Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN LANSIA DENGAN BENIGH PROSTAT HYPERPASIA (BPH)

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Ajar Keperawatan Keluarga

Disusun oleh kelompok IV


Yayuk Wijayanti G2A216056
Anggasari Kusumastuti G2A216057
Adventi Prawulandari G2A216058
Fakhruddin Akbar G2A216059
Karsi G2A216060
Ratih Nirmalasari G2A216061

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN LJ RS dr. KARIADI SEMARANG


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada
pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel
kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas
usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan
dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat
atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher
buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang
khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate
obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struk-tur
buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun
bawah.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary
tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi
lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan
tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks.
Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua
keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam
proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria
yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal
menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet
tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel
kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang
berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang
mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik
sedangkan protein growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan
hiperplasia kelenjar prostat.
Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di
Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama
karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut kelompok tertarik untuk membahas tentang penyakit
Hyperplasia Prostat Benigna dan dapat mengaplikasikan dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada klien.

B. Tujuan
1. Tujuan umum

Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
perkemihan yaitu Hyperplasia Prostat Benigna.

2. Tujuan khusus

Mahasiswa dapat menjelaskan :

a. Definisi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna


b. Etiologi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
c. Faktor Predisposisi Hyperplasia Prostat Benigna
d. Patofisiologi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
e. Tanda dan gejala Hyperplasia Prostat Benigna
f. Pemeriksaan Penunjang penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
g. Pathway penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
h. Penatalaksanaan penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
i. Komplikasi Penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
j. Asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan Hyperplasia Prostat
Benigna.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan
jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior dari kandung kencing. Prostat normal
beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra posterior + 2,5 cm. Pada bagian anterior
difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenitale.
Pada prostat bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir
pada verumontanum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna
(Purnomo, 2003).
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah
pertumbuhan berlebihan yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya laki-laki berusia di atas 50 tahun.
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan kondisi patologis dimana terjadi pembesaran
kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2002).

B. Etiologi
Menurut Purnomo (2003), hingga sekarang ini masih belum diketahui secara pasti
penyebab terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah :
a. Teori DHT
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5a-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah dibentuk berikatan
dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesa protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat. Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5a-reduktase dan jumlah RA lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
normal.
b. Keseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen testosteron semakin meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah RA, dan menurunkan jumlah
kematian sel prostat. Hal itu membuat sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
c. Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dari pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh
sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estrandiol, sel-sel stroma mensintesis suatu
growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara
intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis)
Program apoptosis pada sel prostat merupakan mekanisme fisiologis untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat
yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat sehingga massa prostat bertambah. estrogen diduga mampu
memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFß berperan
dalam proses apoptosis.
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Dalam kelenjar prostat dikenal stem sel yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormon androgen. Sehingga jika hingga hormon ini kadarnya menurun seperti yang
terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai tidak tepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadinya
produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
C. Faktor Predisposisi
1. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum
(alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2. Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
3. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor
atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik
atau adrenergik alfa.

D. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh klien dirasakan sebagai keluhan pada saluran
kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala prostatismus (Price, 1996).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa
prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang
ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus (Price, 1996).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya
meningkat menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot otot
polos prostat dibanding dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang
menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan
komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.

E. Tanda dan gejala


Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat
miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas
sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang
akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis
klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menetukan tingkat
beratnya penyakit, di antaranya adalah skor internasional gejala-gejala prostat WHO
(International Prostate Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen
b.Keluhan pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat BPH pada saluran kemih atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri
punggung, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam
yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
c. Gejala diluar saluran kemih
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa
kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urin yang
selalu menetes tanpa disadari oleh klien merupakan pertanda inkontinensia paradoksa.
Pada colok dubur diperhatikan tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk
menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, mukosa rektum, dan keadaan
prostat antara lain kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar
lobus dan batas prostat.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultru urin berguna dalam mencari jenis
kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Fisiologi ginjal diperiksa untuk
mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas.
Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adnaya penyakit
diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli
neurogenik. Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda
tumor PSA.
b. Radiologi meliputi intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograde, USG, CT-
Scanning, cytoscopy, dan foto polos abdomen. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini
adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli
dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan
maupun tidak dengan BPH
c. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yanng
penuh terisi urin yang merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV
dapat menerangkan kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS
dimaksudkan untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan BPH. Disamping itu ultrasonografi transabdominal mampu mendeteksi
adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
d. Prostatektomi Retro Pubis: Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung
kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui
insisi pada anterior kapsula prostat.
e. Prostatektomi parineal yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum
f. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :
1) Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin in dapat dihitung
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
2) Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
H. Penatalaksanaan
1) Terapi medikamentosa
a) Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosin, alfluzosin atau a 1a
(tamsulosin).
b) Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (Poscar)
c) Fitoterapi, misalnya eviprostat
2) Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu :
a) Retensio urin berulang
b) Hematuria
c) Tanda penurunan fungsi ginjal
d) Infeksi saluran kencing berulang
e) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis.
f) Ada batu saluran kemih.
Ada beberapa jenis terapi bedah yang sering digunakan pada pasien Hyperplasia Prostat
Benigna, antara lain:
a. Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yang masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :
 Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari
atas. Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan
beberapa komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding
metode yang lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya
dari semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol perdarahan lebih sulit,
urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis, serta pemulihan lebih lama dan tidak
nyaman. Keuntungan yang lain dari metode ini adalah secara teknis sederhana,
memberika area eksplorasi lebih luas, memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe
kankerosa, pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih komplit, serta pengobatan
lesi kandung kemih yang berkaitan.
 Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh
bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah
penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta
ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat
tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau
cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah
kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif
terbatas.
 Prostatektomi retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana
insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok
untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar
dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi
dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat
mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat
pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah
periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih
sedikit.
b. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui
uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif
dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan
dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
c. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum
maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan
tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan
terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan
secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan
reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika
(Suddarth, Brunner, 2002).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.
Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan
darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat
setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%).
Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini
akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan, pembentukan bekuan, obstruksi
kateter serta disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan. Kebanyakan prostatektomi
tidak menyebabkan impotensi meskipun aktifitas seksual dapat dilakukan kembali setelah 6-8
minggu karena fossa prostatik sudah sembuh. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis
pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal
mengalir kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. Selain itu vasektomi
mungkin dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas
deference dan ke dalam epidedemis.
Setelah prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ) hampir selalu terjadi
impotensi. Bagi pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik penis
mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual
J. Pathways

DHT sintesa protein replikasi


E growth factor

Nyeri akut b.d. agen cedera fisik


Testoteron turun proliferasi BPH
Usia +
+ Estrogen meningkat
penyempitan lumen uretra
prostatika

dan faktor-faktor lingkungan


frekuensi miksi , urgensi, nokturia,
pancaran miksi lemahterputus-putus
(intermitensi), tidak puas sehabis miksi

Ganggunan eliminasi urin


b.d. obstruksi anatomik

Retensi urin b.d. tekanan


uretra yang tinggi

Nyeri akut b.d. agen cedera


fisik

Gangguan pola tidur b.d


kondisi terjaga maladaptive
K. Asuhan keperawatan
1) Pengkajian
a. Identitas (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, no. rm, diagnosa medis)
b. Pola kesehatan fungsional
1. Sirkulasi
- Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada gejala).
- Perawat mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang riwayat keluarga pasien
mengenai kanker dan penyakit jantung serta ginjal, termasuk hipertensi.
2. Eliminasi
- Penurunan kekuatan kateter berkemih.
- Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
- Nokturian, disuria, retensi urin, hematuria.
- Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.
- Kekambuhan UTL riwayat batu (urinary stage I).
- Konstepasi (penonjolan prostat ke rectum).
3. Nutrisi Metabolik
- Penurunan berat badan (kehilangan BB secara mendadak).
- Pasien tampak pucat atau tidak.
- Anoreksia, nausea, vomiting.
4. Rasa Nyaman
- Pasien melaporkan masalah-masalah yang berkaitan seperti nyeri pinggang,
nyeri punggung, dan rasa tidak nyaman abdomen atau suprapubis.
- Apabila pasien melaporkan ketidaknyamanan diatas, kemungkinan
penyebabnya adalah infeksi, retensi, dan kemungkinan kolik renalis.
- Rasa nyaman: demam
5. Seksualitas
- Perhatikan pada efek dari kondisinya/kemampuan seksual.
- Takut beser kencing selama kegiatan intim.
- Penurunan kontraksi ejakulasi.
- Pembesaran prostat.
6. Pengetahuan/pendidikan
- Perawat mengkaji bagaimana hyperplasia prostatic benigna telah
mempengaruhi gaya hidup pasien selama beberapa bulan yang lalu.
- Apakah pasien cukup aktif untuk usianya.
- Apa bentuk masalah urinari pasien (uraikan dalam kata-kata pasien).
- Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
- Penggunaan obat antihipertensi atau antidepressan, antibiotika/antibacterial
untuk saluran kencing, obat alergi
c. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran umum
2) TTV
3) Head to toe
a) Kepala : mukosa mulut
b) Leher : -
c) Dada : -
d) Abdomen : inspeksi udem atau lekukan konveks abdomen bagian bawah, palpasi
tegang abdomen, turgor, nyeri daerah pinggul, distensi kandung kemih, perkusi
kandung kemih tumpul, auskultasi bunyi bruit di arteri ginjal (bunyi yang dihasilkan
dari perputaran aliran darah yang melalui arteri yang sempit).
e) Genitalia : kaji adanya rabas, peradangan, dan luka pada meatus urinearius eksterna.
f) Ekstremitas : kaji adanya oedem
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ganggunan eliminasi urin b.d. obstruksi anatomik
b. Retensi urin b.d. tekanan uretra yang tinggi
c. Nyeri akut b.d. agen cedera fisik
d. Gangguan pola tidur b.d kondisi terjaga maladaptive
L. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasionalisasi
Keperawatan
1. Ganggunan eliminasiSetelah dilakukan tindakan Monitor pengeluaran urine, Mendeteksi terjadinya masalah
urine b.d. obstruksikeperawatan selama 3x24 jam, klienfrekuensi, konsistensi, bau, volume,eliminasi urine untuk menentukan
anatomik. menunjukkan eliminasi urine yangwarna tindakan selanjutnya
adekuat dengan indikator: Monitor tanda dan gejala ISK Temuan-temuan tersebut dapat memberi
Indikator Target contoh rasa panas seperti terbakar tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu
Pola eliminasi urin 5 saat kencing, rasa terdesak saat pemeriksaan lebih luas, seperti
normal kencing, nyeri menetap ataupemeriksaan radiologi jika sebelumnya
Jumlah urin adekuat 4
Keseimbangan intake 4 bertambah sakit tidak dilakukan

dan output cairan Bantu klien untuk berkemih dengan Posisi yang nyaman membuat
Keterangan: posisi yang nyaman pengeluaran urine adekuat.
Tidak adekuat Ajarkan klien untuk minum 8 gelas Intake cairan yang adekuat
Sedikit adekuat air sehari menstimulasi eliminasi urine.
Moderat adekuat
Substansi adekuat
Total adekuat

2 Retensi urine b.d. Setelah dilakukan tindakan Kaji sistem urinearia secara Mendeteksi terjadinya masalah
tekanan uretra yang keperawatan selama 3x24 jam, klienkomprehensif meliputi: urine output,eliminasi urine untuk menentukan
tinggi. menunjukkan eliminasi urine yangpola pengeluaran urine, masalah
adekuat dengan indikator: eliminasi urine yang muncul.
Indikator Target Stimulasi refleks kandung kemih
Pola eliminasi urin 5 tindakan selanjutnya
dengan cara mendinginkan abdomen.
normal Membantu proses pengeluaran urine
Minta keluarga untuk melaporkan
Keseimbangan intake 4 dengan menstimulasi pusat mikturisi di
urine output
dan output cairan medulla spinalis pars sakralis yang akan
Tidak ada distensi 4 Monitor intake dan output cairan
menstimulasi otot detrusor untuk
abdomen Pasang kateter urine sesuai indikasi
Pengeluaran urin 4 berkontraksi secara teratur
Ajarkan pada klien atau keluarga
tanpa nyeri Memonitor output urine
untuk menjaga kebersihan kateter
Tidak ada darah 5 Intake cairan yang adekuat
dalam urin menstimulasi eliminasi urine
Keterangan:
Pemasangan kateter urine dapat
Tidak adekuat
membantu pengeluaran urine
Sedikit adekuat
Kebersihan kateter urine dapat
Moderat adekuat
mengurangi risiko terjadinya infeksi
Substansi adekuat
Total adekuat

3. Nyeri akut b.d. agenSetelah dilakukan tindakan Kaji lokasi, karakteristik, durasi, Memastikan nyeri yang dirasakan
cedera fisik. keperawatan selama 3x24 jamdan intensitas nyeri Mengetahui respon yang dirasakan
diharapkan nyeri yang dirasakan Kaji respon verbal dan non verbal Mengetahui respon fisiologis yang
klien berkurang, dengan kriteriaberkaitan ketidaknyamanan ditimbulkan akibat nyeri yang dirasakan
hasil : Monitor TTV Meningkatkan kenyamanan untuk
Tujuan Target Kontrol lingkungan yang dapatmengurangi nyeri
mempengaruhi nyeri seperti suhu, Meminimalkan nyeri yang dirasakan
pencahayaan dan kebisingan Pemberian analgesik dapat mengurangi
Nyeri terkontrol 4
TTV normal 4 Ajari prinsip manajemen nyeri nyeri yang dirasakan
Mengetahui 5 yaitu dengan teknik nafas dalam
penyebab nyeri Berikan analgesik sesuai order
Melaporkan kontrol 5
nyeri
Skala nyeri 2 4
Menunjukkan 5
penggunaan teknik
manajemen nyeri
Keterangan:
Tidak adekuat
Sedikit adekuat
Moderat adekuat
Substansi adekuat
Total adekuat
4. Gangguan pola tidurSetelah dilakukan tindakan Tentukan efek samping pengobatan Mengetahui penyebab gangguan pola
b.d kondisi terjagakeperawatan selama 3x24 jampada pola tidur klien tidur yang dialami klien
maladptive. diharapkan pola tidur klien normal, Jelaskan pentingnya tidur yang Tidur yang adekuat membuat tubuh
dengan kriteria hasil: adekuat selama sakit menjadi lebih segar
Target Ajarkan klien dan keluarga tentang Memberikan pengetahuan keluarga agar
Indikator faktor-faktor yang mempengaruhidapat memandirikan keluarga dalam
pola tidur mengatasi masalah gangguan pola tidur
Waktu tidur 4 Hindari suara keras, berikan Memberikan lingkungan yang
Kulitas tidur 4
Perasaan segar 5 lingkungan yang tenang danterapeutik
setelah tidur minimalkan gangguan Tidur siang merupakan cara untuk
TTV normal 5 Ajarkan untuk tidur siang jikamemenuhi kebutuhan tidur klien
Keterangan:
diperlukan untuk memenuhi kurang
Tidak adekuat
tidur
Sedikit adekuat
Moderat adekuat
Substansi adekuat
Total adekuat
BAB III
KESIMPULAN

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat
menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra). Sampai sekarang ini masih belum
diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua). Ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH, yaitu :
Teori DHT, keseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi stroma-epitel, berkurangnya
kematian sel prostat (apoptosis), teori sel stem.
1. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu
lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol,
kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2. Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
3. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau
yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau
adrenergik alfa.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat
aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk dapat
mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, M., Maas, M., & Moorhead S. (2005). Nursing Intervention Classificatian (NIC).
Second Ed. New York : Mosby.
Furqan. (2003). Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter
Menetap: Pertama Kali dan Berulang. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Hinchliff, S. (1999). Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.


Johnson, M., Maas, M., & Moorhead S. (2005). Nursing Outcomes Classification (NOC). New

York: Mosby.
McCloskey, J. & Gloria M. B. (2000). Nursing Outcome Classificatian (NOC). Second Ed.
New
York : Mosby.
McSloskey, JC., Bulechek, GM. (2000). Nursing Intervention Classification (NIC). New York:
Mosby.
NANDA. (2011). Nursing Diagnoses; Definitions & Classification. Philadelphia: Nanda
International.
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M. (1996). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit, Edisi empat. Jakarta: EGC.
Purnomo, B.P. (2003). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 Jakarta, EGC.
Suddarth, Brunner. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Edisi VIII. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai