Anda di halaman 1dari 75

Kamis, 23 Desember 2010

Asuhan Keperawatan BPH

A. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Urogenital


1. Uretra
Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses
miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra
diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan
uretra, dan sfingter uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan
posterior. Pada saat buli-buli penuh sfingter uretra interna akan terbuka dengan sendirinya
karena dindingnya terdiri atas otot polos yang disarafi oleh sistem otonomik. Sfingter uretra
ekterna terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang.
Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.
Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang uretra wanita ± 3-
5 cm, sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang
menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra
posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh
kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika
terdapat suatu benjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari
veromontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua
duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi
kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare dan meatus uretra
eksterna.
Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi
dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis
bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang
bermuara di uretra pars pendularis.
(Purnomo, 2000, hal 6)

2. Kelenjar Postat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung kemih,
di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ). Bentuknya seperti
buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi
uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari
vas deferen.
Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam
beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan
anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)
Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid
sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan
rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat yang
membentuk bagian besar dari cairan semen untuk tranpor spermatozoa. Asinus kelenjar
normal sering mengandung hasil sekresi yang terkumpul berbentuk bulat yang disebut
korpora amilasea. Asinus dikelilingi oleh stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan
darah ke kelenjar prostat berasal dari arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum
tengah. Vena prostat mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke
vena iliaka interna. ( Underwood, 2000, hal.608 )
Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretoriusmuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.
Cairan ini merupakan + 25 % dari volume ejakulat.
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas
dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
( Purnomo, 2000, hal.7 )
Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang keras dan licin melalui
pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar saat remaja dan mencapai ukuran optimal
pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-laki, ukurannya terus bertambah seiring
pertambahan usia. Saat berusia 70 tahun, dua pertiga dari semua laki-laki mengalami
pembesaran prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada mikturisi dengan menjepit
uretra sehingga mengganggu perkemihan. ( Sloane, 2004, hal. 351 )

B. Penyakit Benigna Prostatic Hypertrophy


1. Definisi
a. BPH is one of the most common disorders affecting men, the prostate is the urologic
organ most frequently affected by benign and malignant neoplasma. “BPH merupakan
penyakit yang paling sering terjadi pada pria, prostat merupakan organ urology yang paling
sering dipengaruhi oleh neoplasma jinak dan ganas.” ( Polaski, 1996, hal. 1447 )
b. BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat. ( Long,1996, hal. 331 )
c. BPH adalah penbesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang
berhubungan dengan perubahan emdokrin berkenaan proses penuaan. ( Tucker, 1998, hal.
605 )
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran kelenjar
prostat yaitu kelenjar yang melingkari kandung kemih sehingga menutup setengah atau
seluruh bagian uretra sehingga menghambat pengeluaran urine.

2. Etiologi
Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan bahwa hormon
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat.
( Smeltzer, 2001, hal. 1625 )
Hormon androgen merupakan hormon yang paling memungkinkan sebagai
penyebab dari BPH. Dengan meningkatnya umur seseorang, terjadi penurunan kadar
hormon androgen, disertai naiknya kadar estrogen secara relatif. Estrogen juga
meningkatkan sensitivitas jaringan prostat terhadap androgen. ( Underwood, 2000, hal.
610 )
Beberapa faktor timbulnya BPH antara lain diet, dampak dari inflamasi penyakit
kronis, sosial ekonomi, hereditas, dan ras. Angka kejadian meningkat pada kulit hitam dan
angka kejadian rendah pada bangsa Asia. Laki-laki dengan perkembangan hipogonadisme
yang permanen memungkinkan timbulnya BPH. Proses penuaan ( aging ) merupakan faktor
resiko yang utama bagi perkembangan BPH, 80% laki-laki diatas 80 tahun memiliki resiko
yang tinggi terkena BPH. ( Black, 1997, hal. 2350 )

3. Patofisiologi
Hiperplasia prostat jinak ( BPH ) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. Lebih dari 50 % pria diatas usia 50 tahun
mengalami pertumbuhan nodular ini. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar
dengan stoma fibrosa yang jumlahnya berbeda-beda. Sebab dari BPH tidak diketahui.
Pembesaran jaringan prostat periutretral menyebabkan obtruksi leher kandung kemih dan
uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih.
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam
derajat yang berbeda-beda : sering berkemih, nokturia, urgensi ( kebelet ), urgensi dengan
inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengeluarkan kemih, rasa
tidak lampias, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung
kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik
pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba
sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai besarnya kelenjar.
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak
adanya aliran kemih, dan ini memerlukan reseksi bedah pada prostat. Prostatektomi dapat
dilakukan dalam berbagai cara, yang paling sering adalah metode reseksi transuretral.
(Silvya Price, 2005, hal 1154)

4. Manifestasi Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi berkemih,
nokturia, dorongan ingin berkemih, abdomen tegang, volume urine menurun dan harus
mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dimana urine uterus meets setelah
berkemih (dribbling), rasa seperti kandung kemih tidak kissing dengan baik, retensi urine
akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih) dan
kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi
produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu
yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak termasuk keletihan, anoreksia, mual
dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. (Smeltzer, 2001, hal. 1625 )

5. Komplikasi
a. Retensi urine
Retensi urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan mengeluarkan urin dari vesika
urinaria.
b. Hidronefrosis
Hidronefrosis adalah pelebaran pasu pada ginjal serta pengerutan jaringan ginjal, sehingga
ginjal menyerupai kantong yang berisi kemih, kondisi ini terjadi karena tekanan dan aliran
balik ureter ke ginjal akibat kandung kemih tidak mampu lagi menampung urine dan urine
tidak bisa dikeluarkan.
c. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi pada ginjal yang diakibatkan oleh bakteri yang masuk ke ginjal
dan kandung kemih.
d. Azotemia
Azotemia ditandai dengan terjadinya peningkatan ureum, fenolamin dan metabolik lain serta
racun-racun sisa metabolisme.
e. Uremia
Uremia adalah peningkatan ureum di dalam darah akibat ketidakmampuan ginjal menyaring
hasil metabolisme ureum.
f. Anemia
Anemia terjadi karena pendarahan massif dan terus-menerus dari saluran kemih yang
mengalami iritasi dan pecahnya pembuluh darah akibat penegangan berlebihan oleh
kelenjar prostat. (Arief Mansjoer, 2000, hal. 332)

6. Pemeriksaan Diagnostik
: warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh; pH 7
atau lebih besar (menunjukan infeksi); bakteria, SDP, SDM mungkin ada secara
mikroskopis.
Kultur urin : dapat menunjukan Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pseudomonas, atau
Escherichia coli.
Sitologi urine : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih
BUN/ kreatinin : meningkatkan bila fungsi ginjal dipengaruhi
Asam fosfat serum/ antigen khusus prostatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan
pengaruh hormonal pada kanker prostat (dapat mengindikasikan metastase
tulang)
SDP : mungkin lebih besar dari 11.000, mengindikasikan infeksi bila pasien tidak
imunosupresi.
Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih
IVP dengan film pasca-berkemih : menunjukan pelambatan pengosongan kandung kemih,
membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran
prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung
kemih.
Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung
kemih dan uretra karena menggunakan bahan kontras lokal.
Sistogram : mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk
mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.
Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan
dinding kandung kemih.
Sistometri : Mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine; melokalisasi lesi yang
tak berhubungan dengan BPH.
(Doenges, 2002, hal. 672)

7. Penatalaksanaan
a. Observasi (watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan ialah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, Menghindari obat-
obat dekongestan (Parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkhol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan, sisa kencing dan pemeriksaan rektal.
b. Terapi Medikamentosa
1. Penghambat adrenergik α
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau
yang lebih selektif α 1a ( tamsulosin ). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2 – 0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis α -1-adrenergikkarena
secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
2. Penghambat enzim 5- α -reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar
akan mengecil.
c. Terapi Bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu :
1) Retensi urine berulang
2) Hematuria
3) Tanda penurunan fungsi ginjal
4) Infeksi saluran kemih berulang
5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
6) Ada batu saluran kemih
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan
meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TUR P), Transurethral Incision of the
Prostate (TUIP).
Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram
dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah
pendarahan, infeksi, hiponatremia (TUR P), atau retensi oleh karena bekuan darah.
Sedangkan komplikasi jangka panjang ialah striktur uretra, ejakulasi retrograde (50-90%)
atau impotensi (4-40%)
Indikasi TUIPialah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil.
Komplikasinya bisa ejakulasi retrograde (0-37%).
( Mansjoer, 2000, hal. 333-334)

C. Proses Keperawatan Benigna Prostatic Hypertrophy


Proses keperawatan merupakan metode dimana suatu konsep diterapkan dalam
praktek keperawatan. Hal ini disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang
memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan klien / keluarga.
Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu pengkajian, perumusan, diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
( Nursalam, 2001,hal.1, dikutip dari Iyer,1996)

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan basic
dari tahap berikutnya. Pengkajian perlu dilakukan secara sistematis mulai dari pengumpulan
data, mengidentifikasi evaluasi status dan kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, hal. 17, dikutip
dari Iyer, et. al, 1996)
Pada pengkajian dilakukan pengumpulan data yang dari dua tipe yaitu data subjektif
dan data objektif. Data subjektif adalah data yang didapat dari klien sebagai suatu pendapat
terhadap situasi dan kejadian. Sedangkan data objektif adalah data yang didapat dari
observasi dan diukur, ( Nursalam, 2001, hal. 19, dikutip dari Iyer, et. al, 1996)
Pengumpulan data pada pengkajian klien memiliki karakteristik yaitu lengkap, akurat,
nyata dan relevan ( Nursalam, 2001, hal. 23 ). Sumber data sangat penting dimana dalam
pengkajian sumber data diperoleh dari klien, yang menjadi data primer adalah orang
terdekat misalnya suami, istri, orang tua, anak dan temannya, catatam klien, riwayat
penyakit, konsultasi, hasil pemeriksanaan diagnostik, cataan mesi dan anggota kesehatan
lainnya, perawat lain dan kepustakaan ( Nursalam, 2001, hal.24 – 25 )
Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian :
komunikasi yang efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Teknik tersebut sangat
bermanfaat bagi perawat dalam pendekatan pad klien secara rasional, sistematika dalam
pengumpulan data, merumuskan diagnosa keperawatan dan merencanakannya.
Adapun data dasar pengkajian pada BPH adalah sebagai berikut :
1) Sirkulasi
tanda : Peninggian Tekanan Darah ( efek pembesaran ginjal )
2) Eliminasi
gejala : Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine; tetesan, keragu-raguan pada
berkemih awal, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap; dorongan dan frekuensi berkemih, nokturi, disuria, hematuria, riwayat
batu ( statis urinaria ), konstipasi ( prostrusi prostat ke dalam rektum )
tanda : Massa padat di bawah abdomen bawah ( distensi kandung, kemih ), nyeri tekan
kandung kemih, hernia inguinalis, hemorrhoid ( mengakibatkan peningkatan tekanan
abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih mengatasi tahanan).
3) Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia : mual, muntah, penurunan berat badan
4) Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung; tajam, kuat (pada prostatitis akut)
nyeri punggung bawah
5) Keamanan
Gejala : Demam
6) Seksualitas
Gejala : Masalah tentang efek kondisi / terapi pada kemampuan seksual, penurunan
kekuatan kontraksi ejakulasi
Tanda : Pembesaran, nyeri tekan prostat
7) Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal; penggunaan antibiotik
uranaria atau agen antibiotik, penggunaan anti hipertendif atau anti depresan
(Doenges, 2000, hal. 671-672)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia
dari kelompok atau individu dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengindentifikasi
dan memberikan interpretasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan,
membatasi, mencegah, dan merubah. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Carpenito,
2000)
Diagnosa keperawatan adalah masalah aktual dan potensial dimana berdasarkan
pendidikan dan pengalaman ia mampu dan mempunyai kewenangan memberikan tindakan
keperawatan. ( Nursalam, 2001, hal. 35, dikutip dari Gordon, 1976)
Tujuan dari diagnosa keperawatan adalah untuk mengindentifikasi masalah dimana
adanya respon klien terhadap status kesehatan ataupun penyakit, faktor-faktor yang
menunjang atau menyebabkan suatu masalah atau etiologi dan kemampuan klien untuk
mencegah dan menyelesaikan masalah.
Di dalam menetapkan diagnosa keperawatan telah ditetapkan langkah-langkah yang
diklasifikasi dan analisa data, validasi data dan perumusan diagnosa keperawatan. Maka
tugas perawat berikutnya adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang dibagi menjadi 5
jenis yaitu diagnosa actual, diagnosa resiko, diagnosa kemungkinan, diagnosa wellness dan
diagnosa sindrom. (Nursalam, 2001, hal.43, dikutip dari Carpenito, 2000)
Adapun diagnosa yang timbul pada klien dengan Benigna Prostatic Hypertrophy
adalah:
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran
prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung kemih; kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
d. Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan
prosedur bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan
genital sebelum, selama dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan
seksualitas.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi
informasi. Tidak mengenal sumber informasi. Masalah tentang area sensitif.
(Doenges, 2000, hal. 673-678)
3. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka perlu dibuat rencana
keperawatan, perencanaan keperawatan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi, mengoreksi, masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa
keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumen. (Nursalam, 2001, hal 51, dikutip dari
Iyer, et. al, 1996)
Dalam tahapan perencanaan keperawatan ini diperlukan suatu tujuan rencana yaitu
tujuan administrative dan tujuan klinik. (Nursalam, 2001, hal.51, dikutip dari Carpenito,
2000). Untuk mengevaluasi rencana tindakan maka diperlukan beberapa langkah yaitu
menentukan prioritas, menentukan rencana tindakan dan pendokumentasian, (Nursalam,
2001, hal. 52)
Untuk menentukan prioritas masalah penulis mengambil gambaran pada hirarki
Maslow dan hirarki Kalish (Nursalam, 2001, hal 53, dikutip dari Iyer, et. al, 1996). Hirarki
Maslow yang menjelaskan kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap : (1) Fisiologis; (2)
Rasa aman dan nyaman; (3) Sosial; (4) Harga diri; (5) Aktualisasi diri.
Sedangkan Hirarki Kalish menjelaskan kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk
mempertahankan hidup : udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri.
Terdapat tiga tahap rencana tindakan yaitu : rencana tindakan perawat, rencana
tindakan pelimpahan (medis dan tim kesehatan lain), program atau perintah medis untuk
klien yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh perawatan (Nursalam, 2001, hal 54, dikutip
dari Carpenito, 2000).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien Benigna Prostatic
Hypertrophy ini maka rencana keperawatan yang dapat direncanakan adalah:
a. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik; pembesaran prostat,
dekompensasi otot destrusor,ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
Tujuan : Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
Kriteria hasil : Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml; dengan tak adanya
tetesan/ kelebihan cairan.
Intervensi:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba
dirasakan.
R: Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung
kemih.
2) Tanyakan pasien tentang inkontinensia stress .
R : Tekanan ureteral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih
atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal
meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.
3) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
R : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
4) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan
penurunan haluaran urine dan perubahan berat jenis
R : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas,
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke
ginjal mengganggu kemampuannya untuk memfilter dan
mengkonsentrasi substansi.
5) Perkusi/ palpasi area suprapubik.
R : Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi
jantung, bila diindikasikan.
R : Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
7) Awasi TTV dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/
dependen, perubahan mental. Timbang tiap hari. Pertahankan
pemasukan dan pengeluaran akurat.
R : Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan
dan akumulasi sisa toksik; dapat berlanjut ke penurunan ginjal total
8) Berikan/ dorong kateter lain dan perawatan perineal.
R : Menurunkan resiko infeksi asenden.
9) Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
R : Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
10) Kolaborasi dalam pemberian obat antispasmodik sesuai indikasi
R : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi
oleh kateter.

b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi kandung


kemih; kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol.
Kriteria hasil : - Tampak rilek.
- Mampu untuk tidur/ istirahat dengan tepat.
Intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) lamanya.
R : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
pilihan/ keefektifan intervensi.
2) Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila
traksi tidak diperlukan).
R : Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-
skrotal.
3) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
R : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
Namun, ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan
menghilangkan nyeri kolik
4) Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu
pasien melakukan posisi yang nyaman; mendorong penggunaan
relaksasi/ latihan nafas dalam; aktifitas terapeutik.
R : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
5) Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangan untuk
perineum.
R : Meningkatkan relaksasi otot
6) Masukan kateter dan lakukan masase prostat.
R : Pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan
kelenjar.
7) Berikan obat sesuai indikasi (narkotik, antibakterial, antispasmodik
dan sedatif kandung kemih)
R : Narkotik : Untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan
fisik.
Antibakterial : Menurunkan adanya bakteri dalam traktus urinarius juga yang
dimasukkan melalui sistem drainase.
Antispasmodik dan Sedatif kandung kemih : menghilangkan kepekaan kandung kemih.

c. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan


dengan pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih
yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan
elektrolit (disfungsi ginjal).
Tujuan : Mempertahankan hidrasi kuat.
Kriteria hasil : - Tanda Vital stabil.
- Nadi perifer teraba.
- Pengisian kapiler baik.
- Membran mukosa lembab
Intervensi :
1) Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-
200 ml/ jam.
R : Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena
ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2) Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.
R : Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik
pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/ hipovolemia.
3) Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral.
R : Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik sistemik.
4) Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi.
R : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
5) Awasi elektrolit khususnya natrium dan berikan cairan IV (cairan faal hipertonik) sesuai
kebutuhan.
R : Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraseluler, natrium dapat mengikuti
perpindahan, menyebabkan hiponatremia. Menggantikan kehilangan cairan dan natrium
untuk mencegah/ memperbaiki hipovolemia.

d. Ketakutan/ ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan : kemungkinan


prosedur bedah/ malignansi. Malu/ hilang martabat sehubungan dengan pemajanan
genital sebelum, selama dan sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan
seksualitas
Tujuan : Tampak rileks.
Kriteria hasil : - Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
- Menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
- Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
Intervensi :
1) Selalu ada untuk pasien. Buat hubunga saling percaya dengan pasien/ orang
terdekat.
R : Manunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam diskusi
tentang subjek sensitif.
2) Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi.
Contoh kateter, urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak
informasi yang diinginkan pasien.
R : Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi
masalah karena ketidaktahuan. Termasuk ketakutan akan kanker. Namun kelebihan
informasi tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas.
3) Pertahankan prilaku nyata dalam melakukan prosedur/ menerima pasien. Lindungi
privasi pasien.
R : Menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
4) Dorong pasien/ orang terdekat untuk menyatakan masalah/ perasaan.
R : Mendefenisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan,
memperjelas kesalahan konsep, dan solusi pemecahan masalah.
5) Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
R : Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan
pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.

e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan


pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/ mengingat, salah interpretasi
informasi. Tidak mengenal sumber informasi. Masalah tentang area sensitif.
Tujuan : Pengetahuan meningkat.
Kriteria hasil : - Menyatakan pemahaman proses penyakit/ prognosis.
- Mengidentifikasi hubungan tanda/ gejala proses penyakit.
- Melakukan perubahan pola hidup/ perilaku yang perlu.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan / intervensi :
1) Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.
R : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2) Dorong menyatakan rasa takut/ perasaan dan perhatian
R : Membantu pasien mengalami perasaan dapat menrupakan rehabilitasi vital.
3) Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
R : Mungkin merupakan ketakutan yang tak dibicarakan.
4) Anjurkan makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudi mobil lama, pemasukan cairan
cepat (terutama alkohol).
R : Dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesi.
5) Bicarakan masalah seksual
R : Aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri selama episode akut.
6) Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual.
R : Memiliki informasi tentang anatomi membantu pasien memahami implikasi tindakan
lanjut.
7) Kaji ulang/ gejala yang memerlukan evaluasi medik.
R : Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
8) Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tantang diagnosa.
R : Menurunkan resiko terapi tak tepat, contohnya penggunaan dekongestan, antikolinergik,
dan antidepresan dapat meningkatkan retensi urine dan dapat mencetuskan episode
akut
9) Beri penguatan pentingnya evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan sampai 1 tahun
termasuk pemeriksaan rektal, urinalisa.
R : Hipertropi berulang dan/ atau infeksi (disebabkan oleh organisme yang sama atau
berbeda), tidak umum dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah
komplikasi serius.
(Doenges, 2000,hal. 679-685)

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik Tahap ini adalah tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh
karena itu pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan.(Nursalam, 2000, hal. 63,
dikutip dari Iyer,et.al, 1996)
Dalam pelaksanaan tindakan ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu :
persiapan, perencanaan dan pendokumentasian.
a. Fase persiapan meliputi :
1) Review antisipasi tindakan keperawatan
2) Menganalisa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
3) Mengetahui konflikasi yang mungkin timbul
4) Persiapan alat ( resources )
Asuhan Keperawatan Benigna Prostat
Hiperplasia

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic
Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi
dari elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul
dari proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel
(apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di
zona periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan
pembesaran prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih.
BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang
tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT).
Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun.
Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat
dan Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang
digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH
memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar
setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan
LUT berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang
air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk
buang air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas).
Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine
retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk
operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung
kemih, atau gross hematuria. (Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi
korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami
kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati
dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate
(TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang
disebabkan BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan
terapi minimal invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek
samping. (Detters, 2011)
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia di Ruang Bedah Campuran RSUP Fatmawati.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
c. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
d. Mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. M dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.

C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai
penanganan keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
2. Memberikan motivasi bagi semua perawat untuk melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia.

D. Metode Penulisan
Dalam penulisan laporan ini ditempuh dengan metode-metode tertentu
untuk mengumpulkan data dan mengolah data tersebut. Untuk pengumpulan
data dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu mengumpulkan berbagai
sumber yang memuat materi yang terkait dengan Benigna Prostat
Hiperplasia. Sumber tersebut diperoleh melalui beberapa buku keperawatan,
internet, pasien serta keluarga pasien. Data yang telah diperoleh kemudian
diolah dengan metode kualitatif dengan jalan menyusun data-data atau fakta
yang ada dan telah diperoleh secara sistematis serta menuangkannya dalam
suatu Laporan Kasus Lengkap.

BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi
prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan
hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes,
Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu
uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar
dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).

2. Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada
beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang
rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan
testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai
mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya
akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian
akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa
sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui
estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis
dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang
mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen
pada usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.

Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu :


Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena
suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor
pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga
terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan
kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan
bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi
testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen.
(Sjamsuhidayat, 2005).

3. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan
berat normal pada orang dewasa ± 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki,
2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang
secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat
oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadiresistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor
akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi
akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi
sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan
terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

4. Tanda dan Gejala


Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala
yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputus-
putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi
(frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin
miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria)
(Mansjoer,2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak
BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flowin kontinen).

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa :


Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,
dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun
pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a. Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
b. Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
c. Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
d. Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
e. Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b.
Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran
kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli
yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-
buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa
urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

6. Penatalaksanaan Medis
1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang
diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤ 7
atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang
mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup.
Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu
dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan
malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi
miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
2. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan
adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi
toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain
perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi
jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan
impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila
volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik.
Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu
besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi
terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya
dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan
litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat
lebih dari 100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)

7. Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan


1. Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
a. Penghambat adrenergik alfa
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di
uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala
timbul dengan cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin,
atau Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan
tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung
tersumbat, dan lemah.

b. Penghambat enzim 5 α reduktase


Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga testosteron tidak
diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga
sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan
efek sampingnya antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.
c. Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum
Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula,
Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang
belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi
kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-
estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat
proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi,
dan menurunkan tonus leher vesika.(Sjamsuhidajat, 2004)
Asuhan Keperawatan BPH
( Benigna Prostat Hiperplasia )

A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan
dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki – laki berusia lebih
dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I,
1991 : 1743 ).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri
yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat mengkaji keluhan
utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri
( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan /
intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
c. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari
Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah,
intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi,
frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat
menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk
pertama kali atau berulang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM,
Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat
memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11,
12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan
pembedahan terdahulu.
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti :
Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
f. Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta
hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
g. Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24
jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli – buli
memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D,
2000 : 683).
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum
flatus .
3) Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat
terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia
dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi
pola tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak
mengalami gangguan pasca TURP.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja
dan masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd
( Sunaryo, H, 1999: 36 j ).
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping
klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan
ibadahnya .

h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila
terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca
operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval
monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
2) Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan
pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal
atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3) Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb
untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi,
per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
4) Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati
rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5) Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 :
40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
6) Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi
dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin,
daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika
dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin
dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6
– 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
7) Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan
kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).

i. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu
diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila
terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin
juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar
kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila
terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur
urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
a) Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter
dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b) Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data
tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang
mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin,
resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi
ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang
pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan .
3. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP).
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.
5. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi .( Marilynn,
E.D, 2000 : 683 )
C. Rencana Keperawatan
1. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan anastesi.
a. Tujuan
Pola napas tetap efektif
b. Kriteria hasil
Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam batas normal,
melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.
Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.
2) Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam.
Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.
3) Kaji bunyi napas tiap 4 jam.
Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada tim medis.
4) Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.
5) Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau.
Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas.
6) Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk mengurangi nyeri.
Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien melakukan latihan batuk dan
napas dalam secara efektif.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer
teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.
Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan
bekuan darah dan pembenaman kateter pada distensi buli-buli.
2) Pantau masukan dan haluaran cairan.
Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau berlanjut.
Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi perlu pendekatan perineal.
Perdarahan kontinu / berat atau berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi /
evaluasi medik.
4) Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan darah.
Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5) Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan gelap.
Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang sendiri.
6) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan
darah, diaforesis, pucat, pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.
7) Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.
Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.
8) Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali kontraindikasi.
Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris. Awasi dengan ketat karena
dapat mengakibatkan intoksikasi cairan.
9) Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal / enema.
Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap dasar prostat dan peningkatan
kapsul prostat dengan resiko perdarahan.
10) Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah.
Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.
Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit.

3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi
(TURP).
a. Tujuan
Keseimbangan cairan tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil
Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar penuh, berorientasi, dan
menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.
Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.
2) Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam.
Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim medis.
Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.
4) Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika diinstruksikan.
Rasional: mencegah terjadinya retensi

4. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.


a. Tujuan
Retensi urin teratasi.
b. Kriteria hasil
Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku peningkatan kontrol buli-buli.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.
2) Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan selama 24 jam pertama.
Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi
kateter / aliran urin.
3) Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.
Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin.
4) Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi.
Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.
a. Tujuan
Infeksi dicegah.
b. Kriteria hasil
Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda infeksi.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun dan air,
berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter.
Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut.
2) Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke dalam buli – buli.
3) Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.
Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.
4) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik berhubungan dengan peningkatan resiko
pada prostatektomi.

D. Evaluasi
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan
keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic
Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah :
1. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.
2. Cairan terpenuhi secara adekuat
3. Cairan tubuh tidak berlebihan
4. Tidak terjadi retensi urine
5. Risiko infeksi dihindari.

BAB III
Tinjauan Kasus
A. Tinjauan Kasus
Tanggal Pengkajian : 12 September 2013 Pukul : 07.00 WIB
Nama Mahasiswa : Brilian Samuel Dehes

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Klien b. Penanggung Jawab
Inisial Klien : Tn. M Nama : Nurmi
Umur : 68 Tahun Umur : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : IRT
Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia Pendidikan : SD
Agama : Islam Alamat :
Jl. CccccKP.Duku/Keb.Lama
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD Hubungan
Alamat : Jl. KP. Duku/Keb. Lama keluarga : Istri

Tanggal Masuk RS : 02 September 2013


Diagnosa Medis : Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )
No. MR : 01175903

2. Riwayat Perawatan
a. Keluhan Utama : Tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah
Sakit.

b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya ( upaya yang dilakukan dan terapi )
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sejak 6 tahun
yang lalu. Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kebayoran Lama dan
diberikan kaptopril.

2) Riwayat Penyakit Sekarang ( PQRST, upaya yang dilakukan dan terapi )


Pasien datang dengan keluhan tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum
masuk Rumah Sakit. Pada awalnya pasien mengeluh susah BAK, disertai
nyeri pada perut dan tidak mampu duduk. Pasien juga terkadang demam.
Pasien dibawa ke Rumah Sakit dan dipasang selang kateter agar BAK lancar.

3) Riwayat Kesehatan Keluarga


Pasien menyatakan tidak ada keluarga yang memilki penyakit sama seperti
yang dialami pasien.
Genogram Keluarga

3. Observasi dan Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
Pasien tampak lemah. Nyeri sedang ( skala 5 dari 1 – 10 ), komunikasi baik,
terpasang infus di lengan kanan. Terpasang selang kateter.

b. Tanda – Tanda Vital


S : 36,8 °C N : 88 x/menit TD : 160/80
mmHg
Axilla Teratur Len
gan Kiri
Rectal Tidak
Teratur Lengan Kanan
Oral Kuat Berb
aring
Lemah Duduk

RR : 22 x/menit HR : 90 x/menit

Normal Teratur
Cyanosis Tidak Teratur
Cheynestoke
Kusmaul
Lainnya, sebutkan :

c. Body Systems
1) Pernapasan
a) Hidung
Polip Benda Asing Deviasi
Sekret Patent
Lain – lain : Tidak ditemukan masalah pada hidung pasien.

b) Trakhea
Mukus Benda
Asing Peradangan
Lain – lain : Tidak ditemukan masalah pada trakhea pasien.

c) Bentuk Rongga Dada


Barrel Chest (tong) Pigeon Chest Funnel
Chest
Lain – lain :
d) Tipe Pernapasan
Normal Orthopnea Chyne
Stokes
Dyspnea Cusmaul

e) Bunyi Napas
Vesikuler Ronchi Crecels
Wheezing Rales
Lokasi :
Keluhan Lain :
Batuk, sejak : 1 hari yang lalu.
Berdarah, sejak :
Sputum, sejak :
2) Pengindraan
a) Mata
Penglihatan :
Berkurang Kabur Ganda Buta
Gerakan bola mata : Mata kanan dan kiri mampu bergerak normal.
Visus : VOD
VOS
Sklera : Normal Ikterus Merah/hifema
Konjungtiva : Merah muda Pucat/anemis
Kornea : Bening Keruh
Alat bantu :
Nyeri :
Keluhan lain :

b) Telinga
Pendengaran : Normal Berkurang
Tinitus, sejak/saat :
Otalgia, sejak/saat :
Otorhae, sejak/saat :
Keseimbangan : Normal Terganggu, sejak : 5 tahun yang
lalu.
Alat bantu dengar, sejak :
Membran timpani : Terdapat 2 buah lubang kecil.

c) Penghidu
Bentuk : Simetris Asimetris
Lesi, lokasi :
Patensi
Obstruksi, lokasi :
Nyeri tekan sinus
Cavum nasal, warna : Merah muda Integritas : Lembek
Septum nasal : Deviasi Perporasi Perdarahan

3) Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
Nyeri dada :
Pusing Palpitasi Clubbing finger
Kram kaki Ictus cordis Cafillary
Refill Time
Sakit kepala >2
detik
<2 detik
Suara Jantung
Normal
Ada kelainan, sebutkan :
Edema
Palpebra Ekstermitas
atas Ascites
Anasarka Ekstermitas
bawah Tidak ada

4) Persyarafan
a) Tingkat Kesadaran
Compos mentis Sopor Apatis
Koma Somnolent Gelisah

b) GCS
E :6
V :5
M :4

Total Nilai : 15

Pupil : Isokor Anisokor


Midriasis Meiosis
Refleks Cahaya : Kanan : Positif Negatif
Kiri : Positif Negatif
Vertigo Gelisah Kejan
g Tremor
Bingung Dysarthria Kesemu
tan Pelo
Aphasia

c) Penilaian fungsi syaraf cranial


araf cranial I : Olfaktorius. Pasien mampu membedakan bau-bauan dengan tepat dan
benar.
araf cranial II : Optikus. Penglihatan pasien berkurang, kabur. Skleras buram.
araf cranial III : Okulomotoris. Pergerakkan bola mata kanan dan kiri pasien normal.
araf cranial IV : Trokhlearis. Refleks menggerakkan mata kebawah dan keatas baik.
araf cranial V : Trigeminus. Refleks kornea berkurang.
araf cranial VI : Abdusen. Refleks pergerakkan mata baik.
araf cranial VII : Fasialis. Pasien mampu membuka dan menutup mata dan kelopak mata.
araf cranial VIII : Vestibulochoclearis. Pasien tidak mampu mendengar dengan
baik/pendengaran berkurang.
araf cranial IX : Glosofaringeus. Refleks pasien dalam membedakan rasa baik.
araf cranial X : Vagus. Refleks menelan pasien normal.
araf cranial XI : Asesoris. Refleks bahu pasien terhadap tahanan normal.
araf cranial XII : Hipoglosus. Refleks gerakkan lidah baik.

d) Pemeriksaan sensorik dan motorik


Fungsi sensorik : Fungsi sensorik pasien menurun.
Fungsi motorik : Skala Ekstermitas atas kanan dan kiri 5
Ekstermitas bawah kanan dan kiri 4

e) Status refleks
Refleks tendon bagian dalam : Respon otot normal.
Refleks patologis : Normal.

5) Perkemihan
a) Produksi urine : 700 CC ( tampungan kateter )
b) Warna : Kuning tua
c) Bau : Amoniak
d) Pembedahan : Post operasi Prostat. Terpasang kateter.
e) Masalah/keluhan :
Oliguria Menetes Cyst
otomi
Poliuria Nyeri Inkontinensi
a
Disuria Panas Nokturia
Terpasang kateter Sering Hematuria
Retensia

6) Pencernaan
ut dan gigi : Mukosa mulut lembab, bibir kering, gigi tidak lengkap. Kebersihan kurang.
ggorokkan : Tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan paratiroid. Tidak ada
penumpukkan sekret.
omen : Abdomen simetris, nyeri seperti ditusuk dan panas saat hendak dan
sedang BAK.
d) Rectum anus : Normal.
e) BAB : 1 kali/hari.
Konsistensi : Lunak. Warna kuning.
f) Masalah/keluhan :
Muntah,
sejak Malabsorbsi Konstipasi
Mual,
sejak Diare Obstipasi
Feses berdarah, sejak Tidak terasa Wasir
Melena Haus Lendir
Sukar menelan Colostomi
Obat pencahar : Tidak ada
Lavement : Tidak ada

7) Tulang Otot-Kulit ( Muskuloskeletal – Integumen )


uatan : Kekuatan otot baik, tidak ada tahanan saat pemeriksaan.
b) Pergerakkan : Pergerakkan baik.
c) Bentuk tulang : Bentuk Tulang normal.
d) Masalah/keluhan :
Kemampuan yang Ekstermitas Ekstermitas Tulang Belakang
dinilai Atas Bawah
 Tidak ada kelainan
 Patah tulang
 Peradangan
 Perlukaan
 Parese
 Paralise
 Hemiparese

e) Integumen
Kulit Integumen Rambut Kuku
 Warna Pucat Putih Kuning muda

 Turgor Lembab Lembab Kering

 Kebersihan Baik Baik Cukup bersih

 Masalah keluhan - - -

8) Reproduksi
a) Laki – laki
s : Terpasang kateter, bersih.
Scrotum : Bersih, tidak ditemukan masalah.
Testes : Tidak ditemukan masalah.
Lainnya,sebutkan : -

b) Perempuan
Vagina :
Urethra :
Payudara :
Axilla :
Siklus haid :
Lainnya, sebutkan :

4. Pola Fungsi Kesehatan


a. Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit :
Pasien menyatakan menerima penyakitnya dan menjalani dengan iklas.
Pasien yakin akan sembuh.

b. Fungsi Kesehatan
No. Pola Fungsi Kesehatan Sebelum Sakit Ketika Sakit
1. Nutrisi – Metabolisme
Frekuensi 3 kali/hari 3 kali/hari
Nafsu makan Kuat Kuat
Jenis makanan Makanan berlemak Diit bubur
Jenis minuman Kopi, air putih Air putih, teh
Jumlah makanan 1-2 porsi/makan 1 porsi/makan
Jumlah minuman 1,5 Liter/hari < 1 liter/hari
Kebiasaan minum Harus ada kopi -
Kebiasaan makan Makanan berlemak -
Berat badan 70 kg 68 kg
Tinggi badan 168 cm 168cm
Diit khusus - -
2. Pola Tidur – Istirahat
Malam 8 – 9 jam 8 – 9 jam
Siang 3 jam 3 jam
Kebiasaan sebelum tidur - -

Masalah/keluhan : Saat sakit pasien menyatakan tidak ada masalah


dengan pola asupan kebutuhan nutrisi. Pasie tidak menyukai makanan yang
disediakan RS.
MASALAH KEPERAWATAN :
c. Kognitif
Pasien mengetahui penyakitnya saat sudah dirawat di RS. Namun pasien
menyatakan tidak terlalu cemas.

d. Persepsi diri / konsep diri


Pasien memiliki kepercayaan akan mampu sembuh dari penyakit yang
sedang dideritanya saat ini.

e. Peran / hubungan
Pasien merupakan seorang ayah dan kepala keluarga. Pasien memiliki
hubungan yang baik terhadap keluarga dan orang sekitarnya.

f. Koping – Toleransi stress


Pasien ramah dan mudah diajak bicara. Pasien banyak tidur dalam
keseharian.

g. Nilai – Pola keyakinan\


Pasien memiliki kepercayaan dan yakin akan kesembuhannya.

5. Psikososial – Spiritual
Berkomunikasi
Bahasa sehari-hari : Betawi, bahasa Indonesia

Berbicara
Normal Gaga
p Parau
Tidak dapat menyampaikan Dengan
isyarat Aphasia

Hubungan dengan keluarga :


Pasien memiliki hubungan yang baik terhadap keluarganya. Keluarga pasien
juga sangat mendukung proses keperawatan yang diterima pasien.

Hubungan dengan teman/petugas kesehatan :


Baik, pasien berinteraksi secara baik dan ramah.

Ekspresi afek dan emosi


Senang Sedi
h Marah
Takut Mudah
tersinggung Gelisah
Menjalankan ibadah

6. Data Penunjang ( Lab, Foto Rontgen, Pemeriksaan Diagnostik, dll )


USG : Hipertrofi Prostat ( volume +/- 37 CC )
Kista Ginjal Kiri
Buli = sam. Neurosen bladder

7. Terapi dan Implikasi Keperawatan


Ranitidin 2 x 1 amp
Ceftriaxon 1 x 2 gr
Ketorolac 1 x 1 amp
Infus NaCl : RL 30 tpm
Parasetamol 500 mg 1 x1

Nama dan Tanda Tangan Mahasisa

Brilian Samuel
Dehes
NIM. PO. 62. 20. 1.
11. 006

Inisial Pasien : Tn. M


No. Reg : 01175903
Data Fokus Masalah Kemungkinan Penyebab
( Subjektif dan Objektif )

Data Subjektif : Gangguan rasa aman dan Iritasi mukosa buli-buli ,


Pasien menyatakan nyeri nyaman : Nyeri pemasangan kateter, retensi
saat akan dan hendak urine.
BAK pada bagian
abdomen.

Data Objektif :
Skala nyeri 4 ( 1 – 10 )
TD : 160/100 mmHg
N : 88 kali/menit
S ; 36,8 C
RR : 22 kali/menit
Pasien tampak lemah
Tampak meringis.

Risiko tinggi infeksi Pemakaian kateter secara


Data Subjektif : berkelanjutan, pajanan
Pasien menyatakan sudah tindakan medis.
menggunakan kateter
untuk BAK selama 6
bulan.

Data Objektif :
Terpasang selang kateter.
Urine tampung 150 CC
Tampak kemerahan pada
glan penis.
BB : 65 kg

Inisial
Pasien : Tn. M
No.
Reg : 01175903

DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN SESUAI PRIORITAS


NO. DIAGNOSA

1. Gangguan rasa aman dan nyaman : Nyeri akut berhubungan dengan iritasi
mukosa buli-buli, pemasanga selang kateter ditandai dengan nyeri skala 4.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan pemakaian selang kateter secara
berkelanjutan, pajanan tindakan medis ditandai dengan kemerahan pada penis

Inisial Pasien : Tn. M


No.
Reg : 01175903
RENCANA KEPERAWATAN
No Tanggal Nomor Tujuan/Kriteria Rencana Rasional
Diagnosa Hasil Tindakan
Keperawatan
1. 12-09- Diagnosa I Setelah dilakukan Mandiri : Mandiri :
2013 tindakan Hitung tanda- Mengkaji keadaan
keperawatan tanda vital. diluar batas
selama 1 x 7 jam normal.
nyeri diharapkan Pantau intake danMemantau
berkurang / hilang output. keseimbangan
dengan kriteria cairan tubuh.
hasil : Latih bladder Melatih
Skala nyeri 0 training. kemampuan
Pasien tenang berkemih mandiri
saat pelepasan
Berikan posisi selang kateter.
semifowler. Memberikan rasa
aman dan
nyaman.
Observasi :
Amati Observasi :
peningkatan Mengamati
skala nyeri. adanya
peningkatan
tekanan pada
bladder.
Penkes :
Anjurkan pasien Penkes :
melakukan teknik Memberikan
relaksasi dan pengalihan rasa
nafas dalam. nyeri terhadap hal
yang
menyenangkan
dan terapi
Kolaborasi : pernapasan
Kolaborasi dalam adekuat.
pemberian
antipiretik. Kolaborasi :
Kolaborasi dalam Membantu
pemberian cairan mengurangi /
infus via IV. menghilangkan
rasa nyeri.
Membantu
pemenuhan
kebutuhan cairan
elektrolit tubuh.
2. 12-19- Diagnosa II Setelah dilakukan Mandiri : Mandiri :
2013 tindakan Hitung tanda- Menghitung tanda-
keperawatan tanda vital. tanda vital diluar
selama 1 x 7 jam batas normal.
diharapkan risiko Berikan Memberikan
tinggi infeksi perawatan selang perawataan
mampu dihindari kateter setiap secara kontinue
dengan kriteria hari. dan efektif.
hasil : Kaji kebutuhan Mengkaji
Tanda-tanda vital penggantian kebutuhan
normal. selang kateter penggantian
Tidak ada tanda setiap 3 hingga 6 selang guna
infeksi. hari. meminimal risiko
infeksi.
Hitung intake dan Memantau
output urine. keseimbangan
cairan berupa
urine.
Observasi :
Pantau Observasi :
kebersihan Menghindari
kateter setiap terjadinya risiko
hari. infeksi.
Pantau tanda- Mencegah terjadi
tanda infeksi. infeksi pada alat
kelamin.

Penkes : Penkes :
Ajarkan cara Mengajarkan
bladder training. berkemih mandiri
tanpa selang
kateter.
Kolaborasi :
Kolaborasi dalam Kolaborasi :
pemberian Mengontrol
antibiotik. perkembangan
Ceftriaxon 1 x 2 bakteri tubuh dan
gram. meminimalisir
risiko infeksi.

Inisial Pasien : Tn. M

No.
Reg : 01175903
PELAKSANAAN KEPERAWATAN ( IMPLEMENTASI )
N Tang No. Diagnosa Pelaksana Evaluasi Paraf/
o gal/ Keperawatan an/Tindaka Tindakan Nama
Jam n /Respon Peraw
Keperawat Klien at,mhs
an
1 12- Diagnosa I Mengkaji Skala
. 09- skala nyeri : 4
2013 nyeri.
07.0 TD :
0 Mengukur 120/80
WIB tanda- mmHg
tanda vital. N : 86
kali/meni
t
RR : 18
kali/meni
Menghitung t
intake dan S : 36,8
output. C

Diagnosa II Intake :
Melatih 1500 cc
teknik Output :
relaksasi 1200 cc
dan nafas
dalam. Pasien
mau
mencob
Memantau a dan
kebersihan berlatih
kateter. mandiri.

Memantau Kateter
tanda- tampak
tanda bersih.
infeksi.
Tidak
Membersih ditemuka
kan selang n tanda-
kateter. tanda
infeksi.
Kateter
tampak
baik.

2 13- Diagnosa I Mengkaji TD ;


09- tanda- 130/90
2013 tanda vital. mmHg
07.0 N : 84
0 kali/meni
WIB t
RR : 22
Mengkaji kali/meni
skala t
nyeri. S : 36,4
C
Melatih
bladder Skala
training. nyeri 4

Diagnosa II Latihan
Mengajarka telah
n keluarga dilakuka
cara n dan
membersih pasien
kan tampak
kateter. tenang.

Memantau Keluarga
kebersihan mampu
kateter. member
sihkan
Memantau selang
tanda- kateter
tanda
infeksi. Kateter
tampak
Membersih bersih.
kan selang
kateter. Tidak
ditemuka
n tanda-
tanda
infeksi.
Kateter
tampak
baik.
Inisial Pasien : Tn. M

No.
Reg : 01175903
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal Nomor Diagnosa Catatan Perkembangan Paraf/Nama
Keperawatan ( S.O.A.P./S.O.A.P.I.E.R ) Perawat,mhs
12 – 09 – Diagnosa I S. Pasien menyatakan nyeri saat
2013 hendak dan sedang BAK.
07.00
WIB O. Pasien tampak tenang
Skala nyeri 4 ( 1 – 10 )
TD : 120/80 mmHg, N : 84
kali/menit, RR : 22 kali/menit
S : 36, 4 C

A. Masalah belum teratasi.

Lanjutkan intervensi.

S. Pasien menyatakan ingin kateternya


dilepaskan.
Pasien menyatakan tidak leluasa
beraktifitas.

O. Kateter tampak bersih.


Tidak ada tanda-tanda infeksi.
Rencana lepas kateter tanggal 13-
09-2013.
Latihan bladder training.

O. Masalah belum teratasi.

Q. Lanjutkan intervensi.

13 – 09 – Dianosa II S. Pasien menyatakan nyeri hanya


2013 saat akan BAK.
07.00 Pasien menyatakan nyeri seperti
WIB ditusuk dan terasa panas.

O. Pasien tampak tenang.


Skala nyeri 3 ( 1 – 10 )
TD : 120/70 mmHg, N : 80
kali/menit, RR : 20 kali/menit
S : 36, 4 C

A. Masalah belum teratasi.

Lanjutkan intervensi.

S. Pasien menyatakan tidak ada


kemerahan pada alat kelamin.
Pasien menyatakan tidak ada nanah
pada alat kelamin.

O. Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi.


Lanjutkan rencana lepas kateter.

A. Masalah teratasi sebagian.

Lanjutkan Intervensi

B. Pembahasan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengobservasi dan mengkaji data-data yang
aktual terhadap pasien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat analisis
( individu, keluarga, dan komunitas ), terdiri dari data subjektif dari seseorang
atau kelompok dan data objektif yang diperoleh dari hasil tes diagnostik dan
sumber-sumber lain. Pengkajian individu terdiri dari riwayat kesehatan ( data
subjektif ) dan pengkajian fisik ( data objektif ) ( Webber dan Kelly, 2007 ).
Dalam pengkajian pada kasus Tn. M, penulisa melakukan pengkajian
dengan metoda observasi dan wawancara. Penulis menggunakan konsep
aktual, yaitu menggunakan data-data terbaru pasien yang kemudian
dikoordinasikan dengan data-data sebelumnya yang telah ada. Kesulitan yang
didapatkan selama tahap pengkajian ini adalah terbatasnya waktu yang
tersedia guna melakukan pengkajian lebih mendalam lagi. Terlebih juga
terbatasnya sumber-sumber resensi terbaru yang tersedia untuk melengkapi
proses pengkajian yang ada. Kemudahan dalam pengkajian ini adalah
kooperatifnya pasien serta keluarga membuat pengkajian mampu berjalan
lancar walaupun data-data yang didapatkan masih belum maksimal.

2. Diagnosa Keperawatan
Pada respon manusia, ada hal yang sangat bertumpang tindih untuk
mendiagnosis dan banyak faktor penting, mislanya budaya yang dapat
mengubah perspektif tentang diagnosis telah memverifikasi banyak penelitian
bahwa interpretasi terhadap kasus klinis memiliki potensi kurang akurat dari
yang diindikasikan oleh data ( Lunney, 2008 ). Diagnosa keperawatan adalah
suatu proses dimana semua data yang ada mulai dari tahap pengkajian
kemudian dipilah dan dianalisis kedalam prioritas masalah masing-masing.
( NANDA, 2010 ).
Pada kasus Tn. M, penulis mengangkat dua buah diagnosa yaitu
Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan rasa nyeri serta
Risiko tinggi infeksi. Kesulitan pada tahap ini adalah minimnya waktu yang
ada guna mengangkat data-data lain dari tahap pengkajian yang seharusnya
juga dimunculkan. Kemudahan dalam tahap ini adalah terbinanya kerjasama
yang baik terhadap pembimbing dari Ruang Bedah Campuran dalam
mengangkat diagnosa.

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang valid dan akurat menentukan sensitivitas
perawat tentang hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan tersebut
menjadi petunjuk dalam menyeleksi intervensi yang mungkin menghasilkan
efek pengobatan yang diharapkan. Intervensi keperawatan merupakan tahap
dimana perawat akan secara kritis menentukan rencana tindakan
keperawatan secara prioritas terhadap pasien, yang kemudian menjadi tolak
ukur suatu asuhan keperawatan. ( Johnson, et al, 2006 ).
Dalam tahap perencanaan pada kasus Benigna Prostat Hiperplasia
pada Tn. M di ruang Bedah Campuran , penulis menggunakan perencanaan
yang bersifat prioritas yang digunakan untuk mengurangi/menghilangkan
keluhan utama pada pasien. Kesulitan pada tahap ini terutama terdapat pada
minimnya waktu yang disediakan serta terbatasnya tindakan yang mampu
dimaksimalkan karenanya. Kemudahan yang didapatkan adalah adanya
kolaborasi yang baik dari teman sejawat serta pasien dan keluarganya dalam
memenuhi pemenuhan keperawatan yang ada.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap akhir dari sebuah asuhan keperawatan
yang diberikan sebelum evaluasi. Pada tahap ini semua rencana yang telah
diberikan baik itu prioritas maupun non prioritas akan diterapkan dan
dilaksanakan terhadap pasien. Sekali lagi dalam tahap ini dituntut sikap
kompeten dan profesional dari tenaga kesehatan guna mendapatkan hasil
yang maksimal dan memuaskan dari tahap pengkajian, perumusan diagnosa,
hingga intervensi yang ada. ( Crosseti and Saurin, 2006 ).
Dalam tahap ini kesulitan yang ditemukan adalah rencana yang belum
mampu terlaksana karena keterbatasan waktu yang ada. Kemudahan yang
didapatkan adalah adanya bantuan dari tenaga seprofesi yang membantu
dalam menjalankan tindakan keperawatan.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dimana tindakan mulai dari pengkajian
hingga pelaksanaan akan dilakukan penilaian pencapaian tingkat
keberhasilannya. Pada tahap ini semua tindakan akan dikembangkan guna
mengetahui letak kekurangan dan kelebihan pada asuhan keperawatan.
Tingkat keberhasilan yang tinggi serta kemajuan dalam pola perubahan
kesehatan merupakan hasil yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan
( Minthorn, 2006 )
Pada tahap ini penulis telah melakukan penilaian atas kinerja yang
dicapai selama proses keperawatan berlangsung. Walaupun masih masuk
kedalam kategori belum memuaskan dikemudian hari akan coba ditingkatkan.
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena
adanya penyumbatan jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berkemih secara normal.
Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan
bersih. Hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga
menutupi saluran kemih yang menghambat proses pengeluaran urine.
Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta
kebersihan alat kelamin. Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna
mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.
B. Saran
Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja
akan lebih baik jika pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian
melakukan aktivitas seperti olahraga terbukti dapat mengurangi persentase
mengidap BPH.

Daftar Pustaka
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam
Terbitan (KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.
Sumber Ilmu
Make it easy to get knowledge
SABTU, 06 APRIL 2013

ASKEP BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Hiperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,

pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh

dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. ( Price, 2005 )

Hiperplasia prostat benigna adalah perbesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar prostat membesar,

memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine dapat

mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. ( Brunner & Suddarth, 2000 )

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala

urinaria dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari bulu-buli. ( Nursalam, 2006 )

Hiperplasia prostat benigna adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretra mengalami hiperplasia

sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah.

(http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-3.htm)

Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa hiperplasia prostat benigna adalah

perbesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan kedalam

kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine sehingga menyebabkan berbagai derajat obstruksi

uretral dan pembatasan aliran urinarius.


B. Patofisiologi

Ketika seorang berusia diatas 50 tahun, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadinya gangguan

atau kerusakan pada organ-organ tubuh. Pada pria ketika menginjak usia 50 tahun keatas maka terjadi

penurunan fungsi testis. Akibatnya adalah ketidakseimbangan hormon testosteron dan

dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan atau pembesaran prostat ( dalam hal ini prostat

dapat mencapai 60-100 gram atau bahkan lebih ). Pembesaran kelenjar prostat dapat meluas ke arah

atas (bladder) sehingga mempersempit saluran uretra yang pada akhirnya akan menyumbat urine dan

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan didalam bladder. Sebagai kompensasi terhadap tekanan

uretra prostatika maka otot-otot destrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan

ini. Kontraksi secara terus menerus menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli. Tekanan

intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara

ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini akan menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke

ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dapat

menyebabkan gagal ginjal. Pada klien benigna prostat hiperplasia urine yang dikeluarkan tidak tuntas

sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi, sehingga seseorang cenderung

mengejan untuk mengeluarkan urine tersebut dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen

sehingga dapat menimbulkan hernia dan hemoroid.

Pembesaran prostat ini akan menimbulkan keluhan atau tanda dan gejala seperti sulit memulai miksi,

nokturia ( bangun tengah malam untuk berkemih ), sering berkemih anyang-anyangan, abdomen

tegang, pancaran urine menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling

( urine menetes terus setelah berkemih ), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, sakit

atau nyeri ketika berkemih, retensi urine akut ( bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung

kemih setelah berkemih ), anoreksia, mual dan muntah.

Apabila tidak segera ditangani, dapat menimbulkan komplikasi antara lain gagal ginjal, hemoroid dan

hernia bahkan kematian.

C. P enatalaksanaan

Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari penatalaksanaan medis,

penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan diit.


1. Penatalaksanaan medis

a. Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin, prazosin tamsulosin dan

terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga

penderita lebih mudah berkemih. Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih

dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk

prostatitis kronis diberikan antibiotik.

a. Pembedahan

1) Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan yang dilakukan melalui

endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari

uretra. Sedapat mungkin hanya sedikit jaringan yang mengalami reseksi sehingga pendarahan yang

besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah tidak terlalu lama. Restoskop sejenis instrumen

hampir serupa dengan cystoscope tapi dilengkapi dengan alat pemotong dan couter yang

disambungkan dengan arus listrik dimasukan lewat uretra. Kandung kemih dibilas terus menerus

selama prosedur berjalan. Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng

logam yang diberi pelumas yang ditempatkan pada bawah paha. Kepingan jaringan yang halus

dibuang dengan irisan dan tempat tempat pendarahan dihentikan dengan couterisasi. Setelah TUR

dipasang folley kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40 ml.

Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat

yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan tekanan

pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter yang besar dipasang

untuk memperlancar membuang gumpalan darah dari kandung kemih.

2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar prostat dari uretra melalui

kandung kemih..

3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu insisi dalam perineum

yaitu diantara skrotum dan rektum.

4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus

pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.

5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan cara memasukkan instrumen

melalui uretra.
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi

sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas

sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap dijaringan prostat.

2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Brunner and Suddart, (2000)

a. Mandi air hangat

b. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.

c. Menghindari minuman beralkohol

d. Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.

e. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa jam sebelum tidur.

3. Penatalaksanaan diit menurut Brunner and Suddart, (2000)

Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk menghindari minuman beralkohol, kopi,

teh, coklat, cola, dan makanan yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan cairan yang

berlebihan terutama pada malam hari.

D. Pengkajian

Pengkajian pada klien benigna prostat hiperplasia menurut Doenges, (1999) dan Brunner and Suddart

(2000) diperoleh data sebagai berikut :

1. Sirkulasi

Tanda : Peninggian TD ( efek pembesaran ginjal )

2. Eliminasi

Gejala : Penurunan kekuatan/dorongan aliran urine ; tetesan.

Keragu-raguan pada berkemih awal.

Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih.

Nokturia, disuria, hematuria.

Infeksi saluran kemih berulang, riwayat batu, Konstipasi.

Tanda : Distensi kandung kemih, nyeri tekan kandung kemih.

3. Makanan/cairan

Gejala : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.

4. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung dan rasa tidak nyaman pada abdomen, kolik

renalis.

5. Keamanan

Gejala : Demam

6. Seksualitas

Gejala : Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual.

Takut Inkontinensia/menetes selama hubungan intim.

Penurunan kekutan kontraksi ejakulasi.

Tanda : Pembasaran, nyeri tekan prostat.

7. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.

Penggunaan antihipertensif atau antidepresan, antibiotik urinaria.

Pemeriksaan diagnostik

1. Urinalisa : Warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang ( berdarah); penampilan

keruh; pH 7 atau lebih besar ( menunjukkan infeksi ).

2. Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, pseudomonas, atau

Escherichia coli.

3. Sitologi urne : Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.

4. BUN/kreatinin : Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.

5. Asam fosfat serum/antigen khusus prstatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh

hormonal pada kanker prostat.

6. SDP :Mungkin lebih besar dari 11 000/ul ( infeksi )

7. Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih.

8. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan pelambatan pengosongan kandung kemih,

membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung

kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih.

9. Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan

uretra.

10. Sistogram : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk mengidentifikasi

disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.


11. Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding

kandung kemih.

12. Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostate dan jumlah residu urine, dalam hal ini residu

urine menjadi patokan yaitu dibagi menjadi beberapa derajat antara lain :

1.Derajat I, sisa urine < 50 ml.

2.Derajat II, sisa urine 50-150 ml.

3.Derajat III, sisa urine > 150 ml.

4.Derajat IV, retensi urine total.

13. Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi system perdarahan

unit vesiko uretra dan besarnya prostat.

Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :

a. Derajat I, beratnya ± 20 gram.

b.Derajat II, beratnya antara 20-40 gram.

c. Derajat III, beratnya > 40 gram.

14. PSA (Prostatik Spesifik Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.

15. Pemeriksaan Uroflowmetri, Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine dapat

diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :

a. Flow rate maksimal > 15 ml/dtk = non obstruktif.

b. Flow rate maksimal 10-15 ml/dtk = border line

c. Flow rate maksimal < 10 ml/dtk = obstuktif.

16. USG ( Ultrasonografi ), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga

keadaan buli-buli termasuk residual urine.

17. MRI ( Magnetic Resonance Imaging )

E. Diagnosa keperawatan

Setelah data dikumpulkan dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan diagnosa keperawatan.

Menurut Doenges, (1999) dan Tucker, (1998) sebagai berikut :

Diagnosa pre operasi

1. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan Obstruksi mekanik; pembesaran prostat.


2. Nyeri akut berhubungan dengan Iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi

urinaria; terapi radiasi.

3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstuksi diuresis

dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.

4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan: kemungkinan prosedur

bedah/malignansi.

5. Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter dan/atau retensi urine.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan

kurang informasi.

Diagnosa post operasi

1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, spasme kandung kemih, dan retensi urine.

2. Perubahan eliminasi perkemihan berhubungan dengan reseksi pembedahan dan irigasi kandung

kemih.

3. Potensial terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya kateter dikandung kemih dan insisi

bedah.

4. Potensial kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.

5. Disfungsional seksual yang berhubungan dengan perubahan pola seksual.

6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pascaoperasi.

F. Perencanaan

Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-

masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi

sebagai berikut :

Diagnosa Pre operasi

1. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan Obstruksi mekanik; pembesaran prostat.

Tujuan : Berkemih dengan jumlah adekuat tanpa distensi kandung kemih.

Kriteria evaluasi : 1). Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.

2).Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml, dengan tak adanya tetesan/kelebihan

aliran.

Intervensi :1). Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. 2). Tanyakan

klien tentang inkontinensia stres. 3). Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan. 4).
Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. 5). Perkusi/palpasi area suprapubik 6). Dorong

masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan. 7). Awasi tanda

vital dengan ketat. 8). Kolaborasi dengan pemberian obat Antiposmadik (menghilangkan spasme

kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter) sesuai indikasi.

2. Nyeri akut berhubungan dengan Iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal;

infeksi urinaria; terapi radiasi.

Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria evaluasi : 1). Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. 2). Postur dan wajah rileks. 3).

Mendemonstrasikan keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri. 4).

Mengekspresikan perasaan nyaman.

Intervensi :

1). Kaji nyeri, perhatikan lokasi,intensitas ( skala (0-10 ), lamanya. 2). Plester selang drainase pada

paha dan kateter pada abdomen. 3). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 4). Bantu klien dalam

melakukan posisi nyaman dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam. 5). kolaborasi dengan pemberian

obat penghilang rasa nyeri sesuai indikasi.

3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstuksi

diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.

Tujuan : Kebutuhan volume cairan klien terpenuhi.

Kriteria evaluasi : 1). Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil. 2). Nadi

perifer teraba. 3). Pengisian kapiler baik. 4). Membran mukosa lembab.

Intervensi : 1). Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. 2). Dorong peningkatan

pemasukan oral. 3). Awasi TD, nadi dengan sering. 4). Tingkatkan tirah baring dengan kepala

tinggi. 5). Awasi elektrolit, khususnya natrium. 6). Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai

kebutuhan.

4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan: kemungkinan

prosedur bedah/malignansi.

Tujuan : klien menunjukkan ekspresi rileks

Kriteria evaluasi : 1). Klien tampak rileks dan mengatakan ansitas berkurang pada tingkat yang

dapat diatasi. 2). Mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalah.


Intervensi : 1). Kaji tingkat ansietas klien. 2). Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan

jujur. 3). Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi. 4). Kaji adanya

masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi

proses penyembuhannya.

5. Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter dan/atau retensi urine.

Tujuan : infeksi tidak terjadi

Kriteria evaluasi : 1). Suhu dalam rentang normal. 2). Urine jernih, warna kuning, tanpa

bau. 3). Tidak terjadi distensi kandung kemih.

Intervensi : 1). Periksa suhu tiap 4 jam. 2) Tuliskan karakter urne; laporkan bila keruh atau bau

busuk. 3). Bila ada kateter uretral, pertahankan sistem drainase gravitasi tertutup. 4). Gunakan teknik

steril untuk kateterisasi intermiten selama perawatan di rumah sakit. 5). Pantau abdomen atau

kandung kemih terhadap distensi. 6). Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih. 7).

Gunakan teknik cuci tangan yang baik.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan

dengan kurang informasi.

Tujuan : mengatakan pengertiannya tentang kondisi dan tindakan medis yang dilakukan.

Kriteria evaluasi : 1). Klien mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan

tindakan. 2). Melakukan kembali perubahan gaya hidup.

Intervensi : 1). Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis serta pembatasan kegiatan seperti

menghindari mengemudikan kendaraan dalam periode waktu yang cukup lama. 2). Berikan informasi

mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat, dan menggunakan sepatu

penyokong. 3). Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya, seperti halnya beberapa obat

yang menyebabkan kantuk yang sangat berat ( analgetik, relaksan otot ). 4). Anjurkan menggunakan

papan/matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut

difleksikan, hindari posisi telungkup. 5). Diskusikan mengenai kebutuhan diit. 6). Hindari pemakaian

pemanas dalam waktu yang lama. 7). Anjurkan untuk melakukan kontrol medis secara teratur.

Diagnosa Post operasi


1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, spasme kandung kemih, dan retensi urine.

Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang

Kriteria evaluasi : Nyeri berkurang atau hilang dan ekspresi wajah tampak rileks

Intervensi : 1). Kaji nyeri, perhatikan lokasi,intensitas ( skala 0-10 ), lamanya dan faktor pencetus. 2).

Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 3). Bantu klien dalam melakukan posisi nyaman dan

ajarkan teknik relaksasi napas dalam. 4) kolaborasi dengan pemberian obat penghilang rasa nyeri

sesuai indikasi.

2. Perubahan eliminasi perkemihan . berhubungan dengan reseksi pembedahan dan irigasi

kandung kemih.

Tujuan : Berkemih tanpa aliran berlebihan.

Kriteria evaluasi : keteter berada pada posisi yang tetap dan tidak ada sumbatan.

Intervensi : 1). Kaji posisi kateter. 2). Kaji warna, karakter dan aliran urine serta adanya bekuan

melalui kateter tiap 2 jam. 3). Catat jumlah irigan dan haluaran urine. 4). Kaji kandung kemih

terhadap retensi. 5). Kaji dengan sering lubang aliran keluar urine. 6). Masukkan larutan irigasi

melalui lubang terkecil dari kateter.

3. Potensial terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya kateter dikandung kemih dan

insisi bedah.

Tujuan : infeksi tidak terjadi

Kriteria evaluasi : 1). Suhu dalam rentang normal. 2). Urine jernih, warna kuning, tanpa bau. 3).

Tidak terjadi distensi kandung kemih.

Intervensi : 1). Periksa suhu tiap 4 jam. 2). Tuliskan karakter urine; laporkan bila keruh atau bau

busuk. 3). Bila ada kateter uretral, pertahankan sistem drainase gravitasi tertutup. 4). Gunakan teknik

steril untuk kateterisasi intermiten selama perawatan di rumah sakit. 5). Pantau abdomen atau

kandung kemih terhadap distensi. 6). Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih. 7).

Gunakan teknik cuci tangan yang baik.

4. Potensial kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah

berlebihan.

Tujuan : Tidak ada tanda-tanda kemerahan, bengkak dan panas.


Kriteria evaluasi : TTV dalam batas normal, urine berwarna jernih, tidak ada kemerahan, bengkak

dan peningkatan suhu.

Intervensi : 1). Pantau tanda dan gejala hemorragi. 2). Pantau uretra dan suprapubis terhadap

pendarahan yang berlebihan. 3). Pertahankan traksi pada kateter bila diprogramkan. 4). Pantau Hb dan

Ht.

5. Disfungsional seksual yang berhubungan dengan perubahan pola seksual.

Tujuan : Klien dapat mengungkapkan perasaannya tentang seksualitas.

Kriteria evaluasi : Klien dapat mengungkapkan perasaannya tentang seksualitas

Intervensi : 1). Berikan kesempatan untuk diskusi tentang seksualitas antara pasien dan orang

terdekat. 2). Beri informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual. 3). Berikan informasi tentang

konseling seksual.

6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas

pascaoperasi.

Tujuan : Klien mengerti tentang rutinitas pascaoperasi.

Kriteria evaluasi : Klien mengerti tentang rutinitas pascaoperasi, gejala yang harus dilaporkan

kedokter dan perawatan dirumah, serta instruksi evaluasi dan dapat mendemostrasikan ulang latihan

perineum dan perawatan luka insisi.

Intervensi : 1). Instruksikan pada klien untuk menghindari duduk terlalu lama 2). Lakukan latihan

perineal 10 sampai 20 menit tiap jam setelah kateter dilepas. 3). Pertahankan diet dan hindari

konsumsi kopi, teh dan cola serta alkohol. 4). Hindari latihan yang membutuhkan kekuatan otot 5).

Hindari aktivitas seksual selama 1 bulan. 6). Instruksikan klien untuk menghindari konstipasi. 7).

Ajarkan cara perawatan dan mengganti balutan.

G. Pelaksanaan

Pelaksanaan merupakan komponen dari proses keperawatan untuk mencapai tujuan dan hasil yang

diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan oleh perawat secara mandiri

atau kerjasama dengan tim kesehatan lainnya. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan

mandiri maupun kolaborasi. Dalam pelaksanaan langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji

kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang
diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan

tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan

keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian yang perlu

didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda

tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.

H. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa

keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001).

Tujuannya adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan, sehingga perawat dapat

mengambil keputusan dalam mengakhiri rencana tindakan keperawatan ( klien telah mencapai tujuan

yang ditetapkan ), memodifikasi rencana tindakan keperawatan ( klien mengalami kesulitan untuk

mencapai tujuan pertama ), meneruskan rencana tindakan keperawatan ( klien memerlukan waktu

yang lebih lama untuk mencapai tujuan ). Proses evaluasi terdiri dari 2 tahap yaitu tahap mengukur

pencapaian tujuan klien yang terdiri dari komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi

tubuh dan gejala. Sedangkan tahap kedua adalah tahap penentuan keputusan pda tahap evaluasi.

Dalam tahap yang kedua ini terdapat 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan keperawatan

yaitu proses ( formatif ) dan hasil ( sumatif ).

1). Proses ( formatif )

Fokus evaluasi tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan

tindakan keperawatan. Evaluasi proses baru dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan

dilaksanakan untuk membantu keefektifitasan terhadap tindakan dan harus dilakukan terus menerus

sampai tujuan yang telah dilakukan tercapai.

2). Hasil ( Sumatif )

Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atas status kesehatan pada akhir tindakan

keperawatan.

Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan :

1. Mengumpulkan data perkembangan pasien.

2. Menafsirkan ( menginteprestasikan ) perkembangan pasien.


3. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan menggunakan

kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar norma yang berlaku.

Seorang perawat harus mampu menafsirkan hasil evaluasi dari masalah keperawatan klien yaitu

sebagai berikut :

1. Tujuan tercapai

Bila klien menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

2. Tujuan tercapai sebagian

Bila klien menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

3. Tujuan tidak tercapai

Bila klien menunjukkan tidak ada perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan

timbul masalah baru.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (1999). Nursing Care Plans and Dokumentation : Nursing Diagnosis
and Collaboration Problems. (Monica Ester, Penerjemah). Eight Edition.Philadelphia :
Lippincott-Raven Publisher. (sumber asli diterbitkan 1995)

Doonges, Marilynn E. (1999). Nursing Care Plans ( I Made K, penerjemah ) Third


Edition.Jakarta : EGC. (sumber asli diterbitkan 1993)

Lyer, Patricia W. (2004). Nursing Documentation : A Nursing Approach (Sari K,


Penerjemah) Third Edition. Flemington : Mosby inc. (sumber asli diterbitkan 1999)

Potter, Patricia A. (2005). Fundamentals of Nursing : Concept, Processand Practise(Yasmin


Asih, Penerjemah) Volume I Fourth Edition. Saint Louis : Mosby Year Book inc. (sumber
asli diterbitkan 1997)

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursig. (dr.
H. Y. Kuncara, Penerjemah) Volume II Eight Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven
Publisher. (sumber asli diterbitkan 1996)

.
Askep Laporan
Pendahuluan

Kamis, 19 September 2013

Asuhan Keperawatan untuk BPH (Benigna Prostat


Hiperplasia)

Askep BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

1. Pengertian

BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna
Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau
hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-
selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng
dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland
atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan
oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar /
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF
Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua
dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran
urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan
pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika
dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).

2. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan
(Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel
transit (Roger Kirby, 1994 : 38).

3. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Urogenital


1. Uretra

Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui


proses miksi.
Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra
diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-
buli dan uretra, dan sfingter uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Pada saat buli-buli penuh sfingter uretra interna akan
terbuka dengan sendirinya karena dindingnya terdiri atas otot polos yang disarafi
oleh sistem otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri atas otot bergaris yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini
terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.

Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang
uretra wanita ± 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm. Perbedaan
panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih
sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars
prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea.

Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu benjolan verumontanum,


dan disebelah kranial dan kaudal dari veromontanum ini terdapat krista uretralis.
Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir
kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di
dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.

Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum
penis. Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare
dan meatus uretra eksterna.

Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi
dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma
urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar
parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
2. Kelenjar Postat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung
kemih, di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ).
Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20
gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus
ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.

Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam
beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter
dan anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)

Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid
sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan
rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat
yang membentuk bagian besar dari cairan semen untuk tranpor spermatozoa.
Asinus kelenjar normal sering mengandung hasil sekresi yang terkumpul
berbentuk bulat yang disebut korpora amilasea. Asinus dikelilingi oleh stroma
jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah ke kelenjar prostat berasal dari
arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum tengah. Vena prostat
mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke vena iliaka
interna.

Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu


komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus
sekretoriusmuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan
semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan + 25 % dari volume
ejakulat.
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas
dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih. Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang keras dan licin melalui
pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar saat remaja dan mencapai ukuran
optimal pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-laki, ukurannya terus
bertambah seiring pertambahan usia. Saat berusia 70 tahun, dua pertiga dari
semua laki-laki mengalami pembesaran prostat yang dapat menyebabkan
obstruksi pada mikturisi dengan menjepit uretra sehingga mengganggu
perkemihan.

4. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-
buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya
Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah
prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis
besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor
akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi
akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase
kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi
sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

5. Manifestasi Klinik

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms
(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

Gejala iritatif meliputi:


o (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.

o (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari

o (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan

o (disuria).nyeri pada saat miksi

Gejala obstruktif meliputi:

o rasa tidak lampias sehabis miksi.


o (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

o (straining) harus mengejan

o (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan


karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang
yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah
bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara
subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas,
berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal
dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik
dan neuropati perifer.

3. Gejala di luar saluran kemih

Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000,
hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

4. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat


(4) derajat gradiasi sebagai berikut :

Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urine


I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba. < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah50 – 100 ml
III dicapai. > 100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urine total

5. Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai
tanda dan gejala:

1. Hemorogi

1. Hematuri

2. Peningkatan nadi

3. Tekanan darah menurun

4. Gelisah
5. Kulit lembab

6. Temperatur dingin

2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat

3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:

7. bingung
8. agitasi

9. kulit lembab

10. anoreksia

11. mual

12. muntah

6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada
stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan


reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah
cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan
terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat
dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor
alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan
produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan
dengan:

a. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.

b. Medikamentosa
 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen

 Penghambat enzim α -2 reduktase

 Fisioterapi

c. Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:

1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

2) Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.

3) Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa
prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

4) Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan
rektum.

5) Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang
berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke
leher kandung kemih pada kanker prostat.

d. Terapi Invasif Minimal

1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)

3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :

a. Laboratorium

1). Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.

2). Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas
kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pencitraan

1). Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi
urin.

2). IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)


Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

4). Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat
penonjolan prostat ke dalam rektum.

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)

A. Pengkajian
1. Data subyektif :
o Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.

o Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.

o Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.

o Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

2. Data Obyektif :

o Terdapat luka insisi

o Takikardi

o Gelisah

o Tekanan darah meningkat

o Ekspresi w ajah ketakutan

o Terpasang kateter

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
2. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

C. Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan 1. :
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan
derajat kenyamanan secara adekuat.

Kriteria hasil :
o Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.

o Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

Intervensi :

o Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)


o Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus
serta penghilang nyeri.

o Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut,


peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)

o Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.

o Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen


tegang)

o Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi

o Lakukan perawatan aseptik terapeutik

o Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

2. Diagnosa Keperawatan 2. :
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

Kriteria hasil :
o Klien akan melakukan perubahan perilaku.

o Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.

o Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan


kebutuhan berobat lanjutan.

Intervensi :

o Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.


o Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6
minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
o Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.

o Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.

o Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

3. Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

Kriteria hasil :
o Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.

o Klien mengungkapan sudah bisa tidur.

o Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

Intervensi :

o Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan


kemungkinan cara untuk menghindari.

Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi


kebisingan.

o Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.


o Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi
nyeri (analgesik).

Daftar Pustaka

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.


Surabaya

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.


.

Anda mungkin juga menyukai