Bagi kelas menengah, mereka akan tersingkir semakin menjauh dari wilaah Jabodetabek dan
pusat-pusat pertumbuhan atau hidup dengan mengontrak di pusat pertumbuhan. Bagi rakyat
miskin, mereka akan memilih mengontrak dikontrakan seadanya dengan kamar yang tidak
layak huni atau berebut ruang dengan developer dan pemerintah dengan menempati lahan
kosong yang bukan miliknya untuk dibangun pemukiman semi permanen, dan tentunya harus
legowo jika nanti terusir dan tergusur lagi. Bagi rakyat miskin, membeli rumah dimanapun
tempatnya adalah hal yang mustahil.
Bagi rakyat miskin, opsi kembali ke desa sangat tidak mungkin karena ketika kembali ke
desa mereka akan semakin miskin dengan kondisi infrastruktur kesehatan dan penunjang
kehidupan lainnya yang sangat tidak memadai. Di desa, pemerintah pun tidak pernah
membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat miskin desa (buruh tani dan petani kecil)
seperti reformasi agraria. Dana desa yang diprogramkan pemerintah pun belum seutuhnya
mampu merubah perekonomian desa. Hal inilah yang menyebabkan urbanisasi warga desa
yang akhirnya membuat pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan.
Kelas menengah dan rakyat miskin akan sangat dirugikan dengan pembangunan infrastrutur
yang dilakuka secara masif. Kelas menengah tersingkir semakin jauh dari pusat pertumbuhan.
Mereka harus menghabiskan hidupnya di jalan dengan kondisi transportasi publik dan lalu
lintas yang sangat tidak manusiawi untuk mencapai tempat kerjanya.
Disisi lain, kelas atas sangat diuntungkan dengan dibangunnya properti dan proyek
infrastruktur negara. Kaum kelas atas yang mayoritasnya adalah pengusaha akan menguasai
ruang-ruang disekitar pembangunan proyek dan memonopoli hunian di cluster-cluster mewah
dan apartemen yang dibangun oleh developer.
Monopoli properti oleh kelas atas akan semakin besar dan keuntungan hasil dari usaha
properti tersebut akan membuat mereka semakin kaya. Banyak dari mereka yang bisa saja
memiliki tanah sangat luas dan menguasai rumah dan unit apartemen lebih dari 5 bahkan
lebih dari 10. Jika keuntungan terus mengalir, mereka pasti akan terus mengakumulasi modal
untuk kembali membeli properti dan memonopoli hunian dan tanah untuk dijadikan investasi
meraih keuntungan semakin besar.
Meskipun pemerintah daerah sudah memberi alterntif dengan mencanangkan rumah susun,
shelter, dan program rumah DP 0%, tapi itu tidak dapat mengakomodir semuanya.
Pembangunan infrastruktur di Jabodetabek adalah pembangunan Nasional, mereka yang
tergusur akibat proyek nasional harus tetap dapat perhatian pemerintah pusat. Terlepas dari
pro kontra dana pembangunan infrastruktur dari mana, rakyat kecil tidak mau tau, mereka
hanya ingin merasakan keadilan dan kesejahteraan.