Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Reaksi Oksidasi dapat didefinisikan sebagai peristiwa kehilangan elektron atau kehilangan
hydrogen, sehingga disebut juga reaksi dehidrogenasi. Bila suatu senyawa dioksidasi maka harus
ada senyawa lain yang direduksi, yaitu akan memperoleh elektron atau memperoleh
hydrogen.(Sri Widya,2000)

Prinsip reaksi oksidasi reduksi yaitu reaksi pengeluaran dan perolehan elektron berlaku pada
berbagai sistem biokimia dan merupakan konsep penting yang melandasi pemahaman tentang
sifat oksidasi biologi. Ternyata banyak reaksi-reaksi oksidasi dalam sel hidup dapat berlangsung
tanpa peran molekul oksigen. Mitokondria sebagai organella pernapasan sel, dikatakan demikian
karena didalamnya berlangsung sebagian besar peristiwa penangkapan energi yang berasal dari
oksidasi dalam rantai pernapasan sel. Sistem dalam mitokondria yang merangkaikan respirasi
dengan produksi ATP sebagai suatu zat antara berenergi tinggi dikenal dengan fosforilasi
oksidatif. Fosforilasi oksidatif memungkinkan organisme aerob menangkap energi bebas
dengan proporsi yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme an aerob. ( Mardiani,
2004)

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian oksidasi biologi?

2. Enzim apa saja yang terdapat dalam reaksi oksidasi?

3. Bagaimana reaksi oksidasi dalam biomedis?

4. Bagaimana implementasi oksidasi dalam kehidupan?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian oksidasi biologi

2. Untuk mengetahui enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi.

3. Untuk mengetahui peran oksidasi dalam biomedis

4. Untuk mengetahui implementasi reaksi oksidasi dalam kehidupan sehari-hari.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Oksidasi Biologi

Oksidasi adalah pengeluaran elektron dan reduksi adalah pemerolehan elektron. Sebagai contoh
adalah oksidasi ion fero menjadi feri. Dengan demikian oksidasi akan selalu disertai reduksi
akseptor elektron.

Secara kimiawi, oksidasi di definisikan sebagai pengeluaran electron dan reduksi sebagai
penangkapan electron, sebagaimana di lukiskan oleh oksidasi ion fero menjadi feri e (elektron)
Fe 2+ ¬ Fe3+ Dengan demikian, oksidasi selalu disertai reduksi aseptor electron. Prinsip oksidasi
– reduksi ini berlaku pada berbagai sistem biokimia dan merupakan konsep penting yang
melandasi pemahaman sifat oksidasi biologi. Banyak oksidasi biologi dapat berlangsung tanpa
peran serta molekul oksigen, misalnya: dehidrogenasi. Reaksi ini dilandasi oleh hokum
Termodinamika. (Nareswara, 2013)

Menurut Nareswara (2013), Kaidah pertama ini merupakan hukum penyimpanan energi, yang
berbunyi: energi total sebuah sistem, termasuk energi sekitarnya adalah konstan. Ini berarti
bahwa saat terjadi perubahan di dalam sistem tidak ada energi yang hilang atau diperoleh.
Namun energi dapat dialihkan antar bagian sistem atau dapat diubah menjadi energi bentuk lain.
Contohnya energi kimia dapat diubah menjadi energi listrik, panas, mekanik dan sebagainya.
Sedangkan kaidah kedua termodinamika: Kaidah kedua berbunyi: entropi total sebuah sistem
harus meningkat bila proses ingin berlangsung spontan. Entropi adalah derajat ketidakteraturan
atau keteracakan sistem. Entropi akan mencapai taraf maksimal di dalam sistem seiring sistem
mendekati keadaan seimbang yang sejati.

Peran senyawa fosfat berenergi tinggi dalam penangkapan dan pengalihan energi Untuk
mempertahankan kehidupan, semua organisme harus mendapatkan pasokan energi bebas dari
lingkungannya.

Ada 3 sumber utama yang berperan dalam konservasi atau penangkapan energi.

a. Fosforilasi oksidatif. Fosforilasi oksidatif adalah sumber terbesar dalam organisme


aerobik. Energi bebas untuk menggerakkan proses ini berasal dari oksidasi rantai respirasi di
dalam mitokondria dengan menggunakan oksigen.

b. Glikolisis. Dalam glikolisis terjadi pembentukan netto dua yang terjadi akibat
pembentukan laktat.
c. Siklus asam sitrat.

( Mardiani, 2004)

2.2. Enzim Yang Terlibat Dalam Oksidasi Biologis

Enzim yang terlibat dalam proses oksidasi dan reduksi dinamakan oksidoreduktase

dalam uraian berikut, enzim oksidoreduktase dipilah menjadi 4 kelompok (Nareswara,


2013),yaitu:

2.2.1. Enzim Oksidase

Enzim Oksidase menggunakan oksigen sebagai akseptor hydrogen. Enzim oksidase mengatalisis
pengeluaran hydrogen dari substrat dengan menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogennya.
Enzim-enzim tersebut membetuk air atau hydrogen peroksida sebagai produk reaksi. Sebagian
oksidase mengandung tembaga sitokrom. oksidase merupakan hemoprotein yang tersebar luas
dalam banyak jaringan, dengan gugus prostetik heme yang secara khas ditemukan dalam
mioglobin, hemoglobin, serta sitrokom lain. Enzim ini merupakan komponem terakhir pada
rantai pembawa (carrier) respiratorik yang ditemukan dalam mitokondria dan dengan demikian
bertanggung jawab atas reaksi pemindahan elektron yang dihasilkan dari oksidasi molekul
substrat oleh dehidrogenase kepada akseptornya yang terakhir, yaitu oksigen. Gas karbon
monoksida, sianida, dan hydrogen sulfide merupakan racun bagi enzim sitokrom oksidase. Sifat
yang berlainan sehubungan dengan efek karbon monoksida serta sianida

2.2.2. Dehidrogenase,

Dehidrogenase tidak dapat menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen

Ada sejumlah besar enzim didalam kelompok ini. Enzim-enzim tersebut melaksanakan 2 fungsi
utama:

a. pemindahan hidrogen dari substrat yang satu kepada substrat yang lain dalam reksi
oksidasi-reduksi berpasangan. Enzim dehidrogenase ini bersifat sangat spesifik untuk
substratnya, tetapi sering memakai koenzim atau pembawa hidrogen yang sama seperti enzim
dehidrogenase lain, misal, NAD. Karena reaksi berlangsung reversibel, sifat-sifat ini
memudahkan senyawa ekuivalen preduksi dipindahkan secara bebas didalam sel.

b. sebagai komponen dalam rantai respirasi pengangkutan elektron dari substrat ke oksigen.

2.2.3. Hidroperoksidase
Enzim Hidroperoksidase menggunakan hidrogen Peroksida atau Peroksida Organik sebagai
substrat. Ada dua tipe enzim yang masuk ke dalam kategori ini : peroksidase dan katalase. Kedua
tipe enzim ini ditemukan baik pada hewan maupun tumbuhan. Enzim hidroperoksidase
melindungi tubuh terhadap senyawa-senyawa peroksida yang berbahaya. Penumpukan senyawa
peroksida dapat menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya akan merusak membran sel dan
keungkinan menimbulkan penyakit kanker serta aterosklerosis.(Nareswara, 2013)

2.2.4. Oksigenase

Enzim oksigenase mengatalisis pemindahan langsung dan inkorporasi oksigen ke dalam molekul
substrat. Enzim oksigenase lebih berhubungan dengan sintesis atau penguraian berbagai tipe
metabolit dibandingkan mengambil bagian dalam reaksi yang bertujuan memberikan enegi pada
sel. Enzim-enzim dalam kelompok ini mengatalisis inkorporasi (penyatuan) oksigen kedalam
molekul substrat. Peristiwa ini berlangsung melalui 2 tahap :

a. pengikatan oksigen dengan enzim pada tapak aktif.

b. reaksi saat oksigen yang terikat direduksi atau dipindahkan kepada substrat.

2.3. Peran Oksidasi Dalam Biomedis

Pada kepentingan biomedis, fosforilasi oksidatif berguna untuk mempelajari proses obat/racun
yang dapat menghambat fosfolirasi oksidatif dan mempelajari kelainan bawaan
(miopati,encepalopati, dll).

2.3.1. Pemanfaatan Enzim Sebagai Alat Diagnosis

v Enzim sebagai petanda (marker) dari kerusakan suatu jaringan atau organ akibat penyakit
tertentu.

Penggunaan enzim sebagai petanda dari kerusakan suatu jaringan mengikuti prinsip bahwasanya
secara teoritis enzim intrasel seharusnya tidak terlacak di cairan ekstrasel dalam jumlah yang
signifikan. Pada kenyataannya selalu ada bagian kecil enzim yang berada di cairan ekstrasel.
Keberadaan ini diakibatkan adanya sel yang mati dan pecah sehingga mengeluarkan isinya
(enzim) ke lingkungan ekstrasel, namun jumlahnya sangat sedikir dan tetap. Apabila enzim
intrasel terlacak di dalam cairan ekstrasel dalam jumlah lebih besar dari yang seharusnya, atau
mengalami peningkatan yang bermakna/signifikan, maka dapat diperkirakan terjadi kematian
(yang diikuti oleh kebocoran akibat pecahnya membran) sel secara besar-besaran. Kematian sel
ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti keracunan bahan kimia (yang merusak tatanan
lipid bilayer), kerusakan akibat senyawa radikal bebas, infeksi (virus), berkurangnya aliran darah
sehingga lisosom mengalami lisis dan mengeluarkan enzim-enzimnya, atau terjadi perubahan
komponen membrane sehingga sel imun tidak mampu lagi mengenali sel-sel tubuh dan sel-sel
asing, dan akhirnya menyerang sel tubuh (penyakit autoimun) dan mengakibatkan kebocoran
membrane.

Contoh penggunaan enzim sebagai petanda adanya suatu kerusakan jaringan adalah sebagai
berikut:

a. Peningkatan aktivitas enzim renin menunjukkan adanya gangguan perfusi darah ke


glomerulus ginjal, sehingga renin akan menghasilkan angiotensin II dari suatu protein serum
yang berfungsi untuk menaikkan tekanan darah

b. Peningkatan jumlah Alanin aminotransferase (ALT serum) hingga mencapai seratus


kali lipat (normal 1-23 sampai 55U/L) menunjukkan adanya infeksi virus hepatitis, peningkatan
sampai dua puluh kali dapat terjadi pada penyakit mononucleosis infeksiosa, sedangkan
peningkatan pada kadar yang lebih rendah terjadi pada keadaan alkoholisme.

c. Peningkatan jumlah tripsinogen I (salah satu isozim dari tripsin) hingga empat ratus
kali menunjukkan adanya pankreasitis akut, dan lain-lain.

v Enzim sebagai suatu reagensia diagnosis.

Sebagai reagensia diagnosis, enzim dimanfaatkan menjadi bahan untuk mencari petanda
(marker) suatu senyawa. Dengan memanfaatkan enzim, keberadaan suatu senyawa petanda yang
dicari dapat diketahui dan diukur berapa jumlahnya. Kelebihan penggunaan enzim sebagai suatu
reagensia adalah pengukuran yang dihasilkan sangat khas dan lebih spesifik dibandingkan
dengan pengukuran secara kimia, mampu digunakan untuk mengukur kadar senyawa yang
jumlahnya sangat sedikit, serta praktis karena kemudahan dan ketepatannya dalam mengukur.
Contoh penggunaan enzim sebagai reagen adalah sebagai berikut:

a. Uricase yang berasal dari jamur Candida utilis dan bakteri Arthobacter globiformis
dapat digunakan untuk mengukur asam urat.

b. Pengukuran kolesterol dapat dilakukan dengan bantuan enzim kolesterol-oksidase


yang dihasilkan bakteriPseudomonas fluorescens.

c. Pengukuran alcohol, terutama etanol pada penderita alkoholisme dan keracunan


alcohol dapat dilakukan dengan menggunakan enzim alcohol dehidrogenase yang dihasilkan oleh
Saccharomyces cerevisciae, dan lain-lain.

v Enzim sebagai petanda pembantu dari reagensia.

Sebagai petanda pembantu dari reagensia, enzim bekerja dengan memperlihatkan reagensia lain
dalam mengungkapkan senyawa yang dilacak. Senyawa yang dilacak dan diukur sama sekali
bukan substrat yang khas bagi enzim yang digunakan. Selain itu, tidak semua senyawa memiliki
enzimnya, terutama senyawa-senyawa sintetis. Oleh karena itu, pengenalan terhadap substrat
dilakukan oleh antibodi. Adapun dalam hal ini enzim berfungsi dalam memperlihatkan
keberadaan reaksi antara antibodi dan antigen. Contoh penggunaannya adalah sebagai berikut:

a. Pada teknik imunoenzimatik ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay), antibodi
mengikat senyawa yang akan diukur, lalu antibodi kedua yang sudah ditandai dengan enzim akan
mengikat senyawa yang sama. Kompleks antibodi-senyawa-antibodi ini lalu direaksikan dengan
substrat enzim, hasilnya adalah zat berwarna yang tidak dapat diperoleh dengan cara
imunosupresi biasa. Zat berwarna ini dapat digunakan untuk menghitung jumlah senyawa yang
direaksikan. Enzim yang lazim digunakan dalam teknik ini adalah peroksidase, fosfatase alkali,
glukosa oksidase, amilase, galaktosidase, dan asetil kolin transferase.

b. Pada teknik EMIT (Enzim Multiplied Immunochemistry Test), molekul kecil seperti
obat atau hormon ditandai oleh enzim tepat di situs katalitiknya, menyebabkan antibodi tidak
dapat berikatan dengan molekul (obat atau hormon) tersebut. Enzim yang lazim digunakan
dalam teknik ini adalah lisozim, malat dehidrogenase, dan gluksa-6-fosfat dehidrogenase.

2.3.2. Pemanfaatan Enzim Di Bidang Pengobatan

Pemanfaatan enzim dalam pengobatan meliputi penggunaan enzim sebagai obat, pemberian
senyawa kimia untuk memanipulasi kinerja suatu enzim dengan demikian suatu efek tertentu
dapat dicapai (enzim sebagai sasaran pengobatan), serta manipulasi terhadap ikatan protein-ligan
sebagai sasaran pengobatan. (Nareswara, 2013)

o Penggunaan enzim sebagai obat biasanya mengacu kepada pemberian enzim untuk mengatasi
defisiensi enzim yang seyogyanya terdapat di dalam tubuh manusia untuk mengkatalis rekasi-
reaksi tertentu. Berdasarkan lamanya pemberian enzim sebagai pengobatan, maka keadaan
defisiensi enzim dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu keadaan defisiensi enzim yang bersifat
sementara dan bersifat menetap. [1] Contoh keadaan defisiensi enzim yang bersifat sementara
adalah defisiensi enzim-enzim pencernaan. Seperti yang diketahui, enzim-enzim pencernaan
sangat beragam, beberapa di antaranya adalah protease dan peptidase yang mengubah protein
menjadi asam amino, lipase yang mengubah lemak menjadi asam lemak, karbohidrase yang
mengubah karbohidrat seperti amilum menjadi glukosa serta nuklease yang mengubah asam
nukleat menjadi nukleotida.[2] Adapun defisiensi enzim yang bersifat menetap menyebabkan
banyak kelainan, yang biasanya juga disebut sebagai kelainan genetic mengingat enzim
merupakan protein yang ditentukan oleh gen. Contoh kelainan akibat defisiensi enzim antara lain
adalah hemofilia. Hemofilia adalah suatu keadaan di mana penderita mengalami kesulitan
penggumpalan darah (cenderung untuk pendarahan) akibat defisiensi enzim-enzim terkait
penggumpalan darah. (Nareswara, 2013)

o Enzim sebagai sasaran pengobatan merupakan terapi di mana senyawa tertentu digunakan
untuk memodifikasi kerja enzim, sehingga dengan demikian efek yang merugikan dapat
dihambat dan efek yang menguntungkan dapat dibuat. Berdasarkan sasaran pengobatan, dapat
dibagi menjadi terapi di mana enzim sel individu menjadi sasaran dan terapi di mana enzim
bakteri patogen yang menjadi sasaran.

Pada terapi di mana enzim sel individu sebagai sasaran kinerja terapi, digunakan senyawa-
senyawa untuk mempengaruhi kerja suatu enzim sebagai penghambat bersaing. Contoh penyakit
yang dapat diobati dengan terapi ini adalah:

a. Melitus. Pada penyakit Diabetes Melitus, senyawa yang diinduksikan adalah akarbosa
(acarbose), di mana akarbosa akan bersaing dengan amilum makanan untuk mendapatkan situs
katalitik enzim amilase (pankreatik α-amilase) yang seyogyanya akan mengubah amilum
menjadi glukosa sederhana. Akibatnya reaksi tersebut akan terganggu, sehingga kenaikan gula
darah setelah makan dapat dikendalikan.(Nareswara, 2013)

b. Penumpukan cairan. Enzim anhidrase karbonat merupakan enzim yang mengatur


pertukaran H dan Na di tubulus ginjal, di mana H akan terbuang keluar bersama urine,
sedangkan Na akan diserap kembali ke dalam darah. Adalah senyawa turunan sulfonamida, yaitu
azetolamida yang berfungsi menghambat kerja enzim tersebut secara kompetitif sehingga
pertukaran kation di tubulus ginjal tidak akan terjadi. Ion Na akan dibuang keluar bersama
dengan urine. Sifat ion Na yang higroskopis menyebabkan air akan ikut keluar bersamaan
dengan ion Na; hal ini membawa keuntungan apabila terjadi penumpukan cairan bebas di ruang
antar sel (udem). Dengan kata lain senyawa azetolamida turut berperan dalam menjaga
kesetimbangan cairan tubuh.

c. Pengendalian tekanan darah diatur oleh enzim renin-EKA dan angiosintase. Enzim
renin-EKA berperan dalam menaikkan tekanan darah dengan menghasilkan produk angiotensin
II, sedangkan angiosintase bekerja terbalik dengan mengurangi aktivitas angiotensin II. Untuk
menghambat kenaikan tekanan darah, maka manipulasi terhadap kerja enzim khususnya EKA
dapat dilakukan dengan pemberian obat penghambat EKA (ACE Inhibitor).

d. Mediator radang prostaglandin yang dibentuk dari asam arakidonat melibatkan dua
enzim, yaitu siklooksigenase I dan II (cox 1 dan cox II). Ada obat atau senyawa tertentu yang
mempengaruhi kinerja cox 1 dan cox II sehingga dapat digunakan untuk mengurangi peradangan
dan rasa sakit.

e. Dengan menggunakan prinsip pengaruh senyawa terhadap enzim, maka enzim yang
berfungsi untuk memecah AMP siklik (cAMP) yaitu fosfodiesterase (PD) dapat dihambat oleh
berbagai senyawa, antara lain kafein (trimetilxantin), teofilin, pentoksifilin, dan sildenafil.
Teofilin digunakan untuk mengobati sesak nafas karena asma, pentoksifilin digunakan untuk
menambah kelenturan membran sel darah merah sehingga dapat memasuki relung kapiler,
sedangkan sildenafil menyebabkan relaksasi kapiler di daerah penis sehingga aliran darah yang
masuk akan bertambah dan tertahan untuk beberapa saat.
f. Penyakit kanker merupakan penyakit sel ganas yang harus dicegah penyebarannya.
Salah satu cara untuk mencegah penyebarannya adalah dengan menghambat mitosis sel ganas.
Seperti yang diketahui, proses mitosis memerlukan pembentukan DNA baru (purin dan
pirimidin). Pada pembentukan basa purin, terdapat dua langkah reaksi yang melibatkan formilasi
(penambahan gugus formil) dari asam folat yang telah direduksi. Reduksi asam folat ini dapat
dihambat oleh senyawa ametopterin sehingga sintesis DNA menjadi tidak berlangsung. Selain itu
penggunaan azaserin dapat menghambat biosintesis purin yang membutuhkan asam glutamate.
6-aminomerkaptopurin juga dapat menghambat adenilosuksinase sehingga menghambat
pembentukan AMP (salah satu bahan DNA). (Nareswara, 2013)

g. Pada penderita penyakit kejiwaan, pemberian obat anti-depresi (senyawa) inhibitor


monoamina oksidase (MAO inhibitor) dapat menghambat enzim monoamina oksidase yang
mengkatalisis oksidasi senyawa amina primer yang berasal dari hasil dekarboksilasi asam amino.
Enzim monoamina oksidase sendiri merupakan enzim yang mengalami peningkatan jumlah ada
sel susunan saraf penderita penyakit kejiwaan.

Pada terapi di mana enzim mikroorganisme yang menjadi sasaran kerja, digunakan prinsip
bahwa enzim yang dibidik tidak boleh mengkatalisis reaksi yang sama atau menjadi bagian dari
proses yang sama dengan yang terdapat pada sel pejamu. Hal ini bertujuan untuk melindungi sel
pejamu, sekaligus meningkatkan spesifitas terapi ini. Karena yang dibidik adalah enzim
mikroorganisme, maka penyakit yang dihadapi kebanyakan adalah penyakit-penyakit infeksi.
Contoh terapi dengan menjadikan enzim mikroorganisme sebagai sasaran kerja antara lain:

a. Pada penyakit tumor

b. Penggunaan antibiotika.

c. Perbedaan mekanisme sintesis protein antara mikroorganisme dan sel pejamu juga
dapat dimanfaatkan sebagai salah satu prinsip terapi. Penggunaan antibiotika tertentu dapat
menghambat sintesis protein pada mikroorganisme.

Interaksi protein-ligan sebagai sasaran pengobatan. Pengobatan dengan sasaran interaksi


protein-ligan mengacu kepada prinsip interaksi sistem mediator-reseptor, di mana apabila
mediator disaingi oleh molekul analognya sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor,
sehingga efek dari mediator tersebut tidak terjadi. Contoh pengobatan dengan menjadikan
interaksi protein-ligan sebagai sasarannya antara lain:

a. Pengendalian tekanan darah yang diatur oleh hormon adrenalin.

b. Penggunaan antihistamin untuk tujuan tertentu.

2.4. Implementasi Dalam Kehidupan


Banyak reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama pengolahan pangan yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap nilai gizi, keamanan dan penerimaannya. Masing-masing jenis reaksi dapat
melibatkan reaktan atau substrat yang berbeda, tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi
penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Komposisi bahan pangan secara umum sama,
terutama terdiri dari lipid, karbohidrat dan protein, dengan demikian banyak reaksi-reaksi umum
yang sama. Disamping itu, banyak reaktan untuk suatu reaksi terdapat pada sebagian besar bahan
pangan. Sebagai contoh, reaksi pencoklatan nonenzimatis (reaksi Maillard) melibatkan senyawa
karbonil yang dapat berasal baik dari gula pereduksi atau hasil oksidasi asam askorbat, hidrolisis
pati dan oksidasi lipid. Oksidasi dapat melibatkan lipid, protein, vitamin, pigmen, dan lebih
spesifik lagi oksidasi melibatkan triasilgliserida yang umum terdapat pada bahan pangan atau
fosfolipid yang ada di sebagian bahan pangan. (http://xa.yimg.com)

Beberapa reaksi kimia yang dapat menyebabkan perubahan nilai gizi dan keamanan pangan.

Jenis reaksi

Contoh (terjadi pada)

Pencoklatan nonenzimatis

Oksidasi Lipid

Hidrolisis

Interaksi logam

Isomerisasi Lipid

Polimerisasi Lipid

Denaturasi protein

Cross-linking protein

Perubahan glikolitik

Pada bahan-bahan pangan yang dipanggang

(menghasilkan off-flavour, bau dan rasa yang

menyimpang), degradasi vitamin dan protein

Lipid, protein, vitamin, karbohidrat, pigmen


Kompleksasi (antosianin), kehilangan Mg+ dari klorofil

Cis berubah menjadi trans

Pada penggorengan

Koagulasi putih telur, inaktivasi enzim

Pengolahan bahan berprotein pada suasana alkali

Pada pasca mortem jaringan hewan atau pasca

panen jaringan tanaman

Sumber Apriyantono (2001)

2.4.1. Pencoklatan Nonenzimatis (Reaksi Maillard)

Reaksi Maillard (ditemukan oleh pakar biokimia Perancis Louiss Camille Maillard) adalah
suatu reaksi kimia yang terjadi antara asam amino dan gula tereduksi, biasanya pada suhu yang
tinggi. Seperti layaknya proses karamelisasi (tetapi karamelisasi berbeda dengan Maillard) reaksi
non enzimatik ini menghasilkan pewarnaan coklat (browning). Pada reaksi Maillard gugus
karbonil dari glukosa bereaksi dengan gugus nukleofilik grup amino dari protein yang
menghasilkan warna dan aroma yang khas; proses ini berlangsung dalam suasana basa.
(http://xa.yimg.com)

Proses yang terjadi pada reaksi Maillard adalah:

1. Gugus karbonil dari gula bereaksi dengan gugus amino menghasilkan N-glikosamin
dan air.

2. Gugus glikosamin yang tidak stabil mengalami pengaturan kembali membentuk


ketosamin

3. Selanjutnya ketosamin dapat mengalami proses lebih lanjut:

o Memproduksi air dan redukton

o Membentuk diasetil, aspirin, pyruvaldehyde dan bentuk ikatan hidrolitik rantai pendek
lainnya.

o Membentuk polimer nitrogen berwarna coklat (melanoidism).


Faktor yang merangsang terjadinya reaksi Maillard: Pemanasan, kelembaban yang tinggi dan
suasanan basa. Reaksi Maillard berperan dalam memberikan aroma dan warna dalam berbagai
jenis makanan seperti: roti panggang, daging panggang, kopi

Walaupun memberikan keuntungan dalam memberi warna dan aroma, reaksi Maillard juga
menjadi efek yang tidak diinginkan pada beberapa proses biologis dan makanan. Interaksi antara
gugus karbonil dan amino dapat merusak kualitas nutrisi protein dengan cara mengurangi jumlah
lysine dan beberapa jenis asam amino lain dan membentuk zat yang menghambat atau bersifat
antinutrisi. Reaksi ini juga berhubungan dengan aroma dan pewarnaan yang tidak diinginkan
pada beberapa makanan seperti makanan kering.

Pada produk nutirsi parenteral saat ini baik yang bersifat 2 in 1 atupun 3 in 1 yang
menggabungkan glukosa , protein dan lipid dalam satu kemasan (contohnya Clinimix dari Kalbe
Farma yang mengandung sekaligus Glukosa dan Asam amino) salah satu tujuan dari pemisahan
dari asam amino dan glukosa pada chamber yang berbeda adalah untuk menghindari reaksi
Maillard ini, karena pada saat proses sterilisasi yang menggunakan tekhnik pemanasan maka
warna produk dapat berubah menjadi coklat dan kualitas proteinnya dapat rusak. Jadi pada saat
hendak diberikan ke pasien baru sekatnya dibuka sehingga asam amino dan glukosa bercampur.
(http://xa.yimg.com)

2.4.2. Enzymatic Browning

“Browning reactions are some of the most important phenomena occurring in food during
processing and storage. They represent an interesting research for the implications in food
stability and technology as well as in nutrition and health. The major groups of reactions leading
to browning are enzymatic phenol oxidation and so-called nonenzymatic browning (Manzocco et
al. 2001).” Dijelaskan diatas bahwa reaksi pencoklatan merupakan fenomena yang penting yang
terjadi pada makanan hingga proses dan penyimpanan. Reaksi pencoklatan dapat dialami oleh
buah-buahan dan sayur-sayuran yang tidak berwarna. Reaksi ini disebut reaksi pencoklatan
karena menyebabkan warna makanan berubah menjadi coklat. Ada beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan, salah satunya adalah keberadaan enzim. Reaksi
pencoklatan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu reaksi pencoklatan enzimatis dan reaksi
pencoklatan non-enzimatis. (Ghaffar, 2012)

Reaksi pencoklatan enzimatis pada bahan pangan ini memiliki dua macam dampak yaitu dampak
yang menguntungkan dan juga dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan
misalnya saja pada teh hitam, teh oolong dan teh hijau. Reaksi pencoklatan enzimatis
bertanggung jawab pada warna dan flavor yang terbentuk.(Fennema, 1996). Begitu juga yang
terjadi pada produk pangan lain seperti misalnya kopi. Polifenol oksidase juga bertanggung
jawab pada karakteristik warna coklat keemasan pada buah-buahan yang telah dikeringkan
seperti kismis, buah prem, dan buah ara. (Ghaffar, 2012)

2.4.3. Denaturasi Protein


Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi oleh terkacaunya
ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang memutuskan molekul protein. Akibat dari
suatu denaturasi adalah hilangnya banyak sifat-sifat biologis suatu protein (Fessenden, 1989).

Salah satu penyebab denaturasi protein adalah perubahan temperatur, dan juga perubahan
pH. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi adalah detergent, radiasi zat
pengoksidasi atau pereduksi, dan perubahan jenis pelarut. Denaturasi dapat bersifat reversibel,
jika suatu protein hanya dikenai kondisi denaturasi yang lembut seperti perubahan pH. Jika
protein dikembangkan kelingkungan alamnya, hal ini untuk memperoleh kembali struktur lebih
tingginya yang alamiah dalam suatu proses yang disebut denaturasi. Denaturasi umumnya sangat
lambat atau tidak terjadi sama sekali(Fessenden, 1989).

Protein sering mengalami perubahan sifat setelah mengalami perlakuan tertentu,


meskipun sangat sedikit ataupun ringan dan belum menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan
kovalen atau peptida, perubahan inilah yang dinamakan dengan denaturasi protein. Denaturasi
protein dapat terjadi dengan berbagai macam perlakuan, antara lain dengan perlakuan panas, pH,
garam dan tegangan permukaan. Laju denaturasi protein dapat mencapai 600 kali untuk tiap
kenaikan 10oC. Suhu terjadinya denaturasi sebagian besar protein terjadi berkisar antara 55 oC –
75oC.

Denaturasi akan menyebabkan perubahan struktur protein dimana pada keadaan


terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki
struktur sekunder, tersier dan kuartener. Akan tetapi belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada
kondisi terdenaturasi penuh. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan
insolubilitasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada
kelarutannya.

Pada protein yang mengalami denaturasi, proteinnya akan mengendap karena gugus-
gugus yang bermuatan positif dan negatif dalam jumlah yang sama atau dalam keadaan titik
isoelektrik (netral). Pada denaturasi terjadi pemutusan ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan
ikatan garam hingga molekul protein tidak punya lipatan lagi. Garam-garam seperti misalnya
natrium klorida dalam konsentrasi tertentu dapat menyebabkan denaturasi atau koagulasi. Protein
yang telah mengalami denaturasi akan memberikan beberapa perubahan dalam beberapa hal
(http://xa.yimg.com), seperti :

1.) Viskositas naik ( karena mol menjadi asimetris dan lipatan hilang )

2.) Rotasi optis larutan protein meningkat.

Contoh: koagulasi putih telur, pada protein telur mudah terdenaturasi oleh adanya panas dan
tegangan muka bila putih telur tersebut diaduk sampai menjadi buih.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Reaksi Oksidasi dapat didefinisikan sebagai peristiwa kehilangan elektron atau kehilangan
hydrogen, sehingga disebut juga reaksi dehidrogenasi. Bila suatu senyawa dioksidasi maka harus
ada senyawa lain yang direduksi, yaitu akan memperoleh elektron atau memperoleh hydrogen.
Enzim yang berperan dalam proses oksidasi biologi yakni enzim oksidase, dehidronase,
hidroperoksidase serta oksigenase.

Pada kepentingan biomedis, fosforilasi oksidatif berguna untuk mempelajari proses obat/racun
yang dapat menghambat fosfolirasi oksidatif dan mempelajari kelainan bawaan
(miopati,encepalopati, dan lain-lain). Yakni berperan dalam diagnosis serta dalam pengobatan.

Implementasi adanya reaksi oksidasi dalam kehidupan sehari-hari yakni dibuktikan dengan
adanya proses browning dan denaturasi protein. Browning terlihat pada buah-buahan yang
dikupas kulitnya kemudian berubah menjadi kecoklatan, serta yang terjadi pada roti panggang
maupun daging yang dipanggang. Selain itu Oksidasi juga terdapat pada proses fermentasi yang
dilakukan pada singkong, kedelai, maupun susu. Pada denaturasi protein terlihat pada peristiwa
putih telur yang menggumpal (koagulasi).

DAFTAR PUSTAKA

Murray R K, et al. 2006. Biokimia Harper. Jakarta : UI Press

Davis S.P., 1985, prinsip-prinsip biokimia, Jakarta)


Gernida. 996, Biokimia. Jakarta : Gramedia

Poedjiadi, A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : UI Press

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai