Anda di halaman 1dari 8

PROSEDUR PENGAUDITAN DENGAN PENGUJIAN SUBSTANTIF SIKLUS

PENDAPATAN

1. PENENTUAN RISIKO DETEKSI


Setiap kegiatan mengandung Risiko. Menurut teori keuangan semakin besar risiko
semakin besar hasilnya. Risiko ini timbul apabila kenyataan yang ada tidak sama dengan
rencana yang dibuat.
Dalam audit perusahaan risiko yang dihadapi yaitu risiko audit. Dimana risiko audit
yaitu “kemungkinan Akuntan mengeluarkan pendapat wajar atas laporan keuangan yang
mengandung kesalahan yang material yang seharusnya diberikan pendapat selain pendapat
wajar”. (Harahap, 1992). Risiko audit dibagi dalam beberapa jenis. Dan risiko deteksi salah
satu yang termasuk kedalam risiko audit.
Dua kualitas yang paling penting dari seorang auditor adalah independensi dan
kompetensi. Kepada siapa laporan-laporan auditor ditujukan adalah penting untuk memastikan
bahwa penyelidikan dan rekomendasi yang dibuat tidak menyimpang (bias). Persyaratan
khusus untuk independensi telah ditetapkan dalam Statement Of Responsibilities Of Internal
Auditing. Independensi memungkinkan auditor menyampaikan pertimbangan yang tidak
memihak dan tidak menyimpang yang esensial bagi pelaksanaan audit yang layak.
Risiko deteksi adalah risiko bahwa auditor tidak akan menemukan salah satu material
yang ada dalam sebuah asersi. Risiko ini berasal dari adanya kemungkinan akuntan tidak
menemukan kesalahan atau penyelewengan yang sifatnya material sewaktu melaksanakan
audit.
Risiko deteksi ini seperti risiko yang dihadapi dalam sampling risk dan non-sampling
risk. Dalam sampling risk auditor berisiko memilih sampel yang tidak mewakili seluruh
populasi. Meskipun sampel telah diperiksa dengan cermat dan temuan atas sampel
didokumentasikan denan baik, kesimpulan mengenai seluruh populasi keliru. Dalam non-
sampling risk auditor, meskipun sampelnya sudah benar, yaitu mewakili seluruh populasi,
namun masih ada risiko bahwa sampel itu tidak diperiksa dengan cermat.
Sedangkan Rencana risiko deteksi adalah dasar untuk menetapkan rencana tingkat
pengujian substantif yang ditentukan oleh auditor sebagai komponen keempat atau terakhir
dalam penetapan strategi audit awal untuk suatu pernyataan/asersi. Merancang pengujian
substantif meliputi :Sifat, Waktu, Luas Pengujian, Penentuan staf audit. Rencana risiko deteksi
ditentukan berdasarkan hubungan yang dinyatakan dengan model sebagai berikut:
RD = RA/RB x RP

1
Keterangan :
RA = Risiko Audit
RB = Risiko Bawaan
RP = Risiko Pengendalian
RD = Risiko Deteksi
Model diatas menunjukkan bahwa pada suatu tingkat risiko audit tertentu (RA) yang
ditetapkan auditor, risiko deteksi (RD) adalah berhubungan terbalik dengan tingkat risiko
bawaan (RB) dan risiko pengendalian (RP) yang ditentukan. Apabila digunakan dalam tahap
perencanaan untuk menetapkan rencana risiko deteksi, maka RP mencerminkan rencana
tingkat risiko pengendalian yang ditetapkan sebagai komponen pertama dari strategi audit
awal.
Risiko deteksi terencana merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit atas segmen
tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang
masih dapat ditoleransi. Jika nilai risiko deteksi terencana berkurang, maka auditor harus
mengumpulkan lebih banyak bukti audit untuk mencapai nilai risiko deteksi yang berkurang,
risiko ini menentukan nilai bukti subtantif yang direncanakan oleh auditor untuk dikumpulkan.
1.1 Evaluasi atas rencana tingkat pengujian substantif
Apabila tingkat risiko pengendalian akhir sama dengan tingkat risiko pengendalian
awal, auditor bisa melangkah ke tahap perancangan pengujian substantif spesifik berdasarkan
rencana tingkat pengujian substantif yang telah ditetapkan sebagai komponen ke empat dari
strategi audit awal. Namun apabila tidak, tingkat pengujian substantif harus direvisi sebelum
merancang pengujian substantif spesifik untuk mengakomodasi tingkat risiko deteksi yang bisa
diterima setelah direvisi.
1.2 Merevisi Rencana Risiko Deteksi
Apabila memungkinkan, tingkat risiko deteksi yang dapat diterima akhir (setelah
direvisi) ditetapkan untuk setiap asersi dengan cara yang sama seperti rencana risiko deteksi,
kecuali bahwa penetapannya didasarkan pada risiko pengendalian sesungguhnya atau akhir
bukan pada rencana tingkat risiko pengendalian untuk asersi yang bersangkutan. Apabila
auditor memutuskan untuk mengkuantifikasi penetapan risiko, maka tingkat risiko deteksi
setelah direvisi dapat ditentukan dengan menyelesaikan persamaan dalam model risiko audit
untuk risiko deteksi. Jika risiko tidak dikuantifikasi, risiko deteksi setelah direvisi ditentukan
berdasarkan pertimbangan (judgement).

2
1.3 Penetapan Risiko Deteksi Untuk Pengujian Substantif yang Berbeda atas Asersi yang
Sama
Risiko deteksi menyangkut risiko bahwa semua pengujian substantif yang digunakan
untuk mendapatkan bukti tentang suatu asersi, secara kolektif akan gagal dalam mendeteksi
salah saji material. Dalam merancang pengujian substantif, auditor kadang kadang
menginginkan untuk menetapkan tingkat risiko deteksi berbeda yang akan digunakan dalam
pengujian substantif yang berbeda pula mengenai asersi yang sama. Sebagai contoh,
berdasarkan asumsi bahwa bukti yang diperoleh dari suatu pengujian atau sejumlah pengujian
akan mengurangi risiko salah saji material tetap tak terdeteksi setelah pengujian dilakukan,
maka akan lebih tepat untuk menggunakan tingkat risiko deteksi lebih tinggi untuk pengujian
selebihnya.

2. MERANCANG UJI SUBSTANTIF


Untuk mendapatkan dasar yang masuk akal dalam memberi pendapat atas laporan
keuangan kliennya, auditor harus memperoleh bukti kompeten yang cukup seperti disyaratkan
oleh standar pekerjaan lapangan ketiga dalam standar auditing. Pengujian substantif di satu sisi
bisa menghasilkan bukti tentang kewajaran setiap asersi laporan keuangan yang signifikan, dan
di sisi lain pengujian substantif juga bisa menghasilkan bukti yang menunjukkan adanya
kekeliruan jumlah rupiah atau salah saji dalam pencatatan atau pelaporan transaksi dan saldo-
saldo. Perancangan pengujian substantif meliputi penentuan sifat, saat, dan luas pengujian yang
diperlukan untuk memenuhi tingkat risiko deteksi yang dapat diterima untuk setiap asersi.

3. PROSEDUR AWAL
Tahap-tahap prosedur audit dimulai dari pemeriksaan yang bersifat luas dan umum sampai
ke pemeriksaan yang bersifat rinci. Berbagai prosedur audit dilaksanakan dalamlima tahap
berikut ini:
Auditor menempuh prosedur audit awal dengan melakukan rekonsiliasi antara informasi
piutang usaha yang dicantumkan di neraca dengan catatan akuntansi yang mendukungnya.
Rekonsiliasi ini penting untuk dilakukan agar auditor memperoleh keyakinan bahwa informasi
piutang usaha yang dicantumkan di neraca didukung oleh catatan akuntansi yang andal. Oleh
karena itu, auditor melakukan 6 prosedur berikut ini:
a. Usut saldo piutang usaha yang tercantum di neraca ke saldo akun piutang usaha yang
bersangkutan di dalam buku besar.

3
b. Hitung kembali saldo akun piutang usaha di dalam buku besar, dengan cara menambah
saldo awal dengan jumlah pendebitan dan menguranginnya dengan jumlah kreditan akun
tersebut.
c. Lakukan review terhadap mutasi luar biasa dalam jumlah dan sumber posting dalam akun
Piutang Usaha dan akun Cadangan Kerugian Piutang Usaha. Dengan melakukan hal ini
bisa mengetahui kecurangan dalam transaksi penjualan kredit dan transaksi yang
mengurangi piutang usaha (retur penjualan dan penghapusan piutang).
d. Usut saldo awal akun Piutang Usaha dan akun Cadangan Kerugian Piutang ke kertas kerja
tahun lalu. Kerta kerja tahun lalu dapat menyediakan informasi tentang berbagai koreksi
yang diajukan oleh auditor dalam audit tahun yang lalu, sehingga auditor dapat
mengevaluasi tindak lanjut yang telah ditempuh oleh klien dalam menanggapi koreksi
yang diajukan oleh auditor tersebut.
e. Usut posting pendebitan akun Piutang Usaha ke dalam jurnal yang bersangkutan.
f. Lakukan rekonsiliasi akun kontrol piutang usaha dalam buku besar ke buku pembantu
piutang usaha.

4. PROSEDUR ANALISIS
Auditor melakukan perhitungan berbagai ratio berikut ini; (1) tingkat perputaran piutang
usaha, (2) ratio piutang usaha dengan aktiva lancar, (3) rate of return on net sales (4) ratio
kerugian piutang usaha dengan pendapatan penjualan bersih, dan (5) ratio kerugian piutang
usaha dengan piutang usaha yang sesungguhnya tidak tertagih. Ratio yang telah dihitung
tersebut kemudian dibandingkan dengan harapan auditor. Pembandingan ini membantu auditor
untuk mengungkapkan: (a) peristiwa atau transaksi yang tidak biasa, (b) perubahan akuntansi,
(c) perubahan usaha, (d) fluktuasi acak, atau (5) salah saji.

5. PENGUJIAN RINCIAN TRANSAKSI


Keandalan saldo piutang usaha sangat ditentukan oleh keterjadian transaksi berikut ini
yang didebit dan dikreditkan ke dalam akun Piutang Usaha: (a) Transaksi penjualan kredit, (b)
Transaksi retur penjualan, (c) Transaksi penghapusan piutang usaha, dan (d) Transaksi
penerimaan kas dari piutang usaha. Usaha dan pengujian pisah batas yang digunakan untuk
mencatat transaksi yang berkaitan dengan akun tersebut adalah:
a. Periksa sampel transaksi yang tercatat dalam akun Piutang Usaha ke dokumen yang
mendukung timbulnya transaksi tersebut.

4
b. Periksa pendebitan akun Piutang ke doumen pendukung: Faktur Penjualan, Laporan
Pengiriman Barang, dan Order Penjualan.
c. Periksa pengkreditan akun piutang ke dokumen pendukung: Bukti Kas Masuk, Memo
Kredit untuk retur penjualan atau penghapusan piutang.
d. Lakukan verifikasi pisah batas (Cutoff) transaksi.
e. Periksa dokumen yang mendukung timbulnya piutang usaha dalam minggu terakhir tahun
yang diaudit dan minggu pertama setelah tanggal neraca.
f. Periksa dokumen yang mendukung berkurangnya piutang usaha dalam minggu terakhir
tahun yang diaudit dan minggu pertama setelah tanggal neraca.
g. Lakukan verifikasi pisah batas (Cutoff) transaksi Penerimaan Kas.

6. PENGUJIAN RINCIAN SALDO


Pengujian terhadap saldo akun rinci dalam siklus pendapatan difokuskan ke saldo piutang
usaha dan akun penilaiannya (akun Cadangan Kerugian Piutang Usaha). Tujuan pengujian
saldo akun Piutang Usaha rinci adalah untuk memverifikasi: 1. Keberadaan atau keterjadian,
2. Kelengkapan, 3. Hak kepemilikan, 4. Penilaian
Langah-langkah:
1. Lakukan konfirmasi piutang
a. Tentukan metode, terdapat dua metode konfirmasi piutang yang dapat digunakan
oleh auditor: a. Metode konfirmasi positif. Metode ini umumnya digunakan jika
auditor menghadapi situasi: (1) saldo piutang klien kepada debitur secara individual
berjumlah besar, (2) auditor mempunyai dugaan bahwa terdapat banyak akun
piutang usaha yang disengketakan antara klien dengan debiturnya atau terdapat
ketidaktelitian atau kecurangan saldo akun piutang usaha. b. Metode konfirmasi
negatif. Metode ini umumnya digunakan oleh auditor jika: (1) pengendalian intern
terhadap piutang usaha dinilai baik oleh auditor, (2) akun piutang klien berjumlah
banyak dengan saldo piutang usaha yang secara individual kecil, (3) auditor
memperkirakan bahwa debitur yang menerima konfirmasi tidak akan menaruh
perhatian terhadap surat konfirmasi yang diterimanya.
b. Kirimkan surat konfirmasi kepada debitur.
c. Periksa dokumen yang mendukung timbulnya piutang usaha.
d. Periksa dokumen yang mendukung pencatatan penerimaan kas dari debitur yang
terjadi setelah tanggal neraca.
e. Periksa doumen pendukung timbulnya piutang usaha.

5
f. Periksa jawaban konfirmasi bank.
g. Mintalah surat representasi piutang dari klien.
2. Lakukan evaluasi terhadap kecukupan cadangan kerugian piutang yang dibuat oleh klien.
a. Hitung kembali cadangan kerugian piutang usaha yang dibuat oleh klien.
b. Periksa penentuan umur piutang usaha yang dibuat oleh klien.
c. Bandingkan cadangan kerugian piutang usaha yang tercantum di neraca tahun yang
diaudit dengan cadangan tersebut yang tercantum di neraca tahun sebelumnya.
d. Periksa catatan kredit untuk debitur yang utangnya telah kadaluwarsa.
Verifikasi Penyajian dan Pengungkapan Akun dalam Laporan Keuangan
Bandingkan penyajian piutang usaha dengan penyajian menurut prinsip akuntansi
berterima umum. Prosedur audit terhadap penyajian dan pengungkapan piutang usaha adalah
(1) memeriksa klasifikasi piutang ke dalam kelompok aktiva lancar dan ativa tidak lancar, (2)
memeriksa klasifikasi piutang ke dalam kelompok piutang usaha dan piutang nonusaha, (3)
menentukan kecukupan pengungkapan dan akuntansi untuk transaksi antarpihak yang
memiliki hubungan istimewa, piutang yang digadaika, piutang yang telah dianjakkan (factored
account receivable) ke perusahaan anjak piutang.

7. PERBANDINGAN PENYAJIAN LAPORAN DENGAN GAAP


Dalam pelaporan persediaan di laporan keuangan, persediaan harus dilaporkan di
neraca dengan pengelompokan tertentu berdasarkan kelompok utama persediaan pada
perusahaan yang bersangkutan, demikian pula untuk harga pokok penjualan yang akan
dilaporkan dalam laporan laba rugi. Selain itu, dalam laporan perlu diungkapkan metode harga
pokok yang digunakan, penjaminan persediaan dalam rangka penarikan utang, dan adanya
komitmen pembelian.
Bukti tentang penyajian dan pengungkapan diperoleh melalui pengujian substantif.
Bukti selanjutnya bisa diperoleh melalui review atas notulen rapat dewan komisaris dan hasil
pengajuan pertanyaan kepada manajemen. Berdasarkan bukti dan pembandingan antara
laporan keuangan klien dengan prinsip akuntansi berlaku umum, auditor menentukan ketepatan
penyajian dan pengungkapan.
Berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh melalui berbagai pengujian substantif, auditor
akan dapat menarik kesimpulan untuk setiap tujuan audit saldo rekening persediaan.

8. JASA BERNILAI TAMBAH


a) Jasa Bernilai Tambah Dalam Siklus Produksi
6
Manajemen persediaan merupakan proses inti yang harus dikelola dengan baik oleh setiap
perusahaan pabrikasi, pedagang grosir, serta pengecer agar dapat mencapai tujuan profitabilitas
dan arus kas.
Lebih jauh lagi, prosedur analitis yang ditempuh auditor akan membahas efektivitas proses
manajemen persediaan. Biasanya auditor akan mengevaluasi perputaran persediaan suatu
usaha entitas. Jika peringkat klien mendekati tingkat paling bawah dalam industrinya, maka
akuntan publik biasanya akan coba membahas masalah bagaiman klien dapat memperbaiki
proses manajemen persediaannya.
b) Jasa Bernilai Tambah Dalam Siklus Jasa Personalia
Manajemen personalia merupakan proses inti bagi banyak perusahaan . Disini masalah
utamanya adalah bagaimana auditor menggunkan pengetahuan yang diperoleh selama
melakukan audit untuk memberikan jasa bernilai tambah bagi para kliennya.
Pada saat mengaudit beban dan profitabilitas seorang akuntan publik akan sering
mengevaluasi statistik produktivitas karyawan. Apabila karyawan bisa lebih produktif , maka
perusahaan kerap kali mencapai profitabilitas yang lebih baik dalam industri. Bagi organisasi
jasa , merupakan hal yang penting untuk memiliki cara mengevaluasi produktivitas karyawan
(seringkali produktivitas karyawan dalam tim atau departemen). Para akuntan publik,
biasanya memiliki keterampilan dalam mengembangkan cara agar pusat-pusat
pertanggungjawaban bertanggungjawab atas penggunaan sumber daya mereka – dalam hal ini
sumber daya gaji dan upah. Akuntan publik dapat membantu klien dengan :
 Menyarankan ukuran produktivitas karyawan yang tepat atau
 Mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat diambil klien untuk meningkatkan
produktivitas karyawan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi.2014.Auditing Edisi Enam, Buku Dua.Jakarta:Salemba Empat


Halim, Abdul dan Santoso, Totok Budi. 2004. Auditing 2 (Dasar-Dasar Prosedur Pengauditan
Laporan Keuangan). Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
http://khaerunnisa26.blogspot.com/2017/02/resiko-deteksi-dan-pengujin-substantif.html
(Diakses pada tanggal 25 September 2018)
https://www.kompasiana.com/larasaties/57020163af7e615505e35bbb/audit-terhadap-siklus-
pendapatan-pengujian-substantif-terhadap-saldo-piutang-usaha?page=all
(Diakses pada tanggal 25 September 2018)

Anda mungkin juga menyukai