“REALITY THERAPY”
NAMA KELOMPOK 3 :
PRODI S1 KEPERAWATAN IV B
PURWOKERTO
2015
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”REALITY THERAPY”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah terapi modalitas keperawatan. Makalah ini disusun
berdasarkan hasil diskusi yang sudah dilaksanakan. Hambatan yang kami hadapi
dalam penyusunan makalah ini adalah kurangya waktu penyusunan karena
banyaknya tugas pada mata kuliah ini.
Selesainya makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dari banyak
pihak. Dalam penyusunan makalah ini penulis juga memberikan kesempatan
kepada pembaca, kiranya berkenan memberikan kritikan dan saran yang bersifat
membangun dengan maksud meningkatkan pengetahuan penulis agar lebih baik
dalam penyusun karyanya yang selanjutnya.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................... 4
B. Tujuan...................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ............................................................................................... 6
A. Kesimpulan............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah
laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta
mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa
merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas adalah
penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan
mental. Glasser mengembangkan Terapi Realitas dari keyakinannya
bahwa psikiatri konvensional sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi
yang keliru. Terapi Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan
prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam
mencapai suatu “ identitas keberhasilan “, dapat diterapkan psikoterapi,
konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan,
pengelolaan lembaga, perkembangan masyarakat.
Reality therapy berbeda dengan psikiatri konvensional dan
psikoanalisis dimana fokus pada apa yang disebut Glasser dengan tiga
R yaitu Realisme, Responsibility dan Right atau Wrong, tidak melalui
fokus pada gejala-gejala dari gangguan mental (Glasser, 1990).
Terapi Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku
karena, dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe
pengondisian operan yang tidak ketat. Salah satu sebab mengapa Glasser
meraih popularitas adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan
sejumlah konsep modifikasi tingkah laku ke dalam model praktek yang
relatif sederhana dan tidak berbelit-belit. Terapi Realitas berlandaskan
premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir
sepanjang hidup, yaitu kebutuhan akan identitas yang mencakup suatu
4
kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan ketersendirian.
Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika-dinamika tingkah laku,
dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan. Menurut Terapi
Realitas, akan sangat berguna apabila menganggap idenntitas dalam
pengertian “ identitas keberhasilan “ lawan “ identitas kegagalan“. Dalam
pembentukan identitas, masing-masing dari kita mengembangkan.
Keterlibatan dengan orang lain dan dengan bayangan diri, yang dengannya
kita merasa relatif berhasil atau tidak berhasil.
Maka jelaslah bahwa Terapi Realitas tidak berpijak pada filsafat
deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa
manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini
menyiratkan bahwa konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri.
Tampaknya, orang menjadi apa yang telah ditetapkannya
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari terapi realita
2. Untuk mengetahui tujuan terapi realitas
3. Untuk mengetahui proses konseling terapi realitas
4. Untuk mengetahui teknik-teknik dalam konseling terapi realitas
5. Untuk mengetahui cara pengambilan keputusan model terapi realitas
6. Untuk mengetahui kebaikan dan kelemahan terapi realitas
7. Untuk mengetahui ciri- ciri terapi realitas
8. Untuk mengetahui fungsi dan peranan terapis
9. Untuk mengetahui indikasi terapi realita
10. Untuk mengetahui tahap-tahap konseling realitas
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Reality therapy adalah pendekatan kombinasi psikoterapi dan
konseling. Dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960,
reality therapy dianggap variasi dari Cognitive Behavioral Therapy
(Seligman L & Reichenberg, 2010).
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah
laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta
mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi
Realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang
dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan
Terapi Realitas dari keyakinannya bahwa psikiatri konvensional
sebagian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi
Realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang
dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “
identitas keberhasilan “, dapat diterapkan psikoterapi, konseling,
pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan
lembaga, perkembangan masyarakat
Reality therapy yang dicetuskan oleh William Glasser ini
didasarkan pada teori yang menekankan bahwa manusia merupakan
makhluk sosial dan setiap perilaku yang dikerjakan ada tujuannya.
Oleh karena itu manusia tergantung dari perilaku mereka sendiri
dan bukan karena keluarga mereka, lingkungan mereka atau konflik
saat usia anak-anak. Sebaliknya perilaku dipandang sebagai pilihan,
dan penggunaan secara luas untuk terapi konseling, evaluasi serta
pendidikan dimana reality therapy berusaha untuk menghindari
6
pemaksaan dan hukuman serta mengajarkan tanggung jawab
(Wubbolding, 2002).
7
Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung
jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila
tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
d. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh
berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
e. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya
batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang
lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat
yang ditimbulkannya
8
E. Cara Pengambilan Keputusan Model Terapi Realitas
Berdasarkan pemikiran tersebut maka signifikansi selektif terapi
realitas yang dapat digunakan dalam pelayan konseling , antara lain:
1. Perubahan perilaku. Glasser beranggapan bahwa perilaku yang
tidak bertanggungjawab dari seorang konseli sebagai penyebab
gangguan mental sebenarnya sejalan dengan asumsi konseling.
Larry Crabb mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab untuk
percaya pada kebenaran yang akan menghasilkan perilaku yang
bertanggungjawab yang akan menyediakan baginya makna,
pengharapan dan kasih yang berfungsi sebagai penuntun kepada
hidup yang lebih efektif dengan orang lain sebagaimana dengan
dirinya sendiri. Crabb lebih lanjut mengatakan bahwa manusia
tidak bertanggungjawab dalam hidupnya karena berusaha untuk
mempertahankan diri terhadap rasa tidak aman dan tidak
signifikan.
Kebutuhan akan rasa aman: kasih tanpa syarat, diterima
telah dijamin oleh Tuhan. Perubahan perilaku ditekankan agar
orang percaya tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubah oleh pembaruan budi.
2. Berpatokan pada nilai benar dan salah. Konseling terhadap
individu yang mengalami berbagai persoalan kehidupan dewasa ini
harus tetap berpatokan dan menjunjung tinggi nilai benar dan
salah. Agaknya persoalan etis tidak diabaikan dalam konsep terap
realitas. Sebab itu dalam pelayanan konseling bilamana terindikasi
bahwa persoalan diakibatkan oleh masalah etika dan tatanilai,
maka konseli harus didorong untuk Bertanggung jawab dengan
memperhatikan nilai benar dan salah. Bilamana persoalan yang
dialaminya diakibatkan oleh dosa maka ia patut dibimbing untuk
memohon pengampunan dan tidak menjadikan gangguan mental
sebagai alasan untuk melanjutkan perilaku keberdosaannya
9
3. Pengalaman masa lalu konseli tidak boleh dijadikan alasan dalam
menghadapi realitas kehidupan. Terapi Realitas menolak
mengaitkan masa lalu dengan rasa bersalah (guilty feelings), maka
hal ini merupakan sesuatu yang positif agar konseli berani
melangkah menghadapi kenyataan sekarang. Demikian pula masa
lalu seseorang yang meninggalkan trauma bisa dihindari dengan
cara konselor membantu konseli untuk melupakan pengalaman
buruk di masa lampau . Misalnya, orang yang pernah mengalami
pemutusan hubungan kerja harus ditolong untuk menyingkirkan
trauma itu. Ia tidak boleh beranggapan bahwa bila bekerja lagi
pasti akan kena PHK sehingga ia memilih untuk berdiam diri dan
menyesali nasib. Konselor perlu memotivasinya untuk mencari
pekerjaan baru demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegagalan di
masa lampau tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghindari
realitas kehidupan. Meskipun begitu, Gary Colins mengingatkan
bahwa pengalaman-pengalaman hidup masa lalu (past life
experiences), terutama peristiwa-peristiwa yang terjadi di usia dini,
acapkali menambah angka stress yang menimbulkan suatu krisis.
Sebagai seorang konselor, kita harus menolong konseli untuk
memahami bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengontrol jalan
hidupnya, tetapi ia tidak harus dibanjiri oleh perasaan ketiadaan
harapan dan tidak bisa ditolong.
4. Terapi Realitas menolak alasan pembenaran terhadap perbuatan
tertentu sangat positif untuk dijadikan perhatian dalam konseling.
Kecenderungan untuk mencari kambing hitam dengan menuding
orang lain atau mencari-cari alasan untuk membenarkan
perbuatannya harus ditolak. Contoh,seorang suami yang
berselingkuh dengan wanita lain tidak selayaknya menggunakan
alasan “khilaf” untuk membenarkan perbuatannya. Ia tidak boleh
menjadikan kekurangan istrinya, atau ketidak-harmonisan rumah
tangga sebagai alasan perbuatan yang dilakukannya.
10
5. Pemikiran Terapi Realitas yang memfokuskan upaya pertolongan
kepada konseli agar dapat memahami dan menerima keterbatasan
dirinya perlu dikembangkan dalam konseling Kristen. Sebagai
contoh, orangtua yang tidak mampu secara ekonomi dan finansial
untuk menyekolahkan anak - anaknya kerap tidak mau menerima
dirinya sebagai orang yang kurang mampu demi gengsi. Bahkan ia
akan menolak bantuan yang diberikan dengan tulus oleh pihak lain
(donatur,dll.) terhadap dirinya atau keluarganya. Konseli seperti ini
perlu disadarkan akan pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri
dan terbuka terhadap pertolongan Tuhan yang disalurkan melalui
orang lain.
6. Melalui Terapi Realitas konseli dibantu untuk merubah cara
berpikir dan paradigma lama yang dianutnya dengan kukuh. Cara
berpikir, paradigma yang dianut, serta sikap kaku yang cenderung
menutup diri terhadap realitas yang tumbuh dan berkembang di
sekitar kita acapkali menjadi pemicu lahirnya berbagai konflik
menyangkut sistem nilai, dan sebagainya.
7. Oleh karena Terapi Realitas juga menggunakan teknik konfrontasi,
yang sejalan dengan konseling nouthetis sebagaimana digunakan
secara luas oleh Jay Adams, maka hal ini dapat digunakan dalam
mengkonseling klien yang mengalami persoalan karena dosa.
Konfrontasi diharapkan dapatmengoreksi kesalahan konseli dan
membantu dia mengubah perilaku berdasarkan pengajaran yang
diberikan kepadanya.
11
relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau
terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Manusia hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi,
dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga
dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau
tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Tuhan.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan
dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh
Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan
sumber penentu kepribadian adalah insting.
d. Manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan
sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan
makhluk religius . Manusia sebagai makhluk religius meliputi
ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis,
pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
12
3. Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa
lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak
dapat dirubah, maka yang bisa dirubah untuk masa sekarang dan
masa yang akan datang.
4. Terapi realtas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Ia
menempatkan pokok kepentingan pada peran klien dalam menilai
kualitas tingkahlakunya sendiri dalam menentukan apa yang
membuat kegagalan yang dialaminya. Jika klien menjadi sadar
bahwa mereka tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan
dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada
kemungkinan yang nyata untuk terjadi perubahan positif, semata-
mata karena mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa
lebih baik dari pada gaya mereka sekarang yang tidak relatif.
5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang
konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia
memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap
bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realita menghimbau agar para
terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka
menjadi diri sendiri, tidak memerankan peran sebaagai ayah atau
ibu klien.
6. Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-
aspek ketidak sadaran. Terapi realita menekankan pada kekeliruan
yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang
hingga dia tidak dapat mendapatkan yang diinginkannya, dan bagai
mana dia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkahlaku yang
berhasil yang berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab
dan realitis.
7. Terapi realitis menghapus hukum. Glasser mengingatkan bahwa
pemberian hukum guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan
bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana
melakukan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan
13
hubungan terapeutik. Glasser menganjurkan membiarkan
mengalami konsekuensi-konsekuensi yang wajar dari tingkah
lakunya.
8. Terapi realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser
didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara yang tidak
mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan mereka”.
14
I. Indikasi Terapi Realita
a. Klien dengan diagnosa halusinasi
b. Klien dimensia
c. Klien yang kebingungan
d. Klien yang tidak kenal dirinya
e. Klien yang salah mengenal orang lain, tempat, dan waktu.
15
meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah
dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut.
c. Tahap 3: Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu
konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan
konseli; cara pandang dalam Konseling Realita; akar permasalahan
konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada
perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali
menghadapi ujian ia mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam
pandangan Konseling Realita, yang harus diatasi bukan kecemasan
konseli, tetapi apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi
ujian.
d. Tahap 4: Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada
konseli apakah pilihan perilakunya tidak untuk menilai benar atau
salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai
perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk
mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya
tersebut.
Pada tahap ini, respon-respon konselor diantaranya
menanyakan apakah yang dilakukan konseli dapat membantunya
keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor menanyakan
kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak
untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi
membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri
kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup
terbantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada
konseli apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang
menjadi kebutuhan konseli saat ini, menanyakan apakah konseli
akan tetap pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan
16
perilaku yang dapat diterima, apakah realitas, apakah benar-benar
dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis
atau dapat terjadi/dicapai , bagaimana konseli memandang pilihan
perilakunya, dll.
e. Tahap 5: Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya
tidak meyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan
dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang
lebih bertanggungjawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik
dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar
dan permasalahan yang sedang dihadapinya.
f. Tahap 6: Membuat komitmen
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana
yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka
waktu yang ditetapkan.
g. Tahap 7: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli
Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas
waktu yang telah disepakati bersama. Pada tahap ini konselor
menanyakan perkembangan perubahan perilaku konseli. Apabila
konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah
direncanaknnya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak
untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli
untuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasinya
mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu
konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia
lakukan.
h. Tahap 8: Tindak lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan
konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat
berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum
tercapai.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reality therapy adalah pendekatan kombinasi psikoterapi dan
konseling. Dikembangkan oleh William Glasser pada tahun 1960,
reality therapy dianggap variasi dari Cognitive Behavioral Therapy
(Seligman L & Reichenberg, 2010).
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah
laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta
mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti Terapi Realitas
adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan
kesehatan mental. Glasser mengembangkan Terapi Realitas dari
keyakinannya bahwa psikiatri konvensional sebagian besar
berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi Realitas yang
menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang
untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “ identitas
keberhasilan “, dapat diterapkan psikoterapi, konseling, pengajaran,
kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga,
perkembangan masyarakat.
18
DAFTAR PUSTAKA
19