Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

EDEMA PARU

I. KAJIAN TEORI
1.1 Pengertian
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di
ekstra vaskuler dalam paru.( Arief Muttaqin, 2008 ).
Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tindak lanjut,
dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes
keluar menimbulkan dispneu sangat berat. (Smeltzer,C.Suzanne.2008).
Edema paru adalah akibat dari perubahan fisiologis tekanan dalam
paru seperti ketika aliran darah berlangsung sangat cepat dan tidak normal
sehingga terlalu membebani sistem sirkulasi tubuh yang kemudian
menyebabkan terakumulasinya cairan dalam paru.

1.2 Etiologi
Menurut Arif Muttaqin.2008. Edema paru disebapkan karena 4 hal
yaitu :
1. Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan
osmotic plasma penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar
dari pembuluh lebih tinggi, sementara jumlah cairan yang direabsorpsi
kurang dari normal, dengan demikian terdapat cairan tambahan yang
tertinggal diruang–ruang interstisium. Edema yang disebabkan oleh
penurunan konsentrasi protein plasma dapat terjadi melalui beberapa cara:
pengeluaran berlebihan protein plasma di urin akibat penyakit ginjal,
penurunan sintesis protein plasma akibat penyakit hati (hati mensintesis
hampir semua protein plasma), makanan yang kurang mengandung protein
atau pengeluaran protein akibat luka bakar yang luas.
2. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma
yang keluar dari kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak.
Sebagai contoh, melalui pelebaran pori - pori kapiler yang dicetuskan oleh
histamin pada cedera jaringan atau reaksi alergi. Terjadi penurunan
tekanan osmotik koloid plasma yang menurunkan kearah dalam
sementara peningkatan tekanan osmotic koloid cairan interstisium yang
disebabkan oleh kelebihan protein dicairan interstisium meningkatkan
tekanan kearah luar, ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan
edema lokal yang berkaitan dengan cedera ( misalnya, lepuh ) dan respon
alergi (misalnya, biduran).
3. Peningkatan tekanan vena, misalnya darah terbendung di vena, akan
disertai peningkatan tekanan darah kapiler, kerena kapiler mengalirkan isi
nya kedalam vena. Peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini
terutama berperan pada edema yang terjadi pada gagal jantung kongestif.
Edema regional juga dapat terjadi karena restriksi lokal aliran balik vena.
Salah satu contoh adalah adalah pembengkakan di tungkai dan kaki
yang sering terjadi pada masa kehamilan. Uterus yang membesar menekan
vena – vena besar yang mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada
saat vena-vena tersebut masuk ke rongga abdomen. Pembendungan darah
di vena ini menyebabkan kaki yang mendorong terjadinya edema regional
di ekstremitas bawah.
4. Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema,karena kelebihan
cairan yangdifiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat
dikembalikan kedarah melalui sistem limfe.
Secara umum terjadinya edema disebabkan oleh beberapa hal antara
lain:
1. Edema yang disebabkan oleh dinamika kapiler yang abnormal, bahwa
beberapa kelainan dalam dinamika ini dapat meningkatkan
tekanan jaringan dan sebaliknya edema cairan ekstrasel.
Berbagai penyebab edema cairanekstrasel tersebit adalah:
a. Peningkatan tekanan kapiler, yang menyebabkan filtrasi cairan
berlebihan melalui kapiler-kapiler.
b. Penurunan protein plasma, yang menyebabkann pengurangan tekanan
osmotiskoloid plasma sehingga gagal menahan cairan di dalam
kapiler-kapiler.
c. Obstruksi limfe, yang menyebabkan protein terkumpul di dalam
ruangan jaringan sehingga menyebabkan cairan berosmosis ke luar
dari kapiler-kapiler.
d. Peningkatan permeabilitas kapiler, yang memungkinkan protein dan
cairan secara berlebihan merembes ke ruang-ruang jaringan.
2. Edema karena retensi cairan oleh ginjal bila ginjal gagal mengekskresikan
urin dalam jumlah memadai, dan orang tersebut terus minum air dalam
jumlah normal dan menelan elektrolit dalam jumlah normal, jumlah total
cairan ekstrasel dalam tubuh meningkat secara progresif. Cairan ini
diadsorpsi dari usus ke dalam darah dan meningkatkan tekanan kapiler. Ini
sebaliknya menyebabkan sebagian terbesar cairan tersebut masuk ke
dalam ruang cairan interstisial, sehingga juga meningkatkan tekanan
interstisial itu. Oleh karena itu, retensi cairan oleh ginjal saja dapat
menyebabkan edema ekstensif.
3. Edema yang disebabkan oleh payah jantung, payah jantung merupakan
salah satu penyebab edema yang paling sering, karena bila jantung tak lagi
memompakan darah keluar dari vena, dengan mudah maka darah akan
terbendung dalam system vena. Tekanan kapiler meningkat, dan timbul
“edema jantung” yang serius. Tambahan lagi, sering ginjal berfungsi buruk
pada payah jantung, dan ini semakin memperhebat edema.

1.3 Tanda gejala


Serangan mendadak yang khas pada edema paru terjadi setelah pasien
berbaring selama beberapa jam. Posisi baring akan meningkatkan aliran balik
vena ke jantung dan memudahkan penyerapan kembali edema dari tungkai.
Darah yang beredar menjadi lebih encer dan volumenya bertambah. Tekanan
vena meningkat dan atrium kanan terisi lebih cepat. Akibatnya terjadi
peningkatan curah ventrikel kanan yang ternyata melebihi curah ventrikel kiri.
Pembuluh darah paru membesar oleh darah dan mulai mengalami kebocoran.
Sementara pasien mulai merasa gelisah dan cemas. Terjadi awitan kesulitan
bernapas mendadak dan perasaan tercekik. Tangan pasien menjadi dingin dan
basah, kuku sianosis, dan warna kulit menjadi abu-abu sampai pucat.
Selain itu denyut nadi juga melemah, dan cepat, vena leher menegang.
Pasien mulai batuk, dengan mengeluarkan sputum yang banyak. Dengan
berkembangnya edema paru, kecemasan berubah menjadi panik. Napas
berbunyi dan basah, pasien yang mulai tercekik oleh darah, mengeluarkan
cairan berbusa ke bronchi dan trakhea. Gejala yang paling umum dari
pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah penimbulan yang
berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat
mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut.
Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, napas yang cepat
(tachypnea), kepeningan, atau kelemahan. Tingkat oksigen darah yang rendah
(hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema.
Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter
mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau
crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3
stadium:
1. Stadium I
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
2. Stadium II
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkho konstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal
ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
3. Stadium III
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat
terganggu,terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak
sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume
paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary
shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang
berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and
Braunwald, 1988). Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut
biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Kadang kadang penderita dengan
Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal, hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema
secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau,
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

1.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik
dan non-kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya
sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya payah
jantung kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan
oleh adanya payah jantung kiri akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi,
dapat terjadi pula pada penderita payah jantung kiri kronis.
1. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya
kelainan pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya
seperti jantung memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi
memompa. Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang
tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh
fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh
fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab
seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot
jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang
abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah
yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat,
pada gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah
didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar.
2. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya
disebabkan oleh hal berikut:
a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS), Pada ARDS, integritas
dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon
peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli
yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-
pembuluh darah.
b. Kondisi yang berpotensi serius, disebabkan oleh infeksi-infeksi yang
parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi
paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari
tubuh, menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh
darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan
gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk
mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh
kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10.000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage),
seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat ada kalanya
berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan
neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat, dapat ada kalanya menyebabkan
re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus
ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari
cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada
ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary
edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonaryedema).
g. Penyebab yang jarang terjadi, overdosis pada heroin atau methadone
dapat menjurus pada pulmonary edema. Overdosis aspirin atau
penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronisdapat menjurus pada
aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema. Penyebab-penyebab lain yang lebih
jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema mungkin termasuk
pulmonary embolism (gumpalan darahyang telah berjalan ke paru-
paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau
transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi
virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.

1.5 Pathofisiologi
Pemahaman mengenai mekanisme ini memerlukan tinjauan mengenai
pembentukkan dan reabsorbsi cairan paru serta struktur ultra paru.
Ruang alveolar dipisahkan dari interstisium paru terutama oleh sel epitel
alveoli Tipe I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barier relatif non
permiabel terhadap aliran cairan dari interstitium ke rongga–rongga udara
(spaces). Faktor penentu yang paling penting dalam pembentukkan
cairan ekstra vaskuler adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik
dalam lumen kapiler dan ruang interstitial, serta permeabilitas sel endotelium
terhadap air, zat terlarut (solut) dan molekul besar seperti protein plasma
(Aryanto,1994). Ciri perubahan dini pada edema paru adalah terjadinya
peningkatan aliran limfatik. Perubahan ini terjadi karena saluran limfatik
terjalin dalam jaringan ikat longgar yang mengelilingi arteriola paru dan
saluran pernafasan yang kecil pembekaan saluran limfatik ini akan berdampak
pada struktur sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya perubahan hubungan
tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya obstruksi
pada saluran kecil yang telah dibuktikan sebagai perubahan fisiologis dini
pada klien dengan gagal jantung kiri mengingat lesi ini tidak merata disaluran
paru, maka timbul perubahan dalam distribusi, ventilasi, dan perfusi yang
kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia ringan terkenanya arteriola
kecil juga menyebabkan gambaran radiologis dini pada gagal jantung kiri,
yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke apek paru pada klien dengan
posisi tegak. Jika terbentuknya cairan intersisial melebihi kapasitas sistem
limfatik, maka terjadi edema dinding alveolar. Pada fase ini komplan paru
berkurang hal ini menyebabkan terjadinya takipneu yang mungkin tanda klinis
awal pada klien dengan edema paru. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan
aliran darah menyebabkan hipoksenia memburuk. Meskipun demikian,
ekskresi karbondioksida tidak terganggu dan klien akan menunjukkan keadaan
hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik. Selain hal yang telah disebutkan
diatas gangguan difusi juga berperan, dan pada fase ini mungkin terjadi
peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak mengalami
ventilasi. Pada fase alveolar penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi
lebih berat dan komplain akan menurun dengan nyata (Nowak, 2004). Alveoli
terisi cairan dan pada saat yang sama aliran darah kedaerah tersebut
tetap berlangsung, maka pintas kanan ke kiri aliran darah akan
menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksia yang rentan terhadap
peningkatan konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada keadaan yang
amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratorik akan tetap berlangsung.
Secara radiologis akan tampak gambaran infiltrat alveolar yang tersebar
diseluruh paru, terutama daerah parahilar dan basal. Ketika klien
dalam keadaan sadar dia akan tampak mengalami sesak nafas hebat dan
ditandai dengan takipnea, takikardi, serta sianosis bila pernafasannya tidak
dibantu. Keadaan ini disebut sebagai adult respiratory sindrom (ARDS).

1.6 Pathway
1.7 Komplikasi
Pada pasien dengan edema paru kemungkinan untuk terjadi gagal
napas sangat tinggi jika tidak dilakukan penatalaksanaan dengan tepat. Hal ini
dikarenakan terjadinya akumulasi cairan pada alveoli yang menyebabkan
ketidakmampuan paru untuk melakukan pertukaran gas O2 dan CO2 secara
adekuat, sehingga mengakibatkan pasokan Oksigen ke jaringan paru menjadi
sedikit.

1.8 Pemeriksaan penunjang


Diagnosis ditegakkan dengan mengevaluasi manifestai klinis
sehubungan dengan kongesti paru. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
antara lain berupa:
1. EKG
Untuk melihat apakah terdapat sinus takikardi dengan hipertropi atrium
kiri ataufibrilasi atrium, tergantung penyebap gagal jantung, gambaran
infark, hipertrofiventrikel kiri atau aritmia
2. Laboratorium
a. Analisa Gas Darah : pO2 rendah, pCO2 mula mula rendah kemudian
hiperkapnea.
b. Enzim jantung : meningkat jika penyebab gagal jantung adalah infark
miokard.
1) Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalis, enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi coroner.
2) Foto thorak Gambaran radiologisnya berupa :
a) Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskuler di hilus).
b) Corakan paru meningkat (> 1/3 lateral).
c) Kranialisasi vaskuler.
d) Hilus suram (batas tidak jelas)
 Echokardiography : gambaran penyebab gagal jantung :
kelainan katup, hipertopi ventrikel (hipertensi), segemental
wall motion abnormally (PJK) umumnya ditemukan dilatasi
ventrikel kiri/atrium kiri
 Pulmonary Artery Catheter: Pulmonary artery catheter
(Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter)
yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau
leher dan dimajukan melalui ruang– ruang sisi kanan
dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil
dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini
mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut
pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18
mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan
cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure
yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter
Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada
intensive careunit (ICU).

1.9 Penatalaksanaan medis


Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Edema Paru akut
adalah mengurangi volume sirkulasi total untuk memperbaiki pertukaran gas
pernapasan. Tujuan ini dapat dicapai dengan kombinasi terapi oksigen dan
terapi medis.
Oksigenasi, oksigen diberikan dengan konsetrasi yang adekuat untuk
mengurangi hipoksia dan dispnea. Bila tanda-tanda hipoksia menetap, oksigen
harus diberikan dengan tekanan positif intermiten atau kontinu. Bila terjadi
gagal napas, meskipun penatalaksanaan telah optimal, perlu diberikan
intubasi endotrakea dan ventilasimekanis. Penggunaan tekanan positif akhir
ekspirasi sangat efektif mengurangi aliran balik vena, menurunkan tekanan
kapiler paru, dan memeperbaiki oksigenasi.Oksigenasi dipantau melalui pulse
oksimetri dan pengukuran AGD.
Farmakologi, dilakukan pemberian Morfin secara intravena dalam
dosis kecil untuk mengurangi kecemasan dan dispnea serta menurunkan
tekanan perifer sehingga darah dapat didistribusikan dari paru ke bagian tubuh
lain. Hal tersebut akan menurunkan tekanan dalam kapiler paru dan
mengurangi perembesan cairan ke jaringan paru. Morfin juga bermanfaat
dalam menurunkan kecepatan napas. Morfin tidak boleh diberikan bila edema
paru disebabkan oleh cedera vaskuler otak, penyakit paru kronis, atau syok
kardiogenik. Pasien harus diawasi bila terjadi depresi pernapasan berat.
Diuretik, Furosemide diberikan secara intravena untuk memberi efek
diuretic yang cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan
penimbunan darah di pembuluh darah perifer yang pada gilirannya
mengurangi jumlah darah yang kembalike jantung, bahkan sebelum terjadi
efek diuretik.Digitalis. Diberikan untuk meningkatkan kontrakitilitas jantung
dan curah ventrikel kiri. Perbaikan kotrakitilitas jantung akan meningkatakan
curah jantung,memperbaiki diuresis dan menurunkan tekanan diastole. Jadi
tekanan kapiler paru dan trasnudasi atau perembesan cairan ke alveoli akan
berkuarang.
Aminofilin, bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme
yang berarti, maka perlu diberikan aminofilin untuk merelaksasi
bronkospasme. Aminofilin diberikan melalui intravena secara terus menerus
dengan dosis sesuai berat badan.
II. ASKEP TEORI
2.1 Pengkajian
1. Identitas klien dan Penanggung jawab
Nama : Jenis Kelamin :
No. Reg : Diagnosis medis :
Umur : Suku/Bangsa :
Tgl. MRS : Tgl Pengkajian :
Agama : Pekerjaan :
Alamat : Pendidikan :

2. RIWAYAT KEPERAWATAN (NURSING HISTORY)


a. Keluhan utama :
Singkat dan jelas, 2 atau 3 kata yang merupakan keluhan yang
membuat pasien meminta bantuan kesehatan. Jika pengkajian
dilakukan setelah beberapa hari pasien MRS maka keluhan utama diisi
dengan keluhan yang dirasakan saat pengkajian. Misalnya: keluhan
utama pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan: sesak nafas,
batuk.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Provokatif Qualitas Regio Skala Time (analisis gejala keluhan
utama yang meliputi awitan, waktu, durasi, karakteristik, tingkat
keparahan, lokasi, faktor pencetus, gejala yang berhubungan
dengan keluhan utama, dan faktor yang menurunkan keparahan).
Merupakan penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan
sampai di bawa ke pelayanan kesehatan. Jika pengkajian dilakukan
beberapa hari setelah pasien rawat inap, maka riwayat penyakit
sekarang ditulis dari permulaan pasien merasakan keluhan sampai
kita melakukan pengkajian.
2) Upaya yang telah dilakukan : Upaya pasien yang dilakukan untuk
mengatasi masalah sebelum dilakukan pengkajian.
3) Terapi/operasi yang pernah dilakukan : Pengobatan/ operasi yang
pernah di dapatkan berhubungan dengan kasus sekarang sebelum
rawat inap di pelayanan kesehatan.
c. Riwayat Kesehatan Terdahulu
1) Penyakit berat yang pernah diderita : akut, kronis atau fraktur
(semua riwayat penyakit yang pernah di derita, operasi). Obat-obat
yang biasa dikonsumsi : obat dengan resep atau dengan bebas atau
herbal (sebutkan jenis dan kegunaannya).
2) Kebiasaan berobat : pelayanan kesehatan dan non tenaga
kesehatan.
3) Alergi (makanan, minuman, obat, udara, debu, hewan) sebutkan:
Kebiasaan merokok, minuman (penambah energy, suplemen
makanan/ minuman, alkohol), makanan siap saji.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
1) Penyakit yang dialami satu anggota keluarga, bila merupakan
penyakit keturunan, mengkaji 3 generasi ke atas. Mencangkup
setiap kelainan genetik keluarga (HT, DM)/ penyakit dengan
kecenderungan keluarga (cancer), penyakit menular (TBC,
Hepatitis, HIV/AIDS), gangguan psikiatrik (skizofrenia) dan
penyalahgunaan obat.
2) Genogram, dituliskan 3 generasi keatas lengkap dengan
keterangannya.
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Khusus untuk penyakit infeksi/ penyakit yang disebabkan oleh kondisi
lingkungan. Identifikasi lingkungan rumah/ keluarga, pekerjaan atau
hobi klien (yang berhubungan dengan penyakit klien), fokuskan pada
adanya paparan yangmenyebabkan penyakit tersebut (debu, asbestosis,
silica atau zat racun lainnya) tanyakan keadaan lingkungan klien,
lingkungan yang penuh (crowded) resiko peningkatan infeksi pada
saluran pernafasan seperti TBC, Virus dll.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda Vital, TB dan BB :
S : °C TB : cm
N : x/menit BB : Kg
TD : mmHg
RR : x/menit

4. PEMERIKSAAN PER SISTEM


a. Sistem Pernafasan
Anamnese : pasien mengeluh sesak nafas
1) Hidung
Inspeksi : ada pernafasan cuping hidung, adanya spuntum yang
banyak
2) Mulut
Inspeksi : mukosa bibir sianosis
3) Leher
Inspeksi : Tidak ada bendungan vena jugularis, trakheostomi
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa.
4) Dada
Inspeksi : Dada tidak simetris, adanya odema
Palpasi : Ada nyeri tekan
Perkusi : Adanya pembesaran paru
Auskultasi: Suara ronkhi (+)

b. Sistem kardiovaskuler
Anamnesa : sesak nafas
1) Wajah
Inspeksi : sianosis, tampak oedema dan gelisah
2) Leher
Inspeksi: Tidak ada bendungan vena jugularis, trakheostomi
3) Dada
Inspeksi : Dada tampak oedema
Palpasi : Ada nyeri tekan, ictus cordis ICS 5 midklavikula sinistra.
Perkusi : Ada pembesaran jantung
Auskultasi: Adanya suara ronchi
4) Ekstremitas atas
Inspeksi : Ada edema, ada kelemahan otot.
Palpasi : CRT kurang dari 2 detik
5) Ekstremitas bawah
Inspeksi : Ada edema, ada kelemahan otot, clubbing finger (-)
Palpasi : CRT kurang dari 2 detik

c. Sistem persyarafan
Anamnesa : pasien mengeluh nyeri pada area dada.
1) Uji nervus I olfaktorius ( pembau) : pasien dapat membedakan bau
bauan
2) Uji nervus II opticus ( penglihatan) : tidak ada katarak, infeksi
konjungtiva atau infeksi lainya, pasien dapat melihat dengan jelas
tanpa menggunakan kacamata
3) Uji nervus III oculomotorius : tidak ada edema kelopak mata,
hipermi konjungtiva, hipermi sklera kelopak mata jatuh (ptosis),
celah mata sempit (endophthalmus), dan bola mata menonjol
(exophthalmus)
4) Nervus IV toklearis : ukuran pupil normal
5) Nervus V trigeminus (sensasi kulit wajah) : pasien dapat membuka
dan menutup mulut
6) Nervus VI abdusen : tidak ada strabismus (juling), gerakan mata
normal
7) Uji nervus VII facialis : pasien dapat menggembungkan pipi, dan
menaikan dan menurunkan alis mata.
8) Nervus VIII auditorius/ AKUSTIKUS : pasien dapat mendengar
kata-kata dengan baik
9) Nervus IX glosoparingeal : terdapat reflek muntah
10) Nervus X vagus : dapat menggerakan lidah
11) Nervus XI aksesorius : dapat menggeleng dan menoleh kekiri
kanan, dan mengangkat bahu
12) Nervus XII hypoglosal/ hipoglosum : dapat menjulurkan lidah.
13) Tingkat kesadaran pasien : GCS menurun

d. Perkemihan eliminasi urin


Anamnesa : Pasien tidak mengeluh susah BAK. BAK : jumlah yang
keluar 1000 cc/ 8jam, warna kuning, frekuensi 3x sehari.

e. Sistem pencernaan
Anamnese : pasien mengeluh nafsu makan menurun, mual dan muntah
1) Mulut
Inspeksi : Mulut simetris, mukosa bibir kering, ada alat bantu nafas
2) Lidah
Inspeksi : Lidah tidak tremor, tidak ada lesi, warna putih.
3) Abdomen
Inspeksi : Tidak ada pembesaran abdomen
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : kuadran I hepar tidak teraba, kuadran II nyeri tekan,
kuadran III tidak ada skibala, kuadran IV tidak ada nyeri tekan
pada titik mc burney BAB : tidak ada masalah, sudah BAB 1x
sehari, warna kuning, padat.

f. Sistem Muskuluskeletal dan Integumen


Anamnese : pasien mengatakan merasa lelah dan pegal-pegal di
seluruh anggota tubuhnya
1) Warna kulit
Inspeksi : Kulit kering, turgor menurun
Palpasi : Kulit terasa panas, ada kelemahan otot, akral dingin
2) Ekstremitas atas
Inspeksi : Ada edema, ada kelemahan otot, tangan kanan dipasang
infus
Palpasi : Ada edema,ada nyeri tekan, suhu akral dingin, CRT <2dtk
dan turgor menurun
3) Ekstremitas bawah
Inspeksi : Ada edema, ada kelemahan otot, tidak ada clubbing
finger.
Palpasi : Ada edema, suhu akral dingin, CRT <2dtk dan turgor
menurun.
4) Kekuatan Otot
Keterangan:
0: Tidak ada kontraksi
1: Kontaksi (gerakan minimal)
2: Gerakan aktif namun tidak dapat melawan gravitasi
3: Gerakan aktif, dapat melawan gravitasi
4: Gerakan aktif, dapat melawan gravitasi serta mampu menahan
tahanan ringan
5: Gerakan aktif,dapat melawan gravitasi serta mampu menahan
tahanan penuh

g. Sistem Persepsi Sensori


Anamnesa : Tidak ada keluhan pada persepsi sensori
1) Mata
Inspeksi : Bentuk mata simetris, sklera putih
Palpasi : Tidak ada nyeri
2) Penciuman (Hidung)
Inspeksi : Adanya spuntum
Palpasi : Tidak nyeri tekan

h. Sistem Endokrina
1) Kepala
Inspeksi: Rambut lurus
2) Leher
Inspeksi: Tidak terlihat pembesaran kelenjar (tyroid, paratyroid)
Palpasi: Tidak ada pembesaran kelenjar (tyroid, paratyroid) tidak
ada nyeri tekan.

i. Sistem reproduksi (tidak terkaji)

2.2 Diagnosa
Diagnosa yang ditegakkan berdasarkan kemungkinan yang ada pada
data subyektif, data obyektif dan gejala yang terjadi pada pasien yang terkait
masalahsistem pernafasan.
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pembentukan
edema, peningkatan produksi sputum
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri
3. Ansietas berhubungan dengan ancaman / perubahan status kesehatan.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor internal : sesak nafas.
2.4 Pelaksanaan
Tindakan yang dilakukan perawat berdasarkan intervensi keperawatan
yang telah disusun, baik secara mandiri maupun kolaboratif. Tujuan dilakukan
implementasi untuk mengurangi rasa yang mengganggu pasien mengenai
gangguan sistem pernapasan.

2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan,
dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan dengan terus-menerus dengan
melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
dr.Nugroho, Taufan. 2011.Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah,
dan Penyakit Dalam.Yogyakarta : Nuha Medika
http://www.scribd.com/doc/117274362/Pathway-Edema-Paru (diunduh pada
tanggal tanggal 11 Oktoberber 2018 pukul 09.44 WITA)
Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
Nanda Internasional. 2012.Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2001 . Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah (Brunner & Suddarth : editor). Jakarta : EGC
Swearingen. 2000.Keperawatan Medikal Bedah edisi 2. EGC : Jakarta
Tarwanto & Wartonah. 2011.Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan
Edisi 4.Jakarta :Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai