Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

HAKIKAT DAN TEORI KEBENARAN

Di susun oleh:

Cendra Kurniadi (1306186/2013)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kami ucapkan kehadirat allah SWT atas


rahmatnya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini. Dalam makalah ini kami akan membahas dengan tema “Teori
Kebenaran”.

Kami akan membahas teori-teori kebenaran meliputi Korespondensi,


Koherensi, Pragmatis, Agama dan lain sebagainya. Dalam menyelesaikan tugas
makalah ini kami bekerja semaksimal mungkin sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik dalam waktu yang tepat.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan namun telah
memberi manfaat bagi kami, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari dosen pembimbing dan juga teman semuanya..

Semoga dengan terselesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
teman-teman sekalian.

Padang , Okober
2018

Penulis

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................


DAFTAR ISI .............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................
B. Rumusan Masalah .............................................................................................
C. Tujuan Pembahasan ..........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Kebenaran .............................................................................
B. Ukuran Kebenaran ............................................................................................
C. Macam-macam Teori Kebenaran .....................................................................
D. Jenis-jenis teori Kebenaran ...............................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengetahui apa yang dimaksudkan oleh suatu pertanyaan tidak sama dengan
mengetahui apakah pernyataan itu benar atau kah tidak. Percayakah Anda bahwa
kebenaran itu sifatnya relative?“ Kebenara itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap
orang,” begitu kata seorang kawan penulis. Bukankah segala sesuatu itu dapat diukur,
dinilai, dan akhirnya diketahui mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih
maju lagi untuk mencari pemahaman tentang mana yang bermanfaat dan mana yang
tidak mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan (tentunya bagi banyak
pihak bukan bagi segelintir orang).
Tidak ada kebenaran semuanya palsu teriak seorang yang keinginannya gagal
dan ia merasa marah karena apa yang sangat diinginkannya tidak terpenuhi.
Ketidakpercayaan orang pada kebenaran memang lahir dari pengalaman psikologis
bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa yang diinginkannya
terpenuhi dalam realitas.
Hal lain yang harus dicatat bahwa masyarakat kita selalu tidak fokus dalam
menceritakan segala sesuatu. Untuk ukuran penilaian orang terhadap suatu fakta yang
konkret, misalnya jarak (yang secara material adalah panjangnya bentangan antara
dua tempat atau benda yang di ukur), biasa berbeda-beda tetapi kebenaran sendiri
tentang jarak itu sendiri secara objektif ( ada, material, dan bisa di ukur) tetaplah
tidak relatif.

Kebenaran itu objektif, ada, riil, dapat di ukur dengan cara yang benar,
bukannya relatif. Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir
gampangan yang lebih mementingkan kehehndak subjektif dan individual. Banyak
orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan kemiskinan dan penindasan
bukan karena sebab-sebab konkret, melainkan karena sebab lain, takdir Tuhan dan
sebab-sebab lainnya yang berada di luar dialektika material.

Kebenaran menunjukkan bahwa makna suatu pernyataan-artinya prooposinya


sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposinya tidak merupakan halnya, maka
kita mengatakan bahwa proposisi itu sesat.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Teori Kebenaran
2. Bagaimanakah Ukuran Kebenaran
3. Apa Saja Macam-Macam Teori Kebenaran
4. Jenis-Jenis Kebenaran

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan teori kebenaran
2. Memahami Bagaimana Ukuran Kebenaran
3. Mengetahui Macam-Macam Teori Kebenaran
4. Mengetahui Jenis-jenis Teori Kebenaran

.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebenaran

Kebenaran (truth) memiliki berbagai macam makna, misalnya keadaan ketika


terjadi kesesuain dengan fakta khusus atau realitas, atau keadaan yang sesuai dengan
hal-hal yang nyata, kejadian-kejadian nyata, atau aktualitas. Kebenaran juga berarti
suatu hal cocok dengan aslinya atau sesuai dengan ukuran-ukuran yang ideal.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan
beberapa arti tentang kebenaran, yaitu
1. Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya)
2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya)
3. Kejujuran, ketulusan hati
4. Selalu izin, perkenaan
5. Jalan kebetulan.
Plato pernah mempertanyakan apakah kebenaran itu sebenarnya? Dalam
waktu belakangan yang cukup lama Bradley seakan menjawab bahwa kebenaran itu
adalah kenyataan. Jadi untuk membuktikan bahwa hari benar-benar hujan, kita harus
membedakan dengan melihat kenyataan yang terjadi di luar rumah.
Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang tidak seluruhnya berupa kebenaran,
bahkan yang tidak seharusnya terjadi akhirnya terjadi juga karena das solen tidak
sama dengan das sein. Di muka bumi ini berapa banyak kita melihat ketidak benaran,
seperti berbagai penindasan, penjajahan dan rekayasa.
Seorang murid Plato bernama aristoteles, menjawab pertnyaan suhunya ini
dengan pendapat abahwa kebenaran itu subjektif sifatnya, artinya kebenaran bagi
seorang adalah tidak benar bagi yang lain, sehingga kemudian lahirlah kebenaran
relatif dan kebenaran mutlak.
Sekarang agar penelitian cenderung lebih objektif, maka seseoranng peneliti
bertanya kepada seorang responden yang berpendapat subjektif, perlu ditanyakan
kepada beberapa responden lain yang memenuhi syarat agar valid (dalam Islam
disebut dengan Shahih ) itu pun harus diuji kebenarannya, bahkan terkadang dalam
kurun waktu tertentu kebenran itu berubah sesuai corak berpikir manusia
(paradigma).
Banyak pakar ilmu filsafat yang menganggap benar bahwa pengetahuan itu
terdiri atas sebagai berikut:
1. Pengetahuan Akal
2. Pengetahuan Budi
3. Pengetahuan Indrawi
4. Pengetahuan Kepercayaan (otoritatif)
5. Pengetahuan Intutif
Menurut penulis yang benar adalah pengetahuan akal itu disebut ilmu yang
kemudian untuk membahasnya disebut logika, pengetahuan budi itu disebut moral
yang kemudian untuk membahasnya disebut etika, pengetahuan indrawi itu disebut
seni yang untuk membahasnya disebut estetika. Sedangkan pengetahuan kepercayaan
itu disebut agama tetapi dalam hal ini tidak boleh otoritatif karena agama ini tidak
memaksa, agama harus diterima secara logika, etika dan estetika adalah Islam, oleh
karena itu pengetahuan intuitif kepada seseorang yang kemudian disebut nabi harus
diuji dahulu seperti halnya keberadaan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana penulis
lakukan bertahun-tahun dalam keadaan atheis dan kemudian baru menerimanya.
B. Ukuran Kebenaran
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang dimaksud benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain.
Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria
kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang
alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam
fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenarn bagi setiap jenis dan bidang
pengetahuan.
Ukuran kebenaran sesungguhnya tergantung pada apakah sebenarnya yang
diberikan pada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan jika apa
yang dapat kita ketahui ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya dapat terdiri dari
ide-ide yang dihubungkan secara tepat dan kebenaran merupakan keadaan saling
berhubungan (coherence) diantara ide-ide tersebut atau keadaan saling berhubungan
diantara proposisi-proposisi.

C. Macam-Macam Teori Kebenaran


1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori pertama adalah teori korespondensi, tehe correspondence theory of
truth yang kadang disebut the accordance theory of truth. Menurut teori ini,
kebenaran atau keasaan benar itu apabila ada kesesuainan (correspondence) antara
arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju
oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian, kebenaran
epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dengan objek. Teori
korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Diantara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarsky.
Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970).
Kita mengenal dua hal, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini,
kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan
sesuatu itu sendiri. Contohnya: “Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia”.
Pernyataan tersebut benar karena kenyataannya Jakarta memang ibu kota Repulik
Indonesia. Kebenarannya terletak pada hubungan antara pernyataan dan
kenyataan.
Dalam dunia sains, teori ini sangat penting sekali digunakan guna mencapai
suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang ilmuwan akan selalu
berusaha meneliti kebenaran yang melekat pada sesuatu secara sungguh-sungguh,
sehingga apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi, bukan hanya pandangan
semu belaka. Penelitian sangat penting dalam teori korespondensi karena untuk
mengecek kebenaran suatu teori perlu dilakukan penelitian ulang.
2. Teori Kebenaran Koherensi
Teori koherensi atau konsistensi, the consistence theory of truth, sering pula
dinamakan the coherence theory of truth. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk
atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan
realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain,
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru itu dengan putusan-
putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya terlebih dahulu.1
Menurut teori ini, putusan satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan
saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan: Truth is a
systematic coherence (kebenaran adalah hubungan yang sistematik) dan Truth is
consistency (kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan). Teori konsistensi atau
koherensi ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh
pengikut madzhab idealisme. Seperti filsuf Britania F.M. Bradley (1864-1924).2
3. Teori Kebenaran Pragmatis
Pragmatis berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh
William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan,
dalil, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar
apabila mendatangkan manfaat dan dikatakan salah apabila tidak mendatangkan
manfaat. Istilah pragmatisme sendiri diangkat dalam sebuah makalah yang
dimunculkan pada tahun 1878 dengan tema how to make our ideas clear yang
kemudian dikembangkannya oleh beberapa ahli filsafat Amerika. Di antara tokohnya
yang lain adalah John Dewey (1859-1952).

1
Jujun S. Surasumantri, op.cit., hlm. 56
2
Louis O. Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), cetakan ke-5, hlm. 237
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia. Contohnya adalah pandangan penganut pragmatisme tentang Tuhan. Bagi
pragmatisme, suatu agama itu bukan benar karena Tuhan yang disembah oleh
penganut agama itu sungguh-sungguh ada, tetapi agama itu dianggap benar karena
pengaruhnya yang positif atas kehidupan manusia; berkat kepercayaan orang akan
Tuhan maka kehidupan masyarakat berlaku secara tertib dan jiwanya semakin tenang.

4. Teori Kebenaran Sintaksis


Kebenaran sintaksis adalah kebenenaran yang berangkat dari tata bahasa yang
melekat. Karena teori ini dipengaruhi pula oleh kejiwaan dan ekspresi, maka ada
kemungkinan mereka yang menerimanya yang juga mempunyai keterkaitan jiwa akan
terpengaruh, apalagi susunan tata bahasa yang bernuansa rasa. Misalnya pernyataan,
“Saya makan nasi” akan berbeda bila ditulis dan ditekankan bacaannya (intonasi)
ketika “Saya, makan nasi” atau “Saya makan, nasi” atau “Saya makan nasi!” atau
“Saya makan nasi?” yaitu pada subjek, predikat, dan objek. Kebenaran seperti ini
juga mirip dengan kebenaran semantis yang berbicara tentang makna bahasa.
5. Teori Kebenaran Non Deskripsi
6. Teori Kebenaran Logika yang Berlebihan
Kebenaran logika yang berlebihan adalah kebenaran yang sebenarnya
merupakan fakta. Jadi akan menjadi pemborosan dalam pembuktiannya, misalnya
sebuah lingkaran harus berbentuk bulat. Para ahli agama menganggapnya dengan
dalil aksioma yang tidak perlu dibuktikan, tetapi sebenarnya pembuktian yang
berangkat dari keraguan untuk menjadi keyakinan itu perlu dalam mencapai titik
temu agama dan ilmu. Misalnya apakah Allah itu Tuhan? Apakah Muhammad itu
nabi? Apakah Yesus itu juru selamat? Apakah Kresna itu Awatara? Apakah Sidharta
Gautama itu Budha? Dan lain sebagainya.
7. Teori Kebenaran Performatif
8. Teori Kebenaran Paradigmatik
Kebenaran paradigmatik adalah kebenaran yang berubah pada berbagai ruang
dan waktu, jadi setelah kurun waktu tertentu berubah (untuk ketagori waktu) dan pada
tempat tertentu berubah (untuk ketagori ruang). Thomas Kuhn adalah orang yang
mempercayai kebenaran seperti ini. Contohnya dapat dilihat ketika pendapat yang
mengatakan bumi mengelilingi matahari, merubah pendapat dahulu yang mengatakan
matahari mengelilingi bumi. Dalam perubahan ilmu-ilmu sosial perubahan ini sangat
mencolok sehingga keberadaan suatu disiplin ilmu, memerlukan paradigma untuk
melacaknya.
9. Teori Kebenaran Proposisi
10. Agama sebagai teori kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipetanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan.
Dalam agama yang lebih dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari
Tuhan. 3
Suatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau
wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Kebenaran menurut agama inilah
yang dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran yang mutlak, yaitu
kebenaran yang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.
2.4 Jenis-jenis Kebenaran
1. Kebenaran Epistemologis
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan
dengan pengetahuan manusia, yang berkaitan antar subjek dan objek
(kenyataan).
2. Kebenaran Ontologis

3
Endang Saiffudin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), cetakan ke-4, hlm.
172-173
Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang
melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
3. Kebenaran Semantis
Kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat
dalam tutur kata dan bahasa.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan Bab II dapat kami simpulkan bahwa kebenaran
itu mempunyai arti yang sangat luas yaitu memang benar adanya. Kebenaran ini
mempunyai banyak teori kebenaran yaitu korespondensi, kohorensi, prakmatik,
dan lain sebagainya. Dan mempunyai jenis-jenis kebenaran juga diantaranya
epistimologis, ontologism, semantis.
Daftar Pustaka
O, Louis Kattsoff.2004.Pengantar Filsafat.Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya
Soyomukti, Nurani.2011.Pengantar Filsafat Umum.Yogyakarta:Ar-Ruzz Media
In’am,Muhammad Esha.2010.Menuju Pemikiran Filsafat.Malang:Uin Maliki Press

Anda mungkin juga menyukai