Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jenis kelamin merupakan hal yang sangat penting bagi individu sebagai
sebuah“identitas”, bahkan pada beberapa suku, jenis kelamin ikut menentukan
apakah individu tersebut akan dipertahankan hidup atau tidak. Menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia), jenis kelamin merupakan sifat (keadaan) jantan
atau betina. Pada masyarakat umum, jenis kelamin yang diakui secara resmi
adalah laki-laki (jantan) dan perempuan (betina).
Jenis kelamin individu ditentukan oleh fenotip, genotip (termasuk seks
gonad ditentukan oleh organ seks internal dan eksternal), status endokrin dan
metabolik, jiwa, dan sertifikat kelahiran penunjukan seks (jenis kelamin sosial).2
Di antara “tipe” seks tersebut, seks psikologis individu yang menentukan identitas
jenis kelaminnya.
Gangguan identitas jenis kelamin atau gender identify cation disorders
(GID) atau gender dysphoria adalah suatu kondisi yang memiliki karakteristik
berupa perasaan tidak nyaman atau rasa ketidaksesuaian yang menetap terhadap
anatomi seksual yang dimilikinya. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-IV-TR) gangguan identitas jenis kelamin adalah suatu
gangguan dengan ciri berupa preferensi seseorang yang kuat untuk hidup sebagai
individu yang memiliki jenis kelamin berlawanan dari anatomi seksnya.
Gangguan identitas jenis kelamin (GID) sering disebut sebagai
transeksualisme, dapat juga didefi nisikan sebagai perbedaan antara jenis kelamin
psikologis dan seks morfologi, biologi, dan sosial, yang sering dianggap sebagai
“non-self” dan milik lawan jenis2. GID merupakan salah satu diagnosis yang
paling kontroversial pada DSM-IV dan termasuk kompleks dipandang dari segi
sosial dan etik. Para ahli menyatakan sedikit sekali anak-anak yang memenuhi
kriteria diagnosis GID.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Terminologi gender disforia muncul sebagai diagnosis pertama kali pada
edisi kelima dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-
V). Terminologi ini merujuk kepada orang yang ditandai dengan ketidakcocokan
antara gender yang dialami atau ekspresikan dengan gender yang ditetapkan pada
saat lahir. Sebelumnya hal ini dikenal sebagai gangguan identitas gender pada
edisi DSM sebelumnya.1
Terminologi identitas gender merujuk pada kesadaran seseorang menjadi
laki-laki atau perempuan, yang mana seringkali berhubungan dengan anatomi dari
kelamin orang tersebut. Orang dengan gender disforia menunjukkan
ketidakpuasan dengan jenis kelamin mereka, ditunjukkan sebagai hasrat untuk
memiliki tubuh dari jenis kelamin berbeda atau ingin dikenal secara sosial sebagai
orang dengan jenis kelamin yang berbeda dari jenis kelamin mereka yang telah
ditetapkan sebelumnya.1
Transgender merupakan terminologi umum yang digunakan untuk orang
yang mengidentifikasi dirinya dengan gender yang berbeda dari gender saat
mereka dilahirkan. Transgender merupakan grup yang luas; mereka yang ingin
memiliki tubuh dari jenis kelamin berbeda dinamakan transeksual, mereka yang
merasa dirinya diantara kedua gender, atau memiliki keduanya, atau tidak
memiliki samasekali, dinamakan genderqueer. Mereka yang memakai pakaian
dari gender berbeda namun tetap mempertahankan identitas gender sama dengan
gender pada saat dilahirkan, dinamakan crossdressers. Berlawanan dengan
kepercayaan umum, kebanyakan transgender tidak melakukan operasi genital.
Beberapa tidak memiliki hasrat untuk melakukannya, sedangkan yang lainnya ada
juga yang tidak mampu untuk melakukannya. Orang transgender dapat memiliki
orentasi seksual yang berbeda-beda, contohnya: seorang transgender laki-laki,
ditetapkan sebagai perempuan pada saat lahir, dapat diidentifikasi sebagai gay

2
(tertarik kepada sesama laki-laki), straight (tertarik kepada perempuan) atau
biseksual (tertarik kepada kedua-duanya, laki-laki dan perempuan).1

2.2 Epidemiologi
DSM-5 menunjukkan bahwa prevalensi gender disforia 0.005-0.014% untuk
orang dewasa yang lahir sebagai laki-laki, sedangkan 0,002-0.003% untuk orang
dewasa yang lahir sebagai perempuan. Antara anak-anak, lebih tinggi dalam
orang-orang yang dilahirkan sebagai anak lai-laki, tempat ini 2 - 4,5 kali lebih
besar daripada mereka yang dilahirkan sebagai anak perempuan. Di antara remaja,
tidak ada perbedaan nyata antara lelaki dan perempuan.

2.3 Etiologi
2.3.1 Faktor Biologis
Pada mamalia, resting state dari jaringan awalnya merupakan perempuan,
seiring perkembangan fetus, laki-laki dihasilkan jika androgen (dilepaskan oleh
kromosom Y, yang bertanggung jawab untuk perkembangan testis) dilepaskan.
Tanpa testis dan androgen, genitalia eksterna perempuan akan berkembang.
Kemudian, kejantanan dan maskulinitas tergantung pada fetal dan perinatal
androgen.1
Steroid seks mempengaruhi ekspresi perilaku seksual pada laki-laki atau
perempuan dewasa; yaitu testosteron dapat meningkatkan libido dan keagresifan
laki-laki dan estrogen dapat menurunkannya. Namun, maskulinitas, femininitas,
dan identitas gender lebih merupakan akibat peristiwa kehidupan pascalahir
daripada pengaturan hormon prenatal.1
Teori organisasi otak merujuk pada maskulinisasi atau femininiasi dari otak
saat di uterus. Testosterone yang mempengaruhi neuron otak, dan berkontribusi
terhadap maskulinisasi otak yang terjadi pada area seperti hipotalamus. Apakah
testosteron berkontribusi pada pola perilaku yang dinamakan maskulin dan
feminin masih merupakan isu kontroversial.1
2.3.2 Faktor Psikososial
Anak-anak biasanya mengembangkan identitas gender sesuai dengan jenis
kelamin aslinya (juga dikenal sebagai jenis kelamin yang didapat). Pembentukan

3
identitas gender dipengaruhi interaksi antara temperamen anak dengan kualitas
dan sikap orang tua. Peran gender yang dapat diterima budaya: masih terdapat
larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminisme dan anak
wanita menjadi tomboy, termasuk akan pembedaan terhadap pakaian dan mainan
untuk anak laki-laki dan wanita.
Kualitas hubungan ibu-anak pada tahun pertama kehidupan paling penting
dalam menegakkan identitas gender. Selama periode ini, ibu normalnya
memfasilitasi kesadaran anaknya dan rasa bangga mengenai gender yang dimiliki:
anak dinilai sebagai anak laki-laki dan anak perempuan kecil, tetapi ibu yang
memusuhi dan merendahkan dapat menimbulkan masalah gender.

2.4 Diagnosis dan Gejala Klinis


a. Menurut PPDGJ III
- F64.0 Transeksualisme
Suatu hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya, biasanya disertai perasaan tidak enak atau tidak sesuai dengan anatomi
seksualnya dan menginginkan untuk memperoleh terapi hormonal dan
pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin
yang diinginkan (PPDGJ III).
Transseksualisme (bagi awam disebut sebagai waria) adalah suatu kondisi
disaat seseorang yang merasa dirinya tak sesuai seperti jenis kelamin fisiknya dan
ia berusaha untuk mengoreksinya lewat operasi ganti kelamin atau terapi hormon.
Penderita gangguan transeksual sebagian besar adalah laki-laki yang mengenali
dirinya sebagai wanita, yang biasanya timbul pada awal masa kanak-kanak dan
melihat alat kelamin dan penampakan kejantanannya dengan perasaan jijik.
Transeksual jarang ditemukan pada wanita. Penyebab terjadinya transeksual
karena adanya perasaan tidak nyaman akan kondisi fisik tubuhnya yang kemudian
menyebabkan individu terkait melakukan penggantian alat vitalnya.
Menurut PPDGJ III pedoman diagnosisnya :
 Untuk menegakkan diagnosis, identitas transseksual harus sudah menetap
selama minimal 2 tahun, dan harus nukan merupakan gejala dari gangguan

4
jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan inteseks, genetik
atau kromosom.
 Gambaran identitas tersebut :
- Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok
lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau ketidakserasian,
dengan anatomi seksualnya dan
- Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan
untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang
diinginkan.

- F64.1 Transvestisme Peran Ganda


Pedoman Diagnostik :
 Mengenakan pakaian dari lawan jenisnya sebagai bagian dari eksistensi
dirinya untuk menikmati sejenak pengalaman sebagai anggota lawan
jenisnya;
 Tanpa hasrat untuk mengubah jenis kelamin secara lebih permanen atau
berkaitan dengan tindakan bedah;
 Tidak ada perangsangan seksual yang menyertai pemakaian pakaian lawan
jenis tersebut, yang membedakan gangguan ini dengan transvetisme
fetishistik.
Anak dengan transvestisme peran ganda mengenakan pakaian lawan jenisnya
sebagai bagian dari eksistensi dirinya untuk menikmati sejenak pengalaman
sebagai anggota lawan jenisnya. Namun ia tidak memiliki hasrat untuk mengubah
genitalianya secara permanen dengan tindakan bedah (seperti pada
transexualisme).

- F64.2 Gangguan Identitas Jenis Kelamin Masa Kanak


Pedoman Diagnostik (PPDGJ III), yaitu:
 Keinginan anak yang “mendalam” (pervasive) dan “menetap” (persistent)
untuk menjadi (atau keteguhan bahwa dirinya adalah) jenis kelamin lawan
jenis-nya. Disertai penolakan terhadap perilaku, atribut dan/ atau pakaian

5
yang sesuai untuk jenis kelaminnya; Tidak ada rangsangan seksual dari
pakaian.
 Yang khas adalah bahwa manifestasi pertama timbul pada usia pra-sekolah.
Gangguan ini harus tampak sebelum pubertas;
 Pada kedua jenis kelamin, kemungkinan ada penyangkalan terhadap struktur
anatomi jenis kelaminnya sendiri, tetapi hal ini jarang terjadi.
 Ciri khas lain, anak dengan gangguan identitas jenis kelamin, menyangkal
bahwa dirinya terganggu meskipun mereka mungkin tertekan oleh konflik
dengan keinginan orang tua atau kawan sebayanya dan oleh ejekan dan/atau
penolakan oleh orang-orang yang berhubungan dengan dirinya.
Tidak ada garis tegas yang dapat ditarik mengenai kelanjutan gangguan
identitas gender antara anak yang seharusnya tidak diberikan diagnosis tersebut.
Anak perempuan dengan gangguan ini biasanya memiliki banyak teman laki-laki
dan minat yang kuat pada olah raga dan permainan yang kasar serta bergulingan;
mereka tidak tertarik bermain boneka dan rumah- rumahan (kecuali mereka
berperan sebagai ayah atau peran laki-laki lainnya). Mereka mungkin menolak
buang air kecil dengan posisi duduk, menyatakan bahwa mereka memiliki akan
tumbuh penis, tidak ingin tumbuh payudaranya atau mengalami menstruasi, dan
menyatakan dengan tegas bahwa mereka akan tumbuh menjadi seorang laki-laki
(bukan hanya memainkan peran laki-laki).
Manifestasi pertama timbul pada usia prasekolah, gangguan sudah harus
tampak sebelum pubertas. Ada keinginan yang mendalam dan persisten untuk
menjadi jenis kelamin lawan jenisnya atau yakin bahwa ia adalah jenis kelamin
lawan jenisya. Namun ia menolak atribut, pakaian dan perilaku yang sesuai
dengan lawan jenisnya. Ia tidak mengalami rangsangan sexual dengan
menggunakan pakaian lawan jenisnya.

- F64.8 Gangguan Identitas Jenis Kelamin Lainnya


- F64.9 Gangguan Identitas Jenis Kelamin YTT

6
b. Menurut DSM IV
Gambaran gangguan identitas gender adalah distress sesorang yang menetap
dan hebat mengenai jenis kelamin aslinya dan keinginan untuk menjadi, atau
sikap bersikeras bahwa ia berjenis kelamin sebaliknya. Sebagai anak-anak, anak
laki-laki dan anak perempuan menunjukkan ketidaksukaan terhadap cara
berpakaian feminim atau maskulin yang normatif dan stereotipik serta
menyangkal ciri anatomis.

Kriteria Diagnostik DSM IV-Gangguan Idenstitas

A. Identifikas gender berlawanan yang kuat dan menetap (bukan hanya hasrat
terhadap manfaat budaya yang dirasakan jika memiliki jenis kelamin lain).
Pada anak, gangguan ini ditunjukkan oleh empat (atau lebih) hal berikut :
(1) Keinginan berulang yang diungkapkan untuk menjadi, atau sikap
bersikeras bahwa ia berjenis kelamin sebaliknya.
(2) Pada anak laki-laki, kecenderungan untuk berpakaian seperti lawan
jenis atau memakai pakaian perempuan; pada anak perempuan, sikap
bersikeras untuk hanya menggenakan pakaian maskulin yang
stereotipik.
(3) Kecenderungan yang kuat dan menetap untuk memerankan jenis
kelamin berlawanan di dalam permainan membuat percaya atau
khayalan menetap dirinya berjenis kelamin berlawanan.
(4) Keiginan yang intens untuk turut serta di dalam permainan dan hobi
yang streotipik untuk jenis kelamin sebaliknya
(5) Kecenderungan yang kuat untuk memiliki teman bermain berjenis
kelamin sebaliknya.

Pada remaja dan orang dewasa, gangguan ini ditunjukkan melalui gejala
seperti keinginan yang diungkapkan untuk berjenis kelamin sebaliknya, keinginan
untuk hidup atau diperlakukan seperti lawan jenis, atau keyakinan bahwa ia
memiliki perasaan dan reaksi yang khas pada jenis kelamin sebaliknya.

7
B. Rasa tidak nyaman yang menetap dengan jenis kelaminnya atau merasa
tidak sesuai dengan peran gender jenis kelaminnya.
Pada anak-anak, gangguan ditandainya dengan hal berikut pada anak laki-
laki, pernyataan tegas bahwa penis atau testisnya menjijikkan atau akan
hilang, atau pernyataan tegas bahwa akan lebih baik jika tidak memeliki
penis, atau penolakan terhadap mainan, permainan dan aktivitas laki-laki
buang air kecil dengan posisi duduk, pernyataan tegas bahwa ia memiliki
atau akan tumbuh penis, atau pernyataan tegas menstruasi atau penolakan
yang tegas terhadap cara berpakaian feminim yang normatif.
Pada remaja dan orang dewasa, gangguan ini ditandai dengan gejala
seperti preokupasi untuk menyingkirkan ciri seks primer atau sekunder
atau keyakinan bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah.
C. Gangguan ini tidak terjadi bersamaan dengan keadaan interseks fisik
D. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya.

Pengkodean didasarkan usia saat ini :

Gangguan identitas gender pada anak


Gangguan identitas gender pada remaja atau dewasa
Tentukan jika ( untuk individu yang matang secara seksual )

Tertarik secara seksual pada laki-laki


Tertarik secara seksual pada perempuan
Tertarik secara seksual pada keduanya
Tidak tertarik secara seksual pada keduanya

Kriteria Diagnostik DSM IV-Gangguan Idenstitas yang tidak


tergolongkan

Kategori ini dimasukkan untuk memberi kode pada gangguan identitas gender
spesifik. Contohnya :

8
(1). Keadaan intraseks

(2). Perilaku memakai pakaian lawan jenis terkait stress dan sementara

(3). Preokupasi menetap terhadap kastrasi atau penektomi tanpa keinginan


memperoleh ciri seks dari jenis kelamin sebaliknya.

c. Menurut DSM V

Gender Dysphoria pada anak :

 Ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara jenis kelamin biologis dan


jenis kelamin yang ia identifikasikan, dan dalam jangka waktu 6 bulan
setidaknya muncul 6 dari kriteria berikut:
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi jenis kelamin lain atau
memaksa bahwa ia memiliki berjenis kelamin (atau beberapa jenis
kelamin alternatif yang berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan).
- Pada anak laki-laki (jenis kelamin bilogis), memilih untuk
menggunakan pakaian perempuan: atau pada anak perempuan (jenis
kelamin biologis), memilih untuk mengenakan pakaian khas maskulin
dan penentangan untuk mengenakan pakaian feminin.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk berperan sebagai lawan jenis dan
berfantasi menjadi lawan jenis.
- Memiliki keinginan yang kuat terhadap mainan, game, atau kegiatan
stereotip yang digunakan atau terlibat dalam oleh jenis kelamin lain.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk berteman dengan jenis kelamin
lain.
- Pada anak laki-laki (jenis kelamin biologis), penolakan yang kuat
terhadap mainan maskulin, permainan, kegiatan dan penolakan
terhadap permainan yang berat; atau pada anak perempuan (jenis
kelamin biologis), penolakan yang kuat terhadap mainan perempuan,
permainan, dan kegiatan perempuan.

9
- Sangat tidak suka terhadap anatomi seksualnya (laki- laki merasa
tidak suka melihat penisnya, dan perempuan tidak ingin buang air
kecil dengan cara duduk).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seks
primer dan / atau sekunder yang sesuai dengan salah satu gender yang
ia identifikasikan.
 Kondisi ini menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan fungsi
social, sekolah, atau bidang-bidang penting lainnya yang berfungsi
302.6.(F64.2): Gender Disforia pada anak-anak

Gender Dysphoria pada Remaja dan Dewasa


 Ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara gender yang
diidentifikasikan dengan jenis kelamin biologis, durasi minimal 6 bulan
dan mencakup setidaknya dua hal berikut:
- Ditandai dengan ketidaksesuaian antara gender yang diidentifikasikan
dengan karakteristik seks primer dan atau sekunder (atau pada remaja
muda, karakteristik seks sekunder diantisipasi).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menyingkirkan karakteristik
primer dan atau sekunder dari jenis kelamin biologis nya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seks
primer dan / atau sekunder dari jenis kelamin lainnya.
- Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi jenis kelamin lainnya
(atau beberapa jenis kelamin alternatif berbeda dari jenis kelamin
biologis).
- Memiliki keinginan yang kuat untuk diperlakukan sebagai jenis
kelamin lainnya (atau beberapa jenis kelamin alternatif yang berbeda
dari satu jenis kelamin yang ditetapkan).
- Memiliki keyakinan yang kuat bahwa seseorang memiliki perasaan
yang khas dan reaksi dari jenis kelamin yang lain (atau beberapa jenis
kelamin alternatif yang berbeda dari satu jenis kelamin yang
ditetapkan).

10
 Kondisi ini menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan fungsi
sosial, pekerjaan atau lainnya.

302.85(F64.1): Gender Disforia pada Remaja dan Dewasa


302.6 (F64.8) : Gender Disforia Spesifik lainnya
302.6 (F64.9) : Gender Disforia yang tidak Spesifik

2.5 Penatalaksanaan
a. Anak

Pada saat ini, tidak ada bukti signifkan yang menunjukkan bahwa
intervensi psikiatrik atau psikologik pada anak dapat memengaruhi orientasi
seksual mereka di kemudian hari. Penatalaksanaan terhadap anak dengan
gangguan ini harus diikuti peran serta lingkungan (penyediaan pakaian yang
sesuai jenis kelaminnya) dan nasihat tentang peran dari anatomi seksualnya.
Hormon dan psikofarmakologi tidak pernah digunakan.
b. Remaja

Remaja muda yang mengalami gangguan ini pada awalnya merasa bahwa dirinya
seorang homoseksual. Perasaan cemas, takut serta malu dapat menyebabkan
konflik dalam perjalanan hidupnya. Para orang tua diharapkan mengerti kondisi
psikologis anak sehingga tekanan yang dirasakan oleh anak berkurang. Pada fase
ini, akan timbul perilaku menyembunyikan perubahan-perubahan sekunder tubuh,
mulai dari minum obat hormonal hingga rencana menjalani operasi di kemudian
hari. Terapi psikologik untuk anak dan orang tuanya memiliki peranan penting
dalam perkembangan anak baik dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun
masyarakat.
c. Dewasa
Pada orang dewasa sering ditemukan permintaan langsung untuk operasi
penggantian anatomi kelamin dan pemakaian hormonal.
d. Terapi Hormonal
Individu dengan gangguan ini yang lahir sebagai laki-laki hampir selalu
mengonsumsi hormon estrogen oral. Hormon estrogen membantu pembesaran

11
payudara, atrofi testikular, penurunan libido dan menurunkan jumlah rambut
badan. Efek lain penatalaksanaan endokrin adalah peningkatan hormon endokrin,
profi l lemak, gula darah dan enzim hepatik. Pasien yang menggunakan terapi
hormonal harus selalu dipantau gula darahnya. Konsumsi rokok dilarang saat
terapi hormon karena dapat menyebabkan trombosis vena dan emboli pulmoner.
Pada wanita, penyuntikan testosteron dilakukan setiap sebulan sekali atau tiga
minggu sekali. Penggunaan testosteron memiliki efek yang patut diperhatikan,
seperti pitch suara akan menjadi rendah secara permanen karena pita suara
menebal, klitoris menebal dan memanjang sekitar dua hingga tiga kali lipat dari
ukuran normal diikuti dengan peningkatan libido, pertumbuhan rambut seperti
pola laki – laki dan berhentinya siklus menstruasi.
e. Terapi Operatif
Pada laki-laki, operasi penggantian anatomi kelamin seperti penghilangan
penis, skrotum, dan testis, digantikan dengan pembentukan labia dan vaginoplasti.
Pembentukan neoklitoris yang berasal dari frenulum penis dapat memberikan
sensasi erotis. Komplikasioperasi ini adalah striktur uretra, fi stula rektovaginal,
stenosis vagina, serta panjang dan lebar vagina inadekuat. Pasien yang
menggunakan hormon untuk menumbuhkan payudara namun gagal, biasanya
akan melakukan mammaplasty. Selain itu pemotongan kartilago tiroid untuk
mengurangi tonjolan jakun dilakukan supaya menyempurnakan tampilan dan
dapat meningkatkan pitch vokal suara, setelah itu pasien dapat melakukan latihan
vokal. Pada kasus perempuan menjadi laki-laki, biasanya dilakukan bilateral
mastectomy dan pembentukan neophallus.
2.6 Prognosis

Anak laki - laki biasanya mengalami gangguan ini sebelum usia 4 tahun dan
konfl ik kelompok mulai terjadi pada awal sekolah, sekitar usia 7 – 8 tahun.
Perilaku feminin biasanya berkurang saat anak laki-laki bertumbuh. ”Cross-
dressing” adalah salah satu contoh sikap dari gangguan tersebut, sudah terlihat
dari sebelum usia 4 tahun. Baik pada pria maupun wanita, satu hingga dua per tiga
kasus tumbuh menjadi homoseksual. Jika gangguan identitas jenis kelamin

12
menetap hingga dewasa, maka memiliki tendensi menjadi kronik dan disertai
beberapa periode remis.

Laki-laki dewasa yang mengalami rasa ketidaksesuaian dengan anatomi


seksualnya dan secara seksual tertarik pada sesama jenis, biasanya sudah
mengalaminya sedari kecil. Ketertarikan terhadap sesama jenis dimulai pada awal
masa remaja dan mulai menganggap diri mereka sebagai homoseksual. Pasien
wanita mulai mengalami gangguan ini pada saat dewasa saat menganggap dirinya
sebagai lesbian karena ketertarikannya terhadap sesama jenis. Ketertarikan ini
terjadi karena wanita tersebut melihat dirinya sebagai seorang pria; mereka
meminta agar diperlakukan dan dianggap sebagai laki – laki oleh pasangan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin J. Sadock, Virginia Alcot. Ruiz, Pedro. Kaplan & Sadock’s
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11th
Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2015. pp. 600-607.
2. Medraś M, Joź kow P. Transsexualism - Diagnostic and therapeutic aspects.
Poland: Department of Endocrinology, Diabetology and Isotope Therapy,
Medical University of Wrocław; 2010.
3. Benjamin JS. Synopsis of psychiatry. 10th ed. NewYork: Lippincott Williams
and Wilkins; 2007.
4. Freud S. Three essays on the theory of sexuality. London: Hogarth Standard
Edition; 2006.
5. Liben LS, Bigler RS. Developmental gender diff erentiation: Pathways in
conforming and nonconforming outcomes. Switzerland: Gay Lesbian Mental
Health Community; 2008
6. Davinson, C.G., Neal, J.M., & Kring, A.M. 2006. Psikologi Abnormal.
Jakarta: Raja GrafindoPersada Robert G. Meyer. Case Studies in Abnormal
Behavior. Bandung: Intervarsity Bookstore
7. American Psychiatric Association. (2013). Gender Dysphoria. In Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (Fifth Edition ed.). Washington,
DC: American Psychiatric Publishing Inc.
8. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed, Text Revision,
American Psychiatric Association, 2000.

14

Anda mungkin juga menyukai