Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang akuntabilitas pada organisasi peribadatan dan
bagaimana penerapannya, tentu perlu menjawab terlebih dahulu terkait apakah akuntabilitas
penting dan diperlukan pada organisasi peribadatan? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada
dalam ajaran agama itu sendiri. Bukankah setiap manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya atas setiap tindakannya di dunia nanti pada saat menghadap
Tuhannya? Dalam kitab suci juga mengajarkan adanya kegiatan jual-beli, utang-piutang, dan
sewa-menyewa. Kegiatan-kegiatan tersebut mensiratkan perlunya sistem pencatatan yang
baik agar transaksi-transaksi tersebut dapat berjalan dengan jujur dan adil. Jadi, dalam agama,
sistem pencatatan sebenarnya telah diperintahkan, meskipun secara implisit, dengan tujuan
kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak atau lebih yang memiliki
hubungan dengan manusia lain atau umat lain. Dalam bahasa akuntansi, perintah tersebut
diinterpretasikan sebagai akuntabilitas atau pertanggungjawaban.
Pengurus masjid yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya tentunya tidak akan
melalaikan tugasnya. Apalagi, jika diingat bahwa keuangan masjid diperoleh dari sedekah
jamaah. Tanpa pertanggungjawaban keuangan yang jelas dan rinci, otomatis nama baik
pengurus berhadapan dengan risiko yang tinggi. Selain itu, citra masjid bisa saja ikut
tercemar. Memelihara citra masjid memang tidak mudah, dan mengingat manusia memiliki
banyak kelemahan (khilaf dan salah), tak terkecuali jamaah dan para pengurus masjid. Oleh
karena itu, akuntabilitas penting dalam organisasi masjid dan harus dijalankan dengan baik.
Sistem akuntansi dapat menghasilkan informasi yang berguna, baik bagi manajemen
maupun pihak eksternal. Bagi manajemen, informasi akuntansi dapat digunakan sebagai
dasar mengalokasikan dana yang diperoleh dan menentukan nilai ekonomis aktivitas-aktivitas
yang ada dalam organisasi peribadatan. Sedangkan, bagi pihak eksternal, akuntansi dapat
dijadikan untuk menilai pertanggungjawaban atas dana yang dikelola oleh pengurus masjid.
Seberapa berguna informasi akuntansi bagi pengelola atau pengurus masjid? Manfaat
yang dihasilkan oleh informasi akuntansi akan memengaruhi seberapa strategisnya peranan
akuntansi dalam pengelolaan organisasi masjid. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa organisasi keagamaan selain bertujuan untuk melayani peribadatan umat, juga
memiliki tujuan keuangan. Tujuan keuangan ini akan menjadi pendukung dan penunjang
tercapainya tujuan utama organisasi keagamaan, yaitu melayani ritual ibadah umat di dalam
tempat ibadah, dan tujuan lainnya, seperti tujuan untuk mencerdaskan umat. Untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut pasti diperlukan pembiayaan atau pendanaan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Tujuan utama didirikannya masjid adalah untuk menjadi pusat ritual ibadah umat
muslim seperti sholat berjamaah, sholat Jum'at, pengajian rutin dan berdzikir. Untuk
mendukung tujuan tersebut aspek kebersihan harus diperhatikan. Kebersihan menurut Islam
adalah yang suci dari najis dan bagi orang yang beribadah, selain suci dari najis, juga suci
dari hadats besar dan kecil. Setiap masjid pasti memiliki fasilitas untuk bersuci, yaitu tempat
wudlu dan kamar mandi yang antara pengunjung laki-laki dan perempuan harus dipisah.
Untuk menjamin kebersihan masjid dan fasilitas lainnya yang juga memenuhi syariat Islam,
perlu kiranya pengurus membuat Standar Pelayanan (seperti halnya Standar Pelayanan
Minimal atau SPM di pemerintah daerah) untuk kebersihan dan kesucian masjid. Standar
pelayanan tersebut mensyaratkan adanya standar belanja atau standar biaya. Dengan adanya
standar biaya dan standar pelayanan, efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan masjid
dapat diukur secara akurat dan terpercaya. Dalam konteks ini, akuntansi dapat membantu dan
mempermudah pengelola atau pengurus masjid untuk menyusun laporan pertanggungjawaban
yang akurat dan dapat dipercaya. Apabila laporan yang dihasilkan akurat dan dapat
dipercaya, maka akan memberikan ketenangan batin bagi pengurusnya terkait
pertanggungjawabannya kelak, di hadapan Tuhan maupun kepada umat muslim.
Akuntansi dapat juga dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan fungsi dan peran
masjid selain untuk tempat peribadatan. Misalnya, untuk peran mencerdaskan umat. Pengurus
masjid dapat menyelenggarakan pendidikan agama bagi masyarakat sekitarnya. Untuk
menarik minat masyarakat mau belajar agama ke masjid (atau untuk mengaji ke masjid) perlu
sumber daya pengajar yang berkualitas dan pengembangan metode-metode pendidikan yang
menarik dan modern, sehingga masjid menjadi pusat pendidikan agama. Tentu untuk
mewujudkan hal itu diperlukan dana yang tidak sedikit. Dengan akuntansi, maka dapat
ditentukan secara akurat berapa dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan ibadah rutin
masjid, dan berapa sisa dana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan dan fungsi
masjid selain ibdah ritual yang rutin. Dengan informasi akuntansi dapat dijadikan dasar untuk
mengembangkan fungsi masjid yang lainnya, seperti kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam konteks ini, akuntansi bermanfaat untuk menyusun perencanaan yang baik.
Perencanaan yang baik akan mampu menyinergikan antara tujuan dengan sumber daya
organisasi, sehingga dapat disusun prioritas dan target kinerjanya
Dengan pengaturan yang cermat, dana masjid tidak terbuang-buang dengan percuma.
Bahkan, deposit dana yang ada sedapat mungkin diusahakan berkembang. Dana itu
dimanfaatkan sesuai dengan prioritas dan rencana yang disusun. Dari dana yang tersedia
kegiatan ibadah dapat disemarakkan dengan kegiatan memakmurkan masjid dan muamalah
lainnya, seperti mendirikan sekolah, klinik atau rumah sakit; kegiatan sosial kemasyarakatan
dengan mendirikan koperasi, baitul maal, pertokoan, memberikan beasiswa kepada
masyarakar miskin, dan lain sebagainya. Jika masjid bergerak ke arah demikian berarti
pengurus masjid mampu memperkaya dimensi fungsi dan peran masjid menjadi pusat sosial,
pusat budaya dan pusat pendidikan
Jika akuntansi dianggap penting untuk organisasi masjid, lalu bagaimana cara
mengimplementasikan akuntansi dalam organisasi keagamaan? Konsep akuntansi yang mana
yang cocok dengan organisasi keagamaan? Pada uraian di atas, dijelaskan bahwa organisasi
keagamaan atau organisasi tempat ibadah termasuk dalam kategori organisasi nirlaba. Untuk
itu perlakuan akuntansinya dan pelaporan keuangannya mengacu pada PSAK Nomor 45
tentang Standar Akuntansi untuk Entitas Nirlaba.
Ayub (1996) menyatakan bahwa faktanya laporan keuangan masjid masih dibuat
bentuk dua lajur, yaitu lajur pemasukan dan pengeluaran. Laporan keuangan masjid memuat
dari mana saja sumber dana diperoleh dan untuk apa saja dana tersebut dikeluarkan. Pada
setiap minggu atau akhir bulan kedua lajur tersebut kemudian dijumlahkan dan ditandingkan
sehingga menghasilkan selisih. Sering kali terjadi selisih plus, dan jarang sekali yang minus.
Namun, kenyataan yang ada saldo dana masjid semakin besar dan sering kali masih banyak
yang tidak dipergunakan. Padahal, apabila dimanfaatkan dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kesejahteraan umat. Agar pemanfaatannya benar, efektif dan efisien diperlukan
alat untuk menghasilkan informasi yang akurat dan relevan, yaitu sistem akuntansi.
Praktik pembukuan atau akuntansi yang ada masih menggunakan sistem tata buku
tunggal (single entry) dan berbasis kas. Ritonga (2010) menyebutkan single entry memiliki
kelemahan yaitu informasi yang dihasilkan tidak komprehensif dan tidak integral. Sehingga,
informasi yang parsial (sepotong-potong) tidak memadai untuk pengambilan keputusan yang
berguna. Sementara itu, basis kas memiliki kelemahan antara lain:
1. Informasi yang lebih kompleks tidak dapat dihasilkan.
2. Hanya terfokus pada aliran kas dan mengabaikan aliran sumber daya lain
3. Pertanggungjawaban kepada umat jadi terbatas hanya pada penggunaan kas dan tidak
pada sumber daya yang lain.
Bukti
Tambahan
Pada umumnya, siklus akuntansi pada organisasi nirlaba termasuk organisasi masjid,
dikelompokkan dalam tiga tahap, adalah sebagai berikut.
Untuk dapat menjalankan siklus akuntansi tersebut dengan baik diperlukan sumber
daya manusia yang berkompeten dalam bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ayub (1996) bahwa untuk mengembalikan peran masjid dalam
masyarakat sebagaimana pada jaman Nabi Muhammad saw., maka perlu ada perubahan
dalam manajemen organisasi masjid, antara lain perlunya spesialisasi peran dalam
operasionalisasi organisasi masjid, dan perlu dijalankan oleh sumber daya manusia yang
berkompeten, terutama dalam bidang administrasi dan keuangan.
KESIMPULAN
Tempat ibadah sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk menjadi tempat beribadah ritual umat
beragama yang sifatnya rutin. Namun, apabila tempat ibadah dapat dikelola dengan konsep
organisasi yang modern dapat berkembang menjadi organisasi yang berperan dan berfungsi
melebihi tujuan utamanya, yaitu melayani peribadatan umat. Tujuan-tujuan yang sifatnya
sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan pengembangan budaya dapat dikembangkan melalui
organisasi tempat ibadah atau organisasi peribadatan atau organisasi keagamaan.