Rada BPH
Rada BPH
Asuhan Keperawatan BPH
2. Kelenjar Postat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung kemih,
di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ). Bentuknya seperti
buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi
uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari
vas deferen.
Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam
beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan
anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)
Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid
sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan
rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat yang
membentuk bagian besar dari cairan semen untuk tranpor spermatozoa. Asinus kelenjar
normal sering mengandung hasil sekresi yang terkumpul berbentuk bulat yang disebut
korpora amilasea. Asinus dikelilingi oleh stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan
darah ke kelenjar prostat berasal dari arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum
tengah. Vena prostat mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke
vena iliaka interna. ( Underwood, 2000, hal.608 )
Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretoriusmuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Cairan ini merupakan + 25 % dari volume ejakulat.
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas
dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
( Purnomo, 2000, hal.7 )
Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang keras dan licin melalui
pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar saat remaja dan mencapai ukuran optimal
pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-laki, ukurannya terus bertambah seiring
pertambahan usia. Saat berusia 70 tahun, dua pertiga dari semua laki-laki mengalami
pembesaran prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada mikturisi dengan menjepit
uretra sehingga mengganggu perkemihan. ( Sloane, 2004, hal. 351 )
2. Etiologi
Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan bahwa hormon
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat.
( Smeltzer, 2001, hal. 1625 )
Hormon androgen merupakan hormon yang paling memungkinkan sebagai
penyebab dari BPH. Dengan meningkatnya umur seseorang, terjadi penurunan kadar
hormon androgen, disertai naiknya kadar estrogen secara relatif. Estrogen juga
meningkatkan sensitivitas jaringan prostat terhadap androgen. ( Underwood, 2000, hal.
610 )
Beberapa faktor timbulnya BPH antara lain diet, dampak dari inflamasi penyakit
kronis, sosial ekonomi, hereditas, dan ras. Angka kejadian meningkat pada kulit hitam dan
angka kejadian rendah pada bangsa Asia. Laki-laki dengan perkembangan hipogonadisme
yang permanen memungkinkan timbulnya BPH. Proses penuaan ( aging ) merupakan faktor
resiko yang utama bagi perkembangan BPH, 80% laki-laki diatas 80 tahun memiliki resiko
yang tinggi terkena BPH. ( Black, 1997, hal. 2350 )
3. Patofisiologi
Hiperplasia prostat jinak ( BPH ) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. Lebih dari 50 % pria diatas usia 50 tahun
mengalami pertumbuhan nodular ini. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar
dengan stoma fibrosa yang jumlahnya berbeda-beda. Sebab dari BPH tidak diketahui.
Pembesaran jaringan prostat periutretral menyebabkan obtruksi leher kandung kemih dan
uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih.
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam
derajat yang berbeda-beda : sering berkemih, nokturia, urgensi ( kebelet ), urgensi dengan
inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kemih, rasa
tidak lampias, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung
kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik
pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba
sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai besarnya kelenjar.
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak
adanya aliran kemih, dan ini memerlukan reseksi bedah pada prostat. Prostatektomi dapat
dilakukan dalam berbagai cara, yang paling sering adalah metode reseksi transuretral.
(Silvya Price, 2005, hal 1154)
4. Manifestasi Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi berkemih,
nokturia, dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus
mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dimana urine uterus meets setelah
berkemih (dribbling), rasa seperti kandung kemih tidak kissing dengan baik, retensi urine
akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih) dan
kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi
produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu
yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak termasuk keletihan, anoreksia, mual
dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. (Smeltzer, 2001, hal. 1625 )
5. Komplikasi
a. Retensi urine
Retensi urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan mengeluarkan urin dari vesika
urinaria.
b. Hidronefrosis
Hidronefrosis adalah pelebaran pasu pada ginjal serta pengerutan jaringan ginjal, sehingga
ginjal menyerupai kantong yang berisi kemih, kondisi ini terjadi karena tekanan dan aliran
balik ureter ke ginjal akibat kandung kemih tidak mampu lagi menampung urine dan urine
tidak bisa dikeluarkan.
c. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi pada ginjal yang diakibatkan oleh bakteri yang masuk ke ginjal
dan kandung kemih.
d. Azotemia
Azotemia ditandai dengan terjadinya peningkatan ureum, fenolamin dan metabolik lain serta
racun-racun sisa metabolisme.
e. Uremia
Uremia adalah peningkatan ureum di dalam darah akibat ketidakmampuan ginjal menyaring
hasil metabolisme ureum.
f. Anemia
Anemia terjadi karena pendarahan massif dan terus-menerus dari saluran kemih yang
mengalami iritasi dan pecahnya pembuluh darah akibat penegangan berlebihan oleh
kelenjar prostat. (Arief Mansjoer, 2000, hal. 332)
6. Pemeriksaan Diagnostik
: warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh; pH 7
atau lebih besar (menunjukan infeksi); bakteria, SDP, SDM mungkin ada secara
mikroskopis.
Kultur urin : dapat menunjukan Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pseudomonas, atau
Escherichia coli.
Sitologi urine : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih
BUN/ kreatinin : meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi
Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan
pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase
tulang)
SDP : mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila pasien tidak
imunosupresi.
Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
IVP dengan film pasca-berkemih : menunjukan pelambatan pengosongan kandung kemih,
membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran
prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung
kemih.
Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung
kemih dan uretra karena menggunakan bahan kontras lokal.
Sistogram : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk
mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.
Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan
dinding kandung kemih.
Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine; melokalisasi lesi yang
tak berhubungan dengan BPH.
(Doenges, 2002, hal. 672)
7. Penatalaksanaan
a. Observasi (watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan ialah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, Menghindari obat-
obat dekongestan (Parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkhol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan rektal.
b. Terapi Medikamentosa
1. Penghambat adrenergik α
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau
yang lebih selektif α 1a ( tamsulosin ). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2 – 0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis α -1-adrenergikkarena
secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
2. Penghambat enzim 5- α -reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar
akan mengecil.
c. Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu :
1) Retensi urine berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
6) Ada batu saluran kemih
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan
meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TUR P), Transurethral Incision of the
Prostate (TUIP).
Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram
dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah
pendarahan, infeksi, hiponatremia (TUR P), atau retensi oleh karena bekuan darah.
Sedangkan komplikasi jangka panjang ialah striktur uretra, ejakulasi retrograde (50-90%)
atau impotensi (4-40%)
Indikasi TUIPialah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil.
Komplikasinya bisa ejakulasi retrograde (0-37%).
( Mansjoer, 2000, hal. 333-334)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan basic
dari tahap berikutnya. Pengkajian perlu dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan
data, mengidentifikasi evaluasi status dan kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, hal. 17, dikutip
dari Iyer, et. al, 1996)
Pada pengkajian dilakukan pengumpulan data yang dari dua tipe yaitu data subjektif
dan data objektif. Data subjektif adalah data yang didapat dari klien sebagai suatu pendapat
terhadap situasi dan kejadian. Sedangkan data objektif adalah data yang didapat dari
observasi dan diukur, ( Nursalam, 2001, hal. 19, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Pengumpulan data pada pengkajian klien memiliki karakteristik yaitu lengkap, akurat,
nyata dan relevan ( Nursalam, 2001, hal. 23 ). Sumber data sangat penting dimana dalam
pengkajian sumber data diperoleh dari klien, yang menjadi data primer adalah orang
terdekat misalnya suami, istri, orang tua, anak dan temannya, catatam klien, riwayat
penyakit, konsultasi, hasil pemeriksanaan diagnostik, cataan mesi dan anggota kesehatan
lainnya, perawat lain dan kepustakaan ( Nursalam, 2001, hal.24 – 25 )
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian :
komunikasi yang efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Teknik tersebut sangat
bermanfaat bagi perawat dalam pendekatan pad klien secara rasional, sistematika dalam
pengumpulan data, merumuskan diagnosa keperawatan dan merencanakannya.
Adapun data dasar pengkajian pada BPH adalah sebagai berikut :
1) Sirkulasi
tanda : Peninggian Tekanan Darah ( efek pembesaran ginjal )
2) Eliminasi
gejala : Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-raguan pada
berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih, nokturi, disuria, hematuria, riwayat
batu ( statis urinaria ), konstipasi ( prostrusi prostat ke dalam rektum )
tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah ( distensi kandung, kemih ), nyeri tekan
kandung kemih, hernia inguinalis, hemorrhoid ( mengakibatkan peningkatan tekanan
abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3) Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia : mual, muntah, penurunan berat badan
4) Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam, kuat (pada prostatitis akut)
nyeri punggung bawah
5) Keamanan
Gejala : Demam
6) Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi / terapi pada kemampuan seksual, penurunan
kekuatan kontraksi ejakulasi
Tanda : Pembesaran, nyeri tekan prostat
7) Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal; penggunaan antibiotik
uranaria atau agen antibiotik, penggunaan anti hipertendif atau anti depresan
(Doenges, 2000, hal. 671-672)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia
dari kelompok atau individu dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengindentifikasi
dan memberikan interpretasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan,
membatasi, mencegah, dan merubah. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Carpenito,
2000)
Diagnosa keperawatan adalah masalah aktual dan potensial dimana berdasarkan
pendidikan dan pengalaman ia mampu dan mempunyai kewenangan memberikan tindakan
keperawatan. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Gordon, 1976)
Tujuan dari diagnosa keperawatan adalah untuk mengindentifikasi masalah dimana
adanya respon klien terhadap status kesehatan ataupun penyakit, faktor-faktor yang
menunjang atau menyebabkan suatu masalah atau etiologi dan kemampuan klien untuk
mencegah dan menyelesaikan masalah.
Di dalam menetapkan diagnosa keperawatan telah ditetapkan langkah-langkah yang
diklasifikasi dan analisa data, validasi data dan perumusan diagnosa keperawatan. Maka
tugas perawat berikutnya adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang dibagi menjadi 5
jenis yaitu diagnosa actual, diagnosa resiko, diagnosa kemungkinan, diagnosa wellness dan
diagnosa sindrom. (Nursalam, 2001, hal.43, dikutip dari Carpenito, 2000)
Adapun diagnosa yang timbul pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy
adalah:
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
d. Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan
prosedur bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan
genital sebelum, selama dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan
seksualitas.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi
informasi. Tidak mengenal sumber informasi. Masalah tentang area sensitif.
(Doenges, 2000, hal. 673-678)
3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka perlu dibuat rencana
keperawatan, perencanaan keperawatan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi, mengoreksi, masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa
keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumen. (Nursalam, 2001, hal 51, dikutip dari
Iyer, et. al, 1996)
Dalam tahapan perencanaan keperawatan ini diperlukan suatu tujuan rencana yaitu
tujuan administrative dan tujuan klinik. (Nursalam, 2001, hal.51, dikutip dari Carpenito,
2000). Untuk mengevaluasi rencana tindakan maka diperlukan beberapa langkah yaitu
menentukan prioritas, menentukan rencana tindakan dan pendokumentasian, (Nursalam,
2001, hal. 52)
Untuk menentukan prioritas masalah penulis mengambil gambaran pada hirarki
Maslow dan hirarki Kalish (Nursalam, 2001, hal 53, dikutip dari Iyer, et. al, 1996). Hirarki
Maslow yang menjelaskan kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap : (1) Fisiologis; (2)
Rasa aman dan nyaman; (3) Sosial; (4) Harga diri; (5) Aktualisasi diri.
Sedangkan Hirarki Kalish menjelaskan kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk
mempertahankan hidup : udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri.
Terdapat tiga tahap rencana tindakan yaitu : rencana tindakan perawat, rencana
tindakan pelimpahan (medis dan tim kesehatan lain), program atau perintah medis untuk
klien yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh perawatan (Nursalam, 2001, hal 54, dikutip
dari Carpenito, 2000).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Benigna Prostatic
Hypertrophy ini maka rencana keperawatan yang dapat direncanakan adalah:
a. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor,ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
Tujuan : Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
Kriteria hasil : Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml; dengan tak adanya
tetesan/ kelebihan cairan.
Intervensi:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
R: Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung
kemih.
2) Tanyakan pasien tentang inkontinensia stress .
R : Tekanan ureteral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih
atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal
meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
R : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
4) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan
penurunan haluaran urine dan perubahan berat jenis
R : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas,
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke
ginjal mengganggu kemampuannya untuk memfilter dan
mengkonsentrasi substansi.
5) Perkusi/ palpasi area suprapubik.
R : Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi
jantung, bila diindikasikan.
R : Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
7) Awasi TTV dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/
dependen, perubahan mental. Timbang tiap hari. Pertahankan
pemasukan dan pengeluaran akurat.
R : Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan
dan akumulasi sisa toksik; dapat berlanjut ke penurunan ginjal total
8) Berikan/ dorong kateter lain dan perawatan perineal.
R : Menurunkan resiko infeksi asenden.
9) Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
R : Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
10) Kolaborasi dalam pemberian obat antispasmodik sesuai indikasi
R : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi
oleh kateter.
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik Tahap ini adalah tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh
karena itu pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan.(Nursalam, 2000, hal. 63,
dikutip dari Iyer,et.al, 1996)
Dalam pelaksanaan tindakan ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu :
persiapan, perencanaan dan pendokumentasian.
a. Fase persiapan meliputi :
1) Review antisipasi tindakan keperawatan
2) Menganalisa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
3) Mengetahui konflikasi yang mungkin timbul
4) Persiapan alat ( resources )
Asuhan Keperawatan Benigna Prostat
Hiperplasia
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic
Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi
dari elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul
dari proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel
(apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di
zona periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan
pembesaran prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih.
BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang
tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT).
Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun.
Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat
dan Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang
digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH
memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar
setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan
LUT berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang
air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk
buang air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas).
Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine
retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk
operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung
kemih, atau gross hematuria. (Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi
korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami
kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati
dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate
(TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang
disebabkan BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan
terapi minimal invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek
samping. (Detters, 2011)
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia di Ruang Bedah Campuran RSUP Fatmawati.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
c. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
d. Mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. M dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai
penanganan keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
2. Memberikan motivasi bagi semua perawat untuk melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan laporan ini ditempuh dengan metode-metode tertentu
untuk mengumpulkan data dan mengolah data tersebut. Untuk pengumpulan
data dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu mengumpulkan berbagai
sumber yang memuat materi yang terkait dengan Benigna Prostat
Hiperplasia. Sumber tersebut diperoleh melalui beberapa buku keperawatan,
internet, pasien serta keluarga pasien. Data yang telah diperoleh kemudian
diolah dengan metode kualitatif dengan jalan menyusun data-data atau fakta
yang ada dan telah diperoleh secara sistematis serta menuangkannya dalam
suatu Laporan Kasus Lengkap.
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi
prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan
hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes,
Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu
uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar
dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
2. Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada
beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang
rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan
testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai
mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya
akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian
akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa
sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui
estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis
dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang
mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
pada usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
3. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa ± 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki,
2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang
secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat
oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadiresistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor
akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi
akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi
sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b.
Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran
kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli
yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
6. Penatalaksanaan Medis
1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang
diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤ 7
atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang
mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup.
Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu
dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan
malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi
miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
2. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan
adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi
toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain
perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi
jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan
impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila
volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik.
Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu
besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi
terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya
dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan
litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat
lebih dari 100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan
dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki – laki berusia lebih
dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I,
1991 : 1743 ).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri
yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat mengkaji keluhan
utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri
( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan /
intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
c. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari
Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah,
intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi,
frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat
menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk
pertama kali atau berulang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM,
Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat
memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11,
12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan
pembedahan terdahulu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti :
Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
f. Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta
hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
g. Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24
jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli – buli
memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D,
2000 : 683).
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum
flatus .
3) Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat
terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia
dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi
pola tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak
mengalami gangguan pasca TURP.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja
dan masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd
( Sunaryo, H, 1999: 36 j ).
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping
klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan
ibadahnya .
h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila
terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca
operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval
monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
2) Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan
pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal
atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3) Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb
untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi,
per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
4) Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati
rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5) Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 :
40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
6) Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi
dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin,
daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika
dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin
dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6
– 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
7) Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan
kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
i. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu
diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila
terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin
juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar
kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila
terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur
urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
a) Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter
dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b) Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data
tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang
mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin,
resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi
ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang
pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan .
3. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP).
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.
5. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi .( Marilynn,
E.D, 2000 : 683 )
C. Rencana Keperawatan
1. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan anastesi.
a. Tujuan
Pola napas tetap efektif
b. Kriteria hasil
Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas normal,
melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.
Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.
2) Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam.
Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.
3) Kaji bunyi napas tiap 4 jam.
Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim medis.
4) Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.
5) Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau.
Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas.
6) Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi nyeri.
Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan latihan batuk dan
napas dalam secara efektif.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer
teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan
bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-buli.
2) Pantau masukan dan haluaran cairan.
Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut.
Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal.
Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi /
evaluasi medik.
4) Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan darah.
Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5) Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri.
6) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan
darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.
7) Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.
Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.
8) Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali kontraindikasi.
Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan ketat karena
dapat mengakibatkan intoksikasi cairan.
9) Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema.
Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat dan peningkatan
kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
10) Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit.
3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi
(TURP).
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar penuh, berorientasi, dan
menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.
Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.
2) Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam.
Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim medis.
Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.
4) Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika diinstruksikan.
Rasional: mencegah terjadinya retensi
D. Evaluasi
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan
keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic
Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah :
1. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.
2. Cairan terpenuhi secara adekuat
3. Cairan tubuh tidak berlebihan
4. Tidak terjadi retensi urine
5. Risiko infeksi dihindari.
BAB III
Tinjauan Kasus
A. Tinjauan Kasus
Tanggal Pengkajian : 12 September 2013 Pukul : 07.00 WIB
Nama Mahasiswa : Brilian Samuel Dehes
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Klien b. Penanggung Jawab
Inisial Klien : Tn. M Nama : Nurmi
Umur : 68 Tahun Umur : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : IRT
Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia Pendidikan : SD
Agama : Islam Alamat :
Jl. CccccKP.Duku/Keb.Lama
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD Hubungan
Alamat : Jl. KP. Duku/Keb. Lama keluarga : Istri
2. Riwayat Perawatan
a. Keluhan Utama : Tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah
Sakit.
b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya ( upaya yang dilakukan dan terapi )
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sejak 6 tahun
yang lalu. Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kebayoran Lama dan
diberikan kaptopril.
RR : 22 x/menit HR : 90 x/menit
Normal Teratur
Cyanosis Tidak Teratur
Cheynestoke
Kusmaul
Lainnya, sebutkan :
c. Body Systems
1) Pernapasan
a) Hidung
Polip Benda Asing Deviasi
Sekret Patent
Lain – lain : Tidak ditemukan masalah pada hidung pasien.
b) Trakhea
Mukus Benda
Asing Peradangan
Lain – lain : Tidak ditemukan masalah pada trakhea pasien.
e) Bunyi Napas
Vesikuler Ronchi Crecels
Wheezing Rales
Lokasi :
Keluhan Lain :
Batuk, sejak : 1 hari yang lalu.
Berdarah, sejak :
Sputum, sejak :
2) Pengindraan
a) Mata
Penglihatan :
Berkurang Kabur Ganda Buta
Gerakan bola mata : Mata kanan dan kiri mampu bergerak normal.
Visus : VOD
VOS
Sklera : Normal Ikterus Merah/hifema
Konjungtiva : Merah muda Pucat/anemis
Kornea : Bening Keruh
Alat bantu :
Nyeri :
Keluhan lain :
b) Telinga
Pendengaran : Normal Berkurang
Tinitus, sejak/saat :
Otalgia, sejak/saat :
Otorhae, sejak/saat :
Keseimbangan : Normal Terganggu, sejak : 5 tahun yang
lalu.
Alat bantu dengar, sejak :
Membran timpani : Terdapat 2 buah lubang kecil.
c) Penghidu
Bentuk : Simetris Asimetris
Lesi, lokasi :
Patensi
Obstruksi, lokasi :
Nyeri tekan sinus
Cavum nasal, warna : Merah muda Integritas : Lembek
Septum nasal : Deviasi Perporasi Perdarahan
3) Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
Nyeri dada :
Pusing Palpitasi Clubbing finger
Kram kaki Ictus cordis Cafillary
Refill Time
Sakit kepala >2
detik
<2 detik
Suara Jantung
Normal
Ada kelainan, sebutkan :
Edema
Palpebra Ekstermitas
atas Ascites
Anasarka Ekstermitas
bawah Tidak ada
4) Persyarafan
a) Tingkat Kesadaran
Compos mentis Sopor Apatis
Koma Somnolent Gelisah
b) GCS
E :6
V :5
M :4
Total Nilai : 15
e) Status refleks
Refleks tendon bagian dalam : Respon otot normal.
Refleks patologis : Normal.
5) Perkemihan
a) Produksi urine : 700 CC ( tampungan kateter )
b) Warna : Kuning tua
c) Bau : Amoniak
d) Pembedahan : Post operasi Prostat. Terpasang kateter.
e) Masalah/keluhan :
Oliguria Menetes Cyst
otomi
Poliuria Nyeri Inkontinensi
a
Disuria Panas Nokturia
Terpasang kateter Sering Hematuria
Retensia
6) Pencernaan
ut dan gigi : Mukosa mulut lembab, bibir kering, gigi tidak lengkap. Kebersihan kurang.
ggorokkan : Tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan paratiroid. Tidak ada
penumpukkan sekret.
omen : Abdomen simetris, nyeri seperti ditusuk dan panas saat hendak dan
sedang BAK.
d) Rectum anus : Normal.
e) BAB : 1 kali/hari.
Konsistensi : Lunak. Warna kuning.
f) Masalah/keluhan :
Muntah,
sejak Malabsorbsi Konstipasi
Mual,
sejak Diare Obstipasi
Feses berdarah, sejak Tidak terasa Wasir
Melena Haus Lendir
Sukar menelan Colostomi
Obat pencahar : Tidak ada
Lavement : Tidak ada
e) Integumen
Kulit Integumen Rambut Kuku
Warna Pucat Putih Kuning muda
Masalah keluhan - - -
8) Reproduksi
a) Laki – laki
s : Terpasang kateter, bersih.
Scrotum : Bersih, tidak ditemukan masalah.
Testes : Tidak ditemukan masalah.
Lainnya,sebutkan : -
b) Perempuan
Vagina :
Urethra :
Payudara :
Axilla :
Siklus haid :
Lainnya, sebutkan :
b. Fungsi Kesehatan
No. Pola Fungsi Kesehatan Sebelum Sakit Ketika Sakit
1. Nutrisi – Metabolisme
Frekuensi 3 kali/hari 3 kali/hari
Nafsu makan Kuat Kuat
Jenis makanan Makanan berlemak Diit bubur
Jenis minuman Kopi, air putih Air putih, teh
Jumlah makanan 1-2 porsi/makan 1 porsi/makan
Jumlah minuman 1,5 Liter/hari < 1 liter/hari
Kebiasaan minum Harus ada kopi -
Kebiasaan makan Makanan berlemak -
Berat badan 70 kg 68 kg
Tinggi badan 168 cm 168cm
Diit khusus - -
2. Pola Tidur – Istirahat
Malam 8 – 9 jam 8 – 9 jam
Siang 3 jam 3 jam
Kebiasaan sebelum tidur - -
e. Peran / hubungan
Pasien merupakan seorang ayah dan kepala keluarga. Pasien memiliki
hubungan yang baik terhadap keluarga dan orang sekitarnya.
5. Psikososial – Spiritual
Berkomunikasi
Bahasa sehari-hari : Betawi, bahasa Indonesia
Berbicara
Normal Gaga
p Parau
Tidak dapat menyampaikan Dengan
isyarat Aphasia
Brilian Samuel
Dehes
NIM. PO. 62. 20. 1.
11. 006
Data Objektif :
Skala nyeri 4 ( 1 – 10 )
TD : 160/100 mmHg
N : 88 kali/menit
S ; 36,8 C
RR : 22 kali/menit
Pasien tampak lemah
Tampak meringis.
Data Objektif :
Terpasang selang kateter.
Urine tampung 150 CC
Tampak kemerahan pada
glan penis.
BB : 65 kg
Inisial
Pasien : Tn. M
No.
Reg : 01175903
1. Gangguan rasa aman dan nyaman : Nyeri akut berhubungan dengan iritasi
mukosa buli-buli, pemasanga selang kateter ditandai dengan nyeri skala 4.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan pemakaian selang kateter secara
berkelanjutan, pajanan tindakan medis ditandai dengan kemerahan pada penis
Penkes : Penkes :
Ajarkan cara Mengajarkan
bladder training. berkemih mandiri
tanpa selang
kateter.
Kolaborasi :
Kolaborasi dalam Kolaborasi :
pemberian Mengontrol
antibiotik. perkembangan
Ceftriaxon 1 x 2 bakteri tubuh dan
gram. meminimalisir
risiko infeksi.
No.
Reg : 01175903
PELAKSANAAN KEPERAWATAN ( IMPLEMENTASI )
N Tang No. Diagnosa Pelaksana Evaluasi Paraf/
o gal/ Keperawatan an/Tindaka Tindakan Nama
Jam n /Respon Peraw
Keperawat Klien at,mhs
an
1 12- Diagnosa I Mengkaji Skala
. 09- skala nyeri : 4
2013 nyeri.
07.0 TD :
0 Mengukur 120/80
WIB tanda- mmHg
tanda vital. N : 86
kali/meni
t
RR : 18
kali/meni
Menghitung t
intake dan S : 36,8
output. C
Diagnosa II Intake :
Melatih 1500 cc
teknik Output :
relaksasi 1200 cc
dan nafas
dalam. Pasien
mau
mencob
Memantau a dan
kebersihan berlatih
kateter. mandiri.
Memantau Kateter
tanda- tampak
tanda bersih.
infeksi.
Tidak
Membersih ditemuka
kan selang n tanda-
kateter. tanda
infeksi.
Kateter
tampak
baik.
Diagnosa II Latihan
Mengajarka telah
n keluarga dilakuka
cara n dan
membersih pasien
kan tampak
kateter. tenang.
Memantau Keluarga
kebersihan mampu
kateter. member
sihkan
Memantau selang
tanda- kateter
tanda
infeksi. Kateter
tampak
Membersih bersih.
kan selang
kateter. Tidak
ditemuka
n tanda-
tanda
infeksi.
Kateter
tampak
baik.
Inisial Pasien : Tn. M
No.
Reg : 01175903
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal Nomor Diagnosa Catatan Perkembangan Paraf/Nama
Keperawatan ( S.O.A.P./S.O.A.P.I.E.R ) Perawat,mhs
12 – 09 – Diagnosa I S. Pasien menyatakan nyeri saat
2013 hendak dan sedang BAK.
07.00
WIB O. Pasien tampak tenang
Skala nyeri 4 ( 1 – 10 )
TD : 120/80 mmHg, N : 84
kali/menit, RR : 22 kali/menit
S : 36, 4 C
Lanjutkan intervensi.
Q. Lanjutkan intervensi.
Lanjutkan intervensi.
Lanjutkan Intervensi
B. Pembahasan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengobservasi dan mengkaji data-data yang
aktual terhadap pasien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat analisis
( individu, keluarga, dan komunitas ), terdiri dari data subjektif dari seseorang
atau kelompok dan data objektif yang diperoleh dari hasil tes diagnostik dan
sumber-sumber lain. Pengkajian individu terdiri dari riwayat kesehatan ( data
subjektif ) dan pengkajian fisik ( data objektif ) ( Webber dan Kelly, 2007 ).
Dalam pengkajian pada kasus Tn. M, penulisa melakukan pengkajian
dengan metoda observasi dan wawancara. Penulis menggunakan konsep
aktual, yaitu menggunakan data-data terbaru pasien yang kemudian
dikoordinasikan dengan data-data sebelumnya yang telah ada. Kesulitan yang
didapatkan selama tahap pengkajian ini adalah terbatasnya waktu yang
tersedia guna melakukan pengkajian lebih mendalam lagi. Terlebih juga
terbatasnya sumber-sumber resensi terbaru yang tersedia untuk melengkapi
proses pengkajian yang ada. Kemudahan dalam pengkajian ini adalah
kooperatifnya pasien serta keluarga membuat pengkajian mampu berjalan
lancar walaupun data-data yang didapatkan masih belum maksimal.
2. Diagnosa Keperawatan
Pada respon manusia, ada hal yang sangat bertumpang tindih untuk
mendiagnosis dan banyak faktor penting, mislanya budaya yang dapat
mengubah perspektif tentang diagnosis telah memverifikasi banyak penelitian
bahwa interpretasi terhadap kasus klinis memiliki potensi kurang akurat dari
yang diindikasikan oleh data ( Lunney, 2008 ). Diagnosa keperawatan adalah
suatu proses dimana semua data yang ada mulai dari tahap pengkajian
kemudian dipilah dan dianalisis kedalam prioritas masalah masing-masing.
( NANDA, 2010 ).
Pada kasus Tn. M, penulis mengangkat dua buah diagnosa yaitu
Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan rasa nyeri serta
Risiko tinggi infeksi. Kesulitan pada tahap ini adalah minimnya waktu yang
ada guna mengangkat data-data lain dari tahap pengkajian yang seharusnya
juga dimunculkan. Kemudahan dalam tahap ini adalah terbinanya kerjasama
yang baik terhadap pembimbing dari Ruang Bedah Campuran dalam
mengangkat diagnosa.
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang valid dan akurat menentukan sensitivitas
perawat tentang hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan tersebut
menjadi petunjuk dalam menyeleksi intervensi yang mungkin menghasilkan
efek pengobatan yang diharapkan. Intervensi keperawatan merupakan tahap
dimana perawat akan secara kritis menentukan rencana tindakan
keperawatan secara prioritas terhadap pasien, yang kemudian menjadi tolak
ukur suatu asuhan keperawatan. ( Johnson, et al, 2006 ).
Dalam tahap perencanaan pada kasus Benigna Prostat Hiperplasia
pada Tn. M di ruang Bedah Campuran , penulis menggunakan perencanaan
yang bersifat prioritas yang digunakan untuk mengurangi/menghilangkan
keluhan utama pada pasien. Kesulitan pada tahap ini terutama terdapat pada
minimnya waktu yang disediakan serta terbatasnya tindakan yang mampu
dimaksimalkan karenanya. Kemudahan yang didapatkan adalah adanya
kolaborasi yang baik dari teman sejawat serta pasien dan keluarganya dalam
memenuhi pemenuhan keperawatan yang ada.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap akhir dari sebuah asuhan keperawatan
yang diberikan sebelum evaluasi. Pada tahap ini semua rencana yang telah
diberikan baik itu prioritas maupun non prioritas akan diterapkan dan
dilaksanakan terhadap pasien. Sekali lagi dalam tahap ini dituntut sikap
kompeten dan profesional dari tenaga kesehatan guna mendapatkan hasil
yang maksimal dan memuaskan dari tahap pengkajian, perumusan diagnosa,
hingga intervensi yang ada. ( Crosseti and Saurin, 2006 ).
Dalam tahap ini kesulitan yang ditemukan adalah rencana yang belum
mampu terlaksana karena keterbatasan waktu yang ada. Kemudahan yang
didapatkan adalah adanya bantuan dari tenaga seprofesi yang membantu
dalam menjalankan tindakan keperawatan.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dimana tindakan mulai dari pengkajian
hingga pelaksanaan akan dilakukan penilaian pencapaian tingkat
keberhasilannya. Pada tahap ini semua tindakan akan dikembangkan guna
mengetahui letak kekurangan dan kelebihan pada asuhan keperawatan.
Tingkat keberhasilan yang tinggi serta kemajuan dalam pola perubahan
kesehatan merupakan hasil yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan
( Minthorn, 2006 )
Pada tahap ini penulis telah melakukan penilaian atas kinerja yang
dicapai selama proses keperawatan berlangsung. Walaupun masih masuk
kedalam kategori belum memuaskan dikemudian hari akan coba ditingkatkan.
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena
adanya penyumbatan jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berkemih secara normal.
Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan
bersih. Hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga
menutupi saluran kemih yang menghambat proses pengeluaran urine.
Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta
kebersihan alat kelamin. Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna
mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.
B. Saran
Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja
akan lebih baik jika pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian
melakukan aktivitas seperti olahraga terbukti dapat mengurangi persentase
mengidap BPH.
Daftar Pustaka
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam
Terbitan (KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.
Sumber Ilmu
Make it easy to get knowledge
SABTU, 06 APRIL 2013
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Hiperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
Hiperplasia prostat benigna adalah perbesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar prostat membesar,
memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine dapat
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala
urinaria dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari bulu-buli. ( Nursalam, 2006 )
Hiperplasia prostat benigna adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretra mengalami hiperplasia
(http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-3.htm)
Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa hiperplasia prostat benigna adalah
perbesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine sehingga menyebabkan berbagai derajat obstruksi
Ketika seorang berusia diatas 50 tahun, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadinya gangguan
atau kerusakan pada organ-organ tubuh. Pada pria ketika menginjak usia 50 tahun keatas maka terjadi
dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan atau pembesaran prostat ( dalam hal ini prostat
dapat mencapai 60-100 gram atau bahkan lebih ). Pembesaran kelenjar prostat dapat meluas ke arah
atas (bladder) sehingga mempersempit saluran uretra yang pada akhirnya akan menyumbat urine dan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan didalam bladder. Sebagai kompensasi terhadap tekanan
uretra prostatika maka otot-otot destrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan
ini. Kontraksi secara terus menerus menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli. Tekanan
intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini akan menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke
ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dapat
menyebabkan gagal ginjal. Pada klien benigna prostat hiperplasia urine yang dikeluarkan tidak tuntas
sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi, sehingga seseorang cenderung
mengejan untuk mengeluarkan urine tersebut dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen
Pembesaran prostat ini akan menimbulkan keluhan atau tanda dan gejala seperti sulit memulai miksi,
nokturia ( bangun tengah malam untuk berkemih ), sering berkemih anyang-anyangan, abdomen
tegang, pancaran urine menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling
( urine menetes terus setelah berkemih ), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, sakit
atau nyeri ketika berkemih, retensi urine akut ( bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung
Apabila tidak segera ditangani, dapat menimbulkan komplikasi antara lain gagal ginjal, hemoroid dan
C. P enatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari penatalaksanaan medis,
a. Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin, prazosin tamsulosin dan
terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga
penderita lebih mudah berkemih. Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih
dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk
a. Pembedahan
1) Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan yang dilakukan melalui
endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari
uretra. Sedapat mungkin hanya sedikit jaringan yang mengalami reseksi sehingga pendarahan yang
besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah tidak terlalu lama. Restoskop sejenis instrumen
hampir serupa dengan cystoscope tapi dilengkapi dengan alat pemotong dan couter yang
disambungkan dengan arus listrik dimasukan lewat uretra. Kandung kemih dibilas terus menerus
selama prosedur berjalan. Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng
logam yang diberi pelumas yang ditempatkan pada bawah paha. Kepingan jaringan yang halus
dibuang dengan irisan dan tempat tempat pendarahan dihentikan dengan couterisasi. Setelah TUR
dipasang folley kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40 ml.
Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat
yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan tekanan
pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter yang besar dipasang
2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar prostat dari uretra melalui
kandung kemih..
3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu insisi dalam perineum
4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra.
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi
sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas
e. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa jam sebelum tidur.
Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk menghindari minuman beralkohol, kopi,
teh, coklat, cola, dan makanan yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan cairan yang
D. Pengkajian
Pengkajian pada klien benigna prostat hiperplasia menurut Doenges, (1999) dan Brunner and Suddart
1. Sirkulasi
2. Eliminasi
3. Makanan/cairan
4. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung dan rasa tidak nyaman pada abdomen, kolik
renalis.
5. Keamanan
Gejala : Demam
6. Seksualitas
7. Penyuluhan/pembelajaran
Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa : Warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang ( berdarah); penampilan
2. Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, pseudomonas, atau
Escherichia coli.
5. Asam fosfat serum/antigen khusus prstatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh
8. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan pelambatan pengosongan kandung kemih,
membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung
9. Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan
uretra.
10. Sistogram : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi
kandung kemih.
12. Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostate dan jumlah residu urine, dalam hal ini residu
urine menjadi patokan yaitu dibagi menjadi beberapa derajat antara lain :
13. Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi system perdarahan
14. PSA (Prostatik Spesifik Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
15. Pemeriksaan Uroflowmetri, Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine dapat
16. USG ( Ultrasonografi ), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga
E. Diagnosa keperawatan
Setelah data dikumpulkan dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan diagnosa keperawatan.
3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstuksi diuresis
dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
bedah/malignansi.
5. Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter dan/atau retensi urine.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang informasi.
1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, spasme kandung kemih, dan retensi urine.
2. Perubahan eliminasi perkemihan berhubungan dengan reseksi pembedahan dan irigasi kandung
kemih.
3. Potensial terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya kateter dikandung kemih dan insisi
bedah.
4. Potensial kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.
6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pascaoperasi.
F. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-
masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi
sebagai berikut :
Kriteria evaluasi : 1). Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
2).Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml, dengan tak adanya tetesan/kelebihan
aliran.
Intervensi :1). Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. 2). Tanyakan
klien tentang inkontinensia stres. 3). Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan. 4).
Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. 5). Perkusi/palpasi area suprapubik 6). Dorong
masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan. 7). Awasi tanda
vital dengan ketat. 8). Kolaborasi dengan pemberian obat Antiposmadik (menghilangkan spasme
2. Nyeri akut berhubungan dengan Iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal;
Kriteria evaluasi : 1). Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. 2). Postur dan wajah rileks. 3).
Intervensi :
1). Kaji nyeri, perhatikan lokasi,intensitas ( skala (0-10 ), lamanya. 2). Plester selang drainase pada
paha dan kateter pada abdomen. 3). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 4). Bantu klien dalam
melakukan posisi nyaman dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam. 5). kolaborasi dengan pemberian
3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstuksi
diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Kriteria evaluasi : 1). Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil. 2). Nadi
perifer teraba. 3). Pengisian kapiler baik. 4). Membran mukosa lembab.
Intervensi : 1). Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. 2). Dorong peningkatan
pemasukan oral. 3). Awasi TD, nadi dengan sering. 4). Tingkatkan tirah baring dengan kepala
tinggi. 5). Awasi elektrolit, khususnya natrium. 6). Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai
kebutuhan.
prosedur bedah/malignansi.
Kriteria evaluasi : 1). Klien tampak rileks dan mengatakan ansitas berkurang pada tingkat yang
jujur. 3). Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi. 4). Kaji adanya
masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi
proses penyembuhannya.
5. Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter dan/atau retensi urine.
Kriteria evaluasi : 1). Suhu dalam rentang normal. 2). Urine jernih, warna kuning, tanpa
Intervensi : 1). Periksa suhu tiap 4 jam. 2) Tuliskan karakter urne; laporkan bila keruh atau bau
busuk. 3). Bila ada kateter uretral, pertahankan sistem drainase gravitasi tertutup. 4). Gunakan teknik
steril untuk kateterisasi intermiten selama perawatan di rumah sakit. 5). Pantau abdomen atau
kandung kemih terhadap distensi. 6). Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih. 7).
Tujuan : mengatakan pengertiannya tentang kondisi dan tindakan medis yang dilakukan.
Kriteria evaluasi : 1). Klien mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan
Intervensi : 1). Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis serta pembatasan kegiatan seperti
menghindari mengemudikan kendaraan dalam periode waktu yang cukup lama. 2). Berikan informasi
mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat, dan menggunakan sepatu
penyokong. 3). Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya, seperti halnya beberapa obat
yang menyebabkan kantuk yang sangat berat ( analgetik, relaksan otot ). 4). Anjurkan menggunakan
papan/matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut
difleksikan, hindari posisi telungkup. 5). Diskusikan mengenai kebutuhan diit. 6). Hindari pemakaian
pemanas dalam waktu yang lama. 7). Anjurkan untuk melakukan kontrol medis secara teratur.
Kriteria evaluasi : Nyeri berkurang atau hilang dan ekspresi wajah tampak rileks
Intervensi : 1). Kaji nyeri, perhatikan lokasi,intensitas ( skala 0-10 ), lamanya dan faktor pencetus. 2).
Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 3). Bantu klien dalam melakukan posisi nyaman dan
ajarkan teknik relaksasi napas dalam. 4) kolaborasi dengan pemberian obat penghilang rasa nyeri
sesuai indikasi.
kandung kemih.
Kriteria evaluasi : keteter berada pada posisi yang tetap dan tidak ada sumbatan.
Intervensi : 1). Kaji posisi kateter. 2). Kaji warna, karakter dan aliran urine serta adanya bekuan
melalui kateter tiap 2 jam. 3). Catat jumlah irigan dan haluaran urine. 4). Kaji kandung kemih
terhadap retensi. 5). Kaji dengan sering lubang aliran keluar urine. 6). Masukkan larutan irigasi
3. Potensial terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya kateter dikandung kemih dan
insisi bedah.
Kriteria evaluasi : 1). Suhu dalam rentang normal. 2). Urine jernih, warna kuning, tanpa bau. 3).
Intervensi : 1). Periksa suhu tiap 4 jam. 2). Tuliskan karakter urine; laporkan bila keruh atau bau
busuk. 3). Bila ada kateter uretral, pertahankan sistem drainase gravitasi tertutup. 4). Gunakan teknik
steril untuk kateterisasi intermiten selama perawatan di rumah sakit. 5). Pantau abdomen atau
kandung kemih terhadap distensi. 6). Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih. 7).
berlebihan.
Intervensi : 1). Pantau tanda dan gejala hemorragi. 2). Pantau uretra dan suprapubis terhadap
pendarahan yang berlebihan. 3). Pertahankan traksi pada kateter bila diprogramkan. 4). Pantau Hb dan
Ht.
Intervensi : 1). Berikan kesempatan untuk diskusi tentang seksualitas antara pasien dan orang
terdekat. 2). Beri informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual. 3). Berikan informasi tentang
konseling seksual.
pascaoperasi.
Kriteria evaluasi : Klien mengerti tentang rutinitas pascaoperasi, gejala yang harus dilaporkan
kedokter dan perawatan dirumah, serta instruksi evaluasi dan dapat mendemostrasikan ulang latihan
Intervensi : 1). Instruksikan pada klien untuk menghindari duduk terlalu lama 2). Lakukan latihan
perineal 10 sampai 20 menit tiap jam setelah kateter dilepas. 3). Pertahankan diet dan hindari
konsumsi kopi, teh dan cola serta alkohol. 4). Hindari latihan yang membutuhkan kekuatan otot 5).
Hindari aktivitas seksual selama 1 bulan. 6). Instruksikan klien untuk menghindari konstipasi. 7).
G. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan komponen dari proses keperawatan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan oleh perawat secara mandiri
atau kerjasama dengan tim kesehatan lainnya. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan
mandiri maupun kolaborasi. Dalam pelaksanaan langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji
kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang
diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan
tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan
didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda
H. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001).
Tujuannya adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan, sehingga perawat dapat
mengambil keputusan dalam mengakhiri rencana tindakan keperawatan ( klien telah mencapai tujuan
yang ditetapkan ), memodifikasi rencana tindakan keperawatan ( klien mengalami kesulitan untuk
mencapai tujuan pertama ), meneruskan rencana tindakan keperawatan ( klien memerlukan waktu
yang lebih lama untuk mencapai tujuan ). Proses evaluasi terdiri dari 2 tahap yaitu tahap mengukur
pencapaian tujuan klien yang terdiri dari komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi
tubuh dan gejala. Sedangkan tahap kedua adalah tahap penentuan keputusan pda tahap evaluasi.
Dalam tahap yang kedua ini terdapat 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan keperawatan
Fokus evaluasi tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan
tindakan keperawatan. Evaluasi proses baru dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan
dilaksanakan untuk membantu keefektifitasan terhadap tindakan dan harus dilakukan terus menerus
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atas status kesehatan pada akhir tindakan
keperawatan.
4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar norma yang berlaku.
Seorang perawat harus mampu menafsirkan hasil evaluasi dari masalah keperawatan klien yaitu
sebagai berikut :
1. Tujuan tercapai
Bila klien menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria
Bila klien menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria
Bila klien menunjukkan tidak ada perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (1999). Nursing Care Plans and Dokumentation : Nursing Diagnosis
and Collaboration Problems. (Monica Ester, Penerjemah). Eight Edition.Philadelphia :
Lippincott-Raven Publisher. (sumber asli diterbitkan 1995)
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursig. (dr.
H. Y. Kuncara, Penerjemah) Volume II Eight Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven
Publisher. (sumber asli diterbitkan 1996)
.
Askep Laporan
Pendahuluan
1. Pengertian
BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna
Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau
hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-
selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng
dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland
atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan
oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar /
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF
Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua
dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran
urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan
pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika
dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
2. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan
(Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel
transit (Roger Kirby, 1994 : 38).
Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang
uretra wanita ± 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm. Perbedaan
panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih
sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars
prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis. Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare
dan meatus uretra eksterna.
Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi
dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma
urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar
parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
2. Kelenjar Postat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung
kemih, di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ).
Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20
gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus
ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.
Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam
beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter
dan anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)
Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid
sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan
rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat
yang membentuk bagian besar dari cairan semen untuk tranpor spermatozoa.
Asinus kelenjar normal sering mengandung hasil sekresi yang terkumpul
berbentuk bulat yang disebut korpora amilasea. Asinus dikelilingi oleh stroma
jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah ke kelenjar prostat berasal dari
arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum tengah. Vena prostat
mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke vena iliaka
interna.
4. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya
Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah
prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis
besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor
akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi
akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi
sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
5. Manifestasi Klinik
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms
(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
o (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas,
berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal
dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik
dan neuropati perifer.
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000,
hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
4. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
5. Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai
tanda dan gejala:
1. Hemorogi
1. Hematuri
2. Peningkatan nadi
4. Gelisah
5. Kulit lembab
6. Temperatur dingin
7. bingung
8. agitasi
9. kulit lembab
10. anoreksia
11. mual
12. muntah
6. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada
stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan
terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat
dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor
alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan
produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan
dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor α
Obat anti androgen
Fisioterapi
c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa
prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan
rektum.
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang
berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke
leher kandung kemih pada kanker prostat.
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :
a. Laboratorium
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas
kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pencitraan
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi
urin.
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
4). Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat
penonjolan prostat ke dalam rektum.
A. Pengkajian
1. Data subyektif :
o Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
2. Data Obyektif :
o Takikardi
o Gelisah
o Terpasang kateter
C. Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan 1. :
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan
derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil :
o Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
2. Diagnosa Keperawatan 2. :
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria hasil :
o Klien akan melakukan perubahan perilaku.
Intervensi :
3. Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil :
o Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
Intervensi :
Daftar Pustaka
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.