Anda di halaman 1dari 6

AKUNTABILITAS PADA ORGANISASI PERIBADATAN, PENTINGKAH?

Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang akuntabilitas pada organisasi peribadatan dan
bagaimana penerapannya, tentu perlu menjawab terlebih dahulu terkait apakah akuntabilitas
penting dan diperlukan pada organisasi peribadatan? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada
dalam ajaran agama itu sendiri. Bukankah setiap manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya atas setiap tindakannya di dunia nanti pada saat menghadap
Tuhannya? Dalam kitab suci juga mengajarkan adanya kegiatan jual-beli, utang-piutang, dan
sewa-menyewa. Kegiatan-kegiatan tersebut mensiratkan perlunya sistem pencatatan yang
baik agar transaksi-transaksi tersebut dapat berjalan dengan jujur dan adil. Jadi, dalam agama,
sistem pencatatan sebenarnya telah diperintahkan, meskipun secara implisit, dengan tujuan
kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak atau lebih yang memiliki
hubungan dengan manusia lain atau umat lain. Dalam bahasa akuntansi, perintah tersebut
diinterpretasikan sebagai akuntabilitas atau pertanggungjawaban.

Bagaimana pola akuntabilitas pada organisasi peribadatan? Pada organisasi publik


termasuk organisasi keagamaan, pengelola (pengurus dan pengawas) organisasi bertanggung
jawab kepada umat atau pengikut agama yang disampaikan dalam sebuah pertemuan
perwakilan umat/warga atau rapat dengan warga masyarakat yang menggunakan organisasi
keagamaan. Pertemuan ini diadakan secara berkala atau dalam waktu tertentu.

Dalam konteks organisasi masjid, pengelolaan keuangan dan administrasi merupakan


hal yang penting dalam mengelola masjid (Ayub, 1996). Kalau pengelolaan keuangan masjid
dapat dilaksanakan dengan baik, itu pertanda pengurus masjid adalah orang yang dapat
dipercaya dan bertanggung jawab. Akan tetapi, kalau pengelolaan keuangan dilaksanakan
dengan tidak baik, maka akan berakibat timbulnya fitnah dan pengurusnya akan dinilai
sebagai orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak bertanggung jawab.

Pola pertanggungjawaban di organisasi keagamaan dapat bersifat vertikal maupun


horizontal. Pertanggungjawaban vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana
kepada otoritas yang lebih tinggi, seperti kepada pembina apabila organisasi keagamaan
tersebut memakai sistem struktural. Dengan kata lain, dalam konteks yang lebih jauh lagi,
pertanggungjawaban secara vertikal dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban kepada
Tuhan, meskipun tidak ada dalam bentuk materi maupun fisik. Namun, agama mengajarkan
bahwa setiap tindakan manusia nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Hal
ini dapat menimbulkan motivasi intrinsik seseorang untuk menyusun laporan
pertanggungjawaban secara jujur, benar, objektif, dan adil. Dengan menyusun
pertanggungjawaban yang baik akan memberikan ketenangan batin pada pengurusnya

Sedangkan pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada


masyarakat luas, khususnya pengguna atau penerima layanan organisasi keagamaan yang
bersangkutan. Apabila seseorang mengabaikan pola pertanggungjawaban horizontal ini akan
berdampak pada tidak percayanya masyarakat terhadap pengurus dan timbul fitnah di
masyarakat. Kedua pola pertanggungjawaban tersebut merupakan elemen penting dari proses
akuntabilitas publik. Pertanggungjawaban manajemen merupakan bagian terpenting untuk
menciptakan kredibilitas manajemen organisasi keagamaan. Tidak dipenuhinya prinsip
pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas.

Di beberapa masjid, kebiasaan menyusun dan membuat laporan pertanggungjawaban


yang tertib dan teratur berjalan dengan baik. Laporan pertanggungjawaban itu biasanya
berupa laporan keuangan sederhana dan laporan atas suatu aktivitas atau kegiatan tertentu,
seperti kegiatan penyembelihan dan pendistribusian hewan kurban. Laporan itu biasanya
dilaporkan sekali dalam sebulan yang biasanya disampaikan pada waktu salat Jumat.

Pengurus masjid yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya tentunya tidak akan
melalaikan tugasnya. Apalagi, jika diingat bahwa keuangan masjid diperoleh dari sedekah
jamaah. Tanpa pertanggungjawaban keuangan yang jelas dan rinci, otomatis nama baik
pengurus berhadapan dengan risiko yang tinggi. Selain itu, citra masjid bisa saja ikut
tercemar. Memelihara citra masjid memang tidak mudah, dan mengingat manusia memiliki
banyak kelemahan (khilaf dan salah), tak terkecuali jamaah dan para pengurus masjid. Oleh
karena itu, akuntabilitas penting dalam organisasi masjid dan harus dijalankan dengan baik.

PERAN STRATEGIS AKUNTANSI DALAM ORGANISASI PERIBADATAN

Pada subbab sebelumnya, dijelaskan bahwa akuntabilitas penting bagi organisasi


masjid dan harus dijalankan dengan baik. Untuk menciptakan akuntabilitas yang baik
diperlukan sistem pencatatan yang baik dan tertib. Akuntansi merupakan aktivitas mencatat,
mengidentifikasi. mengklasifikasi, dan mengolah transaksi dari suatu organisasi yang dapat
menghasilkan informasi keuangan yang menggambarkan kondisi organisasi tersebut.
Sehingga untuk menciptakan akuntabilitas yang baik diperlukan sistem akuntansi yang baik
pula. Selain untuk akuntabilitas, akuntansi juga bertujuan untuk pengendalian manajemen,
dari mulai tahap perencanaan sampai ke tahap pelaksanaan, serta bermanfaat untuk
penyediaan informasi yang andal dan relevan.

Sistem akuntansi dapat menghasilkan informasi yang berguna, baik bagi manajemen
maupun pihak eksternal. Bagi manajemen, informasi akuntansi dapat digunakan sebagai
dasar mengalokasikan dana yang diperoleh dan menentukan nilai ekonomis aktivitas-aktivitas
yang ada dalam organisasi peribadatan. Sedangkan, bagi pihak eksternal, akuntansi dapat
dijadikan untuk menilai pertanggungjawaban atas dana yang dikelola oleh pengurus masjid.

Seberapa berguna informasi akuntansi bagi pengelola atau pengurus masjid? Manfaat
yang dihasilkan oleh informasi akuntansi akan memengaruhi seberapa strategisnya peranan
akuntansi dalam pengelolaan organisasi masjid. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa organisasi keagamaan selain bertujuan untuk melayani peribadatan umat, juga
memiliki tujuan keuangan. Tujuan keuangan ini akan menjadi pendukung dan penunjang
tercapainya tujuan utama organisasi keagamaan, yaitu melayani ritual ibadah umat di dalam
tempat ibadah, dan tujuan lainnya, seperti tujuan untuk mencerdaskan umat. Untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut pasti diperlukan pembiayaan atau pendanaan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Tujuan utama didirikannya masjid adalah untuk menjadi pusat ritual ibadah umat
muslim seperti sholat berjamaah, sholat Jum'at, pengajian rutin dan berdzikir. Untuk
mendukung tujuan tersebut aspek kebersihan harus diperhatikan. Kebersihan menurut Islam
adalah yang suci dari najis dan bagi orang yang beribadah, selain suci dari najis, juga suci
dari hadats besar dan kecil. Setiap masjid pasti memiliki fasilitas untuk bersuci, yaitu tempat
wudlu dan kamar mandi yang antara pengunjung laki-laki dan perempuan harus dipisah.
Untuk menjamin kebersihan masjid dan fasilitas lainnya yang juga memenuhi syariat Islam,
perlu kiranya pengurus membuat Standar Pelayanan (seperti halnya Standar Pelayanan
Minimal atau SPM di pemerintah daerah) untuk kebersihan dan kesucian masjid. Standar
pelayanan tersebut mensyaratkan adanya standar belanja atau standar biaya. Dengan adanya
standar biaya dan standar pelayanan, efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan masjid
dapat diukur secara akurat dan terpercaya. Dalam konteks ini, akuntansi dapat membantu dan
mempermudah pengelola atau pengurus masjid untuk menyusun laporan pertanggungjawaban
yang akurat dan dapat dipercaya. Apabila laporan yang dihasilkan akurat dan dapat
dipercaya, maka akan memberikan ketenangan batin bagi pengurusnya terkait
pertanggungjawabannya kelak, di hadapan Tuhan maupun kepada umat muslim.

Akuntansi dapat juga dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan fungsi dan peran
masjid selain untuk tempat peribadatan. Misalnya, untuk peran mencerdaskan umat. Pengurus
masjid dapat menyelenggarakan pendidikan agama bagi masyarakat sekitarnya. Untuk
menarik minat masyarakat mau belajar agama ke masjid (atau untuk mengaji ke masjid) perlu
sumber daya pengajar yang berkualitas dan pengembangan metode-metode pendidikan yang
menarik dan modern, sehingga masjid menjadi pusat pendidikan agama. Tentu untuk
mewujudkan hal itu diperlukan dana yang tidak sedikit. Dengan akuntansi, maka dapat
ditentukan secara akurat berapa dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan ibadah rutin
masjid, dan berapa sisa dana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan dan fungsi
masjid selain ibdah ritual yang rutin. Dengan informasi akuntansi dapat dijadikan dasar untuk
mengembangkan fungsi masjid yang lainnya, seperti kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam konteks ini, akuntansi bermanfaat untuk menyusun perencanaan yang baik.
Perencanaan yang baik akan mampu menyinergikan antara tujuan dengan sumber daya
organisasi, sehingga dapat disusun prioritas dan target kinerjanya

Dengan pengaturan yang cermat, dana masjid tidak terbuang-buang dengan percuma.
Bahkan, deposit dana yang ada sedapat mungkin diusahakan berkembang. Dana itu
dimanfaatkan sesuai dengan prioritas dan rencana yang disusun. Dari dana yang tersedia
kegiatan ibadah dapat disemarakkan dengan kegiatan memakmurkan masjid dan muamalah
lainnya, seperti mendirikan sekolah, klinik atau rumah sakit; kegiatan sosial kemasyarakatan
dengan mendirikan koperasi, baitul maal, pertokoan, memberikan beasiswa kepada
masyarakar miskin, dan lain sebagainya. Jika masjid bergerak ke arah demikian berarti
pengurus masjid mampu memperkaya dimensi fungsi dan peran masjid menjadi pusat sosial,
pusat budaya dan pusat pendidikan

Akuntansi juga dapat sebagai alat pengendalian manajemen. Pengendalian


manajemen dimaksudkan untuk menjamin aktivitas organisasi sesuai dengan tujuan
organisasi yang hendak dicapai. Maksudnya adalah, akuntansi tidak hanya sebagai
pengendalian dalam tahap perencanaan saja, melainkan juga pengendalian pada tahap
pelaksanaan.

Dengan menerapkan sistem akuntansi yang baik, diharapkan akan tercipta


pengendalian internal yang baik pula. Sehingga, pengurus masjid tidak mudah untuk
melakukan penyimpangan, dari tujuan organisasi maupun penyimpangan karena adanya
faktor moral hazard. Apakah masih mungkin terjadi penyimpangan dalam mengelola dana
masjid? Bukankah mereka akan takut kepada balasan Tuhan nantinya, karena menggunakan
dana amal umat tidak sebagaimana mestinya? Apakah ancaman akan balasan Tuhan dan
pahala dari Tuhan sudah cukup untuk mengendalikan sikap dan tindakan para pengurus
masjid? Namun perlu disadari, bukankah manusia memiliki kelemahan berupa khilaf dan
lupa? Apakah manusia bisa melihat apa yang tersembunyi di balik manusia yang lain?
Apakah cukup dengan rasa saling percaya saja? Tentu, pertanyaan tersebut mengarah pada
perlunya sebuah alat yang tersistematis yang dapat menjamin dan membantu pengurus
mengelola keuangan dengan baik dan amanah. Oleh karena itu, akuntansi dapat membantu
pengelola masjid dalam memakmurkan masjid sehingga keberadaan masjid menjadi penting
dan memberikan manfaat besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Selain itu, akuntansi
dapat membantu pengelola untuk mengelola dana masjid secara lebih akuntabel, lebih
transparan, lebih amanah, dan akuntansi dalam organisasi masjid? lebih terarah (efektif dan
efisien).

IBADAH IMPLEMENTASI AKUNTANSI PADA ORGANISASI TEMPAT

Jika akuntansi dianggap penting untuk organisasi masjid, lalu bagaimana cara
mengimplementasikan akuntansi dalam organisasi keagamaan? Konsep akuntansi yang mana
yang cocok dengan organisasi keagamaan? Pada uraian di atas, dijelaskan bahwa organisasi
keagamaan atau organisasi tempat ibadah termasuk dalam kategori organisasi nirlaba. Untuk
itu perlakuan akuntansinya dan pelaporan keuangannya mengacu pada PSAK Nomor 45
tentang Standar Akuntansi untuk Entitas Nirlaba.

Ayub (1996) menyatakan bahwa faktanya laporan keuangan masjid masih dibuat
bentuk dua lajur, yaitu lajur pemasukan dan pengeluaran. Laporan keuangan masjid memuat
dari mana saja sumber dana diperoleh dan untuk apa saja dana tersebut dikeluarkan. Pada
setiap minggu atau akhir bulan kedua lajur tersebut kemudian dijumlahkan dan ditandingkan
sehingga menghasilkan selisih. Sering kali terjadi selisih plus, dan jarang sekali yang minus.
Namun, kenyataan yang ada saldo dana masjid semakin besar dan sering kali masih banyak
yang tidak dipergunakan. Padahal, apabila dimanfaatkan dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kesejahteraan umat. Agar pemanfaatannya benar, efektif dan efisien diperlukan
alat untuk menghasilkan informasi yang akurat dan relevan, yaitu sistem akuntansi.

Praktik pembukuan atau akuntansi yang ada masih menggunakan sistem tata buku
tunggal (single entry) dan berbasis kas. Ritonga (2010) menyebutkan single entry memiliki
kelemahan yaitu informasi yang dihasilkan tidak komprehensif dan tidak integral. Sehingga,
informasi yang parsial (sepotong-potong) tidak memadai untuk pengambilan keputusan yang
berguna. Sementara itu, basis kas memiliki kelemahan antara lain:
1. Informasi yang lebih kompleks tidak dapat dihasilkan.
2. Hanya terfokus pada aliran kas dan mengabaikan aliran sumber daya lain
3. Pertanggungjawaban kepada umat jadi terbatas hanya pada penggunaan kas dan tidak
pada sumber daya yang lain.

Jika dengan kualitas informasi yang demikian, apakah mungkin mengembangkan


masjid menjadi lebih berperan dan berfungsi selain untuk pelayanan ritual ibadah rutin umat
muslim? Untuk itu, sistem pembukuan yang diterapkan selama ini perlu diubah menjadi
sistem akuntansi berbasis akrual dan menggunakan double entry. Dengan begitu, informasi
yang dihasilkan dapat lebih berguna bagi pengambilan keputusan manajemen dan
pertanggungjawaban manajemen
Apalagi, perbedaan utama yang mendasar dengan organisasi swasta atau bisnis adalah
pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai
aktivitas operasionalnya. Organisasi yang memperoleh sumber daya dari sumbangan para
anggota dalam hal ini umat dan para penyumbang lainnya yang tidak mengharapkan imbalan
apapun dari organisasi tersebut. Menurut kondisi ini, transaksi yang jarang atau tidak akan
pernah terjadi dalam organisasi bisnis manapun, akan muncul dalam organisasi nirlaba.
Namun demikian, dalam praktik organisasi nirlaba, transaksi tersebut sering tampil dalam
berbagai bentuk.
Siklus akuntansi pada suatu entitas nirlaba dapat digambarkan pada Gambar 27.2

Buku Neraca Laporan


Jurnal Besar Lajur Keuangan
Bukti-bukti
Transaksi

Bukti
Tambahan

Tahap Perencanaan Tahap Pengikhtisaran Tahap Pelaporan

Gambar 27.2. Siklus Akuntansi

Pada umumnya, siklus akuntansi pada organisasi nirlaba termasuk organisasi masjid,
dikelompokkan dalam tiga tahap, adalah sebagai berikut.

1. Tahap pencatatan, terdiri dari kegiatan pengidentifikasian dan pengukuran dalam


bentuk transaksi dan buku pencatatan, kegiatan pencatatan bukti transaksi ke dalam
buku jurnal, dan memindahbukukan (posting) dari jurnal berdasarkan kelompok atau
jenisnya ke dalam akun buku besar.
2. Tahap pengikhtisaran, terdiri dari penyusunan neraca saldo berdasarkan akun-akun
buku besar, pembuatan ayat jurnal penyesuaian, penyusunan kertas kerja, pembuatan
ayat jurnal penutup, membuat neraca saldo setelah penutupan, membuat ayat jurnal
pembalik.
3. Tahap pelaporan, yang terdiri dari Laporan Surplus-Defisit, Laporan Arus Kas,
Neraca,dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Untuk dapat menjalankan siklus akuntansi tersebut dengan baik diperlukan sumber
daya manusia yang berkompeten dalam bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ayub (1996) bahwa untuk mengembalikan peran masjid dalam
masyarakat sebagaimana pada jaman Nabi Muhammad saw., maka perlu ada perubahan
dalam manajemen organisasi masjid, antara lain perlunya spesialisasi peran dalam
operasionalisasi organisasi masjid, dan perlu dijalankan oleh sumber daya manusia yang
berkompeten, terutama dalam bidang administrasi dan keuangan.

KESIMPULAN

Tempat ibadah sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk menjadi tempat beribadah ritual umat
beragama yang sifatnya rutin. Namun, apabila tempat ibadah dapat dikelola dengan konsep
organisasi yang modern dapat berkembang menjadi organisasi yang berperan dan berfungsi
melebihi tujuan utamanya, yaitu melayani peribadatan umat. Tujuan-tujuan yang sifatnya
sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan pengembangan budaya dapat dikembangkan melalui
organisasi tempat ibadah atau organisasi peribadatan atau organisasi keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai