Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Konsep Narkoba
Napza adalah bahan atau zat/obat yang apabila

masuk kedalam tubuh manusia dapat mempengaruhi

tubuh terutama pada otak dan susunan saraf pusat,

sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis,

dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan

(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap

Napza. Napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif

yaitu yang bekerja pada otak, sehingga dapat

menimbulkan perubahan peilaku, perasaan dan pikiran

( Prabowo, 2014).
Narkoba adalah zat-zat kimiawi yang kalau

dimasukan kedalam tubuh manusia, baik secara oral atau

lewat mulut, dihirup atau disuntik (melalui Intravena)

dapat mengubah pikiran, suasana hati, atau perasaan dan

perilaku orang ( Suhanda, 2006).


2.1.1 Faktor-Faktor Pengguna Narkoba
Menurut Prabowo (2014) ada berbagai faktor yang

saling berinteraksi sehingga dapat mendorong untuk

menyalahgunakan obat terlarang. Beberapa faktor

diantaranya yaitu:
1. Faktor individu
Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan

mental, fisik dan psikologis seseorang. Kondisi mental

seperti gangguan kepribadian, depresi dan gangguan

mental dapat memperbesar kecenderungan seseorang

untuk menyalahgunakan narkotika. Faktor individu

umumnya dapat ditentukan oleh dua aspek, yaitu:


a. Aspek Biologis
Menurut Schuchettada, bukti menunjukan bahwa

faktor genetik berperan pada alkoholisme serta

beberapa bentuk perilaku yang menyimpang,

termasuk penyalahgunaan zat.


b. Aspek Psikologi
Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada

masa remaja. Pada sebagian remaja,

penyalahgunaan obat merupakan alat interaksi

sosia, yaitu agar diterima teman sebaya

ataumerupakan perwujudan dari penentangan

terhadap orang tua dalam rangka membenuk

identitas diri dan supaya dianggap sudah dewasa.

Ada seorang pakar Nurco yang mengemukakan ada

lima faktor untuk menjelaskan mengapa seseorang

bisa menjadi penyalahguna obat terlarang, sedang

orang lain tidak, yaitu : (1) Kebutuhan untuk

menekan frustasi dan dorongan agresif serta

ketidakmampuan menunda kepuasan. (2) Tidak ada


identifikasi seksual yang jelas. (3) Kurang kesadaran

dan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan yang bisa

diterima secara sosial. (4) Menggunakan perilaku

yang menyerempet bahaya untuk menunjukan

kemampuan diri. (5) Menekan rasa bosan

2. Faktor Obat / Zat


a. Adanya perubahan nilai yang disebabkan oleh

perubaha zaman sehubungan dengan arti dan alasan

penggunaan zat-zat psikoaktif.


b. Dalam kenyataannya ada beberapa jenis obat yang

digunakan sebagai tolok ukur status sosial tertentu.

Dengan demikian, mereka yang tidak menggunakan

akan mengalami tekanan sosial yang kuat sehingga

berpengaruh untuk mencoba memakainya.


c. Adanya keyakinan bahwa obat dapat membantu

meningatkan percaya diri dan mengurangi beban

maslah yang sedang dihadapi.


d. Sifat dari obat golongan narkotika dan psikotropika

adalah adiksi dan toleransi.


e. Peredaran obat terlarang makin banyak dan mudah

didapatkan.
3. Faktor Lingkungan
Faktor sosiologis yang dapat dianggap menyebabkan

penyalahgunaan obat / zat, antara lain, yaitu:


a. Hubungan keluarga
Biasanya keluarga yang tidak harmonis mempunyai

masalah dengan penyalahgunaan obat / zat,


misalnya ibu terlalu dominan, overprotektif, yang

yang ototriter atau yang acuh tak acuh pada

keluarga. Kualitas hunguan keluarga yang buruk

dapat menyebabkan penyalahgunaan obat / zat

terlarang meningkat.
b. Pengaruh teman terjadinya penyalahgunaan obat /

zat terlarang ini adalah sangat besar. Hukuman oleh

kelompok teman sebaya, terutama pengucilan bagi

mereka yang mencoba berhenti dirasakan lebih

berat dari pengguna obat itu sendiri (50 %).


Terdapat berbagai Ciri-ciri remaja yang kecil

kemungkinan memakai narkoba dan ciri-ciri remaja

yang potensial berisiko menyalahgunakan narkoba,

yaitu :
1. Ciri-ciri remaja yang kecil kemungkinan

memakai narkoba
a. Sehat secara fisik maupun mental.
b. Mempunyai kemampuan adaptasi sosial yang

baik.
c. Memiliki sifat jujur dan tanggung jawab.
d. Mempunyai cita-cita yang rasional .
e. Dapat mengisi waktu senggang yang positif.
2. Ciri-ciri remaja yang potensial berisiko

menyalahgunakan narkoba
a. Mempunyai sifat mudah kecewa dan untuk

mengatasi kecewa cenderung agresif dan

destruktif / merusak .
b. Bila menginginkan sesuatu tidak dapat

menunggu, harus dipenuhi segera.


c. Pembosan, sering memeras, tertekan, murung,

merasa tidak mampu berbuat sesuatu yang

berguna dalam hidup sehari-hari.


d. Suak mencari sensasi, melakukan hal-hal yang

berbahaya dan mengundang resiko.


e. Kurang dorongan untuk berhasil dalam

pendidikan, pekerjaan, atau kegiatan lain,

prestasi belajar buruk, partisipasi dalam

kegiatan-kegiatan diluar sekolah kurang, kurang

olahraga dan cenderung makan yang berlebihan.


f. Kurang percaya diri atau cenderung rendah diri,

selalu cemas, apatis, menarik diri dari pergaulan,

depresi dan kurang mampu dalam menghadapi

stress.
Tahapan penyalahgunaan narkoba, antara lain :
1. Tahap coba-coba
Awalnya hanya ingin tahu dan memperlihatkan

kehebatannya.
2. Kadang – kadang atau pemakaian regular
Sebagian setelah tahap coba – coba kemudian

melanjutkan ke pemakaian psikoaktif sehingga

menjadi bagian hidup sehari – hari. Meskipun

demikian pemakain bahan – bahan tersebut masih

terbatas.
3. Ketagihan
Pada tahap ini frekuensi, jenis dan dosisi yang

dipakai meningkat, termasuk bertambahnya

pemakaian bahan – bahan beresiko tinggi

gangguan fisik, mental dan masalah – masalah

sosial yang makin jelas.


4. Ketergantungan
Merupakan bentuk ekstrim dari ketagihan, upaya

mendapatkan zat psikoaktif dan memagainya

secara regular merupakan aktivitas sehari-hari

mengalahkan semua kegiatan lain, kondisis fisik

dan mental terus menerus menurun, hidup sudah

kehilangan makna.

2.1.2 Jenis – jenis Narkoba


Berbagai jenis obat – obatan dan narkotika

yang sering beredar adalah heroin, ganja, morfin,

candu hasis, ekstasi, sabu – sabu dan

psikotropika golongan IV. Secara umum, jenis

obat – obatan dan narkotika yang dikenal didunia

antar lain ada LSD ( Lysergic Acid Diethylamide),

amphetamine, nitrit / popper, opiade / kokain,

cannabis ( termasuk dalam kategori ganja ),

kokain, steroid, MDMA, ( Ectasy), ketamine dan

lainnya.
Di bawah ini adalah catatan tentang

berbagai jenis obat – obatan dan narkotika

menurut Suhanda (2006), yaitu:


1. LSD
LSD, di Indonesia dikenal dengan sebutan

elsid. LSD ( Lysergic Acid Diethylamide)

adalah sebuah substansi sintetis. Jumlah yang

memadai untuk tingkat on atau fly cukup

dalam jumlah yang kecil saja, karena LSD

termasuk dalam kategori narkotika berat.


Kondisi fly pada LSD mencapai puncaknya

sekitar selama 2-6 jam dan menghilang setelah

12 jam. Dampang penggunaan LSD yaitu

sangat bergantung pada suasana hati

penmggunanya, percaya sesuatu itu ada tetapi

kenyataannya adalah tidak ada, halusinasi,

gangguan penglihatan dan pendengaran.

Pengguna LSD juga akan merasakan luapan

kegembiraan, was-was, atau merasakan

sesuatu yang mistis.

2. Amphetamine
Amphetamine di Indonesia dikenal

penggunaanya dalam pil ekstasi atau sabu-

sabu. Amphetamine merupakan bahan dasar

ekstasi dan sabu-sabu. Obat ini adalah jenis


obat yang mendorong dan mempercepat cara

kerja tubuh sehingga obat Amphetamine ini

akan menyebabkan jantung bekerja lebih

cepat, dan memompa adrenalin ke dalam

sistem tubuh.
Dengan menggunakan Amphetamine,

seseorang akan memperoleh energi tambahan

selama 4-6 jam, yang biasanya mereka

gunakan untuk mengurangi nafsu makan,

mencegah tidur, mempercepat pernafasan dan

denyut jantung, serta melebarkan kelopak

mata. Pengguna akan merasa lebih energik,

gembira, dan percaya diri. Karena berdampak

seperti ini, ada bahaya ketergantungan

psikologis dalam penggunaan Amphetamine.


3. Heroin
Heroin di Indonesia di kenal dengan nama

yang sama. Pada kadar yang lebih rendah

lebih sering dikenal dengan sebutan putau.

Heroin digunakan dari pengeringan ampas

bunga opium yang mempunyai kandungan

morfin dan codeine, dimana yang keduanya

merupakan penghilang rasa sakit yang efektif

dan banyak digunakan untuk obat, yang


biasanya terkandung dalam obat batuk dan

diare.
Heroin dalam bentuk murninya mudah

larut dengan air. Penggunaan heroin bisa

dengan ditelan atau dengan dilarutkan dalam

air dan kemudian disuntikan, khususnya di

pembuluh darah yang berfungsi untuk

memaksimalkan dampak fly-nya. Ada juga

heroin yang dihirup dengan hidung atau emisi

dari bubuk yang dipanaskan dan dihirup

udaranya. Proses ini dalam kalangan

pengguna narkotika dikenal dengan sebutan “

mengejar naga “.
Selain sebagai penghilang rasa sakit,

opium dan heroin dalam dosis yang memadai

berdampak sangat ringan. Heroin menekan

aktivitas depresi dalam sistem saraf, termasuk

melegakan batuk, bernapas dan denyut

jantung. Opium dan heroin juga menyebabkan

membesarnya pembuluh darah yang

memberikan kehangatan dan melancarkan

pencernaan. Sedangkan dalam dosis yang

berlebihan, heroin akan menyebabkan

kehilangan kesadaran, koma, dan bahkan bisa


menyebabkan kematian karena kegagalan

dalam sistem pernapasan.


4. Cannabis
Cannabis di Indonesia sering disebut

dengan ganja atau rumput, dikenal juga

dengan sebutan marijuana, grass, hash atau

hashish. Berbagai bentuk ganja umumnya dari

pohon ganja yang disebut cannabis sativa dan

cannabis indica yang tumbuh diseluruh dunia.

Ganja terdiri dari tiga bentuk utama, dalam

bentuk tumbuhan kering, sebagai getah yang

dikenal dengan sebutan hashish, dan sebagai

minyak adhesif yang dipersiapkan dari bentuk

getah.
Secara tradisional, cannabis berasal dari

sub-kontinen India, Lebanon, Maroko, dan

berbagai tempat lainnya. Di Indonesia ganja

paling terkenal berasal dari daerah Aceh yang

biasanya tumbuh di hutan-hutan liar.


Ganja umumnya diisap dengan mencampur

pada rokok, melintingnya dengan

menggunakan kertas yang biasanya digunakan

untuk melinting tembakau. Tetapi ada juga

ganja yang tidak dicampur dengan tembakau,

tetapi diisap langsung dengan menggunakan


pipa dan alar merokok seperti bong. Dengan

meghirup, pengguna ganja akan mengontrol

dosisnya, ia akan berhenti ketika mengalami

fly.
Dampak yang ditimbulkan oleh ganja

adalah kegembiraan, cerewet dalam bicara,

rileks dan sangat menghargai warna dan

suara. Walaupun ganja tidak mempunyai

dampak sampingan dalam tubuh, penggunaan

yang berlebihan dapat menyebabkan

halusinasi ringan dan terganggunya system

sensor tubuh. Lama fly saat menghisap ganja

antara 1-4 jam tergantung jumlah

penggunaanya, tidak mempunyai dampak

morning after the night before seperti yang

terjadi pada orang-orang pada malam

sebelumnya meminum alkohol.


5. Kokain
Kokain disebut juga dengan sebutan crack,

coke, atau juga rock. Kokain merupakan bubuk

putih yang diambil dari daun pohon koka dan

menjadi perangsang yang hebat dengan

dampak yang sama seperti Amphetamine.

Kokain yang mudah larut biasanya digunakan


menggunakan suntikan, ada juga yang

dicampur dengan heroin (biasa disebut

speedball). Melalui sedotan di hidung, kokain

akan mencapai puncaknya selam 15-30 menit

kemudian menghilang. Akibatnya, akan

mengulanginya untuk tetap menjaga kondisi

terbaiknya.
Seperti yang terjadi pada penggunaan

Amphetamine, kokain juga menghasilkan rasa

nyaman, ketajaman mental, mengurangi selera

makan dan menambah kekuatan fisik yang

signifikan. Setelah dampak kokain dalam

tubuh hilang, orang biasanya merasa

kecapaian dan depresi. Kelebihan dosis kokain

juga bisa menyebabkan kematian karena

kegagalan jantung.
6. Ganja
Ganja yaitu berisi zat kimia delta-9-tetra

hidrokanbinol, berasal dari daun Cannabis

yang dikeringkan, cara mengkonsumsi

dengan cara dihisap seperti rokok tetapi

menggunakan hidung. (Prabowo, 2014)

7. Ekstasi
Ekstasi yaitu methylendioxy

methamphetamine dalam bentuk tablet atau

kapsul, mampu meningkatkan ketahanan

tubuh seseorang. Karena itu, ekstasi juga

dapat menimbulkan ketergantungan. Jika

pemakai diputus konsumsinya, ia akan merasa

lelah, tidur panjang dan depresi berat.

Pecandu akan melakukan apa saja demi

mendapatkan akstasi. Dan kecenderungan

yang terjadi, pecandu akan selalu menambah

dosis. Bila sudah OD (Over Dosis), pecandu

akan tidak dapat tidur, halusinasi, mengalami

gemetar, muntah, kejang-kejang, diare, sampai

koma bahkan meninggal.


8. Sabu-sabu
Sabu-sabu adalah Kristal yang berisi

methamphetamine, dikonsumsi dengan

menggunakan alat khusus yang disebut

dengan Bong kemudian dibakar (Prabowo,

2014). Apabila sabu-sabu digunakan dalam

jangka waktu yang panjang, pengguna akan

mengalami berat badan yang amat mencolok,

merusak hati dan detak jantung tidak teratur.

Bahkan stroke bisa terjadi jika penggunaannya


dalam jangka waktu yang panjang. Pemakaian

ekstasi dan sabu-sabu, akan menimbulkan

kerusakan dan gangguan organ tubuh,

terutama otak, jantung, ginjal, hati, kulit dan

kemaluan.

9. Putau
Putau merupakan golongan heroin yang

berbentuk bubuk atau serbuk. (Prabowo,

2014)
10. Minuman keras
Minuman keras atau alkohol merupakan

minuman yang berisi produk fermentasi

menghasilkan etanol, dengan kadar diatas 40%

mampu menyebabkan depresi susunan saraf

pusat, dalam kadar tinggi dapat memicu

terjadinya sirosis hepatik, hepatitis alkoholik

maupun gangguan sistem persarafan.

(Prabowo, 2014)
2.1.3 Golongan Narkoba
2.1.3.1 Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan dari

tanaman baik sintesis ataupun bukan

tanaman baik sintesis maupun semisintesis

yang dapat menyebabkan penurunan atau


perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi bahkan sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan (UU Nomor 22 tahun 1997

tentang Narkotika).
Narkotika dibedakan kedalam tiga

golongan (Prabowo, 2014), yaitu :


1. Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak

ditujukan untuk terapi karena mempunyai

potensi tinggi bisa menimbulkan

ketergantungan, (Contoh : heroin / putau,

kokain, ganja).
2. Golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan

dapat pula digunakan sebagai terapi atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan (Contoh :

morfin, petidin).
3. Golongan III
Narkotika yang berkhasiat dalam

pengobatan dan banyak digunakan dalam

gterapi atau tujuan pengembangan ilmu


pengetahuan serta mempunyai potensi

ringan untuk ketergantungan (contoh :

kodein).
2.1.3.2 Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik

alamiah maupun sintetis bukan Narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku (UU No. 5 tahun 1997

tentang Psikotropika).
Psikotropika dibedakan dalam empat

golongan, yaitu :
1. Psikotropika golongan I
Psikotropika yang hanya digunakan untuk

kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak

digunakan dalam terapi serta mempunyai

potensi amat kuat mengakibatkan

sindroma ketergantungan. (Contohnya :

ekstasi, sabu-sabu, LSD).


2. Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan dapat digunakan dalam

terapi atau tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi kuat mengakibatkan

sindroma ketergantungan (Contoh :

Amfetamin, metilfenidat atau Ritalin).


3. Psikotropika golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi atau

juga untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi sedang

mengakibatkan sindroma ketergantungan

(Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam)


4. Psikotropika golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan

dan sangat luas digunakan dalam terapi

atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan dapat


mengakibatkan syndrome ketergantungan

(Contoh : diazepam, bromazepam,

fenobarbital, klonazepam,

klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil

BK, pil koplo, Rohip, Dum, MG)


2.1.3.3 Zat Adiktif
Zat adiktif adalah suatu bahan atau zat

yang apabila digunakan dapat

menimbulkan ketergantungan atau

kecanduan.
2.1.3.4 Zat Psikoaktif
Zat psikoaktif merupakan zat yang bekerja

secara selektif, terutama pada otak

sehingga dapat menimbulkan perubahan

pada perilaku, kognitif, persepsi dan

emosi.
2.1.4 Rentang Respon
Rentang respon ini berfluktuasi mulai dari

kondisi yang ringan sampai berat. Indikator dari

rentang respon berdasarkan perilaku yang

ditampakkan oleh remaja dengan

gannguanpenggunaan zat adiktif.

Respon Respon
Mal adaptif
adaptif
Eksperime Rekreasi Situasio Penyalahgu ketergantu

ntal onal nal naan ngan

Gambar 2.1 rentang respon penggunaan zat

adaptif
1. Penggunaan zat adiktif secar eksperimental

adalah kondisi penggunaan tahap awal,

disebabkan rasa ingin tahu, ingin memiliki,

pengalaman yang baru atau sering dikatakan

pada tahap coba-coba.


2. Penggunaan zat adiktif secara rekreasional

adalah menggunakan zat adiktif saat kumpul

bersama teman sebaya, yang bertujuan untuk

rekreasi bersama teman sebaya.


3. Penggunaan zat secara situasional adalah

orang yang menggunakan zat mempunyai

tujuan tertentu secara individual, sudah

merupakan kebutuhan dirinya sendiri, sering

kali penggunaan zat ini digunakan untuk

melarikan diri dalam menghadapi masalahnya.

Biasanya digunakan saat terjadinya konflik,

stress atau frustasi.


4. Penyalahgunaan zat adiktif adalah

penggunaan zat yang sudah bersifat patologis,

sudah mulai digunakan secara rutin, paling

tidak sudah dilakukan selama satu bulan, dan


terjadi penyimpangan perilaku serta

mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan

sosial dan pendidikan.


5. Ketergantungan zat adiktif adalah penggunaan

zat yang cukup berat sudah terjadi

ketergantungan fisik dan psikologis.

Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya

toleransi dan sindroma putus zat. Sindroma

putus zat adalah suatu kondisi yang apabila

orang menggunakan secar rutin, pada dosis

tertentu berhenti menggunakan atau

menurunkan jumlah zat yang biasa digunakan,

sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.


2.1.5 Dampak Penggunaan Narkoba
Bila narkotika digunakan secara terus

menerus atau melebihi takaran yang telah

ditentukan dapat mengakibatkan

ketergantungan. Ketergantungan atau kecanduan

inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik

dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada

sistem syaraf pusat dan organ-organ tubuh

seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal.

Dampak penyalahgunaan narkotika pada

seseorang sangat tergantung pada jenis narkotika


yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi

atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak

kecanduan narkotika dapat terlihat pada fisik,

psikis maupun sosial seseorang (BNN, 2012).


2.1.5.1 Dampak Fisik :
1) Gangguan pada system syaraf

(neurologis) seperti: kejang-kejang,

halusinasi, gangguan kesadaran,

kerusakan syaraf tepi


2) Gangguan pada jantung dan pembuluh

darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi

akut otot jantung, gangguan peredaran

darah
3) Gangguan pada kulit (dermatologis)

seperti: penanahan (abses), alergi, eksim.


4) Gangguan pada paru-paru (pulmoner)

seperti: penekanan fungsi pernapasan,

kesukaran bernafas, pengerasan jaringan

paru-paru.
5) Sering sakit kepala, mual-mual dan

muntah, murus-murus, suhu tubuh

meningkat, pengecilan hati dan sulit

tidur.
6) Dampak terhadap kesehatan reproduksi

adalah gangguan pada endokrin, seperti:

penurunan fungsi hormon reproduksi


(estrogen, progesteron, testosteron),

serta gangguan fungsi seksual.


7) Dampak terhadap kesehatan reproduksi

pada remaja perempuan antara lain

perubahan periode menstruasi,

ketidakteraturan menstruasi, dan

amenorhoe (tidak haid).


8) Bagi pengguna narkoba melalui jarum

suntik, khususnya pemakaian jarum

suntik secara bergantian, resikonya

adalah tertular penyakit seperti hepatitis

B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum

ada obatnya.
9) Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat

fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu

konsumsi narkotika melebihi kemampuan

tubuh untuk menerimanya. Over dosis

bisa menyebabkan kematian

2.1.5.2 Dampak Sosial :


1) Gangguan mental, anti-sosial dan asusila,

dikucilkan oleh lingkungan


2) Merepotkan dan menjadi beban keluarga
3) Pendidikan menjadi terganggu, masa

depan suram
4)Intoksikasi alkohol atau sedatif

hipnotik menimbulkan perubahan

pada kehidupan mental emosional

yang bermanifestasi pada gangguan

perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja

yang berat dan lama menimbulkan

sindrom amotivasional. Putus obat

golongan amfetamin dapat

menimbulkan depresi sampai bunuh

diri
2.1.5.3 Dampak Psikis :
1) Malas belajar, ceroboh, sering tegang

dan gelisah
2) Hilang kepercayaan diri, apatis,

pengkhayal, penuh curiga


3) Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku

yang brutal
4) Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan

tertekan
5) Menyebabkan gangguan jiwa berat /

psikotik.
6) Menyebabkan depresi mental.

2.1.6 Program Pengalihan Napza


Dalam hal ini, tingkatan layanan terapi

ketergantungan NAPZA dalam upaya mendukung


proses pemulihan cukup bervariasi, tergantung

dari derajat keparahan dan seberapa intensif

terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi

ketergantungan NAPZA antara lain adalah:

Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal, Terapi

terhadap Kondisi Emergensi, Terapi Gangguan

Diagnosis Ganda, Terapi Rawat Jalan (Ambulatory

atau Out-Patient Treatment), Terapi Residensi

(residential treatment), Terapi Pencegahan

Relaps, Terapi Pasca Perawatan (after care),

Terapi Substitusi (Substitution Therapy) (Dalam

Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).


Program pengalihan yang paling diakui, dan

telah berkali-kali diteliti secara mendalam adalah

pemeliharaan metadon.Program rumatan atau

pemeliharaan metadon yang berlangsung

sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih

lama lagi. Terapi substitusi terutama ditunjukkan

kepada pasien ketergantungan opioida. Substitusi

yang digunakan dapat bersifat methadone,

buphrenorphine atau naltrexone. Methadone

Maintenance Therapy (MMT), sering disebut

Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling


umum dijalankan (Dalam lampiran Keputusan

Menteri Kesehatan, 2006).

2.2Konsep Metadon
2.2.1 Pengertian Metadon
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, metadon

merupakan obat yang digolongkan dalam

narkotika golongan dua. Metadon merupakan suatu

agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap

dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka

panjang, digunakan secara orak dibawah supervisi

dokter dan digunakan untuk terapi bagi pengguna

opiate. Metadon bekerja pada reseptor mu (μ)

secara agonis penuh, dengan efek puncak 1-2 jam

setelah diminum.
Didalam Permenkes nomor 57 tahun (2013),

menyebutkan bahwa paruh waktu metadon pada

umumnya adalah sekitar 24 jam. Penggunaan

secara berkesinambungan akan diakumulasi pada

berbagai bagian tubuh, namun khususnya pada

hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi

alasan mengapa toleransi atas penggunaan

metadon berjalan lebih lambat daripada


penggunaan morfin atau heroin. Efek analgesik

dirasakan dalam 30-60 menit setelah diminum dan

terjadi konsentrasi puncak di otak dalam waktu 1-2

jam setelah diminum, hal ini membuat konsumsi

metadon tidak segera menimbulkan perasaan

euphoria sebagaimana heroin/morfin. Metadon

dilepas dari lokasi ikatan ekstra vascular ke

plasma secara perlahan, sehingga penghentian

penggunaan metadon secara mendadak tidak

langsung menghasilkan gejala putus zat. Gejala putus

zat baru akan dirasakan setelah beberapa waktu

kemudian dan dialami beberapa hari lebih lama

daripada gejala putus zat heroin.


2.2.2 Terapi Rumatan Metadon
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonersia Nomor :

494/MENKES/SK/VII/2006 tentang Penetapan

Rumah Sakit dan Satelin Uji Coba Pelayanan

Terapi Rumatan Metadon Serta Pedoman Program

Terapi Rumatan Metadon, Program Terapi Rumatan

Metadon (PTRM) adalah kegiatan memberikan

metadon cair dalam bentuk sediaan oral kepada

pasien sebagai terapi pengganti adiksi opioida yang

biasa mereka gunakan. Sedangkan menurut


Permenkes, (2013) terapi rumatan metadon adalah

salah satu terapi pengganti opiat (Opiate

Replacement Theraphy) yang diperlukan bagi

pecandu opiat untuk mengendalikan perilaku

ketergantungan dan juga sebagai salah satu upaya

pengurangan dampak buruk penularan HIV/ AIDS.


Metadon dipilih sebagai terapi utama

substitusi karena memiliki efek yang menyerupai

morfin dan kokain dengan masa kerja lebih panjang

sehingga dapat diberikan satu kali sehari yang

penggunaannya dengan cara diminum. Efek yang

ditimbulkan metadon mirip dengan yang ditimbulkan

heroin, namun efeknya tidak senikmat heroin, sifat

ketergantungannya tidak seburuk heroin dan gejala

putus obatnya tidak seberat heroin (BNN, 2008).

2.2.3 Tujuan Terapi Rumatan Metadon


Dalam Pedoman Pelaksanaan Pengurangan

Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat

Adiktif (Napza) disebutkan tujuan dari terapi rumatan

metadon adalah untuk mengurangi dampak buruk

kesehatan, sosial dan ekonomi bagi setiap orang

dan komunitas serta bukan untuk mengedarkan

napza. Selain itu tujuan yang lain adalah : (1)


penghentikan penggunaan napza ; (2) meningkatkan

kesehatan pengguna napza dengan menyediakan dan

memberikan terapi ketergantunagan napza serta

perawatan kesehatan secara umum ; (3) memberi

ruan untuk menanggani berbagai masalah lain

didalam hidupnya dan menciptakan jeda waktu dari

siklus harian membeli dan menggunakan napza; (4)

meningkatkan kualitas hidup pengguna napza suntik

baik secara psikologis, medis maupun sosial; (5)

menurunkan angka kematian karena ovedose dan

menurunkan angka kriminalitas (Kemenkes, 2006).


2.2.4 Komponen Metadon
Terapi substitusi metadon atau PTRM, memiliki

banyak komponen yang bertujuan untuk mengubah

perilaku pengguna berisiko menjadi kurang atau tidak

beresiko. Komponen dalam PTRM yaitu diantaranya

(1) Pemberian metadon; (2) Konseling, meliputi :

konseling adiksi, metadon, keluarga, kepatuhan

minum obat, kelompok dan VCT. Akses pelayanan

konseling harus berada di rumah sakit penyelenggara

metadon. Pasien dapat mengikuti konseling, jika

dianggap penting oleh tim. Konseling juga dapat

dirancang untuk mencakup beberapa hal, yaitu

berupa : (a) isu hukum, (b) ketrampilan hidup, (c)


mengatasi stress, (d) mengidentifikasi dan mengobati

gangguan mental lain yang terdapat bersama, (e) isu

tentang penyalahgunaan fisik, seksual dan emosional,

(f) menjadi orang tua dan konseling keluarga, (g)

pendidikan tentang dampak buruk, (h) berhenti

menyalahgunakan narkoba atau psikotropika dan

pencegahan kambuh, (i) perubahan perilaku berisiko

dan pemeriksaan HIV / AIDS, (j) isu tentang

perjalanan lanjut penggunaan metadon dan aspek

yang terkait dengannya, (k) pemberi layanan

konseling harus seorang konselor profesional yang

sudah terlatih ; (3) pertemuan keluarga (PKMRS :

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit); (4)

program pencegahan kekambuhan (Relapse

Prevention Program) (Kemenkes, 2006).


2.2.5 Farmakologi Metadon
Menurut Katzung (2012), metadon adalah

sintetis opioid, dengan daya kerja yang panjang serta

efek farmakologisnya mirip dengan morfin, tetapi

kurang menyebabkan euforia dan memiliki masa kerja

yang lebih panjang. Pemberian metadon dapat melalui

oral dan parental serta bekerja pada agonus (μ) -

reseptor yang menyerupai kerja opioid, enkephalins,

dan endorfin serta mempengaruhi pelepasan


neurotransmitter seperti asetilkolin, norepinefrin,

substansi nyeri dan dopamin. Metadon digunakan

untuk analgesik, antitusif, sedasi, penurunan motilitas

usus, regulasi hormon dan peningkatan prolaktin

serta hormon pertumbuhan, mual dan hipotensi.

Pasien mengembangkan toleransi dan

ketergantungan fisik berikut penggunaan berulang.

Toleransi mungkin terjadi, gejala putus terdiri dari

lakrimasi, rhinorrhea, bersin, hal ini terjadi pada saat

penghentian metadon secara mendadak.

2.2.6 Dosis Metadon

Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30

mg untuk tiga hari pertama. Kematian sering

kali terjadi bila menggunakan dosis awal yang

melebihi 40 mg. pasien harus diobservasi 45 menit

setelah pemberian dosis awal untuk memantau

tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika

terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat,

maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan

keadaan (Kepmenkes Nomor

494/MENKES/SK/VII/2006).

2.2.7 Tahap Rumatan


Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per

hari. Dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan

setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan

pasien. Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya

yang menjadi pertimbangan penyesuaian dosis. Fase

ini dapat berjalan bertahun-tahun sampai perilaku

stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi maupun

kehidupan sosial (Permenkes RI, 2013).

2.2.8 Efek Samping

Penelitian menunjukkan bahwa efek

samping metadon adalah sedasi, konstipasi,

berkeringat, kadang-kadang adanya pembesaran

(oedema) persendian pada perempuan dan

perubahan libido pada laki-laki dan juga perempuan,

yang dapat diatasi dengan medika simtomatik. Efek

samping yang umumnya dirasakan dalam waktu

lama adalah konstipasi, berkeringat secara

berlebihan dan keluhan berkurangnya libido dan

disfungsi seksual. Namun demikian efek samping

ini dilaporkan semakin dapat diatasi seiring dengan

retensi pasien berada dalam program (Permenkes

Nomor 57 Tahun 2013).

2.3Konsep Kepatuhan
2.3.1 Pengertian

Menurut Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional (dalam Pratiwi, 2012), “

kepatuahan berasal dari kata patuh yang berati suka

menurut, taat, berdisiplin ”. Sedangkan kepatuhan

sendiri berarti sifat patuh, ketaatan. Chaplin dalam

Pratiwi (2012) mendefinisikan kepatuhan

(submissiveness) sebagai suatu sikap yang

mengarahkan seseorang untuk mencari dan

menerima dominasi orang lain. Kepatuhan atau

kepatuhan adalah sebagai tingkat pasien

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang

dirasakan oleh dokternya atau orang lain (Smeet

250, dalam Pratiwi 2012).

Kepatuhan (adherence) merupakan suatu

bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi

antara petugas kesehatan dengan pasian, sehingga

pasien mengerti rencana dengan segala

konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut

serta melakukannya (Kemenkes, 2011). Kepatuhan

sering digunakan dalam istilah program terapeutik,

menggambarkan perilaku yang menunjukan

seseorang akan merubah perilakunya atau patuh


karena mereka diminta seperti itu (Smeltzer, et al.

2002).

Kepatuhan dalam program kesehatan

merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan

dengan begitu dapat langsung diukur. Kepatuhan

maupun ketaatan (adherence) mengacu pada

kemampuan untuk mempertahankan program-

program yang berkaitan dengan promosi kesehatan.

Kepatuhan adalah suatu perubahan perilaku dari

tingkah laku yang tidak mentaati peraturan ke

tingkah laku yang mentaati peraturan (Notoatmodjo,

2003).

2.3.2 Jenis – Jenis Kepatuhan

Menurut Cremer, et al (2008) kepatuhan

dibagi menjadi dua, (1) Kepatuhan penuh (Total

Complience) pada keadaan ini individu patuh

terhadap saran yang telah ditentukan bersama

dengan petugas kesehatan dalam batas waktu yang

telah ditentukan, (2) Tidak patuh (Non Complience)

pada keadaan ini individu tidak menjalankan saran

yang telah diberikan oleh petugas kesehatan dan

tidak menyetujui hal itu.

2.3.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Menurut Brannon & Feist dalam (Pratiwi,

2012), faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien

antara lain, (1) karakteristik penyakit yang diderita,

terdiri dari efek samping dari penanganan medis,

jangka waktu perawatan, kompleksitas perawatan,

(2) karakteristik personal, terdiri dari : usia, gender,

dukungan sosial keluarga, kepribadian (personal

traits), personal beliefs, (3) norma budaya, (4)

interaksi antara pasien dan dokter, terdiri dari :

komunikasi verbal, karakteristik personal dokter,

jumlah waktu menunggu.

2.3.4 Indikator Kepatuhan

Federich mengatakan bahwa kepatuhan kepada

otoritas terjadi hanya jika perintah dilegitimasi dalam

konteks norma dan nilai-nilai kelompok (dalam

Umami, 2010). Di dalam kepatuhan terdapat tiga

bentuk perilaku yaitu : (1) Konformitas (conformity),

konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di

mana individu mengubah sikap dan tingkah laku

mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

(2) Penerimaan (compliance), penerimaaan adalah

kecenderungan orang mau dipengaruhi oleh

komunikasi persuasif dari orang yang


berpengatuan luas atau orang yang disukai. Dan

juga merupakan tindakan yang dilakukan dengan

senang hati karena percaya terhadap tekanan

atau norma sosial dalam kelompok atau masyarakat.

(3) Ketaatan (obedience), ketaatan merupakan

suatu bentuk perilaku menyerahkan diri

sepenuhnya pada pihak yang memiliki wewenang,

bukan terletak pada kemarahan atau agresi yang

meningkat, tetapi lebih pada bentuk hubungan

mereka dengan pihak yang berwenang.

Sedangkan Sarwono dan Meinarno (2011)

membagi kepatuhan dalam tiga bentuk perilaku

yaitu : (1) Konformitas (conformity), yaitu individu

mengubah sikap dan tingkah lakunya agar

tindakannya sesuai dan diterima dengan tuntutan

sosial. (2) Penerimaan (compliance) yaitu individu

melakukan sesuatu atas permintaan orang lain yang

diakui otoritasnya. (3) Ketaatan (obedience) yaitu

individu melakukan tingkah laku atas perintah orang

lain. Seseorang mentaati dan mematuhi permintaan

orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu

karena ada unsur power.


Dari uraian indikator kepatuhan beberapa ahli

di atas, peneliti memilih bentuk-bentuk perilaku

patuh kepada norma sosial oleh Sarwono dan

Meinarno (2011) yaitu conformity (konformitas),

compliance (penerimaan) dan obedience (ketaatan)

karena indikator diatas berlaku secara umum.

2.3.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi

Ketidakpatuhan

(1) Pemahaman tentang Instruksi, tidak

seorangpun dapat memahami instruksi jika

melakukan kesalahan yang diberikan padanya.

Kualitas informasi yang diberikan juga dapat

berpengaruh terhadap pemahaman individu terkait

dengan instruksi yan diberikan, informasi yang

lengkap, penggunaan istilah-istilah yang asing bagi

individu, dan banyaknya instruksi yang harus diingat

oleh individu, (2) Kualitas interaksi, kualitas

interaksi antar professional kesehatan dan individu

merupakan bagian yang penting dalam menentukan

derajat kepatuhan, (3) Isolasi sosial dari keluarga,

keluarga merupakan faktor yang sangat

berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai


kesehatan individu serta dapat juga menentukan

prioritas tindakan, (4) Keyakinan, sikap dan

kepribadian, model keyakinan kesehatan berguna

untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

2.3.6 Strategi Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Cremer, et al (2008), berbagai

strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan

adalah : (1) Dukungan professional kesehatan,

dukungan professional kesehatan sangat diperlukan

untuk meningkatkan kepatuhan, misalnya suatu hal

dukungan yang palin sederhana adalah dengan

adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang

peranan penting, karena komunikasi yang baik

diberikan oleh professional kesehatan baik dokter /

perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien,

(2) Dukungan sosial keluarga, dukungan yang

dimaksud adalah keluarga para professional

kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien

untuk menujang peningkatan kesehatan pasien,

maka ketidakpatuhan dapat dikurangi, (3) Perilaku

sehat, memodifikasi perilaku sehat sangat


diperlukan. Untuk pasien penggunaan narkoba

suntik diantaranya adalah tentang bagaimana cara

untuk menghindari akibat yang lebih berat, lebih

lanjut apabila tetap menggunakan narkoba suntik.

Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur

atau minum obat sangat perlu bagi pasien, (4)

Pemberian informasi, pemberian informasi yang

jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit

yang dideritanya serta cara mengobatinya.

2.3.7 Kepatuhan Terapi Metadon

Hilangnya toleransi terhadap opiad yang

secara klinis jelas dapat terjadi apabila pasien tidak

mengkonsumsi metadon walaupun hanya 3 (tiga)

hari. Dokter memeberikan dosis kembali ke dosis

awal atau 50% dari dosis yang terakhir diberikan.

Re-evaluasi klinik harus dilakukan. Jika pasien tidak

datang lebih dari 4 hari, maka dikembalikan pada

dosis awal. Bila pasien tidak datang lebih dari 3-6

bulan, maka pasien dinilai sebagai pasien baru

(Menkes RI, 2006).

Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30 mg

untuk tiga hari pertama. Kematian sering terjadi bila

menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg.


pasien harus diobservasi selama 45 menit setelah

pemberian dosis awal untuk meamantau tanda-tanda

toksisitas atau tanda putus obat. Jika terdapat

intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis

akan dimodifikasi dengan sesuai dengan keadaan.

Berdasarkan kebijakan (Menkes RI, 2006),

menyebutkan bahwa pemberian obat untuk dibawa

pulang dapat diberikan untuk paling lama tiga hari,

jika memenuhi kriteria yang harus dinilai oleh

dokter. Bila lebih dari tiga hari, harus dengan alasan

yang kuat. Untuk dosis yang terlewat, dapat terjadi

apabila pasien tidak mengkonsumsi metadon

walaupun hanya 3 (tiga) hari. Jika pasien tidak

datang selama 3 hari berturut-turut ke PTRM , maka

perawat atau petugas sosial harus segera

melaporkan ke petugas dokter yang bertugas serta

meminta pasien untuk mengunjungi dokter. Dokter

akan memberikan dosis awal atau 50% dari dosis

yang terakhir diberikan. Re-evaluasi klinik harus

dilakukan bila pasien tidak dating lebih dari 4 hari

maka dikembalikan pada dosis awal.

2.3.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga faktor,

yaitu : faktor pemudah, faktor pemungkin dan faktor

penguat.

2.3.8.1 Faktor Pemudah

2.3.8.1.1 Tingkat Pendidikan

Pedidikan merupakan suatu proses perubahan

perilaku menuju kearah kedewasaan dan

penyempunaan kehidupan manusia. Pendidikan

merupakan suatu kegiatan atau usaha untuk

meningkatkan kepribadian dengan jalan membina

potensi pribadinya, yang berupa jasmani dan

rohani.

2.3.8.1.2 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan

ini terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007)

2.3.8.1.3 Motivasi

Menurut Daft dan Marcic (2008) motivasi

adalah kekuatan yang membangkitkan semangat

dan ketekunan untuk mengejar tindakan tertentu.

Aspek-aspek motivasi meliputi sikap positive, yang


berorientasi pada pencapaian satu tujuan dan

kekuatan yang mendorong pasien.

2.3.8.1.4 Status Pekerjaan

Seseorang yang melakukan suatu pekerjaan

guna untuk menghasilkan barang atau jasa dalam

memenuhi kebutuhan. Bekerja merupakan sesuatu

yang dilakukan minimal 7 jam per hari (6 hari

kerja) atau 8 jam per hari (5 hari kerja) untuk

mendapatkan nafkah (Panji Anoraga, 2005).

2.3.8.2 Faktor Pemungkin

2.3.8.2.1 Jarak Pelayanan

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang

diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama

dalam suatu organisasi untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit serta memulihkan

kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan

atupun masyarakat (Depkes RI, 2009).

Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan

seperti puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya,

seringkali kesalahan atau penyebabnya

dilimpahkan pada faktor jarak antara fasilitas


kesehatan dengan masyarakat terlalu jauh

(Notoatmodjo, 2003)

2.3.8.2.2 Biaya Pengobatan

Biaya pengobatan merupakan banyaknya uang

yang digunakan seseorang untuk melakukan

pengobatan yang dideritanya. Kemampuan masing-

masing orang untuk mengeluarkan biaya

pengobatan berbeda, dipengaruhi olejh

kemampuan ekonomi keluarga. Persepsi seseoran

terhadap biaya pengobatan mempengarui

kepatuhan dalam menjalani terapi metadon.

2.3.8.2.3 Efek Samping Obat

Efek samping obat merupakan suatu efek

fisiologis yang sama sekali tidak berhubungan atau

tidak brkaitan dengan efek obat yang diinginkan.

Semua jenis obat selalu memiliki efek samping,

baik itu efek yang diinginkan ataupun sebaliknya.

Bahkan ironisnya dengan dosis obat yang tepatpun

, efek samping bisa terjadi.

2.3.8.2.4 Pelayanan Petugas Kesehatan

Menurut Munijaya (2004) Petugas kesehatan

adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan kesehatan kepada individu,


keluarga dan masyarakat. Petugas kesehatan

berdasarkan pekerjaannya adalah tenaga medis,

dan tenaga paramedis seperti tenaga keperawatan,

tenaga kebidanan, tenaga penunjang medis dan

lain sebagainya. Ada dua aspek mutu pelayanan

kesehatan yang perlu dilakukan di puskesmas yaitu

quality of care dan quality of service. Quality of

care antara lain menyangkut keterampilan tehnis

petugas kesehatan (dokter, bidan, perawat atau

paramedis lain) dalam menegakkan diagnosis dan

memberikan perawatan kepada pasien.

2.3.8.3 Faktor Penguat

2.3.8.3.1 Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga menurut Friedman (2010)

adalah sikap, tindakan penerimaan keluarga

terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan

informasional, dukungan penilaian, dukungan

instrumental dan dukungan emosional. Jadi

dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan

interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan

penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga

anggota keluarga merasa ada yang

memperhatikan.
2.3.8.3.1 Dukungan Teman dalam Pelaksanan

Terapi

Dukungan sosial adalah informasi atau umpan

balik dari orang lain yang menunjukan bahwa

seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai,

dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan

komunikasi serta kewajiban yang timbal balik

(King, 2012). Sedangkan menurut Ganster, dkk.,

(dalam Apollo & Cahyadi, 2012) menyebutkan

bahwa dukungan sosial adalah tersedianya

hubungan sosial yang bersfat menolong dan

mempunyai nilai khusus bagi individu yang

menerimanya.

2.4 Relapse

2.4.1 Pengertian Relapse

Dalam dinamika kecanduan, harus dibedakan antara

lapse dan relapse. Lapse (slip) adalah kembalinya pola

tingkah laku pecandu yang sangat sulit terdeteksi.

Diperlukan kepekaan melihat perubahan perilaku pecandu

yang sedang dalam masa pemulihan. Pecandu sendiri

biasanya mengalami pergumulan dalam mengantisipasi

kembalinya perilaku adiksinya itu. Relapse adalah masa


pengguna kembali memakai narkoba. Itu proses yang

berkembang pada penggunaan kembali narkoba yang

merupakan kejadian paling akhir dalam satu rangkaian

panjang yang berupa respons kegagalan beradaptasi

(maladaptive) terhadap stressor atau stimuli internal dan

eksternal. Pada kondisi itu pecandu menjadi tidak mampu

menghadapi kehidupan secara wajar. Relapse dapat timbul

karena pecandu dipengaruhi kejadian masa lampau baik

secara psikologis maupun fisik. Lapse dan relapse

biasanya dipicu suatu dorongan yang demikian kuat

(craving). Dalam bahasa pecandu keadaan itu disebut

sebagai “sugesti” sehingga pecandu sepertinya tidak

kuasa menahan dorongan dorongan tersebut (Kamus BNN,

2010)

Penggunaan kembali narkoba yang tidak terkontrol

setelah masa treatment. Kebanyakan pecandu relapse

setelah 1 tahun masa treatment. Definisi relapse (Kamus

BNN, 2010) adalah mantan pengguna narkoba yang sudah

sempat “bersih” namun kembali mengkonsumsi narkoba.

2.4.2 Tanda-tanda Relapse

Relapse dapat diidentifikasikan dengan munculnya

tanda-tanda sebagai berikut :


2.4.1.1 Perasaan

Merasa bersalah, ketakutan, penolakan,

kebingungan, marah, tidak nyaman

(uncomfortable), kesepian, kebosanan,

perasaan tidak aman, merasa tidak dipercaya,

merasa sakit hati, merasa tidak mampu.

Perasaan-perasaan yang timbul tersebut,

dapat memicu klien untuk menggunakan

narkoba kembali.

2.4.1.2 Pikiran

Rasionalisasi, keyakinan yang salah

tentang “use/relapse”, menggunakan hanya

sekali-kali, sikap menjauhi recovery, mengubah

suasana hati/mood dengan menggunakan

alkohol/obat-obatan, perasaan rendah diri

(inferiority complex), alasan menggunakan

untuk menutupi perasaan tidak nyaman

(discomfort). Pikiran seperti itu muncul,

sehingga membuat klien untuk mengkonsumsi

narkoba kembali.

2.4.1.3 Perilaku

Isolasi, tingkah laku menarik diri,

berkhayal untuk menghindari diri sendiri


kenyataan yang tidak menyenangkan

(escapism), mengasihani diri sendiri (self pity),

berbohong, penolakan (denial), malas,

defensive, sombong/congkak, tingkah laku

menghindar (avoidance), sering mengeluh,

complacent. Ciri-ciri tingkah laku seperti ini

muncul kembali pada pengguna, untuk

mendapatkan narkoba sehingga dapat di

konsumsi kembali (Kamus BNN, 2010).

2.4.3 Faktor Penentu Terjadinya Relapse

Di Indonesia angka kambuh (relapse) pada pecandu

yang telah selesai mengikuti program terapi dan

rehabilitasi mencapai 90%. Hal ini merupakan suatu

keadaan yang merugikan bagi pecandu, keluarga dan

masyarakat pada umumnya. Di Amerika Serikat

(California), Profesor George Koob MD, seorang ahli

neufarmakologi, mempunyai estimasi bahwa 80% dari

pecandu yang melewati masa detoksifikasi akan kembali

menggunakan narkoba.

Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya relapse, yaitu : (1) sesuatu yang mengingatkan

pecandu pada narkoba yang biasa dipakainya (misalnya,

momen tertentu, situasi, suara, bau, pikiran tentang


narkoba, atau mimpi tentang narkoba), (2) status emosi

yang negative atau mengalami stres, (3) status emosi yang

riang gembira, (4) tidak adanya aktivitas, (5) perasaan

rendah diri atau direndahkan, (6) bergaul karib dengan

pecandu aktif, (7) pada saat craving terjadi, biasanya

diperberat dengan aktivitas mekanisme pertahanan

mental (denial, rasionalisasi, proyeksi) sehingga akhirnya

pecandu memutuskan kembali untuk berperilaku adiksi

atau kembali menggunakan narkoba.

Sedangkan menurut Marlatt & Donovan(2003)

dalam Husin (2008), ada beberapa faktor yang

menentukan terjadinya relapse pada diri mantan pecandu

narkoba, yaitu : yang pertama faktor intrapersonal, berupa

(1) selff efficacy (keyakinan diri), (2) outcomes expectancy

(hasil yang diharapkan), (3) motivation (motivasi), (4)

coping (penanganan), (5) emotional states (keadaan

emosi), (6) Craving (kecanduan). Yang kedua adalah faktor

imterpersonal (social support).

Anda mungkin juga menyukai