Anda di halaman 1dari 28

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. TB Paru
1.1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.(Depkes RI, 2006).
Tuberkulosis adalah penyakit menular disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk tubuh
melalui udara pernafasan yang masuk ke dalam paru, kemudian
kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau
penyebaran langsung ke tubuh lainnya. Daya penularan
seseorang penderita tuberkulosis ditentukan oleh beberapa faktor
yaitu ; banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita,
penyebaran kuman di udara serta kuman yang terdapat dalam
dahak berupa droplet, yang berada di udara sekitar penderita
tersebut. Sebagian besar orang yang terinfeksi M tuberculosis (80-
90%), belum tentu menjadi sakit tuberkulosis. Untuk sementara
waktu kuman yang berada dalam tubuh akan dormant (tidur) dan
keberadaannya dapat diketahui dengan tes tuberkulin. Penderita
tuberkulosis biasanya paling cepat terjadi 3-6 bulan setelah infeksi.
Reaksi imunologi tubuh akan terbentuk sekitar 4-6 minggu setelah

infeksi primer yang berupa reaksi hipersensitivitas dan imunitas


seluler (Cermin dunia kedoktran, 2002).
5

1.2. Karakteristik Mycobacterium Tuberculosis


Genus Mycobacterium merupakan kelompok bakteri gram
positip, berbentuk batang, berukuran lebih kecil dibandingkan
bakteri lainnya. Genus ini mempunyai karakteristik unik karena
dinding selnya kaya akan lipid dan lapisan tebal peptidoglikan
yang mengandung arabinogalaktan, lipoarabinomanan dan asam
mikolat. Asam mikolat tidak biasa dijumpai pada bakteri dan hanya
dijumpai pada dinding sel Mycobacterium dan Corynebacterium.
Mycobacterium tuberculosis dibedakan dari sebagian besar bakteri
dan mikobakteri lainnya karena bersifat patogen dan dapat
berkembang biak dalam sel fagosit hewan dan manusia.
Pertumbuhan M. tuberculosis relatif lambat dibandingkan
mycobakteri lainnya.
Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan endotoksin
maupun eksotoksin. Bagian selubung M. tuberculosis mempunyai
sifat pertahanan khusus terhadap proses mikobakterisidal sel
hospes. Dinding sel yang kaya lipid akan melindungi mikobakteri
dari proses fagolisosom, hal ini dapat menerangkan mengapa
mikobakteri dapat hidup pada makrofag normal yang tidak
teraktivasi Selain bersifat patogen M. tuberculosis dapat berfungsi
sebagai ajuvan yaitu komponen bakteri yang dapat meningkatkan
respon imun sel T dan sel B apabila dicampur dengan antigen
terlarut. Ajuvan yang banyak digunakan dalam laboratorium adalah
Freund’s ajuvan yang terdiri dari M. tuberculosis yang telah
dimatikan dan disupensikan dalam minyak kemudian diemulsikan
dengan antigen terlarut (Cermin dunia kedokteran, 2002).

1.3. Gejala klinis pasien TB (Depkes RI, 2006)


6

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula
pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.

1.4. Diagnosis TB paru (Depkes RI, 2006)


Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik
Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

1.5. Klasifikasi penyakit (Depkes RI, 2006)


a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
7

2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ


tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,
yaitu pada TB Paru :
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b) Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum
pasien buruk.
8

2) TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan


penyakitnya, yaitu :
a) TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

1.6. Tipe Pasien (Depkes RI, 2006)


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain :
9

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

1.7. Cara penularan (Depkes RI, 2006)


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

1.8. Risiko penularan (Depkes RI, 2006)


a. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
b. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi
antara 1-3%.
10

c. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi


positif.
1.9. Risiko menjadi sakit TB (Depkes RI, 2006)
a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
b. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
c. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
d. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik,
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah
bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

1.10. Pengobatan TB (Depkes RI, 2006)


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Tabel 2. Jenis, sifat dan dosis OAT
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/Kg)
Harian 3 X seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
11

Streptomycin (S) Bakterisid 15 15


(12-18) (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (25-35)
Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis,
Depkes RI, 2006

a. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut :
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
b. Tahap awal (intensif)
1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
c. Tahap Lanjutan
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
12

d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia :
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini,
disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
3) Kategori Anak : 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara
ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak Terdiri dari obat lepas yang
dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk
satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
e. Paduan OAT dan peruntukannya.
13

1) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : Pasien baru TB paru BTA
positif, Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, Pasien TB ekstra
paru.
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tahap intensif Tahap lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama
Berat badan
RHZE (150/75/400/275) 16 minggu RH
(150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis,
Depkes RI, 2006.

2) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya : Pasien kambuh, Pasien gagal, Pasien dengan pengobatan
setelah default (terputus).

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap lanjutan 3 kali
Tahap intensif tiap hari RHZE
seminggu RH
Berat (150/75/400/275) + S
(150/150) + E (275)
badan
Selama 56 hr Selama 28 Selama 20 minggu
hr
14

30 – 37 kg 2 tab 4 KDT + 2 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab


500 mg Ethambutol
Streptomicin
inj.
38 – 54 kg 3 tab 4 KDT + 3 tab 4 KDT 3 tab 2 KDT + 3 tab
750 mg Ethambutol
Streptomicin
inj.
55 – 70 kg 4 tab 4 KDT + 4 tab 4 KDT 4 tab 2 KDT + 4 tab
1000 mg Ethambutol
Streptomicin
inj.
≥ 71 kg 5 tab 4 KDT + 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT + 5 tab
1000 mg Ethambutol
Streptomicin
inj.
Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis,
Depkes RI, 2006.

Catatan :
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4ml. (1 ml = 250 mg).

3) OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 5. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat badan Tahap intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT
15

≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT
Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis,
Depkes RI, 2006.

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya


kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lapis pertama.Disamping itu dapat juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

1.11. Pengawasan Menelan Obat (Depkes RI, 2006)


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati
oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien.
b. Siapa yang bisa menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat
lainnya atau anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
16

1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai


selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya :
1) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
2) TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK.

1.12. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan TB (Depkes RI, 2006)


a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.Untuk memantau kemajuan
17

pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali


(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2
spesimen tersebut negatif.Bila salah satu spesimen positif atau keduanya
positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak
lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.

Tabel 6. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak


Tipe pasien Hasil
Tahap
pemeriksaan Tindak lanjut
TB pengobatan
dahak
Negatif Tahap lanjutan dimulai
Dilanjutkan dengan OAT
sisipan selama 1 bulan.
Akhir tahap
Jika setelah sisipan
Pasien baru intensif Positif
masih tertap positif,
BTA positif
tahap lanjutan tetap
dan pasien
diberikan.
BTA negative
Sebulan Negatif Pengobatan dilanjutkan
(-) rontgen
sebelum Pengobatan diganti
(+) dengan
akhir Positif dengan OAT kategori 2
pengobatan
pengobatan dimulai dari awal.
kategori 1
Negatif Pengobatan diselesaikan
Akhir
Pengobatan diganti
pengobatan
Positif dengan OAT kategori 2
(AP)
dimulai dari awal.
Pasien BTA Akhir intensif Negatif Teruskan pengobatan
positif dengan tahap lanjutan
18

Berikan sisipan 1 bulan.


Jika setelah sisipan
masih tetap positif,
Positif teruskan pengobatan
tahap lanjutan, jika
dengan mungkin rujuk ke unit
pengobatan pelayanan spesifik.
ulang Sebulan Negatif Pengobatan diselesaikan
kategori 2 sebelum Pengobatan dihentikan
akhir Positif dan segera rujuk ke unit
pengobatan pelayanan spesifik.
Akhir Negatif Pengobatan diselesaikan
pengobatan Rujuk ke unit pelayanan
Positif
(AP) spesifik

Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis, Depkes


RI, 2006.

Tabel 7. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur


Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan :
- Lacak pasien.
- Diskusikan dengan pasien untuk mencari masalah berobat tidak
teratur.
- Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai.
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 – 2 bulan :
Tindakan 1 Tindakan 2
- Lacak Bila hasil BTA
Lanjutkan pengobatan sampai
pasien. (-) atau TB
seluruh dosis selesai
- Diskusikan ekstra paru
dan cari Bila satu atau Lama Lanjutkan
masalah. lebih hasil pengobatan pengobatan
- Periksa 3 kali BTA (+) sebelumnya sampai seluruh
dahak SPS kurang dari 5 dosis selesai
dan lanjutkan bulan
19

pengobatan Lama - Kategori-1 :


sementara pengobatan mulai kategori-
menunggu sebelumnya 2
hasilnya. lebih dari 5 - Kategori-2 :
bulan rujuk mungkin
kasus kronik.
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (default)
- Periksa 3 kali Pengobatan dihentikan, pasien
Bila hasil BTA
dahak SPS. diobservasi, bila gejalanya semakin
(-) atau TB
- Diskusikan parah perlu dilakukan pemeriksaan
ekstra paru
dan cari kembali (SPS dan atau biakan)
masalah. Kategori-1 Mulai Kategori-2
- Hentikan Kategori-2 Rujuk, mungkin
pengobatan kasus kronik.
Bila satu atau
sambil
lebih hasil
menunggu
BTA (+)
hasil
pemeriksaan
dahak
Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis,
Depkes RI, 2006.

Keterangan :
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan :
Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan lanjutkan pengobatan dulu
sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus
diperiksa dahak.
b. Hasil Pengobatan
1) Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan
pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.
2) Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
3) Meninggal
20

Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena


sebab apapun.
4) Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03
yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
5) Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
6) Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

1.13. Efek Samping OAT Dan Penatalaksanaannya (Depkes RI, 2006)


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan gejala.
Tabel 8. Efek samping ringan OAT
Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada Semua OAT diminum
napsu makan, Rifampicin malam sebelum tidur
mual, sakit perut.
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan Beri vitamin B6 100 mg per
s/d rasa terbakar INH hari
di kaki
Warna kemerahan Tidak perlu diberi apa-apa,
pada air seni Rifampicin tapi perlu penjelasan
(urine) kepada pasien.
Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis,
Depkes RI, 2006.

Tabel 9. Efek samping berat OAT


Efek samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan Ikuti petunjuk
Semua jenis OAT
kemerahan kulit penatalaksanaan dibawah
21

Streptomisin dihentikan
Tuli Streptomisin
ganti Etambutol
Gangguan Streptomisin dihentikan
Streptomisin
keseimbangan ganti etambutol
Ikterus tanpa Hentikan semua OAT
Hampir semua OAT
penyebab lain sampai ikterus menghilang
Bingung dan Hentikan semua OAT,
muntah-muntah segera lakukan tes fungsi
Hampir semua OAT
(permulaan ikterus hati
karena obat)
Gangguan Hentikan Etambutol
Ethambutol
penglihatan
Purpura dan
Rifampisin Hentikan Rifampisin
renjatan (syok)
Sumber : Pedoman Nasional penanggulangan Tuberculosis,
Depkes RI, 2006.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit” :


Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh
gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan
dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan
ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun
pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila
keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai
kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini
bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan
obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
b. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau
karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
22

kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila


dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut
dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal
ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
d. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang
paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam
pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas
terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat
dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien
TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang
berat.

2. Kepatuhan
2.1. Pengertian
Kepatuhan (bahasa Inggris : compliance) berarti mengikuti
suatu spesifikasi, standar, atau hukum yang telah diatur dengan
jelas yang biasanya diterbitkan oleh lembaga atau organisasi yang
berwenang dalam suatu bidang tertentu ( Wikimedia, 2008 ).
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran
klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan dkk, 1997).
Sackett (1976) dikutip dari Utami (2008) mendefenisikan ketaatan atau
kepatuhan pasien yaitu perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh profesional kesehatan.
23

2.2. Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan


Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut
Suddart dan Brunner (2002) dikutip dari Syakira (2009) adalah :
a. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa,
status sosio ekonomi dan pendidikan.
b. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya
gejala akibat terapi.
c. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan
efek samping yang tidak menyenangkan.
d. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,
keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan lainnya
yang termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut diatas
juga ditemukan oleh Bart Smet dalam psikologi kesehatan.

2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan


Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat digolongkan menjadi 4
bagian, yaitu :
a. Pemahaman tentang instruksi
Tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham
tentang instruksi yang diberikan padanya. hal ini bisa disebabkan kegagalan
profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,
penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus
diingat oleh pasien.
Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan
oleh Nicola dan Dimetto (1984), dengan cara :
1) Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.
24

2) Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang


lain. jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus
diingat.
3) Maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha mengingat hal-
hal yang pertama kali tertulis. efek keunggulan ini telah terbukti mampu
menguatkan ingatan tentang informasi-informasi medis.
4) Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan
hal-hal penting harus ditekankan.
b. Kualitas instruksi
Kualitas instruksi antara profesional kesehatan dengan pasien merupakan
bagian penting dalam menentukan derajat kepatuhan. penggunaan istilah
medis yang berlebihan, kurang empati dan pasien tidak memperoleh
kejelasan tentang penyakitnya seringkali menimbulkan kecemasan pada
pasien.
c. Isolasi sosial dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan serta menentukan tentang program
pengobatan yang dapat mereka terima. keluarga juga memberi dukungan dan
membuat keputusan mengenai perawatan dari para anggota keluarga yang
sakit.derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain.
isolasi sosial secara negatif berhubungan dengan kepatuhan.
d. Keyakinan, sikap dan Kepribadian
Blumental pada tahun 1982 menggunakan Minnesota Multiphasic
Personality Inventasory pada 35 pasien IMA untuk mengukur kepatuhan
mereka terhadap program latihan. mereka menemukan bahwa data pribadi
secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan gagal. orang-orang
yang tidak patuh adalah orang-orang yang mengalami depresi, cemas, sangat
memperhatikan kesehatannya, mereka yang memiliki ego yang lebih lemah
dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian kepada dirinya
25

sendiri. kekurangan ego yang lemah ditandai dengan kekurangan dalam hal
pengendalian diri sendiri dan kurangnya penguasaan terhadap lingkungan.
pemusatan terhadap diri sendiri dalam lingkungan sosial mengukur tentang
bagaimana kenyamanan seseorang berada dalam situasi sosial.jadi jelas
pentingnya hubungan antara profesional kesehatan dan pasien, keluarga dan
teman. kenyataan tentang kesehatan dan kepribadian seseorang berperan
dalam menentukan respons pasien terhadap anjuran pengobatan.

2.4. Faktor-faktor yang mendukung kepatuhan


Jika faktor pendukung lebih besar daripada hambatannya, kepatuhan harus
mengikuti. dibawah ini adalah faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pasien
menurut Fuerstein (1986) :
a. Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan
buku-buku dan kaset-kaset oleh pasien secara mandiri.
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan. pasien yang cemas harus diturunkan dulu
tingkat kecemasannya dengan cara meyakinkan dia sehingga ia termotivasi
untuk mengikuti anjuran karena pasien yang mandiri harus dapat merasakan
bahwa ia dilibatkan.

c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial


Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman- teman.
kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap
program pengobatan.
d. Perubahan model terapi
26

Perubahan pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat


aktif dalam pembuatan program pengobatan. dengan cara ini komponen-
komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat untuk
selanjutnya dapat mematuhi komponen yang lebih kompleks.
e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien
Penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh
informasi tentang diagnosis. pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisi
saat itu. ini juga dapat meningkatkan kepercayaan pasien.

2.5. Kendala individu terhadap kepatuhan


Peninjauan sistematis terhadap semua penelitian ditertibkan tentang kepatuhan
dinegara maju dan berkembang menemukan bersama kendala pada kepatuhan
yang sangat jelas dan faktor pendukung kepatuhan yang baik diantara semua
orang diseluruh dunia.

Tabel 10. Kendala dan pendukung dalam kepatuhan


Kendala Pendukung
-Lupa memakan obat/terlalu sibuk. - Keyakinan bahwa obat
-Takut statusnya terungkap berhasil/melihat hasil yang
-Mengganggu kehidupan sehari- positif
hari/jauh dari rumah - Pengungkapan
-Tidak memahami pengobatan status/dukungan sosial
-Efek samping nyata dan diduga - Dosis dua kali sehari/kurang
-Persepsi/keputusasaan lebih sedikit pil
-Penggunaan narkoba/alkohol - Hubungan yang baik dengan
bersamaan penyedia perawatan kesehatan
27

-Tidak percaya dengan obat-obatan


Sumber : Sackett (1976) dikutip dari Utami (2008)

3. Pengetahuan
3.1. Pengertian
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo. S, 1993 dikutip dari Siaksoft network ).
Pengetahuan adalah pembentukan pemikiran asosiatif yang
menghubungkan dan menjalin sebuah pikiran dengan kenyataan
(Wilson, Drs. M. Si FKIP UNRI dikutip dari Siaksoft network).
Menurut teori Lawrence Green (1980), mengemukakan
bahwa perilaku individu mempunyai pengaruh positif terhadap
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, yang dipengaruhi oleh
3 faktor pendukung yaitu faktor prediposisi (predisposing factors),
faktor pendukung (Enabling factors) dan faktor pendorong
(reinforcing factors).

a. Faktor prediposisi (predisposing factors)


Faktor ini merupakan faktor yang mempermudah dalam
upaya penggunaan kesehatan dan menjadi dasar atau
motivasi yang mencakup : pengetahuan, pendidikan, sikap,
tradisi, nilai.
dan lain-lain.

b. Faktor pendukung (Enabling factors)


Merupakan faktor yang mendukung berperilaku kesehatan
yang dianjurkan. Faktor ini mencakup : sarana dan prasarana
28

atau fasilitas kesehatan, jarak lokasi, biaya, sumber daya dan


sebagainya.
c. Faktor pendorong (reinforcing factors).
Sebagai faktor pendorong untuk berperilaku yang
diharapkan, faktor ini mencakup: sikap dan perilaku petugas
kesehatan, tokoh masyarakat, Undang-undang dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

3.2. Tingkat pengetahuan


Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif (Notoatmojo,
2003) :
a. Tahu (Know)
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Oleh sebab itu tahu ini merupakan
tingkah pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek.

c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk memahami
materi yang lebih dipelajari pada kondisi dan situasi real.
d. Analiasa (Analysis)
Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu dengan yang
lainnya. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari
29

penggunaan kata kerja seperti dapat menggambar (membuat


bagian), membedakan, mengelompokkan .
e. Sintesis
Suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian suatu bentuk keseluruhan
yang baru, misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan,
dapat meringkas dan dapat menyesuaikan terhadap suatu
teori atau rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi
Penilaian terhadap satau materi atau objek, penilaian itu
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang telah ada. Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur
dari subjek penelitian atau responden. Dalam penelitian ini
pengetahuan diukur hanya pengetahuan pada tingkat
pertama yaitu tahu.

3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan


a. Pendidikan
Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi
sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya
pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan ( Kuncoroningrat
dalam Notoatmodjo, 2003 ).
b. Pekerjaan
30

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan


cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan
( Erich dalam Notoatmodjo, 2003 ).
c. Umur
Umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun (
Elisabeth dalam Notoatmodjo, 2003 ).

B. Kerangka Teori

Perilaku

Faktor predisposisi : Faktor pendukung : Faktor pendorong :


- Pengetahuan - Sarana dan prasarana
- Pendidikan atau fasilitas kesehatan - Sikap dan perilaku
- Sikap - Jarak lokasi petugas kesehatan
- Tradisi - Biaya
- Nilai - Sumber daya - Tokoh masyarakat

Gambar 1. Kerangka Teori


Sumber : Lawrence Green (1980), dikutip dari Notoatmodjo (2005)
C. Kerangka Konsep

Pengetahuan Kepatuhan Output pengobatan

- Minum OAT - Sembuh


- Berkunjung ke puskesmas - Tidak sembuh
Sikap

Ket :
31

: Area penelitian
Gambar 2. Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai