konsep keamanan yang lebih khusus, yaitu manusia. Konsep keamanan

manusia inilah yang membuat konsep keamanan tradisional (negara)

mengalami perubahan, seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat

dunia terhadap isu lingkungan hidup dan semakin berkurangnya peristiwa-

peristiwa kedaulatan, militer dan perdamaian. Hal ini yang menjadi dasar

mengapa isu lingkungan hidup menjadi bagian dari studi keamanan dalam ilmu

hubungan internasional.

Robert Kaplan (2008:6) menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat

ataupun negara tidak lagi menjadi hal yang penting dalam dunia saat ini, ketika

individu atau manusia menjadi pembahasan yang mengemuka. Kaplan dapat

memaparkan apa saja yang kemudian menjadikan keamanan manusia dapat

terancam dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataannya, sebagai berikut:

“Disease, overpopulation, unprovoked crime, scarcity of resources,


refugee imigrations, the increasing erosion of nation state independence
and international borders and the empowerment of private armies and
drug cartels.”

Pada tahap selanjutnya, teori ini yang kemudian mendorong isu selain

militer-strategis menjadi diskusi penting dalam kaitannya studi keamanan

14
lingkungan. Bertambahnya jumlah penduduk akan memiliki dampak langsung

terhadap kebutuhan akan hutan, daratan, dan air sebagai kebutuhan energi.

Meningkatnya konsumsi energi juga membutuhkan lebih banyak bahan bakar

minyak, dimana juga akan meningkatkan efek rumah kaca yang berujung

pada Global Warming (Sinha, 2006:602). UNDP merilis bahwa pemanasan

global merupakan isu besar dalam keamanan lingkungan hidup. Persoalan

utamanya adalah terkait kelangkaan sumber daya alam, penyakit dan ledakan

jumlah penduduk.

2.2.1. Sovereignity as Responsibility

Kedaulatan telah menjadi sebuah prinsip utama yang mendalangi

interaksi sistem internasional selama lebih dari 350 tahun, tepatnya sejak

Peace of Westphalia. Kedaulatan telah dianggap sesbagai prinsip tertinggi

yang mempengaruhi tindakan dan sikap setiap negara. Kedaulatan dalam arti

yang konvensional didefinisikan sebagai hak yang dimiliki negara untuk

menentukan segala urusan domestiknya dan bahwa pihak atau negara asing

tidak diperbolehkan untuk mengintervensi urusan domestik tersebut. Definisi

ini identik dengan prinsip non intervensi.

Dalam perkembangannya, prinsip kedaulatan menjadi lebih

komprehensif dimana kedaulatan juga tidak dapat dilepaskan dari prinsip

responsibility atau tanggung jawab. State responsibility secara detail

didefinisikan sebagai tanggung jawab negara untuk mengurusi dan memenuhi

kebutuhan dasar bagi warga negaranya dalam bidang keamanan, kesehatan,

15
pendidikan, ekonomi, hukum, infrastruktur dan good governance. Dalam

upaya pemenuhan tanggung jawabnya, negara harus mengelola dengan baik

berbagai sumber daya alam termasuk sumber daya hutan. Idealnya,

pengelolaan harus dilakukan secara proporsional dengan mengedepankan hajat

hidup orang banyak dan tidak menimbulkan kekerasan dalam bentuk apapun.

2.2.2. Protokol Kyoto

Protokol Kyoto adalah dokumen utama yang dibuat dalam perjanjian

perubahan iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate

Change – UNFCCC). Protokol ini bertujuan untuk merumuskan secara rinci

langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang

meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian

internasional perubahan iklim PBB, yakni “stabilisasi konsentrasi gas rumah

kaca dalam atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan

manusia/ antropogenis pada sistem iklim dunia”.

Protokol Kyoto, diadopsi pada pertemuan ketiga Conference of Parties

(COP) UNFCCC pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang dan

mengikat secara hukum negara yang menandatangani dan meratifikasinya.

Sejauh ini, 187 negara telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto mewajibkan bahwa 37 negara industri (disebut negara-negara

Annex I) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 5,2 persen

di bawah tingkat emisi tahun 1990.Indonesia telah meratifikasi Protokol

Kyoto pada tanggal 23 Juni 2004. Dalam konteks penelitian ini inisiatif

16
Negara Indonesia dan Brazil untuk menerapkan REDD merupakan kelanjutan

dari penandatanganan Protokol Kyoto.

3. Metode Penelitian

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, di mana penelitian ini

menggunakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

(Moleong, 1995). Pendekatan yang saya lakukan pada penelitian kualitatif ini

menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus merupakan tipe dalam

penelitian yang penelaahannya pada suatu kasus dilakukan secara intensif,

mendalam, mendetail, dan komprehensif. Secara umum, studi kasus

merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu peneliti

berkenaan dengan how atau why, dan studi kasus bertujuan untuk mempelajari

secara intensif mengenai unit sosial tertentu yang meliputi individu,

kelompok, lembaga, dan masyarakat.

3.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah library

research (kajian pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data

kepustakaan sebagai bahan untuk dikaji dan ditelaah dalam memperoleh

hipotesis dan konsepsi untuk mendapatkan hasil yang obyektif. Selain

17
melakukan kajian pustaka, dalam penelitian ini juga melalui tahap wawancara

dan diskusi dengan para ahli untuk menambah wawasan terkait penelitian.

3.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini analisa REDD+ yang diterapkan di Indonesia dan

Brazil dalam perspektif human security.

3.4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menganalisis secara kualitatif, sedangkan angka-angka maupun tabel yang

bersifat kuantitatif berfungsi memperjelas dan memperkuat analisis kualitatif.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah kajian

pustaka (Library Research), yaitu penghimpunan data dengan menelaah

sejumlah literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik

berupa buku, jurnal, dokumen, surat kabar, maupun artikel-artikel internet

yang relevan. Selain memanfaatkan sejumlah literature, penelitian ini juga

melakukan pengumpulan data sebagai dokumen-dokumen pendukung dari

beberapa instansti seperti Central International Forestry of Research

(CIFOR), UN-REDD Indonesia, UNEP Indonesia, Dewan Nasional

Perubahan Iklim (DNPI) dan Kementrian Kehutanan Indonesia.

18
3.6. Argumen Utama

Penulisan tesis ini menyimpulkan tiga hal sebagai berikut; Pertama,

penerapan REDD+ di Brazil dna Indonesia memiliki persamaan dan

perbedaan. Keduanya merupakan negara berkembang yang mendukung

REDD+ sebagai komitmen politik internasional dimaan skema ini

menawarkan insentif atas usaha pengurangan emisi yang ditimbulkan oleh

deforestrasi dan degradasi hutan di Brazil dan Indonesia. Implikasinya,

dengan mengambil komitmen tersebut, Brazil dan Indonesia dapat mencegah,

mengurangi emisi deforestrasi dan degradasi hutan serta menjaga kelestarian

hutannya.

Kedua, terdapat perbedaan antara Brazil dan Indonesia atas peranan

dalam menerapkan REDD+ dengan menggunakan perspektive human

security. Perbedaan yang muncul di Brazil dan Indonesia dikarenakan

keduanya memiliki karaskteristik masyarakat yang berbeda. Berbagai aspek

yang terdiri dari kelembagaan, sistem jasa lingkungan, pendekatan human

security menjadi faktor yang mendorong perbedaan dalam pelaksanaan

REDD+ di Brazil dan Indonesia. Peranan kelembagaan di Brazil sudah jauh

lebih optimal dibandingkan di Indonesia. Pemerintah Brazil memiliki sistem

distribusi pembayaran jasa lingkungan yang dapat memeberi intensif pada

waraganya yang menjaga hutan.

Ketiga, berdasarkan studi perbandingan tersebut, Brazil yang

mendapatkan support pemerintah dan masyarakat menjadi negara pilot

percontohan bagi negara lainnya termasuk Indonesia. Keunggulan lainnya

19
bahwa Brazil telah berhasil menempatkan human secuirty dalam penerapan

REDD+ di negaranya. Dalam menempatkan human security pada REDD+ di

Brazil dan Indonesia terdapat perbedaan yang cukup krusial dimana Brazil

telah berhasil melibatkan masyarakat adat lokal dan NGO, sementara di

Indonesia sebatas kebijakan atau peraturan Nasional.

3.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini akan disususn dalam lima bab secara

komprehensif. Pada bab I tesis berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitia, tinjauan pustaka, relevansi penelitian, metode penelitian, argumen

utama, dan sistematika penelitian. Pada bab II membahas mengenai isu

perubahan iklim global yang dimulai dari Perdebatan Politik Isu Perubahan

Iklim, Mekanisme Kebijakan Konvensi Perubahan Iklim, UNFCCC sebagai

Rezim Internasional Perubahan Iklim, Kyoto Protokol, REDD hingga REDD+

(Plus) , dan bagaimana human security dalam penerapan REDD+.

Pada bab III akan mendeskripsikan penerapan REDD+ di Brazil dan

Indonesia dimana kedua negara tersebut sama-sama mendukung REDD+

sebagai bagian dari komitmen internasional dalam upaya pengurangan gas

rumah kaca. Kemudian membandingkan perbedaan dan persamaan kedua

negara tersebut dalam mengimplementasikan program REDD+ berdasarkan

inisatif pemerintah dalam mengambil komitmen pelaksanaan REDD+ dan

pendanaan tata kelola hutan di Brazil dan Indonesia. Selain itu, di bab ini

mebandingkan REDD+ Brazil dan Indonesia serta menganalisis tiga aspek

20
human security yang terdiri dari environment security, food security dan

community security yang menjadi landasan penerapan REDD+ di kedua negara

tersebut.

Bab IV akan menjawab rumusan masalah terkait perbedaan REDD+

Brazil dan Indonesia dalam perspektive human security. Selanjutnya, aspek-

aspek human security di masing-masing negara tersebut akan diperbandingkan

dan menganalisis perbedaan yang muncul serta alasan mengapa Brazil menjadi

negara yang lebih unggul dalam proyek percontohan REDD+. Bab V

merupakan bab kesimpulan.

21

Anda mungkin juga menyukai