Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Permasalahan
Industri keuangan syariah telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Tiga dasawarsa
yang lalu, bank syariah (di luar Indonesia disebut bank islam) belum dikenal. Di awal abad ini,
Lewis dan Algound (2005:9) melaporkan sudah 55 negara yang pasarnya sedang bagkit dan
berkembang ikut menerapkan system perbankan dan keuangan syariah. Beberapa lembaga
keuangan syariah bahkan sudah beroperasi di tiga lokasi lain, di antaranya Australia, Bahama,
Kanada, Cayman Islands, Denmark, Guersney, Jersey, Irlandia, Luxemburgh, Switzerland,
Inggris, Amerika Serikat, dan Virgin Island. Di Pakistan, Iran, dan Sudan semua bank harus di
tempat-tempat lainnya yang masih menerapkan system campuran (perbankan syariah dan
konvensional), termasuk Indonesia, bank syariah masih berada dalam posisi minoritas dan
beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional. Rondoni dan Hamid (2008) menyebut
dua alasan utama yang mendorong perkembangan perbankan syariah: 1. Adanya kehendak
sebagian masyarakat untuk melakukan transaksi perbankan yang sejalan dengan nilai dan prinsip
syariah. 2. Adanya keunggulan system operasional dan produk perbankan syariah, yang antara lain
mengutamakan pentingnya moralitas, keadilan dan transparansi dalam kegiatan operasional.
Sebagian industry, perbankan syariah memiliki karakteristik yang secara umum melekat pada
industry perbankan. Pertama, ia adalah industry yang padat regulasi (highly regulated). Hampir
setiap gerak-gerik dan aktivitas bank tidak luput dari ketentuan dan pantauan regulator. Semua
regulasi itu bertujuan untuk memberikan perlindungan yang maksimal atas kepentingan publik.
Kondisi tersebut diperlukan sebagai konsekuensi dari karakteristik perbankan yang (kedua)
sebagai institusi bisnis yang berlandaskan kepercayaan. Bank pada hakikatnya menjalankan
aktivitas intermediasi atas dana masyarakat yang diserahkan kepadanya, yang pada gilirannya
menjadi bagian dari perputaran roda perekonomian (KNKCG 2004).
Dalam menjalankan aktivitas intermediasi keuangannya, bank berhadapan dengan berbagai
macam risiko, dari risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, hingga risiko legal dan risiko
reputasi. Karena itu bank harus dikelola secara sangat hati-hati oleh manajemen yang bukan saja
professional namun juga berintegritas tinggi. Di sinilah antara lain ihwal corporate governance

1|CG for Syariah Banking


(CG) menjadi sangat penting sehingga memrlukan pengaturan khusus. CG merujuk pada system
dan metode bagaimana perusahaan diarahkan, ditata atau dikendalikan. Ia juga meliputi ketentuan-
ketentuan hokum dan kelaziman-kelaziman yang mempengaruhi arah dan tujuan-tujuan yang
menggerakkan perusahaan. Mekanisme dan pengawasan CG disusun untuk mengurangi inefisiensi
akibat moral hazard dan adverse selection. Ia juga dilihat sebagai proses pemantauan kinerja
perusahaan dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan yang tepat yang terkait dengan
konsep-konsep seperti transparansi, integritas, dan akuntabilitas (Shanmugan dan Perumal
2005:1).
Pada tahun 2006 Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI-2006) tentang
pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) bagi bank umum. Peeraturan itu harus
diterapkan diterapkan oleh semua bank umum. Peraturan itu harus diterapkan oleh semua bank
umum yang beroperasi di Indonesia., dan laporan pelaksanaanya yang pertama kali harus
disampaikan untuk posisi laporan akhir Desember 2007. Peraturan itu berlaku untuk semua jenis
bank umum, termasuk bank umum syariah (BUS) dan bank umum konvensional yang memiliki
Unit Usaha Syariah (UUS). Bahkan untuk bank syariah wajib menerapkan GCG yang kemudian
ditegaskan dalam pasal 34 Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU
Perbankan Syariah). Pada bulan Desember 2009, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI
tersendiri (PBI-2009) tentang pelaksanaan GCG bagi BUS dan UUS yang mulai diberlakukan pada
2010. Menurut statistik BI, sampai akhir Oktober 2009 Indonesia memiliki enam BUS, 25 UUS,
dan 138 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS).
Dalam konteks penerapan PBI-2006 dan PBI-2009, yang menjadi pertanyaan mendasar ialah
bagaimana bank syariah di Indonesia dapat mengembangkan CG yang sungguh-sungguh sesuai
dengan kebutuhan dan identitasnya yang khusus seperti yang digagas oleh pemikir-pemikir
ekonomi Islam.

B. Kebangkitan Sistem Keuangan Islam


Rangkaian krisis yang melanda system keuangan Internasional selama dua decade terakhir
telah menuntut terbentuknya arsitektur system baru. Berbagai pendekatan dan diskusi panjang
dalam forum-forum Internasional telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa karakteristik utama
dari arsitektur baru tersebut adalah pengembangan corporate governance yang didukung oleh
regulasi dan pengawasan dengan prinsip konservatisme. System keuangan Islam pernah

2|CG for Syariah Banking


berkembang pesat di sejumlah Negara pada masa keemasan peradaban Islam, namun akibat adanya
kolonialisme di sejumlah Negara muslim, ia kemudian mengalami keruntuhan dan baru dapat
bangkit kembali setelah Negara-negara tersebut meraih kemerdekaan. Beberapa Bank syariah telah
tumbuh di seluruh dunia sejak 25 tahun terakhir. Pada saat yang sama bank-bank konvensional
juga telah membuka windows syariah untuk memobilisasi dana dari masyarakat muslim. Meskipun
masih dalam tahap evolusi, bank-bank tersebut selama ini telah menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat, bahkan telah memiliki ceruk pasar di sector keuangan Negara-negara muslim
meskipun dalam ukuran yang masih sangat kecil, terlebih apabila dibandingkan dengan sector
keuangan Internasional yang telah mapan. Selain itu, akad yang dipakai selama ini masih berbasis
pada jual-beli dan masih sedikit penyertaan akad pada core product dari system keuangan. Masih
terbuka peluang yang cukup besar bagi pengembangan dan ekspansi bank syariah agar di masa
yang akan dating dapat menghadapi tantangan yang ada.
Semua system keuangan harus menerima kenyataan bahwa pemilik dana selalu mempunyai
tujuan atas dananya tersebut. Oleh karena itu, mereka tidak akan menggunakan dana yang ia miliki
jika tujuannya tidak terpenuhi. Para nasabah tidak akan menyimpan dananya di bank sampai ada
jaminan bahwa dana tersebut aman, mendapatkan return yang kompetitif, pelayanan yang
memuaskan dan adanya kemudahan akses. Di sisi lain bank juga tidak akan menyalurkan dana
kepada masyarakat tanpa adanya jaminan pengembalian dengan tingkat return yang kompetitif.
Untuk memastkan semua tujuan di atas, peningkatan corporate governance merupakan syarat
mutlak yang harus dipenuhi oleh system keuangan Islam.

C. Faktor Pemicu Sistem Keuangan Islam di Masa Lalu


Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus meninjau ulang sejarah kejayaan
peradaban Islam, agar kita mengetahui factor-faktor apa saja yang menjadikan sarrafs mampu
memenuhi harapan masyarakat dan menunjukkan kinerja yang baik dengan keterbatasan teknologi
yang ada pada waktu itu. Sarrafs telah menilai autentifikasi dan keabsahan uang logam yang pada
saat itu terbuat dari logam mulia. Sarrafs menaruh uang logam tersebut ke dalam beberapa kotak
yang aman sesuai dengan jumlahnya untuk membantu masyarakat dalam mengamankan dan
menyimpan hartanya. Sarrafs juga melakukan transfer dana dari satu tempat ke tempat yang lain
tanpa adanya perpindahan dana secara fisik, serta menjamin keamanan dan kelancaran system
pembayaran. Sarrafs dapat menjadi tempat untuk mencairkan check, menerbitkan promissory

3|CG for Syariah Banking


notes dan letter of credit. Sarrafs bertindak sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan cara
memobilisasi dana masyarakat, kemudian menyalurkan kepada pedagang dan produsen dengan
akad mudharabah dan musyarakah. Sector yang mendapatkan pembiayaan adalah pertanian,
manufaktur dan perdagangan jangka panjang. Cara seperti ini sangat membantu pertumbuhan
ekonomi pada waktu itu. Sarrafs juga saling berpartisipasi dalam mengatasi overlikuiditas dengan
prinsip saling menguntungkan, atau yang biasa disebut dengan ibda’ bida’ah.

D. Peran Corporate Governance yang Efektif


CG dalam dunia perbankan telah dianalisis secara sangat luas dalam konteks pasar perbankan
konvensional. Sebaliknya, menurut survey Yunis (2007:308) dan Hasan (2009:277) baru masih
sedikit studi mengenai CG dari perspektif Islam, khususnya tentang governance untuk sector
keuangan syariah, suatu gejala yang tidak sepatutnya terjadi jika dibandingkan dengan
pertumbuhan yang cepat dan perannya yang semakin meningkat dalam pasar keuangan dunia.
Studi mengenai CG perbankan syariah berkembang dalam dua ranah, yaitu normative dan empiris.
Studi yang bersifat normative mempelajari kebutuhan dan kekhususan CG perbankan syariah
menurut perspektif menurut ajaran Islam. Sedangkan studi yang empiris mengamati praktik CG
yang dilaksanakan oleh bank-bank syariah.
Terdapat studi-studi normative yang meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan CG
perbankan syariah. Beekun (1997) mencatatkan bahwa institusi bisnis Islam, termasuk bank umum
syariah dan UUS di lingkungan bank konvensional, diharapkan tetap dan selalu beroperasi
menurut kode etik Islam. Menurut Suleiman (2000) bank syariah harus berbasis keimanan Islami
dan selalu berada dalam batas aturan-aturan dan prinsip syariah pada semua kegiatan usahanya.
Untuk itu, studi karim (1990) dan Antonio (2001:34) menekankan arti penting tujuan pendirian
bank syariah yang bersifat falah oriented, berupaya mencari kemakmuran di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Karena itu tujuan bank syariah bisa sangat berbeda dengan tujuan bank
konvensional.
Studi-studi empiris melaporkan praktik CG perbankan syariah mencangkup survey luas yang
dilakukan oleh Chapra dan Ahmed (2008) menemukan praktik CG bank syariah yang masih lemah
sehingga ia merekomendasikan perhatian khusus pada semua aspek yang ditelitinya berikut
penyempurnaan sarana-sarana pendukungnya. Studi Lewis dan Algound (2005) mencatat bank-
bank syariah menerapkan struktur pengawasan syariah secara tidak seragam, dua dan tiga level.

4|CG for Syariah Banking


Perbedaan juga muncul pada aspek financial governance dalam operasional bank-bank tersebut.
Sementara mengenai aspek transparansi dan shariah governance, survey Grais dan Pelegrini
(2006) atas tiga belas bank terkemuka di dunia melaporkan indeks disclosure yang masih rendah.
Selain itu, Grais dan Pelegrini juga menganalisis kepentingan stakeholder secara menyeluruh dan
implikasinya terhadap model CG perbankan syariah.
Corporate governance yang efektif pada bank dan nasabah adalah salah satu pilar penting yang
harus diciptakan untuk mengganti kondisi social-ekonomi yang lama. Namun sangat disayangkan
bahwa corporate governance justru menjadi unsur kelemahan, hal ini disebabkan karena semua
institusi yang berperan penting dalam mengawasi dan menjamin efisiensi dan integritas pasar
justru tidak berfungsi dengan baik, para pelaku pasar kurang berpengalaman dan tidak efektifnya
undang-undang yang berlaku. Konsep transaparansi tidak diterapkan dengan baik, begitu juga
dengan praktik akuntansi yang tidak berkembang secara optimal. Konsekuensinya, perusahaan-
perusahaan tersebut menjadi tidak efisien sehingga menyebabkan kerugian bagi seluruh
stakeholder kerugian yang disebabkan oleh inefisiensi corporate governance dapat menjadi lebih
serius jika terjadi pada lembaga keuangan karena jumlah stakeholder-nya lebih banyak dan resiko
sistemiknya lebih besar.
Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa meskipun selama ini lembaga keuangan Islam telah
berjalan dengan baik, lembaga ini tetap harus mengungkap dan menyikapi kelemahan CG yang
ada di Negara-negara berkembang. Lembaga keuangan Islam juga harus mampu meningkatkan
kinerjanya secara sungguh-sungguh dan memenuhi kepentingan para stakeholder dengan
menerapkan CG secara efektif. Dasar pemikiran dan kepercayaan yang kuat akan keadilan system
ekonomi Islam patutlah dijadikan sebagai landasan untuk mengadopsi semua ukuran yang
memungkinkan berfungsinya system keuangan dalam mejaga kepentingan seluruh stakeholder.

5|CG for Syariah Banking


BAB II
CORPORATE GOVERNANCE: KONSEP DASAR
DAN PERMASALAHAN

A. Pentakrifan Corporate Governance


Pemikiran mengenai corporate governance (CG) menurut catatan para ahli, khususnya para
ahli ekonomi dan ahli hokum, telah memiliki sejarah yang panjang. Walau demikian, penyebutan
CG sebagai sebuah konsep yang baku dan mendapat respon yang luas belum berlangsung lama:
kurang dari satu dasawarsa. Mengutip Salacuse (2004: 70), Khairandy dan Malik (2007: 60-61)
menyatakan bahwa istilah CG digunakan pertama kali pada 1970-an setelah terungkap sejumlah
skandal korporasi di Amerika Serikat ketika beberapa perusahaan diketahui terlibat dalam kegiatan
berpolitik yang tidak sehat dan dilanda budaya korupsi. Ketika pada waktu kemudian terjadi
kegagalan pada perusahaan berskala besar berikut skandal keuangan dan krisis ekonomi di
berbagai dunia, banyak perusahaan memberi perhatian khusus pada pentingnya penataan CG.
Seiring dengan perkembangan itu muncul isu tentang CG dan upaya pencarian struktur
governance yang optimal mendapat perhatian luar biasa dalam keputusan ekonomi konvensional
dan debat-debat kebijakan public. Respon terhadap isu CG bertambah meningkat setelah lembaga-
lembaga keuangan multilateral, seperti World Bank dan ADB, menyatakan bahwa penyebab krisis
keuangan yang melanda berbagai Negara terutama di Asia pad atahun 1997 tidak lain adalah
karena buruknya praktik pelaksanaan CG. Menurut Iqbal dan Mirakhor (2008: 343) peningkatan
perhatian tersebut secara keseluruhan dapat dinisbatkan setidaknya ke dalam empat factor penting:
1. Pertumbuhan investor institusional, seperti institusi dana pension, perusahaan asuransi,
perusahaan reksadana, dan meningkatnya peran yang dimainkan oleh investor institusional
dalam sector finansial, khususnya dalam ekonomi industrial besar. Sebagai akibatnya,
cenderung terjadi gejala perubahan pada kepemilikan saham yang mengarah pada
konsentrasi kepemilikan perusahaan public ke tangan investor besar.
2. Meluasnya keprihatinan dan kritik atas lemahnya pengawasan dan monitoring terhadap
perusahaan-perusahaan public di Negara-negara Anglo-Saxon, khususnya Inggris dan
Amerika Serikat yang menyebabkan kurang optimalnya pembangunan ekonomi dan social.

6|CG for Syariah Banking


3. Pergeseran dan pandangan tradisional tentang CG yang berbasis pada pemegang saham
(shareholder value-centered) kepada sebuah struktur CG yang melingkari stakeholdernya
yang lebih luas.
4. Semakin meningkatnya globalisasi pasar finansial, kecenderungan global untuk deregulasi
dan liberalisasi aktivitas investor institusional, yang membawa dampak pada kebutuhan
untuk lebih memperhatikan pengembangan good corporate governance GCG.

B. Permasalahan Utama
Istilah corporate governance telah dikenal secara luas sejak dua dekade terakhir
menghadapkan pada suatu pertanyaan penting mengapa masih terjadi pelanggaran terhadap
pemenuhan janji? Alasan utamanya adalah karena adanya pemisahan antara manajemen dengan
keuangan atau pemisahan antara pemilik dengan system pengawasan, sehingga menyebabkan
terjadinya permasalahan utama. Hal ini dapat terjadi pada semua perusahaan, dan akan menjadi
lebih kompleks lagi jika terjadi pada bank, karena bank lebih banyak menggunakan leverage dan
menghadapi risiko sistematik.
Masalah juga dapat terjadi pada akad mudharabah dimana mudharib (bank) menggunakan
dana dari shahibul mal (nasabah). Antara keduanya saling membutuhkan satu sama lain,
pengusaha membutuhkan modal karena dia mempunya keahlian dalam usaha, namun tidak
mempunyai modal, sedangkan pemilik modal membutuhkan pengusaha. Bagaimanapun dalam
kondisi saling membutuhkan, konflik kepentingan akan mudah muncul. Para pengusaha boleh jadi
tidak membutuhkan aliran modal kalaupun mereka membutuhkannya, mereka mungkin
menginginkan pengembalian yang kecil. Ada banyak cara-cara illegal yang dapat mengurangi
bagian laba dari pemilik modal. Di sisi lain, pemilik modal menghendaki bagian profit sebanyak
mungkin. Jika hubungan di antara keduanya dapat dibangun atas dasar kejujuran dan keadilan,
sehingga keseimbangan dapat diwujudkan dan pada gilirannya akan memberikan keuntungan bagi
keduanya dan bagi perekonomian secara luas. Penerapan corporate governance ysng efektif sangat
dibutuhkan dalam rangka mengembangkan system keuangan Islam, sebagaimana juga pada
system lain yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan stakeholder secara adil.

7|CG for Syariah Banking


BAB III
SARANA PENDUKUNG CORPORATE GOVERNANCE

Untuk memobilisasi sumberdaya finansial oleh bank dari para deposan untuk menarik minat
investor merupakan hal yang sangat krusial bagi akselerasi pembangunan ekonomi. Menurut
Cadbury (2001), adalah suatu kebutuhan untuk menyeimbangkan fungsi ini melalui pemberian
perlindungan bagi mereka yang memberikan sumber daya finansial tersebut. Risiko yang diterima
oleh bank dan dunia usaha harus dipertemukan dengan mengadakan check and balance yang cukup
untuk meningkatkan kepercayaan para pelaku system. Untuk memastikan hal tersebut, maka
dibutuhkan control internal yang efektif, manajemen risiko, system akuntansi dan audit eksternal,
serta transparansi sehingga sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan perhatian secara
seksama pada semua sarana pendukung corporate governance.

A. Sistem Kontrol Internal


Keberadaan system control internal yang efektif sangat diperlukan bagi keamanan dan
kesehatan lembaga keuangan, tak terkecuali bank syariah. Beberapa system tertentu dapat
membantu dalam merealisasikan tujuan lembaga, serta untuk meningkatkan profitabilitas dalam
jangka panjang. Kontrol internal juga sangat diperlukan untuk memastikan pengawasan
manajemen dan meningkatkan budaya yang sehat dalam lembaga. Semua hal tersebut dibutuhkan
untuk mengakui dan menilai resiko, mendeteksi permasalahan dalam lembaga serta untuk
mengkoreksi kelemahan internal. Jika secara tepat disusun, system control internal akan mampu
meng-cover seluruh aktivitas baik di dalam atau luar neraca bank dan hanya tidak terbatas pada
area tertentu saja, serta selaras dengan karakteristik dan kompleksitas risiko dalam aktivitas bank.
System control internal perlu untuk dimonitor dengan basis ukuran tertentu untuk memastikan
kepatuhan pada aturan dan prosedur, limit pembiayaan, persetujuan dan otorisasi, verifikasi dan
rekonsiliasi. Dengan demikian, tidak mungkin bisa mengimplementasikan system kontrol dengan
baik tanpa adanya jalur komunikasi yang efektif dan ketersediaan informasi secara berkala tentang
aktivitas bank dan kondisi eksternal yang relevan dalam pengambilan keputusan.

8|CG for Syariah Banking


B. Manajemen dan Risiko
Beberapa risiko yang baru saja dijelaskan, semuanya melekat pada bisnis perbankan, tak
terkecuali pada bank syariah. Hal tersebut diakibatkan oleh tingginya tingkat leverage dalam bisnis
perbankan. Ketika tingkat return on equity (ROE) tergantung dari nilai asset, maka menjadi
tendensi alamiah di sebagian bank untuk memiliki tingkat leverage setinggi mungkin, yaitu dengan
meningkatkan volume simpanan secara terus-menerus dan mengurangi porsi modal sendiri.
Tingkat leverage yang tinggi akan membahayakan bank, kerugian yang kecil saja atas asset cukup
untuk menguras modal dan membuat bank menjadi kolaps. Sebagai efek domino, kolapsnya bank
bisa megakibatkan ketidakstabilan sistematis dalam system pembayaran, terlebih lagi bila bank
menderita kerugian yang lebih besar.
Untuk memfasilitasi manajemen risiko yang tepat, diadakan pemisahan antara banking book
activity dengan trading book activity. Pembuat kebijakan harus memperhatikan komposisi asset
dan liabilitas yang dihasilkan dari kegiatan pembiayaan kepada para pengguna dana sesuai dengan
jangka waktunya. Trading book activity berhubungan dengan upaya diversifikasi portofolio
dengan memperhatikan unsur risiko yang melekat pada banking book activity, serta berusaha
mendapatkan pendapatan melalui perdagangan surat-surat berharga, melakukan pengelolaan dana
investasi dan reksadana. Trading book activity pada bank konvensional berhubungan dengan
transaksi yang berbasis suku bunga, perdagangan valuta asing, dan perdagangan instrumen
berbasis komoditas dan saham, yang semuanya merupakan transaksi derivative. Bank syariah tidak
diperbolehkan untuk melakukan perdagangan instrument derivative, untuk itu harus ada solusi
agar tetap memperhatikan tingkat risiko pada batas normal.
Akibat semakin tidak stabilnya harga komoditas, saham dan pasar valuta asing. Dewasa ini
banyak bank yang menghadapi kesulitan untuk menciptakan manajemen risiko yang tepat. Dengan
konsisi ini, bank dituntut untuk memiliki kecukupan modal dan tingkat kesehatan yang baik. Selain
itu, bank juga dituntut untuk memilliki provisi atas kemungkinan kerugian yang timbul. Hasil
survey menunjukkan bahwa 81% dari total bank memiliki manajemen risiko dan laporan atas
risiko yang dihadapi dan disiapkan oleh direksi. Adapun macam-macam risiko yang dihadapi oleh
bank syariah adalah sebagai berikut:

9|CG for Syariah Banking


1. Risiko Kredit
Risiko kredit merupakan risiko yang paling serius bagi setiap lembaga keuangan. Risiko
ini muncul dari ketidakmampuan sebitur untuk menunaikan kewajibannya yang telah jatuh
tempo berdasarkan kesepakatan. Risiko kredit yang terus berlanjut tidak hanya akan
menimbulkan kesulitan likuiditas, tetapi juga bisa menurunkan kualitas asset yang dimiliki
oleh pihak bank.
Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi timbulnya risiko kredit pada bank
konvensional. Beberapa factor tersebut antara lain rating pihak competitor, system hukum,
kualitas kolateral, jangka waktu kredit, ukuran bank dan trading book activity, penggunaan
kredit derivative, dan system control internal. Bank syariah juga meghadapi beberapa risiko
tambahan seiring dengan diterapkannya profit and loss sharing (PLS) ataupun transaksi jual
beli yang dilakukan secara tempo dalam operasionalnya, perbedaan opini dari ulama fiqh,
ketidakmampuan pihak bank untuk menggunakan kredit derivative dan menjadwal ulang
utang-utang yang mempunyai tingkat mark-up yang tinggi.

2. Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas akan timbul ketika terjadi penurunan yang tidak diharapkan atas cash-
flow bersih yang dimiliki oleh bank, dan pihak bank tidak mampu untuk mendapatkan sumber
dana dengan biaya yang wajar dan sesuai dengan ketentuan syariah. Kondisi ini aan
menyulitkan pihak bank untuk menunaikan kewajibannya yang akan jatuh tempo, di sisi lain
bank juga tidak mampu menyalurkan pembiayaan pada peluang-peluang bisnis yang
menguntungkan. Adanya mismatch antara jumlah dana yang diterima dengan jumlah
pembiayaan dan investasi yang dilakukan oleh semua bank komersial, tidak peduli apakah itu
bank syariah atau bank konvensional, akan menggiring mereka pada persoalan likuiditas.

3. Risiko Tingkat Suku Bunga


Risiko tingkat suku bunga juga merupakan salah satu risiko penting dalam lembaga
keuangan konvensional. Risiko ini muncul karena adanya eksposur atas posisi keuangan yang
disebabkan oleh pergerakan tingkat suku bunga. Risiko ini tidak mungkin dapat dihindari oleh
lembaga keuangan konvensional karena hal itu merupakan konsekuensi logis dari bisnis yang
dijalankan, di sisi lain pergerakan suku bunga ini merupakan harga risiko yang dihadapi oleh

10 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
dunia usaha non-bank. Ketika harga yang akan diterima melalui penyaluran kredit dan harga
yang harus dibayar atas pinjaman ditetapkan berdasarkan tingkat suku bunga, mengelola risiko
tingkat suku bunga merupakan suatu keharusan bank untuk menignkatkan profitabilitas dan
nilai bagi pemegang saham.

4. Risiko Operasional
Terdapat sejumlah pendapat tentang definisi risiko operasional, menurut istilah yang
diberikan oleh BCBS (2001), risiko operasional sering disebut risiko lain (other risk). Risiko
lain adalah semua risiko yang dihadapi oleh bank selain risiko kredit, risiko likuiditas, dan
risiko tingkat suku bunga yang telah dijelaskan sebelumnya. Risiko operasional muncul akibat
lemahnya system kontrol internal dan corporate governance. Kelemahan tersebut akan
menciptakan kerugian finansial yang disebabkan adanya error, self-dealing, penyelewengan,
atau adanya kegagalan dalam pemenuhan kewajiban secara efisien dan tepat waktu.

11 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
BAB IV
PERAN REGULASI DAN PENGAWASAN

Hadirnya fungsi insentif dan pencegahan yang melekat dalam pasar finansial kompetitif
tentunya dapat membantu memotivasi dewan direksi, manajemen dan auditor untuk menjalankan
tugas masing-masing dengan baik. Jika mekanisme pasar mendapatkan dukungan dari pelaku
pasar untuk melaksanakan kewajiban moralnya, dalam waktu singkat kelemahan pasar dapat
direduksi. Namun demikian, pengalaman menunjukkan bahwa kedua factor tersebut tidak
selamanya dapat menjaga kepentingan semua pemegang saham secara optimal akibat adanya
ketidaksempurnaan pasar dan kegagalan moral, untuk itulah peran otoritas pengawas sangat
diperlukan.
Peran penting yang harus dijalankan otoritas pengawas adalah memastikan bahwa nilai
keadilan dapat dirasakan dan diterima oleh semua stakeholder. Hal ini dapat diwujudkan dengan
adanya regulasi dan pengawasan yang tepat. Regulasi dan pengawasan yang tepat merupakan
kebutuhan yang sangat besar bagi bank, karena akselerasi perkembangan tidak mungkin dapat
dicapai tanpa menekankan kemanan dan kesehatan dalam bisnis yang dijalankan, menjaga
ketidakstabilan system pembayaran, dan memastikan jalannya operasi pasar modal dan
institusinya secara efisien.
Regulasi yang ditetapkan seharusnya tidak terlalu ketat dan komprehensif, sehingga
meningkatkan biaya kepatuhan serta mematikan inovasi dan kreatifitas. Regulasi juga harus bisa
memnuhi kebutuhan bank dalam perubahan lingkuangan bisnis dan tantangan yang dihadapi.
Stabilitas dan efisiensi harus tetap bisa diwujudkan karena regulasi tidak akan memiliki peran yang
cukup berarti tanpa adanya pengawasan. Oleh sebab itu, efektivitas pengawasan merupakan suatu
keharusan yang dinyatakan secara jelas dan tepat.
Suatu hal penting yang harus dilakukan oleh pengawas adalah menentukan dan
mengembangkan seperangkat indicator keamanan dan kesehatan keuangan untuk membantu
memonitor kekuatan da kelemahan system keuangan dalam skala mikro maupun makro. Pada
skala mikro, indicator harus mengindikasikan kondisi lembaga secara individu, dan dalam tatanan
makro harus bisa membantu untuk mengakses dan memonitor keamanan, kesehatan, dan
kelemahan system keuangan.

Lembaga pendukung bagi efektivitas corporate governance


12 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
Aspek moral, social, kelembagaan, hukum, dan pengawasan, yang diperlukan utuk meningkatkan
corporate governance dalam bank syariah telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya. Akan
tetapi, hal ini dirasa tidaklah cukup, karena baru mencerminkan satu sisi dari tujuan pemciptaan
kepercayaan dan melindungi kepentingan para deposan dan pemegang saham. Dengan adanya
kepercayaan tersebut, memungkinkan lembaga keuangan syariah untuk mendapatkan sumber-
sumber dana. Akan tetapi, jika lembaga tidak cukup yakin untuk dapat me-recover pinjaman dari
para user dan tingkat pengembalian yang optimum, atau bahkan tidak ada usaha untuk mengatasi
persoalan ini, maka lembaga ini tidak akan terdorong untuk menyediakan sumber-sumber dana
tersebut bagi para user. Hal inilah yang akan menjadi pengahlang bagi percepatan perkembangan
keuangan ekonomi di negara-negara muslim.

Bank tidak akan memiliki kepercayaan untuk menyediakan sumber dana bagi para user, jika usaha
untuk mencarikan solusi atsa persoalan yang dihadapi bank dengan segala kesulitannya tidak
mendapatkan perhatian secara serius. Di daerah yang didominasi oleh para urban, bank tidak dapat
mengenal nasabah dengan baik, terutama ribuan individu dan bisnis yang menggunakan dana bank
dengan prinsip profit and loss sharing (PLS). Bagaimana membuat pihak bank merasa percaya
diri dengan efisiensi penggunaan dana dan pembayarannya kembali sesuai dengan tingkat
pengembalian yang optimum? Terlebih lagi, juga terdapat persoalan untuk me-recover dana yang
disalurkan dengan model pembiayaan yang berbasis jual beli secar tepat waktu. Apa pun usaha
yang dilakukan oleh pihak bank untuk me-recover dananya, akan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit.

Apa yang sesungguhnya dibutuhkan adalah menciptakan beberapa lembaga pendukung untuk
melakukan tugas tersebut bisa membantu bank dengan cara yang berbeda. Lembaga ini akan
membantu pihak bank untuk mendapatkan informasi mengenai nasabah, dan untuk memastikan
bahwa uang yang dipinjamkan kepada mereka digunakan secara efisien sesuai dengan perjanjian,
dan tingkat profit yang disajikan oleh nasabah benar-benar merefleksikan kondisi riil dari bisnis
yang dijalankan. Lembaga ini juga akan membantu pihak bank agar pembayaran angsuran bisa
tepat sesuai jadwal, dan mendapat keadilan jika terjadi sengketa dengan nasabah. Pihak bank juga
harus mendapatkan jaminan yang memungkinkan baginya untuk mendapatkan likuiditas pada saat
kondisi tidak menguntungkan. Usaha pendirian beberapa lembaga tersebut akan menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi usaha sebagaimana yang telah dilakukan oleh sarrafs di zaman

13 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
dahulu. Selam lembaga pendukung ini belum ada, meski bank dengan corporate governance yang
sangat baik akan tetap menghadapi banyak kesulitan, dan pada akhirnya system keuangan Islam
mungkin tidak akan mampu untuk melanjutkan akselerasi pertumbuhannya.

Lembaga rating kredit, kamar dagang, dan asosiasi usaha

Salah satu lembaga pendukung yang dibutuhkan bagi efektivitas corporate governance adalah
lembaha rating kredit, yang bertugas untuk merating bank berikut para counterpart-nya. Dalam
kominutas yang relative kecil di zaman klasik, lembaga rating tersebut secara informal telah ada,
meski tanpa bantuan lembaga formal, yaitu melalui beroperasinya disiplin pasar dan hubungan
masing-masing pelaku pasar. Selain itu,juga didukung dengan disiplin yang melekat pada struktur
sosio ekonomi anatrsuku, serikat pekerja, hubungan kekeluargaan ataupun hubungan sufistik.
Dalam konteks perekonomian modern, tugas ini akan digantikan oleh lembaga rating kredit, kamar
dagang, dan asosiasi usaha. Kebanyakan negara-negara muslim saat ini tidak memiliki lemabga
rating kredit, terlebih kamar dagang atau asosiasi usaha yang seacar khusus dipersiapkan untuk
menjalankan peran ini.

Saat ini, telah terdapat The International Islamic Rating Agency (IIRA) yang dalam proses
pendirian di Bahrain, dan akan terus dikembangkan. Lembaga ini akan menjalankan bebrapa
fungsi, termasuk melakukan rating terhadap perusahaan public dan swasta yang mengeluarkan
instrument kredit, dengan meliha kekuatan financial, risiko fidusia, dan kelayakan kredit mereka.
Selain itu juga akan diuji kesesuaian instrument tersebut dengan norma-norma syariah yang akan
memberikan opini terkait dengan instrument yang ada.

Meskipun IIRA juga akan melakukan rating terhadap perusahaan swasta nonbank, namun akan
sangat tidak mungkin untuk melakukan rating pada ribuan counterpart di mana bank berhubungan.
Untuk itu, sangat diharapkan adanya lembaga rating kredit swasta di semua Negara muslim untuk
memfasilitasi tugas bank syariah dalam menentukan counterpart-nya. Hadirnya lembaga ini juga
akan membantu tugas IIRA untuk mendapatkan informasi terkait dengan kekuatan finansial, risiko
fidusia, da kualitas kredit dari perusaahn yang menerbitkan instrument keuangan.

Sentralisasi dewan syariah

14 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
Adalah suatu keharusan untuk membentuk dewan syariah dalam rangka memurnikan dan
menyesuaikan berbagai model dan instrument keuangan bank dengan ketentuan syariah. Ketiadaan
dewan syariah yang tersentralisasi menuntut tiap bank syariah untuk memiliki dewan pengawas
syariah secara sendiri-sendiri. Hal ini tentunya akan memakan banyak biaya, khususnya bagi bank
yang relative kecil. Terlebih lagi, jika jumlah dewan syariah terlalu banyak, tentu akan memicu
terjadinya perbedaan pendapat yang justru akan menimbulka inskonsistensi dan ketidakpastian.
Seiring dengan berjalannnya waktu dengan terus dilakukannya beberapa diskusi terhadap beberapa
isu kontrolversial tersebut, hal tersebut dengan sendirinya juga selesai. Bagaimanapun, dengan
adanya dewan syariah yang tersentralisasi tentu akan meperkecil terjadinya silang pendapat dan
memungkinkan untuk menstandardisasi instrument keuangan syariah.

Auditor syariah

Sebagaiman telah dibahas sebelumnya, adalah suatu keharusan untuk membentuk chartered
shariah auditor, atau melakukan pelatihan terhadap chartered accountant tentang tugas audit
syariah. Dengan adanya sertifikasi dari dewan syariah aas tugas audit ini, tentu akan memberikan
kepercayaan kepada public bahwa operasional bank benar-benar telah sesuai dengan norma-norma
syariah.

Arbitrase syariah

Hal lain yang diperlukan oleh system keungan Islam adalah adanya fasilitas peradilan yang
memungkinkan bagi bank untuk mendapatkan kembali pinjaman yang telah mereka berikan jika
nasbaha melakukan tindakan kecurangan, dan memungkinkan bagi nasabah untuk mendapatkan
keadilan dengan baiya yang rendah ketika bank bertindak tidak adil. Pendirian badan arbitrase
syriah akan sangat membantu untuk menghadirkan keputusan yang tepat saat terjadi perselisihan
antar bank dengan nasabah atau sebaliknya. Arbitrase syariah akan memberikan efek yang besar
bagi reputasi bank ataupun nasabah, karena biasanya hasil dari pengadilan tersebut akan
dipublikasikan dalam media massa. Lebih lanjut, nama-nam apihak yang seting melakukan
penyimpangan kontrak akan dikirimkan kepada kamar dagang dan asosiasi usaha untuk
mendaptkan blacklist dan efek social yang tidak menguntungkan.

Organisasi audit

15 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
Hadirnya organisasi audit secara bersamaan dimilik bank adalah suatu keharusan untuk melakukan
evaluasi laporan laba rugi (profit and loss account) pada nasabah yang berusaha untuk melakukan
tindak kecurangan dalam perjanjian PLS. Adanya ketakutan akan terkuaknya kejahatan yang
dilakukan oleh nasabah dengan adanya pengecekan laporan nasabah oleh satu organisasi tertentu
akan melengkapi kekuatan pasar dalam meminimalisir usaha pengguna dana dengan basis PLS
untuk melakukan tindakan kecurangan terhadap bank.

Pelatihan perbankan syariah

Adalah suatu keharusan untuk memberikan pelatihan kepada para staf bank, nasabah, dan
masyarakat luas tentang prinsip dasar bank syariah. Hingga saat ini pelatihan dilakukan oleh
masing-masing bank, oleh karenanya menambah biaya baginya. Jika bank sentral, lembaga
pendidikan, dan universitas melakukan kerja sama untuk mensosialisasikan prinsip dasar bank
syariah, bagaimana yang dilakukan bank konvensional, maka tuga bank syariha relative akan lebih
mudah.

Pasar modal syariah

Hal lain yang dirasakan penting bagi bank syariah adalah terbentuknya pasar keuangan Islam.
Tidak adanya pasar sekunder bagi isntrumen keuangan Islam, tentu akan menciptakan kesulitan
bagi bank syariah untuk mengelola kebutuhan likuiditasnya. Sebagai konsekuensinya, bank
syariah mungkin akan menyediakan rasio likuiditas yang relative lebih besar disbanding bak
konvensional. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat profitabilitas dan kompetitif
bank. Keputusan untuk mendirikan tiga institusi yang meliputi IFBS, International Islamic
Financial Bank (IIFM), dan Liquidity Management Centre (LMC) adalah hal yang sangat
direkomendasikan.

IFSB akan menjelaskan peran dalam menentukan standar regulasi dan pengawasan serta standar
kehati-hatian bagi lembaga keuangan syariah sebagaimana yang dilakukan oleh BCBS. Adanya
kesamaan standar ini tentunya bisa mempermudah tugas para regulator dan pengawas di Negara-
negara muslim, karena mereka akan memiliki standar dan prinsip-prinsip pokok regulasi dan
pengawasan yang sesuai denga norma syariah.

16 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
IIFM akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan bank syariah sebagai alternative atas pasar
keuangan konvensional. Hal ini akan mendorong timbulnya kerja sama keuangan di antara Negara-
negara muslim dan lembaga keuangan untuk melakukan penegmbangan produk dan melakukan
penyesuain praktik perdagangan. Hal ini tentunya akan menjadi katalisator bagi pengembangan
instrument keuangan yang sesuai dengan norma-norma syariah.

LMC akan mebantu operasional IIFM dalam memfasilitasi terbentknya pasar uang antar bank yang
memungkinkan bagi lembaga keuangan syariah untuk mengelola asset dan liabilitasnya secara
efektif. Dalam jangka pendek, hal ini akan mendorong terciptanya kesempatan invesasi yang
sesuai syariah dengan menyediakan likuiditas, transaksi perdagangan, istrumen beragun asset
(suku), di mana lembaga keuangan ini dapat menginvestasikan kelebihan likuiditasnya. Hal ini
juga memungkinkan untuk memfasilitasi pencarian sumber-sumber dana dan sekuritas asset serta
melakukan perdagangan sukuk secara efektif.

Pembentukan tiga institusi secara bersama-sama tentunya akan dapat membantu menghapus
pengalaman suram yang pernah dihadapi bank syariah akibat tidak adanya standar istilah dan
instrument serta tiadanya asset perdagangan yang sesuia syariah dalam pasar sekunder. Sebagai
konsekuensinya, system keuangan Islam di waku mendatang diharapkan mampu mempercepat
pertumbuhannya, dengan selanjutnya menciptakan ceruk di pasar keuangan Negara-negara
muslim.

LENDER OF LAST RESORT

Bank syariah juga membutuhkan hadirnya fasilitas lender of last resort sebagaiman dimiliki oleh
bank konvensional untuk mengatasi krisis likuiditas yang terjadi pada saat yang tidak terduga.
Fasilitas lender of last resort yang ada sampai saat ini masih menggunakan basis suku bunga
dimana hal ini tidak diperbolehkan oleh ketentuan syariah. Jika bank syariah tetap menggunakan
fasilitas ini maka akan banyak menuai kritik tajam. Akan sangat berguna bagi bank jika mereka
mempunyai kumpulan dana (common pool) di bank sentral sebagai dana bersama yang bisa dipakai
pada saat dibutuhkan. Semua bank dipersyaratkan untuk ikut berkontribusi dalam persentase
tertentu dari simpanan yang dimiliknya dalam kumpulan dana ini, sebagaimana yang mereka
lakukan dalam ketentuan pencadangan minimum.

17 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g
Dalam situasi krisis, bank sentral bisa mengizinkan bank untuk mengambil dana melebihi limit
yang telah ditentukan, tentunya dengan pinalti yang tepat, peringatan, an tindakan korelasi yang
tepat. Hal ini merupakan bentuk kerja sama yang menguntungkan dan akan menggantikan peran
sarrafs di zaman klasik.

Reformasi bursa saham

Reformasi bursa saham yang disesuaikan dengan aturan dan ketentuan syariah merupakan sesuatu
yang sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa harga saham merefleksikan kondisi bisnis yang
sesungguhnya, dan tidak berfluktuasi sebagai dampak dari adanya spekulasi. Proses pendisiplinan
yang diperkenalkan oleh syariah tentunya akan banyak membantu dalam pasar keuangan. Bursa
saham yang terorganisasi dan memiliki regulasi yang tepat akan membantu meciptakan pasar
sekunder yang sehat dan akan meningkatkan kepercayaan para penabung dan investor terhadap
system, serta memungkinkan bagi mereka untuk melakukan perdagangan saham sebagai respons
atas kondisi bisnis yang ada ataupun presepsi mereka terhadap perkembangan pasar diwaktu
mendatang. Pembentukan bursa saham ini merupakan pilar penting untuk mendukung terciptanya
perekonomian bebas bunga dan berkeadilan

18 | C G f o r S y a r i a h B a n k i n g

Anda mungkin juga menyukai