a. Etimologi
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu, yang berarti baik atau indah
dan Thanatos yang berarti maut, mati, atau kematian sehingga euthanasia bisa di artikan:
Mati dengan baik, mati dengan indah, atau kematian yang indah. Kata euthanasia sendiri
pertama kali digunakan oleh Hippokrates[1] dalam “Sumpah Hippokrates” (Hippocratic
Oath) pada sekitar tahun 400 SM. Tetapi perkataan ini pada zaman sekarang mempunyai
arti yang lain sekali yaitu Mercy Killing (membunuh dengan alasan belas
kasihan)[2].Euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan
melalui cara yang di anggap tidak menimbulkan rasa sakit (rasa sakit yang minimal) atau
penderitaan yang hebat, sehingga dianggap sebagai suatu kematian yang membahagiakan
dan pergi dengan baik atau damai.
Dalam prakteknya biasanya euthanasia dilakukan dengan cara menyuntikan zat
yang mematikan ke dalam tubuh pasien, atau mencabut dan menghentikan alat-alat
penunjang kehidupan bagi pasien yang berada dalam keadaan koma dan tidak sadarkan diri
agar mempercepat proses kematian orang tersebut. Apapun artinya, praktek dari Euthanasia
sendiri menurut penulis tidak seindah dan sebagus artinya karena melakukan hal-hal yang
menuju kearah kematian.
b. Jenis-Jenis Euthanasia
Bila ditinjau dari pelaksanaannya, maka euthanasia dibagi menjadi tiga kategori:
1. Euthanasia Aktif (Agresif)
Merupakan cara Euthanasia yang dilakukan oleh seseorang entah itu Dokter atau tenaga
medis lainnya dengan cara sengaja melakukan suatu tindakan untuk menghentikan atau
memperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia Aktif ada dua cara: yang pertama
Dokter atau tenaga medis yang mengambil tindakan mematikan. Misalnya dengan memberi
suntikan atau senyawa lain yang mematikan, biasanya cairan atau senyawa yang disuntikan
adalah cairan sianida. Kedua, dokter atau tenaga medis hanya memberikan resep obat yang
mematikan dalam dosis yang sangat besar. Jenis Euthanasia ini disebut juga dengan istilah
“Bunuh diri berbantuan”.
2. Euthanasia Otomatis (non Agresif)
Jenis euthanasia ini adalah suatu kondisi ketika seorang pasien menolak secara tegas dan
sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya
tersebut justru akan memperpendek atau bahkan segera mengakhiri hidupnya.Penolakan ini
harus diajukan secara resmi, baik itu persetujuan diri pasien, persetujuan keluarga dan
persetujuan secara hukum.Pengajuan euthanasia ini harus diajukan dengan membuat
sebuah codicil (surat pernyataan) sehingga tidak ada tuntutan apapun di kemudian hari
apabila terjadi suatu keberatan-keberatan.
Negara Swiss merupakan salah satu negara yang melegalkan praktek euthanasia
seperti ini.Bagi beberapa negara di dunia termasuk Indonesia bentuk euthanasia seperti ini
masih merupakan problema, apalagi bagi para dokter masalah moral ini masih menjadi
sebuah dilema yang menantang sumpah kedokteran secara universal.[3]
3. Eutanasia Pasif
Euthanasia pasif atau yang biasanya juga disebut sebagai euthanasia negatif. Euthanasia
pasif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu euthanasia pasif yang tidak wajar dan euthanasia
pasif wajar. Euthanasia pasif yang tidak wajar merupakan bentuk euthanasia yang
membiarkan kematian terjadi dengan melepaskan alat-alat bantuan medis yang vital seperti
oksigen, atau suplai nutrisi cairan makanan, untuk menunjang keberlangsungan kehidupan
agar kematian pasien terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya euthanasia pasif yang wajar
adalah suatu bentuk euthanasia pasif yang mengijinkan kematian terjadi dengan
melepaskan alat-alat bantuan medis seperti alat bantu ginjal, pernafaan buatan,atau jantung
buatan. Menurut Norman L. Geisler, euthanasia pasif yang wajar adalah euthanasia pasif
yang meninggalkan alat pendukung hidup yang tidak wajar[4].
Mengacu dari beberapa pedoman ini seharusnya kita dapat melihat kewajiban yang
terpenting yang harus dilaksanakan dalam menghadapi situasi yang sedemikian rumit
tersebut sehingga beban moral tidak memberatkan dalam keputusan-keputusan yang di
ambil. Hal yang terpenting, menurut penulis adalah seharusnya manusia menyadari bahwa
sebuah kehidupan pasti akan menghadapi kematian entah kapan waktunya, sehingga
menunda atau memperpanjang proses kematian justru merupakan hal yang keliru.
Pandangan kita haruslah melestarikan nyawa, bukan memperpanjang proses kematian.[13]
Kasih merupakan alasan bagi orang Kristen untuk mendasari segala sesuatu, tetapi
bukan belas kasihan yang menghalalkan segala cara demi orang yang kita kasihi.
Menghentikan kehidupan demi alasan kasih merupakan sebuah hal yang sangat
keliru.Kasih menuntut agar orang yang sakitnya tidak tersembuhkan diperlakukan
dengan semua belas kasihan yang mungkin diberikan, tetapi bukan supaya kita mengambil
nyawa orang itu bahkan atas permintaannya sendiri. Belas kasihan menurut Alkitab adalah
menenangkan orang yang akan binasa dengan zat penenang atau minuman keras dan bukan
membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Mencabut hidup manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun
motifnya, Apalagi membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang Kristen
memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak selalu salah untuk
mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian yang wajar.[14] Jika
kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan menghentikan suplai makanan
atupun air, maka ini disebut pembunuhan, akan tetapi ketika menolak atau menghentikan
alat-alat yang tidak wajar seperi jantung buatan ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu
salah, inilah yang disebut dengan Euthanasia Pasif yang wajar.
Etika Kristen merupakan etika deontologis yaitu suatu etika yang berpusat pada
kewajiban sehingga dalam hal ini euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada
kewajiban atau hukum yang lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah
dipertimbangkan secara rasional.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat kita lihat bahwa Euthanasia aktif memang merupakan
proses pembunuhan secara halus yang dilakukan. Namun ada prinsip di dalam Euthanasia
pasif yang wajar yaitu mengizinkan kematian, artinya tugas moral kita adalah mengizinkan
kematian yang natural terjadi dalam kehidupan seseorang.Tentunya perimbangan-
pertimbangan yang dilakukan adalah pertimbangan yang benar-benar matang dan
melibatkan semua aspek-aspek penting untuk mendapatkan suatu keputusan moral yang
benar.
Hal yang menjadi pertimbangan berat ketika menentukan waktu kapan kita akan
melepaskan alat-alat teknologi medis yang tidak wajar dari tubuh sang pasien seharusnya
bisa terjawab. Kita harus mengingat bahwa teknologi bukanlah wasit yang menentukan
pilihan-pilihan moral[15] dan Alkitab tidak pernah menganjurkan kita untuk menunda
kematian, karena itu sepenuhnya hak Allah.Keputusan ada ditangan kita dengan mengingat
pedoman-pedoman yang sudah dipaparkan, sehingga tidak ada beban moral dan rasa
bersalah yang datang bagi kehidupan orang Kristen ketika menghadapi permasalahan
seperti ini.
Kita tidak bisa menghalangi kehendak Allah dalam kehidupan seseorang, sehingga
kematian merupakan suatu hal yang pasti akan datang bagi setiap manusia, ketika para
medis mengatakan bahwa tidak ada harapan lagi untuk kesembuhan, dan melalui
pergumulan serta doa yang terus dinaikkan kepada Tuhan, namun Tuhan mempunyai
kehendak lain, secara moral dibenarkan untuk menghentikan usaha yang tidak wajar untuk
menunda proses kematian. Prinsip nilai yang berlaku adalah: membiarkan penderita
penyakit yang tidak tersembuhkan meninggal secara alami adalah tindakan yang penuh
belas kasihan dan penuh kasih.[16]