Anda di halaman 1dari 5

Cacing yang mampu menembus kulit

1. Strongyloides stercoralis
Merupakan cacing jenis nematode dimana manusia merupakan hospes utamanya.
Diketahui cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan jejunum,
berbentuk filiform. Stadium infektifnya adalah larva filariform
Siklus hidup dari S. stercoralis berawal dari cacing dewasa yang hidup ditanah
mengeluarkan telur. Telur telur ini kemudian menetas menjadi larva rabditiform dan
berkembang menjadi larva filariform. Larva filariform kemudian menembus kulit
manusia dan masuk ke aliran darah melalui siklus paru, lalu masuk ke GI tract ke
duodenum dan jejunum dan selanjutnya berkembang menjadi dewasa yang nantinya
akan menghasilkan telur. Telur telur ini nantinya akan berkembang kembali bersama
larva rabditiform dan keluar bersama tinja untuk berkembang kembali di tanah menjadi
larva filariform. Selain siklus diatas, bisa juga terjadi auto infeksi dimana larva
rabditiform yang berada di perianal akan berkembang menjadi larva filariform lalu akan
menginfeksi perianal dan masuk ke aliran darah kembali.
Patologi dan gejala klinis dari penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini adalah
creeping eruption yang diakibatkan banyaknya larva filariform yang menembus kulit,
gangguan mukosa usus akibat cacing dewasa dan rasa tertusuk di epigastrik tengah dan
tidak menjalar, mual, muntah, diare atau konstipasi

2. Family Schistosomatidae
Merupakan cacing jenis trematoda. Hospes definitifnya adalah manusia dimana
untuk hospes reservoarnya adalah snail dan ikan. Spesies yang menyerang manusia
antara lain S. haematobium, S. mansoni, S. japonicum, S. intercalatum, S. malayeasis, S.
mekoagi, S. sinensium, dimana yang paling sering menyerang manusia adalah S.
japonicum. Hidup di darah yaitu di mesenteric veins dan vesical veins.
Stadium infeksius dari cacing ini adalah serkaria, yang mana siklus hidupnya dimulai
dari telur cacing berada di air kemudian berubah menjadi mirasidium. Mirasidium
nantinya akan menginfeksi ikan dan siput. Didalam tubuh siput atau ikan, mirasidium
berkembang menjadi sporakista I, sporakista II, dan kemudian menjadi serkaria. Serkaria
kemudian keluar dari air dan melakukan penetrasi ke kulit manusia, menjalar melalui
limfa dan vena ke jantung kemudian ke paru-paru, ke liver dan kemudian menjadi matur
dalam 6-12 minggu. Cacing yang matur nantinya akan masuk ke pembuluh darah vena
dan melakukan reproduksi sehingga telur telurnya dapat keluar bersama feses dan urin
yang nantinya akan masuk ke air kembali.
Patologi dan gejala klinis dari cacing jenis ini terbagi dalam 3 stadium:
a. Masa Tunas Biologis:
Timbul gejala-gejala kulit dan alergi seperti eritema, papul, gatal, panas dan
juga urtikaria. Selain itu muncul juga gejala paru seperti batuk, dahak
produktif dan asma serta gejala toksemia seperti lemah, malaise, tidak nafsu
makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri tubuh, hingga cardiomegali dan
splenomegali yang muncul 2-8 minggu setelah infeksi

b. Stadium Akut:
Stadium ini muncul saat telur menginfeksi mukosa dimana menimbulkan
gejala seperti demam, malaise, disentri, berat badan turun, hepatomegali

c. Stadium Menahun
Pada stadium menahun, terjadi penyembuhan jaringan dengan
pembentukan fibrosis. Selain itu terjadi sirosis hepar periportal yang nanti
akan menyebabkan terjadinya hipertensi portal hepatica. Splenomegali,
edem tungkai bawah dan asites serta ikterus juga muncul.

3. Hookworm
Merupakan cacing jenis nematode dimana manusia merupakan hospes parasitnya.
Spesies yang menginfeksi manusia antara lain Ancylostoma duodenale (Old World
Hookworm), Necator americanus (New World Hookworm). Stadium infektif dari cacing
ini adalah bentuk larva filariform. A. duondenale akan menyebabkan penyakit
ancylostomiasis sedangkan N. americanus menyebabkan necatoriasis
N. americanus dan A. duodenale memiliki siklus hidup yang sama. Cacing betina
menghasilkan 20.000-30.000 telur per hari nya. Telur telur tersebut nantinya akan
berkembang ditanah menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform akan berubah menjadi
larva filariform yang merupakan stadium infektifnya. Filariform kemudian melakukan
penetrasi ke kulit dan masuk ke sirkulasi darah. Dari darah, filariform akan masuk ke
jantung, paru paru dan kemudian ke trakea. Dari trakea ini larva filarifom akan tertelan
masuk ke esophagus dan kemudian ke intestine bagian jejunum. Di jejunum, larva akan
mengalami maturasi menjadi cacing dewasa dan melakukan reproduksi untuk kemudian
telur dikeluarkan kembali melalui urin dan feses ke tanah.
Ancylostoma duodenale
Cacing ini tersebar di daratan Afrika bagian utara, Eropa bagian mediterania, asia
(India utara, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Cina, Taiwan dan
Jepang), Pasifik Selatan dan Amerika Selatan (Cile, Meksiko, Venezuela). Letak di hostnya
adalah 2/3 dari jejunum dengan buccal capsule menempel pada mukosa. Pada infeksi
berat dapat ditemukan pada cecum.
Untuk morfologinya, ancylostoma lebih besar dan kuat dari pada necator. Kepalanya
melengkung secara halus ke arah dorsal sehingga tidak terlalu menyerupai hook. Buccal
capsule yang besar memiliki prosesus cutting yang melengkung, bilateral simetris,
dimana terdiri dari 2 gigi yang menyatu dan sepasang gigi internal pada bagian bawah
kapsul. Memiliki kelenjar histolitik pada base dari buccal nya.
Panjang tubuh dari cacing ini adalah 550 μm, dengan total panjangny adalah 720
μm. Ukuran tubuh jantan kurang lebih sekitar 8-11 mm x 0,45 mm dan betina nya 10-
13mm x 0,6 mm. Bagian tail dari cacing betina seperti duri tajam sedangkan cacing
jantan membentuk bursa yang melebar dan tips nya tridigitate. Vulva dari cacing betina
terletak pada bagian posterior-middle.
Gambaran klinis dari infeksi cacing ini antara lain ground itch, alergi, creeping
eruption, pneumonitis, enteritis, GI symptoms seperti abdominal pain, diare, mual,
hilang nafsu makan, anemia mikrositer hipokromik, kulit pucat, sinkop dan angina
pectoris. Diagnosis dari penyakit akibat cacing ini dilihat melalui gambaran klinis,
pemeriksaan parasitologi melaui feses dan serologis menggunakan ELISA dan RIA
Treatment bagi pasien ini antara lain dengan pemberian Albendazole (single dose,
400 mg, 2 tahun ++), Mebendazole (single dose, 500 mg, 2 tahun ++ atau 2 kali sehari
selama 3 hari, 100 mg), Levamisole (single dose, 3 mg / kg bb) dan Pyrantel pamoate
(daily dose, 10 mg / kg bb dengan maksimal 1 gr per hari)
Differential Diagnosis Fatigue
Fatigue merupakan gejala klinis yang normal apabila telah melakukan aktivitas seharian,
aktivitas fisik, prolonged stress dan mental strain. Namun apabila fatigue terjadi pada
waktu yang lama (chronic fatigue) merupakan suatu hal yang abnormal. Etiologi
penyebab chronic fatigue:
1. Infectious causes
2. Anemia
3. Endocrinopathies, including diabetes and hypothyroidism
4. Sleep disturbance, including sleep apnea
5. Medication side-effects
6. Adrenal insufficiency
7. Malignancies
8. Chronic heart disease
9. Psychiatric illness
10. Thyroid disease
11. Connective tissue disease
12. Inflammatory bowel disease
13. Liver disease
14. Renal disease
15. Chronic myelomonocytic leukemia
16. Chronic idiopathic myelofibrosis
17. Chronic myeloproliveratife disease

Anda mungkin juga menyukai