Anda di halaman 1dari 58

Pengelolaan Limbah B-3

BAGIAN III
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH B-3

3.1. Umum

Pengelolaan limbah B-3 adalah suatu rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbun-
an limbah B-3 menurut Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999. Pengelolaan ini
dapat mencakup aspek:
 organisasi
 legalitas
 tata cara yang bersifat operasional
 pembiayaan

Dalam aspek yang bersifat teknis operasional, pengelolaan dapat mencakup:


 Bagaimana limbah direduksi kehadirannya ?
 Bagimana limbah didaur ulang, agar yang ditangani lebih sedikit ?
 Bila limbah sudah terkendali, bagaimana menyimpan (storage) dan mengumpul-
kannya ?
 Bagaimana memindahkan limbah cair dari satu tempat ke tempat lain ?
 Bagaimana limbah ditangani agar lebih mudah dalam pengangkutan/pengalihan
(pre-treatment) ?
 Bagaimana limbah diolah ?
 Bagaimana limbah disingkirkan, misalnya ke landfilling ?
 Bagaimana kontrol terhadap dampak yang ditimbulkannya ?
 Bila sebuah media telah tercemar limbah, bagaimana memperbaikinya ?

Khusus untuk limbah B-3 membutuhkan analisis yang hati-hati. Oleh karenanya
dikenal konsep Risk Assessment pada:
 sumber limbah
 pathway
 reseptor

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 1


Pengelolaan Limbah B-3

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan limbah B-3 ini bertujuan
untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh limbah B-3 serta melakukan pemulihan kualitas
lingkungan yang sudah tercema sehingga sesuai fungsinya kembali. Untuk lebih
jelasnya, tahapan pengelolaan ini dapat dilihat pada gambar 3.1. sebagai berikut:

Proses
Generator
Bersih
Limbah

Storage

Kumpul
Pendekatan
End of pipe
Angkut/ Daur
Olah
Alirkan Ulang

Singkirkan

Gb.3.1. Konsep Pengelolaan Limbah

3.2. Konsep Cradle to Grave

Dalam pengelolaan limbah B-3 terdapat suatu konsep penting yang diadopsi dari
RCRA (USA) yaitu konsep Cradle to Grave yang berisi identifikasi limbah B-3,
persyaratan-persyaratan mulai dari sumber (timbulan), penyimpanan, transportasi,
pengolahan, dan penyingkiran/pemusnahan (disposal) limbah B-3. Konsep ini
merupakan upaya sistematis agar seluruh rangkaian (subsistem) dalam setiap teknik
operasional pengelolaan limbah B-3 berjalan sesuai rencana. Dan kunci keberhasilan
ini adalah monitoring, pendataan, dan evaluasi yang terus menerus. Hal ini tentu
berbeda dengan limbah biasa yang hilang begitu saja setelah diolah.

Konsep cradle to grave secara jelas dapat dilihat pada Gambar 3.2. Dari gambar ini
terlihat kaitan antara Generator (penghasil), transporter, sarana treatment, storage dan

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 2


Pengelolaan Limbah B-3

sarana disposal. Generator adalah penghasil (creator) limbah B-3 yang harus dianalisis
sesuai aturan RCRA subtitle C (USA) atau PP No. 18/1999 jo PP No. 85/1999
(Indonesia). Di Indonesia, generator yang menghasilkan limbah B-3 lebih dari 50
kg/hari, tidak boleh menyimpan limbah lebih dari 90 hari (harus diserahkan kepada
pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B-3).

(5) Cradle
Badan Pengelola: Generator
- BAPEDAL (6) + (1)
- US EPA
(5) + (2) (1,2,3,4)

Transporter
(4) (1)

(1,2,3)
(2)
Treatment
Storage
Bupati/ Disposal Grave
Walikota (3)

Gb. 3.2. Konsep Cradle to Grave

Guna memungkinkan pelacakan dan pengelolaan sesuai dengan konsep Cradle to


Grave (asli dari RCRA), maka diciptakan mekanisme sebagai berikut:
 Setiap generator mengisi format standar dalam 6 copy.
 Generator selanjutnya menyimpan copy-4 dan mengirim copy-5 ke EPA serta
memberikan copy yang lain ke transporter.
 Transporter selanjutnya menyimpan copy-4, dan menyerahkan copy yang lain
pada perusahaan TSD (treatment, storage dan disposal).
 TSD kemudian mengirim copy-1 kembali ke generator, copy-2 ke EPA dan
menyimpan copy-3.

Dengan demikian, EPA dan generator dapat melacak perjalanan limbah B-3 dari
penimbul atau generator (cradle) ke titik penyingkiran/pemusnahan final (grave).
Generator harus sudah menerima copy-1 dalam kurun waktu 35 hari sejak limbah

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 3


Pengelolaan Limbah B-3

tersebut diterima transporter; kalau tidak, generator harus menghubungi transporter


atau TSD untuk menentukan status limbah tersebut. Di samping itu, generator harus
melaporkan pada EPA dengan menunjukkan lokasi dimana limbah itu berada.

Meskipun diadopsi oleh Indonesia, namun dalam penerapannya tidak sepenuhnya


sama. Kalau dalam versi RCRA, format isian standar terdiri 6 copy dimulai di
generator, maka untuk Indonesia format isian ini dibuat oleh masing-masing pelaku
pengelola limbah B-3 (kecuali transporter) yang diserahkan pada instansi yang
bertanggung jawab (BAPEDAL) dengan tembusan kepada instansi terkait dan
bupati/walikotamadya sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan. Sedangkan
transporter hanya membawa dokumen limbah B-3, kemudian menyerahkannya kepada
pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B-3
yang ditunjuk oleh generator.

3.3. Konsep Penanggulangan Limbah B-3

Konsep penanggulangan limbah secara umum dapat dijelaskan dengan Gambar 3.3.
sebagai berikut:

Manfaatkan
Sebelum sebagai bahan
Minimasi
terbentuk baku

Konsep - daur ulang


Setelah
penanggulangan - olah
terbentuk
limbah - singkirkan

Setelah
mencemari Remediasi
lingkungan

Gambar 3.3. Konsep Penanggulangan Limbah

Dari Gambar 3.3. tampak bahwa penanggulangan limbah sudah dimulai sejak belum
terbentuk yaitu dengan minimasi limbah. Minimasi limbah merupakan suatu strategi
pencegahan pencemaran yang intinya adalah:

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 4


Pengelolaan Limbah B-3

a. Merubah input bahan baku ke sistem industri, terutama dalam usaha mereduksi
penggunaan:
 bahan-bahan kimia toksik (beracun)
 sumber daya alam yang semakin langka
 sumber daya alam yang tak terbarukan
b. Mereduksi limbah dengan mengusahakan agar sistem industri lebih efisien dalam
mengkonversi bahan baku menjadi produk dan produk samping (by product) yang
bermanfaat.
c. Mereduksi rancangan, komposisi serta pengemasan suatu produk untuk
menciptakan produk ‘hijau’ atau produk yang ramah pada lingkungan sehingga
meminimalkan bahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Gambaran minimasi limbah dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Teknik Minimasi Limbah

Pengurangan Daur Ulang


di Sumber (on dan in Site)

Penggantian produk: Kontrol Pemanfaatan kembali: Reklamasi:


- Substitusi di sumber - Kembali ke proses - Diproses untuk
- Konservasi awal kemungkinan
- Komposisi produk - Bahan baku untuk pemanfaatan
proses lain - Diproses sebagai
by product

Penggantian bahan masuk: Penggantian teknologi: Pengoperasian yang baik:


- Pemurnian - Proses - Prosedural
- Substitusi - Peralatan perpipaan, - Pencegahan kebocoran
tata letak - Praktek pengelolaan
- Kemungkinan - Pemisahan limbah
otomatisasi - Peningkatan penanganan
- Tata cara operasi bahan
- Penjadwalan

Gb.3.4. Teknik minimasi Limbah

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 5


Pengelolaan Limbah B-3

Dengan adanya aktivitas minimasi limbah, maka hierarki penanggulangan limbah


yang sekarang dianjurkan dan merupakan prioritas dalam penanganannya akan
berubah menjadi:
a. menghilangkan atau mengurangi timbulan limbah di sumbernya (di hulu proses
industri) baik in-process maupun daur ulang closed loop, antara lain dengan cara:
 mengurangi hilangnya bahan baku dan produk akibat kebocoran, tertumpah
atau akibat sebab lain.
 Penjadwalan ulang produksi untuk mengurangi pembersihan alat yang
berulang-ulang.
 Inpeksi alat/bahan sebelum diproses untuk mengurangi kegagalan
 Konsolidasi jenis bahan kimia dan perlengkapan guna mengurangi kuantitas
dan keragamannya.
 Memperbaiki prosedur pembersihan guna mengurangi timbulan limbah
tercampur, dengan menggunakan metode tertentu yang tidak banyak
menggunakan air.
 Memisahkan limbah sesuai jenisnya untuk menaikkan kemungkinan daur
ulang
 Mengoptimasi parameter operasional seperti temperatur, tekanan, lamanya
reaksi dan konsentrasi guna mengurangi timbulnya produk samping atau
limbah.
 Pengembangan training pekerja dalam aktivitas ini.
 Mengevaluasi setiap tahapan operasional sehingga tahapan yang tidak
dibutuhkan dapat dihilangkan.
b. Mendaur pakai atau mendaur ulang limbah, terutama pada industri/pabrik itu
sendiri, atau di tempat lain. Hal ini dilakukan bila kehadiran limbah tidak bisa
dihindari. Limbah diusahakan menjadi produk samping yang bermanfaat terutama
untuk industri itu sendiri. Penggunaan langsung dari produk samping sangat
dianjurkan, namun dalam beberapa hal butuh pengolahan tambahan guna
mendapatkan bahan baku yang sesuai. Biaya untuk pengolahan ini perlu
dipertimbangkan dan dievaluasi.
c. Menggunakan teknologi pengolahan limbah yang aman guna mengurangi
toksisitas, mobilitas, atau mengurangi volume limbah yang dalam banyak hal

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 6


Pengelolaan Limbah B-3

akhirnya akan menghasilkan limbah padat yang membutuhkan penanganan opsi


berikutnya.
d. Menyingkirkan (dispose) limbah ke lingkungan dengan menggunakan metode
rekayasa yang baik dan aman yang pada umumnya landfilling limbah B-3 ke
dalam tanah. Hal ini merupakan opsi terakhir yang sebenarnya tidak diinginkan.
Namun bila dibutuhkan kehadirannya,perlu dirancang, dibangun, dan dioperasikan
dengan baik. Monitoring pada cara ini juga sangat dibutuhkan untuk memantau
dan mencegah sedini mungkin agar tidak terjadi pencemaran air tanah.

Opsi (a) dan (b) merupakan aktivitas minimasi limbah, sedangkan opsi (d) dan (e)
dikenal sebagai kontrol pencemaran pada ujung pipa (end of pipe) yang merupakan
cakupan konsep pengolahan limbah yang selama ini dianut. Di samping ke-4 opsi itu,
masih ada satu penanganan lagi yang dibutuhkan, yaitu apabila telah terjadi
pencemaran lingkungan. Untuk menanganinya perlu dilakukan remediasi.

3.4. Transportasi Limbah B-3

Transportasi limbah B-3 merupakan mata rantai yang sangat penting dalam
pengelolaan limbah B-3 terutama bila menggunakan konsep cradle to grave. Oleh
karenanya Amerika secara khusus mengatur transportasi limbah B-3 dalam Hazardous
Materials Transportation Act yang ditangani oleh US Departement of Transportation
(USDOT). Sedangkan di Indonesia belum ada suatu sistem transport khusus limbah B-
3, tetapi hanya menyebutkan adanya alat khusus untuk mengangkut limbah B-3 yang
dilengkapi dengan dokumen dan kemasan yang menunjukkan karakteristik, jenis,
jumlah dan waktu serah terima limbah B-3.

Dokumen atau surat keterangan pengangkutan (shipping papers) yang ditetapkan


USDOT pada intinya berisi informasi tentang:
 nama yang tepat untuk bahan yang dikirim (shipping name),
 kelas bahaya dari bahan itu (hazard class),
 nomor identifikasi (indentification number),
 kelompok kemasan (packing group),
 kuantitas (berat, volume, dan sebagainya).

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 7


Pengelolaan Limbah B-3

Format isian dokumen ini diatur sedemikian rupa sehingga dengan cepat dapat
memberikan informasi bila terjadi kecelakaan sehingga diharapkan tim yang
bertanggung jawab dalam menangani kecelakaan secara cepat dapat mengidentifikasi
sifat bahan B-3 tersebut dan cara penanggulangannya.

Pengemasan (packaging) juga diatur dan perlu dicantumkan dalam surat


pengangkutan dimana pengemasan yang baik mempunyai kriteria:
 bahan tersebut selama pengangkutan tidak terlepas ke luar,
 keefektifannya tidak berkurang,
 tidak terdapat kemungkinan pencampuran gas dan uap.

Pemberian tanda (label atau plakat) juga diatur dalam aturan tersebut, baik bentuk
maupun penempatannya sesuai dengan klasifikasi bahan B-3 tersebut. Selain itu,
DOT juga menggariskan bahwa kontainer yang digunakan untuk mengangkut B-3
dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga bila terjadi kecelakaan pada kondisi
transportasi yang normal, maka:
 tidak menimbulkan penyebaran bahan tersebut ke lingkungan sekitarnya,
 keefektifan pengemasan tidak berkurang selama perjalanan
 tidak terjadi pencampuran gas atau uap dalam kemasan, yang dapat menimbulkan
reaksi spontan sehingga mengurangi keefektifan pengemasan.

Kemungkinan kecelakaan yang terjadi di sektor transportasi ini perlu mendapat


perhatian, karena dapat mencelakakan manusia atau lingkungan yang tidak terlibat
langsung dalam kecelakaan. Peraturan yang digunakan dalam transportasi hendaknya
mengantisipasi kemungkinan masalah ini. Dan respons terhadap bentuk kecelakaan itu
harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan agar dapat menangani masalah yang
timbul secara cepat dan tepat. Demikian juga peralatan tim penolong harus sesuai
dengan kebutuhan/jenis bahan atau limbah yang diangkut.

3.5. Konsep Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia

Menurut Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999, pengelolaan limbah B3 adalah


rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pengolahan limbah B3 serta penimbunan hasil pengolahan tersebut. Adapun

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 8


Pengelolaan Limbah B-3

pengertian Penghasil limbah B3 adalah setiap orang atau badan usaha yang
menghasilkan limbah B3 dan menyimpan sementara limbah tersebut di dalam lokasi
kegiatannya sebelum limbah B3 tersebut diserahkan kepada pengumpul atau pengolah
limbah B3. Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan limbah B3 dari penghasil dan pemanfaat limbah B3 dengan maksud
menyimpan sementara untuk diserahkan kepada pengolah limbah B3. Pengangkut
Limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3
dari penghasil ke pengumpul limbah B3 atau ke Pengolah limbah B3. Proses
pengangkutan limbah B3 pada dasarnya merupakan proses pemindahan dari penghasil
ke pengumpul dan/atau ke pengolah termasuk ke lokasi penimbunan akhir dengan
menggunakan alat angkut yang memenuhi syarat Selanjutnya Pengolah Limbah B3
adalah badan usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan limbah B3 termasuk
penimbunan akhir hasil pengolahannya. Contoh di Indonesia, pengolah limbah B3
adalah Prasadha Pamunah Limbah Indonesia (PPLI) di Cileungsi Bogor yang
merupakan badan usaha swasta yang bekerja sama dengan Bapedal Pusat Jakarta.

Sehingga pengelolaan limbah B3 bertujunan untuk menghilangkan atau mengurangi


sifat bahaya dan beracun limbah B3 agar tidak membahayakan kesehatan manus dan
untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.

3.5.1 Konsep Penyimpanan, Pengumpulan, dan Pengangkutan limbah B3

Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama


sembilan puluh (90) hari sebelum menyerahkannya kepada pengumpul atau pengolah
limbah B3. Penyimpanan ini dilakukan di tempat penyimpanan yang khusus dibuat
untuk itu, dengan kapasitas yang sesuai dengan jumlah limbah B3 yang akan disimpan
sementara dan memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir dan secara geologis dinyatakan
stabil,
b. Perancangan bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah dan upaya
pengendalian pencemaran.

Penghasil limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan tentang:

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 9


Pengelolaan Limbah B-3

a. Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu dihasilkannya limbah B3,


b. Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu penyerahan limbah B3,
c. Nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul
atau pengolah limbah B3.
Selanjutnya penghasil limbah B3 wajib menyampaikan catatan ini sekurang-
kurangnya sekali dalam enam bulan kepada Bapedal. Catatan ini dipergunakan untuk:
a. Inventarisasi jumlah limbah B3 yang dihasilkan,
b. Sebagai bahan evaluasi di dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan limbah
B3.

Pengumpul limbah B3 dapat dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan limbah B3. Dengan demikian penghasil limbah B3 juga dapat bertindak
sebagai pengumpul limbah B3 dengan syarat harus memenuhi segala ketentuan yang
berlaku bagi pengumpul limbah B3 sebagai berikut:
a. memperhatikan karakteristik limbah B3,
b. mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3,
c. mempunyai lokasi minimum satu hektar,
d. memiliki fasilitas untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan,
e. konstruksi dan bahan bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah B3,
f. Lokasi tempat pengumpulan yang bebas banjir, secara geologi dinyatakan stabil,
jauh dari sumber air, tidak merupakan daerah tangkapan air dan jauh dari
pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
Selain itu, pengumpul limbah B3 wajib membuat catatan sebagaimana yang dilakukan
oleh penghasil limbah B3 dan wajib menyampaikan catatan ini sekurang-kurangnya
sekali dalam enam bulan kepada Bapedal. Pengumpul limbah B3 dapat menyimpan
limbah B3 yang dikumpulkannya selama sembilan puluh hari dan bertanggung jawab
terhadap limbah B3 sebelum diserahkan kepada pengolah limbah B3.

Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan
pengangkutan limbah B3 menggunakan alat angkut khusus yang memenuhi
persyaratan dan tata cara pengangkutan yang telah ditetapkan, dimana penghasil
limbah B3 juga bisa bertindak sebagai pengangkut. Penyerahan limbah B3 dari
penghasil atau pengumpul kepada pengangkut wajib disertai dokumen limbah B3.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -10


Pengelolaan Limbah B-3

Dengan demikian pengangkut wajib memiliki dokumen limbah B3 untuk setiap kale
mengangkut limbah B3. Adapun bentuk dokumen ini ditetapkan oleh Bapedal dengan
memperhatikan pertimbangan menteri perhubungan. Pengangkut wajib menyerahkan
limbah dan dokumen limbah B3 kepada pengumpul atau pengolah limbah B3 yang
ditunjuk oleh penghasil limbah B3.

3.5.2. Pengolahan Limbah B3

3.5.2.1 Umum

Konsep minimasi limbah yang telah diterapkan, akan tetap menghasilkan limbah yang
membutuhkan pengolahan lebih lanjut agar tingkat bahaya limbah tersebut bisa
dihilangkan atau dikurangi. Beberapa cara pengolahan limbah berbahaya dapat
dikelompokkan sebagai berikut :

- secara kimiawi
- secara fisis
- secara biologi
- secara termal
dalam penerapannya, untuk menghasilkan hasil yang optimal dan efektif baik secara
ekonomi ataupun teknis, keempat cara itu dapat dikombinasikan.

A. Pengolahan secara kimiawi

Pengolahan secara kimiawi pada dasarnya memanfaatkan reaksi - reaksi kimia untuk
mentransformasi limbah berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Berbagai bentuk
pengolahan tersebut adalah :
- Solubilitas
- Netralisasi
- Presipitasi
- Koagulasi dan flokulasi
- Oksidasi dan reduksi
- Pengurangan warna
- Desinfeksi
- Penukaran ion

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III - 11


Pengelolaan Limbah B-3

- Sistem stabilisasi

1. Solubilitas (Melarutkan)
Limbah b-3 dapat berupa materi organik atau anorganik, mengandung elemen –
elemen kimiawi serta konfigurasi struktural yang beragam. Air sebagai solven
(pelarut) universal akan melarutkan substansi – substansi tersebut, tetapi bisa saja
kelarutannya terbatas. Umumnya garam natrium, kalium dan amonium larut dalam air
sebagai asam – asam mineral. Banyak materi halogen anorganik (kecuali fluorida)
larut dalam air. Tetapi karbonat, hidroksida dan fosfat sedikit terlarut. Alkohol sangat
larut, tetapi materi organik aromatik dan petroleum – based rantai panjang sedikit larut
dalam air. Kelarutan sebuah subsatnsi akan menjadi faktor kritis dalam proses
pengolahan secara kimiawi.

2. Netralisasi (Pertimbangan biaya penetral)


Netralisasi limbah asam dengan alkali merupakan contoh pengolahan secara kimiawi
untuk menetralisis limbah B-3 (korosif)
Asam + basa  Garam + air
Limbah yang asam dapat dinetralisir misalnya dengan kapur Ca(OH)2, Caustic soda
NaOH, atau soda abu Na2CO3. Yang termurah diantara basa tersebut adalah
Ca(OH)2. Dengan kontainer yang teraduk serta pengaturan pH, maka penetralisir ini
ditambahkan pada limbah yang bersifat asam
Limbah alkalin dapat dinetralkan dengan asam mineratl kuat seperti H2SO4 atau HCl
atau dengan CO2. Kontrol pH dan pengaduk juga dibutuhkan dalam proses ini.

3. Presipitasi
Dalam beberapa hal, limbah cair mengandung logam berat. Bila konsentrasi logam
berat ini cukup tinggi sehingga limbahnya dapat dikatagorikan berbahaya, maka
logam tersebut harus disingkirkan dari cairannya, yang biasanya dilakukan dengan
pengendapan. Logam – logam tersebut akan mengendap dengan tingkat pH tertentu,
yang tergantung dari ion – ionnya untuk menghasilkan garam yang tak larut.
Netralisasi limbah asam akan menyebabkan pengendapan dari logam berat sehingga
logam ini disingkirkan sebagai lumpur melalui klarifikasi atau filtrasi.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -12


Pengelolaan Limbah B-3

Hidroksida logam berat biasanya tidak larut, dan biasanya digunakan kapur untuk
mengendapkannya. Pembentukan karbonat dan sulfida juga banyak diterapkan. Cara
lain adalah kombinasi keduanya, misalnya pengendapan hidroksida terlebih dahulu,
dilanjukan dengan pengendapan sulfida seperti penambahan Na2S atau NaHS.
Penambahan senyawa – senyawa sulfida ini perlu pengontrolan untuk mengurangi
timbulnya bau serta gas H2S. selama pengendapan sulfida, akan terjadi kemungkinan
timbulnya H2S yang berbahaya. Karenya, kondisi sedikit alkalin perlu dipertahankan
Tingkat valensi dari logam juga berperanan. Besi valensi 2 akan lebih larut dibanding
besi bervalensi 3. Khromat valensi +6 (berbahay) yang lebih larut, perlu direduksi
menjadi khromat bervalensi + 3 yang lebih tidak berbahay dan lebih tidak larut dalam
air. Disamping itu perlu dicegah terbentuknya ion – ion kompleks bila limbahnya
mengandung amonia, flourida atau sianida.

4. Koagulasi dan flokulasi


Proses pengendapan logam berat dapt dipercepat dengan penambahan bahan kimia
yang larut dalam air dan atau penambahan polimer sehingga terjadi koagulasi dan
flokulasi.
Koagulasi adalah penambahan dan pengadukan cepat sebuah koagulan untuk
menetralisir muatan dan membentuk partikel limbah yang koloid sehingga menjadi
lebih besar dan dapat mengendap. Koagulan yang biasa digunakan adalah Al2(SO4)3,
FeCl3, atau Fe(SO4)3. Penggunakan polimer organik seringkali lebih efektir
dibanding penambahan garam – garam alum atau besi dalam menumbuhkan flok.
Koagulan – koagulan ini mengakibatkan partikel – partikel koloid membesar. Flok –
flok ditumbuhkan dengan pengadukan lambat dengan pengontrolan pH untuk
menghasilkan partikel yang lebih besar. Garam – garam alumunium dan besi biasa
digunakan

5. Oksidasi dan reduksi


Proses kimiawi secara oksidasi – reduksi dapat digunakan untuk merubah pencemaran
toksin menjadi substansi yang lebih tidak berbahaya. Oksidasi adalah reaksi kimiawi
dengan penambahan valensi dan kehilangan elektron, sedang reduksi adalah reaksi

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -13


Pengelolaan Limbah B-3

kimiawi dengan pengurangan valensi dan penambahan elektron. Reaksi – reaksi


kimiawi yang melibatkan oksidasi dan reduksi dikenal sebagai reaksi redoks.
Sebagai contoh khrom hexavalen (Cr+6) yang dikatagorikan sangat toksik. Untuk
mengurangi ketoksikannya, Cr+6 dapat direduksi menjadi khrom trivalen (Cr+3)
dalam suasana asam, kemudian dilanjutkan dengan pengendapan khrom hidroksida
dengan reaksi :
SO2 + H2O  H2SO4
2CrO3 + 3H2SO3  Cr2(SO4)3 + 3H2)
Cr2(SO4)3 + 3Ca(OH)2  2Cr(OH)3 + 3CaSO4

Contoh lain adalah pengolahan limbah sianida dengan khlorinasi dalam suasana
alkalin. Sianida dioksidasi menjadi sianat yang lebih tidak toksik, kemudian dirubah
menadi CO2 dan nitrogen, dengan reaksi :
Na CN + Cl2 + 2NaOH  NaCNO + 2 NaCl + H2O
2NaCNO + 3Cl2 + 4NaOH  2CO2 + N2 + 6NaCl + H2O
reaksi pertama terjadi pada pH > 10 untuk membentuk natrium sianat. Reaksi kedua
lebih cepat berlangsung pada pH sekitar 8. Proses khlorinasi ini dapat pula
dilaksanakan dengan menggunakan hipokhlorit atau peroksida atau ozon untuk
mendestruksi secara sempurna limbah sianida.

6. Pengurangan warna
Limbah cair mungkin mengandung warna yang sulit di urai. (Berwarna bukan
parameter B-3) komposisi kimiawi materi yang berkonstribusi dalam pemberian
warna pada limbah seringkali sulit ditentukan terutama bila limbahnya organik
(pemunculan limbah tersebut berpengaruh terhadap warna, limbah B3 tetapi
berwarna paling optimal karbon aktif). Bila komposisi kimiawi di hilir (bahan baku)
yang menimbulkan warna dapat diidentifikasi, maka modifikasi proses di hilir sangat
dianjurkan. Bila hal ini tidak memungkinkan, maka proses penyisihan warna yang
sering digunakan adalah dengan adsorpsi melalui karbon aktif (Karbon aktif
didetailkan)atau koagulasi/flokulasi atau oksidasi kimiawi dengan khlor atau
oksidator lainnya.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -14


Pengelolaan Limbah B-3

7. Desinfeksi
Sasaran disinfeksi adalah membunuh mikroorganisme patogen yang dapat
menyebabkan penyakit. (efektifitas pembasmian dan pengurangan volume) Proses
yang sering digunakan adalah khlorinasi. Sebetulnya dalam proses pengolahan limbah
konvensional ( koagulasi – sedimentasi – filtrasi) sebagian besar mikroorganisme
patogen dapat disingkirkan. Namun khlorinasi akan lebih menjamin hal ini, apalagi
bila dikaitkan dengan air minum.
Khlor adalah disinfeksi yang paling banyak digunakan karena relatif efektif pada
konsentrasi rendah, biaya relatif tidak mahal dan membentuk sisa yang cukup bila
dosis di awal cukup. Pembubuhan khlor ini membutuhkan kontrol yang tinggi.
Kadangkala digunakan gas khlor. Gas ini bersifat racun, berwarna kuning – hijau pada
temperatur kamar dan tekanan atmosfer. Uap khlor sangat korosif sehingga wadah
atau pipa yang digunakan harus non – logam atau campuran logam khusus. Uap khlor
menyebabkan iritasi pada pernafasan dan mata, dan pada konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan kerusakan fisis.
Khlor adalah oksidator kuat dan mampu bereaksi dengan banyak pencemar dalam
limbah. Khlor bereaksi dengan amonia membentuk 3 senyawa khloramin yang
bersifat biosidal :
HOCl + NH3  NH2Cl (monokhloramin) + H2O
NH2Cl + HOCl  NHCl2 (dikhloramin) + H2O
NHCl2 + HOCl  NCl3 (trikhloramin) + H2O

Sebelum amonia dioksidasi, khlor akan bereaksi lebih dulu dengan substansi organik
yang lain. Oleh karenanya dibutuhkan khlor yang berlebih untuk mengoksidasi
amonia.
Hidrogen sulfat dapat juga dihancurkan oleh khlor :
H2S + Cl2  S + 2 HCl
H2S + 4Cl2 + 4H2P  H2So4 + 8 HCl.
Ozon juga biasa digunakan sebagai disinfektan. Ozon relatif lebih kuat dibandingkan
asam hipokhlorit. Dalam kondisi larutan, ozon relatif tidak stabil dan terurai dengan
waktu paruh 20 – 30 menit. Oleh karenanya ozone tidak dapat disimpan tetapi
langsung diproduksi untuk digunakan.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -15


Pengelolaan Limbah B-3

8. Penukaran ion
Konsepnya adalah ion – ion yang ditahan oleh gaya elektrostatis pada permukaan
padatan digantikan oleh ion – ion bermuatan sama yang berada dalam larutan. Oleh
karenanya, bahan penukar ion harus mempunyai ion aktif di seluruh strukturnya,
berkapasitas besar, selektif untuk jenis ion tertentu, mampu diregenerasi, stabil secara
kimiawi/fisis serta mempunyai kelarutan rendah, seperti pada proses penyisihan
amonia, atau penyisihan logam berat.
Penukaran ion yang paling banyak digunakan adalah natirum alumino – silikat,
dikenal sebagai zeolit. Beberapa alumino – silikat juga berfungsi sebagai penukar
anion. Dalam beberap kasus, penukar ion sintesis kadangkala mempunyai
karakteristik lebih baik dibanding zeolit. Resin penukar ion organik adalah yang
terpenting diantara resin sintesis.
Penukar ion mempunyai kapasitas tertentu untuk menukar ion sebelum menjadi jenuh.
Bila jenuh, dilakukan pencucian dengan larutan regenerasi untuk mengusir ion – ion
tersebut. operasi yang digunakan akan bersifat siklis :
- penukaran ion
- pencucian
- regenerasi
- pembilasan
larutan limbah dimasukkan ke dalam kolom sampai seluruh media menjadi jenuh.
Kolom penukar – ion dicuci dari bawah untuk menyisihkan padatan serta mengatur
media resin. Dalam periode regenerasi, larutan regenerasi mengalir melalui media
untuk menggantikan ion – ion dan mengembalikannya pada kondisi asal. Limbah
cucian media penukar ion ini membutuhkan penanganan khusus atau di daur ulang.
Untuk menentukan kinerja resin, dibutuhkan uji sorpsi. Dengan kurva Breakthrough
dapat ditentukan penggantian ion secara eksperimental. Kurva break throug dari
kolom penukar ion adalah identik dengan kolom adsorpsi dengan ion pengganti yang
diinginkan: langkah selanjutnya adalah pengujian sampai exhausted.
Penukar – ion yang mempunyai muatan negatif adalah penukar kation, karena
menangkap ion – ion positif, demikian sebaliknya. Resin penukar kation yang
mempunyai reaktif asam – kuat , seperti grup sulfonik (-SO3H) dapat menyingkirkan
kation – kation. Resin penukar kation asam – lemah grup karboksilik (-CaOH) dapat

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -16


Pengelolaan Limbah B-3

menyingkirkan Na+ dan K+. Resin penukar anion basa kuat seperti grup amonium
dapat menyingkirkan anion – anion, sedang yang basa – lemah mempunyai grup
amine yang dapat menyingkirkan anion – anion dari asam – asam mineral kuat seperti
SO42-, Cl-, NO3-.
Hierarki yang akan ditukarkan biasanya sudah tertentu. Untuk resin – kuat misalnya,
maka urutan – urutannya adalah : Ba2+, Pb2+, Sr2+, Ca2+, Ni2+, Cd2+, Cu2+, Co2+,
Zn2+, Mg2+, Ag+, Cs+, K+, NH4+, Na+, H+. Dalam hal ini Pb2+, mempunyai
kesempatan ditukar lebih dahulu dibanding Mg2+. Untuk resin basa kuat urutannya
adalah SO42-, I-, NO3-, CrO422-, Br-, Cl-, OH-. Dalam hal ini SO42- mempunyai
kesempatan ditukar lebih dulu dibanding Cl-.

9. Sistem stabilisasi (diperbanyak contohnya, genteng, bata, trotoar)


Pengolahan dengan stabilisasi bertujuan untuk membatasi atau mengurangi
terlepasnya komponen – komponen berbahaya dengan mengurangi kelarutannya atau
mengurangi luas area terpaparnya atau detoksifikasi dari kontaminan itu sendiri.
Pengolahan cara ini juga bermanfaat dalam masalah transportasi. Salah satu cara yang
terkenal adalah proses solidifikasi (jelaskan solidifikasi ini) Limbah yang telah
disolidifikasi masih tetap membutuhkan sarana untuk pembuangannya misalnya pada
sebuah landfill.

b. Pengolahan secara fisis (penanganan seperti limbah cair)

Pengolahan secara fisis sudah dikenal sejak lama. Bila limbah mengandung bagian
cair dan padatan, maka pengolahan secara fisis perlu dipertimbangkan
dahulu.beberapa cara fisis ini adalah : screening, sedimentasi/klarifikasi, sentrifugasi,
flotasi, filtrasi, sorpsi, evaporasi/distilasi, stripping dan reverse osmosis. Setiap tahap
dari proses ini melibatkan tahapan pemisahan materi tersuspensi dari fase cairnya.
(ingat limbah cair)
1. Screening
Merupakan tahapan awal dalam pengolahan limbah. Untuk menyingkirkan padatan
yang besar (dengan cara melewatkan cairan limbah pada screen) . Bagian padatan
yang halus masih membutuhkan pengolahan selanjutnya.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -17


Pengelolaan Limbah B-3

2. Sedimentasi dan klarifikasi (faktor yang berpengaruh)


Sedimentasi merupakan penyingkiran padatan tersuspensi dari cairannya secara
gravitasi. Keceptan aliran dipertahankan sampai waktu retensi dalam bak sedimentasi
cukup untuk mengendapkan padatan secara gravitasi. Oleh karenanya, laju
pengendapan akan ditentukan oelh karakteristik padatan seperti : ukuran, bentuk,
densitas padatan dan cairan, disamping temperatur cairan yang berpengaruh terhadap
densitas dan kekentalannya.
Klarifikasi bertujuan menghasilkan cairan yang jernih. Komponen ini sering
digunakan untuk menghasilkan sedimentasi secara gravitasi yang lebih cepat. Kolam
besar misalnya bisa berfungsi sebagai klarifikasi limbah. Berbagai jenis klarifikasi
telah digunakan, seperti bak sedimentasi, tube/plate settler.

3. Sentrifugasi (sentrifugasi spesifikasi teknisnya)


Sentifugal sering digunakan untuk menghilangkan air limbah lumpur dari 10%
menjadi 40% solid. Sasaran penghilangan air (dewatering ) adalah untuk
menghasilkan cake yang cukup padat dan kuat sehingga memudahkan
penanganannya, misalnya pada landfilling. Bila lumpur akan diinsinerasi maka air
perlu dihilangkan sebanyak mungkin agar mengurangi penggunaan bahan bakar untuk
membakarnya (kaitkan dengan insinerasi H2O) Sentrifugasi digunakan karena
biasanya relatif kompak dan mudah dioperasikan.

4. Flotasi (Flotasi spesifikasi teknisnya)


Padatan dengan densitas rendah seperti yang berasal dari padatan hidrokarbon dapat
dipisahkan dari cairannya dengan flotasi udara. Udara dimasukkan ke dalam limbah
cair sehingga membentuk gelembung – gelembung yang akan mengangkat partikel –
partikel untuk disingkirkan ke permukaan dengan skimming.

5. Filtrasi (pressure filter, gravity filter, spestek)


Dalam fiktrasi, limbah cair dilakukan melalui media berpori dengan diameter, antar
pori sedemikian rupa sehingga materi tersusupensi dapat ditahan dalam media
tersebut. Media berpori yang biasa digunakan adalah pasir. Filter dengan multi media

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -18


Pengelolaan Limbah B-3

sering digunakanuntuk mengambah kenerja dari sistem. Disamping itu, filter vakum,
belt press dan filterpres sering digunakan untuk menyisihkan air dari lumpur untuk
memproduksi filter cake dengan kandungan padatan sampai 50%.

6. Sorpsi
Adsorpsi merupakan proses fisis dengan adanya mekanisme adhesi dari molekul –
molekul atau partikel – partikel pada permukaan dari absorben padat tanpa ada reaksi
kimia. Sedang absorpsi melibatkan penetrasi molekul / partikel ke dalam media
absorben padat.
Penyisihan substansi organik (termasuk suber bau dan warna) banyak dilakukan
dengan karbon aktif (powder granular) yang biasanya terdapat dalambentuk butiran
ataupun serbuk. Keefektifan karbon aktif dalammenyisihkan substansi berbahaya dari
larutannya adalah berbanding lurus dengan luas permukaannya.
Setelah digunakan, kolom karbon aktif lama kelamaan menjadi jenuh dan perlu
diregenerasi. Bila substansi organik adalah bersifat volatil, media karbon dapat
diregenerasi dengan pemanasan.

7. Evaporasi/distilasi
Evaporasi dan distilasi limbah cair sering digunakan dalam pengolahan limbah
berbahaya. Cairan dengan tekanan uap lebih tinggi akan menguap lebih dahulu.
Temperatur didih dari sebuah cairan akan tercapai bila tekanan uapnya sama dengan
tekanan atmosfer. Adanya garam serta komponen – komponen lain dalam cairan akan
menurunkantekanan uap dan menaikkan titik didihnya. Dengan terevaporasinya
cairannya, maka lauratan tersisa akanlebih pekat. Evaporasi cairan dari limbah
berbahaya dapat dilangsungkandenganevaporator tunggal atau jamak, distilasi, steam
stripping atau air stripping.

8. Stripping
Stripping udara dapat digunakan untuk menyingkirkan substansi buangan berbahaya
berkonsentrasi rendah yang larut dalam air. Menara stripping difungsikan dengan
aliran udara ke atas dan aliran limbah ke bawah.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -19


Pengelolaan Limbah B-3

9. Reverse osmosis
Dengan proses osmosis, solven dialirkan melalui membran semi permeabel dari
larutan encer menuju larutan yang lebih terkonsentrasi. Perbedaan tekanan yang
diterapkan pada membran mengakibatkan solven mengalir dari larutan yang lebih kuat
ke larutan yang lebih lemah.

c. Pengolahan secara biologis

Pengolahan limbah secara biologis telah banyak digunakan untuk mengolah limbah
yang biodegradable, misalnya untuk limbah berbahaya yang berasal dari industri, lindi
lahan – urug dan pencemaran tanah. Mikroba – mikroba yang bekerja dapat
digolongkan menjadi heterotrophic atau autotrophic tergantung dari sumber nutrisinya

1. Sistem aerobik (kondisi lingkungannya belum disinggung)


Sasaran dari cara aerboik adalah mengembangkan mikroba – mikroba yang akan
mengkonversi bervariasi senyawa – senyawa organik menjadi sel – sel baru dan
substansi yang tidak lagi berbahaya seperti CO2. Beberapa materi organik hanya
terdegradasi sebagian dan dikonversi menjadi maeri organik sekunder. Proses yang
terjadi umumnya adalah :
Materi organik + O2  CO2 + H2O + produk lain + energi
Beberapa jenis pengolahan ini antara lain adalah.
- activated sludge
- aerated lagoon
- trickling filter
- rotating biological contactor.

2. Sistem anaerobik
Mikroba – mikroba anaerobik membutuhkan oksigen yang terikat misalnya NO3 dan
bukan molekul – molekul oksigen seperti yang terdapat di udara agar tumbuh secara
baik. Senyawa organik diuraikan menjadi :
Materi organik + combined oxygen  CO2 + CH4 + produk lain + energi.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -20


Pengelolaan Limbah B-3

Energi panas yang terbentuk relatif kecil bila dibandingkan denganproses aerobik,
karena konversi energi ini terdapat dalam bentuk lain yaitu gas metan (CH4) pH 6 – 8

d. Metoda penimbunan dengan sanitary landfill dan land treatment

- Metoda Penimbunan ( Sanitary Landfill)

Cara penyingkiran limbah ke dalamtanah dengan pengurugan/penimbunan dikenal


sebagai landfilling, sedang sarananya disebut sebagai landfill. Bila cara ini
melibatkanrekayasa terutama dengan memperhatikan aspek sanitasi dan
lingkungannya, maka dikenal sebagai sanitary landfill. Cara ini merupakancara yang
samapi saat ini paling banyak digunakan, terutama untuk menyingkirkanlimbah padat,
karena relatif murah, mudah dan fleksibel dalammenerima limbah.
Penanganan limbah denganlandilling tersebut di atas merupakancara yang selalu
dibutuhkankehadirannya antara lainkarena terdapatnya limbah yang :
- Mempunyai nilai tidak ekonomis untuk didaur ulang,
- Relatif sulit untuk diuraikansecara biologis
- Bisa mengkontaminasi bila diinsinerasi
- Relatif sulit untuk dibakar (noncombustible)

Jelas landfilling merupakan upaya terakhir. Cara ini bukanlah pemecahan masalah
yang ideal, bahkan tidak bisa dikatakan suatu pemecahan yang baik. Guna
mengurangi sebanyak mungkin dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, maka
upaya manusia adalah bagaimana merancang, membangun dan mengoperasikannya
secara baik. Upaya lain yang tak kalah pentingnya adalah mencari sebuah lahan yang
baik sehingga dampak negatif yang mungkin timbul dapat diperkecil. Khusus untuk
limbah B3 diperlukan penanganan pendahuluan misalnya dengan solidifikasi,
pengkapsulan. Pertimbangan utama dari landfill adalah pencegahan terhadap
pencemaran air tanah. Oleh karean itu faktor permeabilitas tanah merupakan kendala
utama dalam menentukan jenis landfill.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -21


Pengelolaan Limbah B-3

- Land Treatment

Landtreatment sebagai salah satu cara landisposal, membutuhkanlahanterbuka yang


luas dancocok, yang makin lama makin sulit didapat. Disamping itu beberapa jenis
buangan (teutama limbah B-3) mengandung konstituen kimiawi yang tidak selalui
sesuai denganlandtreatment.
Berbeda dengan landfill, metode landtreatment memperhitungkan kemampuan
assimilasi tanah untuk :
- mengurangi daya toksik
- mendegradasi (kimia, biologis)
- menahan (immobilize)

Adapun gambaran reaksi yang terjadi bila digunakan metoda pengolahan


landtreatment (Skema ..).
Untuk mengoptimumkan proses biologis dan kimiawi serta memanfaatkan kapasitas
assimilasi tanah, maka limbah dimasukkan secara berkala sesuai kemampuan tanah
tersebut. setiap jenis lahanakan mempunyai daaya assimilasi spesifik terhadap setiap
komponen dari limbah yang akan dibuang, sedemikian rupa sehingga lahan tersebut
tidak berkurang fungsinya sebagai lahan pertanian, hutan, perkebungan dan
sebaganya.

3.5.2.2 Persyaratan Pengolahan

Persyaratan dasar sebagai pengolah limbah B3 yang harus memiliki teknologi yang
memadai , lokasi pengolahan, lokasi penimbunan dan lokasi insinerasi serta
kelengkapannya maka pengolah limbah B3 berkewajiban pula memenuhi persyaratan
administratip seperti menyusun analisis dampak lingkungan (ANDAL), rencana
pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) sesuai
UULH No.32Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.27 Tahun
2000 Tenatang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan peraturan
pendukungnya. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya kegiatan baik secara

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -22


Pengelolaan Limbah B-3

sendiri maupun secara terintegrasi dengan kegiatan utamanya yang justru mencemari
lingkungan. Mengingat pada dasarnya tujuan pengelolaan limbah B3 adalah mencegah
pencemaran akibat limbah B3. Untuk itu , sesuai Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL ) No.Kep-03/Bapedal/09/1995 telah
ditentukan persyaratan teknis pengolahan limbah B3 di Indonesia.

Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik
limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi
limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah limbah B3
dimanfaatkan kembali (daur ulang) . Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan
secara pengolahan fisika, kimia , stabilisasi /solidifikasi dan insinerasi.

Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun
limbah B3d dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya
menjadi tidak berbahaya . Proses pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan
untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan
senyawa pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat dan terbatasi dan
membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar.Sedangkan proses pengolahan
secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung
didalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.

Pemilihan proses pengolahan limbah B3 , teknologi dan penerapannya didasarkan atas


evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehandalan, keamanan, operasi
dari teknologi yang digunakan dan pertimbangan lingkungan. Timbulan limbah B3
yang sudah tidak dapat diolah lagi atau dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi
penimbunan (landfill) yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

a. Persyaratan Umum Pengolahan B3

- Persyaratan Lokasi Pengolahan Limbah B3

Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan didalam lokasi penghasil limbah B3 atau


diluar penghasil limbah B3. Untuk pengolahan didalam lokasi penghasil limbah B3 ,
pengolahan disyaratkan :

a. Merupakan daerah bebas banjir,

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -23


Pengelolaan Limbah B-3

b. Jarak antara lokasi pengolahan dan lokasi fasilitas umum minimum 50 meter.
Sedangkan persyaratan lokasi pengolahan limbah B3 diluar lokasi penghasil limbah
adalah :

a. Merupakan daerah bebas banjir,


b. Pada jarak paling dekat 150 meter dari jalan utama/jalan tol dan 50 meter untuk
jalan lainnya,

c. Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah permukiman, perdagangan, rumah
sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial , hotel, restoran, fasilitas
keagamaan dan pendidikan,

d. Pada jarak paling dekat 300 meter dari garis pasang naik laut, sungai, daerah
pasang surut, kolam, danau, rawa, mata air dan sumur penduduk.

e. Pada jarak paling dekat 300 meter dari daearah yang dilindungi (cagar alam ,
hutan lindung dan lainnya).

b. Persyaratan Fasilitas Pengolahan B3

Dalam pengoperasian fasilitas pengolahan limbah B3 harus menerapkan sistem


operasi yang meliputi :

- Sistem Keamanan Fasilitas

Sistem keamanan yang diterapkan dalam pengoperasian fasilitas pengolahan limbah


B3 sekurang-kurangnya harus :

1). Memiliki sistem penjagaan 24 jam yang memantau, mengawasi dan mencegah
orang yang tidak berkepentingan masuk ke lokasi;

2). Mempunyai pagar pengaman dan penghalang lain yang memadai dan suatu sistem
untuk mengawasi keluar masuk orang dan kendaraan melalui pintu gerbang
maupun jalan masuk lainnya;

3). Mempunyai tanda yang mudah terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan "
Berbahaya " yang dipasang pada unit/bangunan pengolahan dan penyimpanan ,
serta tanda " Yang tidak Berkepentingan Dilarang Masuk" yang ditempatkan di

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -24


Pengelolaan Limbah B-3

setiap pintu masuk kedalam fasilitas dan pada setiap jarak 100 meter di
sekeliling lokasi;

4). Mempunyai penerangan yang memadai disekitar lokasi.

- Sistem Pencegahan Terhadap Bahaya Kebakaran

Untuk mencegah terjadinya kebakaran atau hal lain yang tak terduga di fasilitas
pengolahan , maka sekurang-kurangnya harus :

1). Memasang sistem arde (electrical spark grounding);

2). Memasang tanda peringatan , yang jelas terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan
" AWAS BERBAHAYA ", LIMBAH B3
(MUDAH TERBAKAR …..DLL) DILARANG
KERAS MENYALAKAN API ATAU
MEROKOK !"

3). Memasang peralatan pendeteksi bahaya kebakaran yang bekerja secara otomatis
selama 24 jam terus menerus , berupa alat deteksi peka asap ( smoke sensing
alarm ) dan alat deteksi pekan panas (heat sensing alarm) ;

4). Tersedianya sistem pemadam kebakaran yang berupa : sistem permanen dan
otomatis dengan menggunakan pemadam air, busa gas atau bahan kimia kering,
dengan jumlah dan mutu sesuai kebutuhan; Pemadam kebakaran portable dengan
kapasitas minimum 10 kg untuk setiap 100 m2 dalam ruangan;

5). Menata jarak atau lorong antara kontainer -kontainer yang berisi limbah limbah
B3 minimum 60 cm sehingga tidak mengganggu gerakan orang, peralatan
pemadam kebakaran , peralatan pengendali/pencegah tumpahan limbah, dan
peralatan untuk menghilangkan kontaminasi ke semua arah di dalam lokasi;

6). Menata jarak antara bangunan-bangunan yang memadai sehingga mobil kebakaran
mempunyai akses menuju lokasi kebakaran.

- Sistem Pencegahan Tumpahan Limbah

1). Fasilitas pengolahan limbah B3 harus mempunyai rencana, dokumen dan petunjuk
teknis operasi pencegahan tumpahan limbah B3 yang meliputi :
Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -25
Pengelolaan Limbah B-3

a). Pemeriksaan mingguan terhadap fasilitas pengolahan, dan

b). Sistem tanda bahaya peringatan dini yang bekerja selama 24 jam dan yang
akan memberi tanda bahaya sebelum terjadi tumpahan/luapan limbah (level
control).

2). Pengawas harus dapat mengidentifikasi setiap kelainan yang terjadi, seperti
malfungsi, kerusakan, kelalaian operator, kebocoran, atau tumpahan yang dapat
menyebabkan terlepasnya limbah dari fasilitas pengolahan ke lingkungan.
Program ini harus menyangkut mekanisme tanggap darurat;

3). Penggunaan bahan penyerap (absorbent) yang sesuai dengan jenis dan
karakteristik tumpahan limbah B3.

- Sistem Penanggulangan Keadaan Darurat

Fasilitas pengolahan limbah B3 harus mempunyai sistem untuk mengatasi keadaan


darurat yang mungkin terjadi. Persyaratan minimum untuk sistem tanggap darurat
antara lain :

1). Ada koordinator penanggulangan keadaan darurat, yang bertanggungjawab


melaksanakan tindakan-tindakan yang sesuai dengan prosedur penanganan kondisi
darurat yang terjadi;

2). Jaringan komunikasi atau pemberitahuan kepada:

a). Tim penanggulangan keadaan darurat

b). Dinas pemadam kebakaran

c). Pihak kepolisian

d). Ambulans dan pelayanan kesehatan

e). Sekolah, rumah sakit, dan penduduk setempat

f). Aparat pemerintah terkait setempat

3). Memiliki prosedur evakuasi bagi seluruh pekerja fasilitas pengolahan limbah B3;

4). Mempunyai peralatan penanggulangan keadaan darurat;

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -26


Pengelolaan Limbah B-3

5). Tersedianya peralatan dan baju pelindung bagi seluruh staf penanggulangan
keadaan darurat di lokasi, dan sesuai dengan jenis limbah B3 yang ditangani di
lokasi tersebut;

6). Memiliki prosedur tindakan darurat pengangkutan;

7). Menetapkan prosedur untuk penutupan sementara fasailitas pengolahan;

8). Melakukan pelatihan bagi karyawan dalam penaggulangan keadaan darurat yang
dilakukan minimum dua kale dalam setahun.

- Sistem Pengujian Peralatan

1. Semua alat pengukur, peralatan operasi pengolahan dan perlengkapan pendukung


operasi harus diuji minimum sekali dalam setahun;

2. Hasil pengujian harus dituangkan dalam berita acara yang memuat hasil uji coba
penanganan sistem keadaan darurat. Informasi tersebut harus selalu tersedia di
lokasi fasilitas pengolahan limbah B3.

- Pelatihan Karyawan

Perusahaan wajib memberikan pelatihan secara berkala kepada karyawan yang


meliputi:

1. Pelatihan Dasar, diantaranya:

a. Pengenalan limbah: meliputi jenis limbah, sifat dan karakteristik serta


bahayanya terhadap lingkungan dan manus, serta tindakan pencegahannya;

b. Peralatan pelindung: menyangkut penggunaan dan kegunaannya;

c. Pelatihan untuk keadaan darurat; meliputi kebakaran, ledakan, tumpahan,


matinya listrik, evakuasi, dan sebagainya;

d. Prosedur inspeksi;

e. Pertolongan Prename Pada Kecelakaan (P3K);

f. Peraturan Keselamatan Kerja (K3);

g. Peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan limbah B3.

2). Pelatihan Khusus

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -27


Pengelolaan Limbah B-3

a. Pemeliharaan peralatan pengolahan dan peraltan penunjangnya;

b. Pengoperasian alat pengolahan dan peralatan penunjangnya;

c. Laboratorium;

d. Dokumentasi dan pelaporan;

e. Prosedur penyimpanan dokumentasi dan pelaporan.

- Persyaratan Penanganan Limbah B3 Sebelum Diolah

Sebelum melakukan pengolahan, terhadap limbah B3 harus dilakukan uji analisa


kandungan/ parameter fisik dan/ atau kimia dan/ atau biologi guna menetapkan
prosedur yang tepat dalam proses pengolahan limbah B3 tersebut.

Setelah kandungan/ parameter fisik dan/ atau kimia dan/ atau biologi yang terkandung
dalam limbah B3 tersebut diketahui, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan
pilihan proses pengolahan limbah B3 yang dapat memenuhi kualitas dan baku mutu
pembuangan dan/ atau lingkungan yang ditetapkan.

Alternatif proses treknologi pengolahan limbah B3 dapat dilihat pada diagram di


bawah ini

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -28


Pengelolaan Limbah B-3

Jenis & karakteristik Proses Pengolahan Timbunan


Limbah B3

Emisi udara
Mudah meledak memenuhi baku
mutu emisi udara
Fisika-kimia
sesuai izin
Mudah terbakar

Bersifat reaktif
Gas
Solidifikasi/
stabilisasi

Beracun (Uji TCLP Cairan Limbah cair


& LD 50) memenuhi baku
mutu limbah
cair/sesuai izin
Menyebabkan Padatan
infeksi Insinerasi/
penghancuran
thermal

Bersifat korosif
Limbah padat
memenuhi baku
Limbah organik mutu TCLP/LD
beracun 50
Pemanfaatan
kembali
Limbah anorganik (Recovery) Penimbunan
beracun
sesuai izin

Keterangan:

1. Baku mutu limbah cair wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kep-men 03/1991 atau yang telah ditetapkan oleh Bapedal.

2. Baku mutu emisi udara wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kep-men 13/1992 atau yang ditetapkan oleh Bapedal.

3. Penimbunan wajib memenuhi semua persyaratan yang tercantum dalam PP


19/1994 dan ketentuan lain yang ditetapkan.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -29


Pengelolaan Limbah B-3

c. Persyaratan Pengolah limbah B3 yang menggunakan metode pembakaran


(insinerasi)

Instrumen insinerator yang digunakan hendaknya memiliki spesifikasi yang sesuai


dengan karakteristik dan besarnya jumlah limbah yang akan diolah). Outlet buangan
udara hasil pembakaran harus dilengkapi dengan pengendalian pencemaran udara
yang hasilnya harus memenuhi standar emisi cerobong serta peraturan baku mutu
udara yang berlaku . Dapun effisiensi proses pembakaran harus memenuhi tingkat
effisiensi 99,99 % dan effisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai berikut :

1). Effisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyorganic hydrocarbons


(POHCs) sebesar 99,99%;

2). Effisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychlorinated biphenyl (PCBs)


sebesar 99,9999 %;

3). Effisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychlorinated dibenzofurans


sebesar 99,9999 %;

4). Effisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychlorinated dibenzo-p-


dioxins sebesar 99,9999 %;

Akhir dari proses pembakaran, residu pada abu insinerator harus ditimbun dengan
mengikuti ketentuan prosedur stabilisasi dan solidifikasi atau penimbunan (landfill).

Pengoperasian insenerator dilakukan dengan berbagai tahapan agar diperoleh hasil


yang memadai dan tidak mencemari lingkungan. Adapun tahapan tersebut adalah :

1). Sebelum mulai membangun atau memasanginsinerator fasilitas pengolahan limbah


B3, pemilik harus memberikan data-data spesifikasi teknis seperti dibawah ini :

a. Spesifikasi insinerator yang sekurang-kurangnya memuat informasi antara


lain seperti :

- Nama pabrik pembuat dan nomor model,

- Jenis dan type insinerator,

- Dimensi internal dari unit insinerator termasuk luas penampang


zona/ruang proses pembakaran,

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -30


Pengelolaan Limbah B-3

- Kapasitas udara penggerak utama (primer air mover),

- Uraian mengenai sistem bahan bakar ( jenis dan umpan),

- Spesifikasi teknis dan desain dari nozzle dan burner ,

- Temperatur dan tekanan operasi di zona / ruang bahan bakar,

- Waktu tinggal limbah dalam zona /ruang pembakaran ,

- Kapasitas Blower ,

- Tinggi dan diameter cerobong,

- Uraian peralatan pencegah pencemaran udara dan peralatan pemantauan


emisi cerobong (stack/ chimney),

- Tempat dan diskripsi dari alat pencatat suhu , tekanan, aliran dan alat-alat
pengontrol yang lain,

- Diskripsi sistem pemutus umpan limbah yang bekerja otomamtis,

- Effisiensi Penghancuran dan Penghilangan (DRE) dan Effisiensi


Pembakaran (EP).

b. Memperkirakan tingkat maksimum ambient konsentrasi pada permukaan


tanah akibat emisi udara dari insinerator dengan memakai persamaan
distribusi GAUSS dan/atau pengembangannya dengan mempertimbangkan
kondisi klimatologis dan meteorologis setempat,

c. Memberikan uraian tentang jadual konstruksi , mulai dari tahap prakonstruksi,


pelaksanaan konstruksi,penyelesaiaan konstruksi, penyelesaian konstruksi,dan
tahap persiapan operasi,

d. Menyerahkan laporan administrsai yang berisi tentang poin diatas kepada


instansi yang berwenang seperti di Indonesia (Bapedal) dan EPA di Negara
Amerika Serikat sebagai lampiran untuk pertimbangan dalam permohonan
perizinan kepada instansi yang terkait.

2). Sebelum insinerator dioperasikan secara terus menerus atau kontinyu , pengelola
insinerator (pemilik) harus melakukan uji coba pembakaran (trial burn test)
minimal selama 14 hari secara terus menerus dan tidak boleh putus serta nantinya

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -31


Pengelolaan Limbah B-3

menyusun laporan . Uji coba ini harus mencakup semua peralatan utama dan
peralatan penunnjang termasuk peralatan pengendalian pencemaran udara yang
dipasang. Uji coba dilakukan setelah mendapat persetujuan dari intansi yang
berwenang (Bapedal) mengenai kelengkapan pada butir 1) diatas yang tentunya
diawasi oleh intansi yang berwenang (Bapedal). Metode uji coba pembakaran ini
bertujuan untuk memperoleh :

a. Deskripsi kualitatif dan kuantitatif sifat fisika, kimia,dan biologi dari :

- Limbah B3 yang akan dibakar termasuk semua jenis bahan organik


berbahaya dan beracun utama (POHCs,PCBs,PCDFs,PCDDs),
halogen,Total hidrokarbon (THC),m dan sulfur serta konsentrasi timah
hitam dan merkuri dalam limbah B3.

- Emisi udara termasuk POHCs, produk pembakaran tidak sempurna


(PICs) dan parameter yang tercantum sesuai tabel 3.

- Limbah cair yang dikeluarkan (effluent) dari pengoperasian insinerator


dan peralatan pencegahan pencemaran udara termasuk semua POHCs,
PICs, dan parameter yang tercantum pada tabel 4.

b. Menentukan kondisi operasi :

- Suhu di ruang pembakaran sesuai dengan jenis limbah B3,

- Waktu tinggal (residence time) gas di zona /ruang bakar minimum selama
2 detik,

- Konsentrasi dari excess oxygen di exhaust pengeluaran,

c. Menentukan kondisi meteorologi yang spesifik seperti arah angin, kecepatan


angin, curah hujan, kelembaban, temperatur dan lainnya serta konsentrasi
ambient dari POHCs , PICs, serta parameter yang tercantum pada tabel 3,

d. Langkah terakhir adalah menentukan effisiensi penghancuran dan


penghilangan dengan menggunakan persamaan berikut :

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -32


Pengelolaan Limbah B-3

Win  Wout
DRE  x100%
Win

Keterangan :

DRE = Destruction and Removal Effisiency (Effisiensi Penghancuran dan


penghilangan),

Win = Laju alir masa umpan masuk insinerator,

Wout = Laju alir masa umpan keluar insinerator.

Setelah diketahui nilai prosentase DRE , maka perlu untuk ditentukan effisiensi
pembakaran (EP) dengan menggunakan peruumusan sebagai berikut :

CO2
EP  x100%
CO2  CO

Keterangan :

CO2 = Konsentrasi emisi CO2 di exhaust,

CO = Konsentrasi emisi CO diexhaust.

Dalam kondisi darurat terutama apabila terjadi kondisi pengoperasian tidak


memenuhi spesifikasi yang ditetapkan maka perlu digunakan sistem pemutus
otomatis pengumpan limbah B3 ,

3). Dalam kondisi darurat terutama apabila terjadi kondisi pengoperasian tidak
memenuhi spesifikasi yang ditetapkan maka perlu digunakan sistem pemutus
otomatis pengumpan limbah B3 ,

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian insinerator untuk


mendegradasi Limbah B3 adalah sebagai berikut :

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -33


Pengelolaan Limbah B-3

a. Pada saat pengoperasian :

 Memeriksa/mengecek insinerator dan peralatan pendukungnya ( pompa, conceyor,


pipa dan lainnya ) secara berkala agar diperoleh kesiapan operasional dari
peralatan secara keseluruhan sesuai standar dan operasinya;

 Menjaga agar tidak terjadi kebocoran , tumpahan atau emisi sesaat pada saat
proses insinerasi berlangsung agar diperoleh kualitas pembakaran yang sempurna;

 Mempersiapkan penggunaan pemutus otomatis pengumpan limbah B3 jika kondisi


pengoperasian tidak mencapai dan/atau memenuhi spesifikasi yang telah
ditetapkan;

 Memastikan DRE yang harus dicapai oleh insinerasi sama dengan atau lebih besar
dari standar baku yang berlaku;

 Mengendalikan peralatan yang berhubungan dengan proses pembakaran


maksimum selama kurun waktu tertentu misal 15 - 30 menit pada saat start up
sebelum melakukan operasi pengolahan secara terus menerus;

 Mengantisipasi limbah yang hanya boleh dilakukan dengan proses pembakaran


sesuai dengan ijin yang dipunyai;

 Mengelola residu/abu dari proses pembakaran dengan metoda penimbunan sesuai


dengan persyaratan penimbunan (landfilling) B3 yang berlaku;

b. Pada saat pemantauan :

 Secara terus menerus mengukur dan mencatat beberapa faktor pembakaran seperti
suhu di zona / ruang bakar, laju umpan limbah, laju bahan bakar pembantu (bila
ada) , kecepatan gas saat keluar dari daerah pembakaran, serta konsentrasi karbon
monoksida, oksigen, HCl, THC dan partikel debu di cerobong serta opasitasnya ;

 Secara berkala mengukur dan mencatat konsentrasi POHCs, PCDDs, PCDFs, PICs
dan logam berat yang keluar dan berada dicerobong;

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -34


Pengelolaan Limbah B-3

 Memantau kualitas udara sekeliling dan kondisi meteorologi sekurang-kurangnya


2 (dua) kali dalam sebulan yang meliputi arah dan kecepatan angin,
kelembaban,temperatur dan curah hujan;

 Mengukur dan mencatat timbulan limbah cair (effluent) dari pengoperasian


insinerator dan peralatan pengendali pencemaran udara yang harus memenuhi
kriteria limbah cair serta melakukan pengujian sistem pemutus otomatis setiap
minggunya.

c. Pada saat pelaporan :

 Melaporkan hasil pengukuran emisi cerobong yang telah dilakukan selama 3 bulan
terakhir sejak digunakan dan dilakukan pengujian kembali setiap 3 bulan untuk
menjaga nilai minimum DRE;

 Konsentrasi maksimum untuk emisi dan nilai minimum DRE harus sesuai dengan
peraturan yang ada dan dilaporkan secara periodik 3 (tiga) bulan ke instansi yang
berwenang untuk mengendalikan B3.

Adapun peraturan tentang baku mutu yang berlaku di Indonesia sesuai Keputusan
Kepala Bapedal Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 adalah :

Tabel : Baku Mutu DRE Insinerator (Efisiensi Penghancuran dan Penghilangan)

No Parameter Baku Mutu DRE

1 POHCs 99,99%

2 Polychlorinated biphenil (PCBs) 99,999%

3 Polychlorinated dibenzofuren 99,9999%

4 Polychlorinated dibenzo-p-dioksin 99,9999%

Sumber : Keputusan Kepala Bapedal No.Kep-o3/BAPEDAL/09/1995.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -35


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Emisi Udara untuk Insinerator

No Parameter Kadar Maksimum (mg/Nm3)

1 Partikel 50

2 Sulfur dioksida (SO2) 250

3 Nitrogen dioksida (NO2) 300

4 Hidrogen flourida (HF) 10

5 Karbon monoksida (CO) 100

6 Hidrogen khlorida (HCl) 70

7 Total hidrokarbon (sebagai CH4) 35

8 Arsen (As) 1

9 Kadmium (Cd) 0,2

10 Kromium (Cr) 1

11 Timbal (Pb) 5

12 Merkuri (Hg) 0,2

13 Tatium (TI) 0,2

14 Opasitas 10%

Sumber : Keputusan Kepala Bapedal No.Kep-o3/BAPEDAL/09/1995.

Catatan : Kadar maksimum pada tabel diatas dikoreksi terhadap 10% Oksigen (O2)
pada kondisi normal (250C, 76 cm Hg) dan berat kering (dry basis).

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -36


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Emisi Limbah Cair Kegiatan Pengolahan Limbah Industri B3
(BMLCK-PPLIB3)

No Parameter Konsentrasi Maksimum

Nilai Satuan

A Fisika 38 C OC

- Suhu 250

- Zat padat terlarut 2000 mg / l

- Zat padat tersuspensi 200 mg / l

B Kimia

-pH 6-9

-Besi, terlarut (Fe) 5 mg / l

-Mangan, terlarut (Mn) 2 mg / l

-Barium, (Ba) 2 mg / l

-Tembaga, (Cu) 2 mg / l

-Seng, (Zn) 5 mg / l

-Krom valensi enam, (Cr6+) 0,1 mg / l

-Krom total, (Cr) 0,5 mg / l

-Kadmium, (Cd) 0,05 mg / l

-Merkuri, (Hg) 0,002 mg / l

-Timbal, (Pb) 0,01 mg / l

-Stanum, (Sn) 2 mg / l

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -37


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Emisi Limbah Cair Kegiatan Pengolahan Limbah Industri B3
(BMLCK-PPLIB3) (Lanjutan )

-Arsen, (As) 0,1 mg / l

-Salenium, (Se) 0,05 mg / l

-Nikel, (Ni) 0,2 mg / l

-Kobal, (Co) 0,4 mg / l

-Sianida, (CN) 0,05 mg / l

-Sulfida, (S2) 0,05 mg / l

-Flourida, (F) 2 mg / l

-Klorin bebas, (CL2) 1 mg / l

-Amoniak bebas, (NH3-N) 1 mg / l

-Nitrat, (NO3-N) 20 mg / l

-Nitrit, (NO2-N) 1 mg / l

-BOD5 50 mg / l

-COD 100 mg / l

-Senyawa aktif biru metilen, ( MBAS) 5 mg / l

-Fenol 0,5 mg / l

-Minyak dan lemak 10 mg / l

-AOX 0,5 mg / l

-AOX 0,5 mg / l

-PCBS 0,005 mg / l

-PCDFS 10 ng / l

-PCDDS 10 ng / l

Sumber : Keputusan Kepala Bapedal No.Kep-o3/BAPEDAL/09/1995.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -38


Pengelolaan Limbah B-3

Catatan :

 Parameter Debit limbah maksimum bagi kegiatan in disesuaikan dengan kapasitas


pengolahan dan karakteristik dari kegiatan.

 Selain Parameter tersebut diatas Bapedal dapat menetapkan parameter kunci


lainnya bila dianggap perlu.

Penjelasan lebih rinci mengenai proses pengolahan sacara insinerasi sebagaimana


yang dimaksud akan diterbitkan dalam panduan pengolahan limbah B3, yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lampiran Keputusan ini.

d. Persyaratan Pengolah limbah B3 yang menggunakan metode stabilisasi dan


solidifikasi

Proses stabilisasi / solidifikasi adalah suatu tahapan proses pengolahan limbah B3


untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya
memperkecil /membatasi daya larut , pergerakan /penyebaran dan daya racunnya
(immobilisasi unsur yang bersifat racun ) sebelum limbah B3 tersebut dibuang
ketempat pembuangan akhir.

Prinsip kerja pengolahan limbah B3 dengan metode stabilisasi dan solidifikasi adalah
pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa
pengikat (aditif) sehingga pergerakan senyawa-senyawa B3 dapat dihambat atau
terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar (massive).
Dengan demikian diharapkan bahan pencampur harus dapat mengikat bahan
berbahaya dan beracun sehingga mampu menurunkan sifat racun dan / atau sifat
bahayanya sampai nilai ambang batas yang telah ditetapkan .

Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk proses stabilisasi / soldifikasi (bahan aditif)
antara lain :

- Bahan pencampur : gipsum, pasir, lempung, abu terbang dan

- Bahan perekat/pengikat :semen, kapur, tanah liat dan lain-lain.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -39


Pengelolaan Limbah B-3

Tata cara proses stabilisasi dengan metode solidifikasi limbah B3 adalah sebagai
berikut :

a. Limbah B3 sebelum distabilisasi /disolidifikasi harus dianalisa karakteristiknya


guna menentukan resep stabilisasi/solidifikasi yang diperlukan terhadap limbah B3
tersebut;

b. Setelah dilakukan stabilisasi /solidifikasi selanjutnya terhadap hasil olahan tersebut


dilakukan uji Test Concentration Leaching Prosedures (TCLP)/ test perlindian
untuk mengukur /kadar/konsentrasi parameter dalam lindi (extraksi) sebagaimana
yang tercantum pada tabel dibawah ini. Hasil TCLP limbah B3 diharapkan tidak
boleh lebih besar dari baku mutu sebagaimana tercantum pada tabel itu. Prosedur
ekstraksi perlindian digunakan untuk menentukan tingkat mobilitas senyawa
organik dan anorganik (Toxicity Caharacteristic Leaching Procedure / TCLP)

c. Terhadap hasil olahan selanjutnya dilakukan test uji tekan (compresive Strengt)
dengan alat " Soil Penetrometer Test) " dengan harus memiliki nilai tekan
minimum sebesar 10 ton/m2 dan lolos uji " Paint Filter Test".

d. Limbah B3 olahan yang memenuhi syarat TCLP , nilai uji kuat tekan dan lolos
paint filter test ; selanjutnya harus ditimbun ditempat penimbunan (lanfill) yang
ditetapkan oleh pemerintah atau yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Tabel : Baku Mutu Hasil Ektraksi Perlindian /TCLP.

No Parameter Konsentrasi dalam ektraksi limbah (mg/l)

1 Aldrin + Dieldrin 0,07

2 Arsen 5,0

3 Barium 100,0

4 Benzine 0,5

5 Boron 500,0

6 Cadmium 1,0

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -40


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Hasil Ektraksi Perlindian /TCLP. (Lanjutan)

No Parameter Konsentrasi dalam ektraksi limbah (mg/l)

7 Carbon tetrachloride 0,5

.8 Chlordane 0,03

9 Chloroform 100,0

10 Chromium 6,0

11 Copper 5,0

12 o-Cresol 10,0

13 m-Cresol 200,0

14 p-Cresol 200,0

15 Total Cresol 200,0

16 Cyanide ( free ) 200,0

17 2,4-D 20,0

18 1,4-Dichloroethane 10,0

19 1,2-Dichloroethane 7,5

20 1,1-Dichloroethylene 0,5

21 2,4-Dinitrotoluene 0,7

22 Endrin 0,13

23 Fluorides 0,02

24 Heptachlor + Heptachlor epoxide 150,0

25 Hexachlorobenzene 0,008

26 Hexachlorobutadiene 0,13

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -41


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Hasil Ektraksi Perlindian /TCLP.(lanjutan)

No Parameter Konsentrasi dalam ektraksi limbah (mg/l)

27 Hexachloroethane 0,5

28 Lead 0,5

29 Lindane 0,4

30 Mercury 0,2

31 Methoxychlor 10,0

32 Methyl ethyl ketone 200,0

33 Methyl Parathion 0,7

34 Nitrate + Nitrite 1,000,0

35 Nitrite 100,0

36 Nitrqbenzene 2,0

37 Nitrilot riacetic acid 5,0

38 Pentachilorophenol 100,0

39 Pyridine 5,0

40 Parathion 3,5

41 PCBs 0,3

42 Selenium 1,0

43 Silver 5,0

44 Tetrachloroethylene (PCE) 0,7

45 Toxaphene 0,5

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -42


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Hasil Ektraksi Perlindian /TCLP (lanjutan)

No Parameter Konsentrasi dalam ektraksi limbah (mg/l)

46 Trichiroethylene (TCE) 0,5

47 Trihalimethanes 35,0

48 2,4,5-Trichlorophenol 400,0

49 2,4,6-Trichlorophenol 2,0

50 2,4,5-TP (Silver) 1,0

51 Vynil chloride 0,2

52 Zinc 50,0

Sumber : Keputusan Kepala Bapedal No.Kep-o3/BAPEDAL/09/1995.

e. Persyaratan Pengolah limbah B3 yang menggunakan metode penimbunan.

Penimbunan limbah B3 harus dilakukan secara tepat, baik tempat, tata cara maupun
persyaratannya . Walaupun limbah B3 yang akan ditimbun tersebut sudah diolah
(secara fisika, kimia dan biologi) sebelumnya, tetapi limbah B3 tersebut masih dapat
berpotensi mencemari lingkungan dari timbulan lindinya. Untuk mencegah
pencemaran dari proses perlindian limbah B3, maka limbah B3 harus ditimbun pada
lokasi yang memenuhi persyaratan.

Penimbunan hasil dari pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengelolaan
limbah B3 ditempat yang diperuntukkan khusus sebagai tempat penimbunan limbah
B3 dengan desain tertentu yang mempunyai sistem pengumpulan dan pemindahan
timbulan lindi dan mengolahnya memenuhi kriteria limbah cair yang ditetapkan
sebelum dibuang ke lingkungan.

Tujuan dari penimbunan limbah B3 di tempat penimbunan (landfill ) adalah untuk


menampung dan mengisolasi limbah B3 yang sudah tidak tidak dimanfaatkan lagi

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -43


Pengelolaan Limbah B-3

dan menjamin perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan jangka


panjang.

Selain itu lokasi bekas (pasca) pengolahan dan penimbunan limbah B3 pun harus
ditangangani dengan baik untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk itu, bila metode ini akan di terapkan , perlu lebih dahulu diketahui persyaratan
pemilihan lokasi landfill secara benar dan tepat dan diteruskan dengan proses rancang
bangun lokasi landfill.

Pemilihan Lokasi Penimbunan (Site Selection Landfill).

Penimbunan limbah B3 harus dilakukan pada lokasi yang tepat dan benar yang
memenuhi persyaratan lingkungan . Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemilihan
lokasi adalah :

 Lokasi yang akan dipilih harus merupakan daerah bebas banjir pada skala ratusan
tahunan;

 Lokasi yang akan dipilih harus memiliki faktor geologi lingkungan seperti :

- daerah dengan litologi batuan dasar sedimen berbutir sangat halus (serpih,
batu lempung), batuan beku, batuan malihan yang bersifat kedap air (k
<10-9 m/det), tidak berongga, tidak bercelah, dan tidak berkekar intensif.

- Tidak merupakan daerah berpotensi bencana alam,longsoran, bahaya


gunung berapi, gempa bumi dan patahan aktif.

 Lokasi yang akan dipilih harus memiliki faktor hidrogeologi lingkungan seperti :

- Bukan merupakan daerah resapan (recharge) bagi air tanah tidak tertekan
yang penting dan air tanah tertekan;

- Bukan lokasi yang dibawahnya terdapat lapisan air tanah (aquifer) , jika
terdapat lapisan tersebut maka jarak terdekat lapisan tersebut terhadap
bagian dasar lokasi penimbunan (landfill) minimal 4,00 meter.

 Lokasi yang akan dipilih harus memiliki faktor hidrologi permukaan yang bukan
merupakan daerah genangan air, berjarak minimum 500 meter dari aliran sungai

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -44


Pengelolaan Limbah B-3

yang mengalir sepanjang tahun, danau, waduk untuk irigasi pertanian maupun
untuk air bersih.

 Lokasi yang dipilih memiliki sifat iklim dan curah hujan kecil, kering, kecepatan
angin tahunan rendah, berarah dominan kearah daerah yang tidak berpenduduk
atau berpenduduk jarang.

 Lokasi penimbunan harus sesuai dengan rencana tata ruang yang merupakan tanah
kosong yang tidak subur , tanah pertanian yang kurang subur, atau lokasi bekas
pertambangan yang telah tidak berpotensi dan sesuai dengan rencana tata ruang
baik untuk peruntukkan industri atau tempat penimbunan limbah. Selain itu harus
memperhatikan :

- Flora : merupakan daerah dengan kesuburan rendah , tidak ditanami


tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan bukan daerah /kawasan
lindung;

- Fauna : bukan merupakan daerah margasatwa /cagar alam.

Persyaratan Rancang Bangun /Desain Landfill Limbah B3

Rancang bangun atau desain teknis landfill untuk tempat penimbunan limbah B3
(landfill) dikelola sesuai dengan jenis dan karakteristik limbah yang akan ditimbun.
Untuk itu pemilahan jenis dan karakteristik limbah B3 mempunyai fungsi dalam
penentuan tempat penimbunan limbah B3 tersebut , rangcang bangun dan katagori
landfill yang akan dibangun.

1). Pelapisan Dasar

a. Katagori I ( Secure Landfill Double Liner)

Rancang bangun minimum untuk katagori I (secure landfill double liner) adalah
merupakan komponen sistem pelapisan dasar landfill dari bawah keatas yang
terdiri atas komponen-komponen berikut :

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -45


Pengelolaan Limbah B-3

1. Lapisan Dasar (Subbase)

Sebelum melakukan pelapisan dasar harus dilakukan pekerjaan penyiapan


yang berupa pengupasan tanah yang tidak kohesif; perbaikan kondisi tanah
(perataan, pemadatan, dan sebagainya);pemenuhan konstruksi daya dukung
muatan (bearing capacity) yang diperlukan untuk menopang muatan (landfill
dan limbahnya ) diatasnya.

Lapisan dasar /subbase berupa tanah lempung yang dipadatkan ualang yang
memiliki konduktifitas hidrolik/ koefisien permeabilitas jenuh maksimum
1x10-9 m/detik diatas lapisan tanah setempat. Ketebalan minimum lapisan
dasar adalah satu meter. Lapisan setebal 1 meter tersebut terdiri dari lapisan -
lapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan
permeabilitas dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan
diatasnya, limbah B3 yang ditimbun dan lapisan penutup.

2. Lapisan Geomembran Kedua (Secondary Geomembrane)

Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran kedua berupa lapisan


sintetik yang terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan
ketebalan minimum 1,5 - 2,0 mm (60 - 8- mil). Semua lapisan sintetik harus
memenuhi standar ASTM D308-786 atau yang setara . Lapisan sintetik

Ini harus dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama instalasi ,
operasi serta pada tahapan penutupan landfill.

3. Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System)

Sistem pendeteksi kebocoran dipasang diatas lapisan geomembrane kedua dan


terdiri dari geonet HDPE . Geonet HDPE tersebut harus memiliki
transmisivitas planar sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar
bahan/tanah butiran setebal 30 cmm dengan koefisien permeabilitas jenh 1 x
10-4 m/det. Komponen teratas dari sistem pendeteksi kebocoran ini adalah non
woven geotextile yang dilekatkan pada geonet saat geonet pada proses
pembuatannya. Sistem pendeteksi kebocoran harus dirancang sedemikian rupa
dengan kemiringan tertentu menuju bak pengumpul, sehingga timbulan lindi

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -46


Pengelolaan Limbah B-3

akan terkumpul . Timbulan lindi tersebut dialirkan dengan menggunakan


submersible menuju tangki penampung atau penampung lindi.

4. Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner)


Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga
permeabilitas mencapai 10-9m/det dengan ketebalan miinimum 30 cm atau
geosynthetic clay liner (GCL) dengan tebal minimum 6 mm . GCL tersebut
berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan geotektil. Jenis-jenis GCL yang
sering digunakan adalah Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis.

5. Lapisan Geomembrane Pertama (Primary Geomembrane)

Lapisan geomembran pertama merupakan lapisan sintetik yang terbuat dari


HDPE dengan ketebalan minimum 1,5-2,0 mm (60-80 mil). Lapisan ini
dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama proses pemasangan
instalasi, konstruksi, pengoperasian dan penutupan landfill.

6. Sistem Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL)


SPPL pada dasar landfill minimal terdiri dari 30 cm bahan/tanah butiran yang
memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m/detik. SPPL yang
digunakan pada dinding landfill berupa geonet. Transmisivitas geonet tersebut
sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah
butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10 -4 m/detik

7. Lapisan Pelindung (Operation Cover)


Sistem pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO)
dengan ketebalan minimum 30 cm, dirancang untuk mencegah kerusakan
komponen pelapisan dasar landfill selama penempatan limbah di landfill. LPSO
berupa tanah setempat atau tanah tempat lain yang tidak mengandung material
tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal. Lapisan
pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif sel
landfill.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -47


Pengelolaan Limbah B-3

b. Kategori II (Secure Landfill Single Liner)


Rancangan bangun minimum untuk kategori II (secure landfill single liner) adalah
sebagai berikut:
Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-
komponen berikut:
1. Lapisan Dasar (Subbase)

Sebelum melakukan pelapisan dasar harus dilakukan pekerjaan penyiapan


yang berupa pengupasan tanah yang tidak kohesif; perbaikan kondisi tanah
(perataan, pemadatan, dan sebagainya);pemenuhan konstruksi daya dukung
muatan (bearing capacity) yang diperlukan untuk menopang muatan (landfill
dan limbahnya ) diatasnya.
Lapisan dasar /subbase berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang
memiliki konduktifitas hidrolik/ koefisien permeabilitas jenuh maksimum
1x10-9 m/detik diatas lapisan tanah setempat. Ketebalan minimum lapisan
dasar adalah satu meter. Lapisan setebal 1 meter tersebut terdiri dari lapisan -
lapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan
permeabilitas dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan
diatasnya, limbah B3 yang ditimbun dan lapisan penutup.
2. Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System)
Setelah dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan
pekerjaan penyiapan lahan diantaranya pengupasan tanah yang tidak kohesif,
perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan dan sebagainya), serta
pemenuhan konstruksi daya dukung muatan ( bearing capacity) yang
diperlukan untuk menopang muatan (landfill dan dan limbahnya) diatasnya.
Sistem pendeteksi kebocoran dipasang diatas lapisan tanah setempat terdiri dan
bahan butiran atau geonet HDPE dan "non woven geotekstile" . Bahan
butiran atau geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar
sama atau lebih lebih besar dari transmisivitas planar bahan butiran setebal 30
cm dengan konduktivitas hidrolik 1 x 10-4 m/detik. Sistem pendeteksi
kebocoran harus dirancang sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan
terkumpul dan dapat dipindahkan ketempat penampungan /pengumpulan lindi.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -48


Pengelolaan Limbah B-3

3. Lapisan Geomembran (Geomembrane)

Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran berupa lapisan sintetik yang
terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum
1,5-2,0 mm (60-80 mil). Semua lapisan sintetik ini mengacu pada American
Society of Testing Material (ASTM) D308-786 atau yang setara . Lapisan
sintetik dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama proses
pemasangan instalasi, konstruksi, pengoperasian dan penutupan landfill.
4. Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner)
Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga memiliki
permeabilitas 1 x 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau "
geosyntetic clay liner (GCL)" dengan tebal minimum 6 mm . GCL tersebut
berupa bentonit yang diselubungi oleh geotekstil . Jenis-jenis GCL yang bisa
digunakan adalah Claymax, Bentomat, Bentofix atau yang sejenis.
5. Sistem Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL)
SPPL pada saat dasar landfill terdiri dari sekurang-kurangnya 30 cm
bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidrolik minimum 1 x 10 -4
m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPLnya .
Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari
transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidrolik
jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik.
Untuk meminimumkan terjadi penyumbatan pada SPPL , harus dipasang
geotekstil pada bagian atas SPPL. SPPL harus mempunyai kemiringan
sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat
dipindahkan ke tangki penampung/pengumpul lindi.
6. Lapisan Pelindung (Operation Cover)
Sistem pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO)
dengan ketebalan minimum 30 cm , dirancang untuk mencegah kerusakan
komponen lapisan dasar landfill selama penempatan limbah di landfill . LPSO
berupa tanah setempat atau tanah fdari tempat lain yang tidak mengandung
material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal.
Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif
sel landfill.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -49


Pengelolaan Limbah B-3

c. Kategori III (Landfill Clay Liner)


Rancangan bangun minimun untuk kategori II (landfill clay liner) adalah sebagai
berikut: Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-
komponen berikut:
1. Lapisan Dasar (Subbase)
Pelapis dasar berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang dengan nilai
konduktivitas hidrolik jenuh maksimum 1 x 10-9 m/detik diatas tanah
setempat. Ketebalan minimum pelapis dasar adalah satu meter yang terdiri dari
lapisan-lapisan tipis ( 15-20 cm) dimana lapisan setiap lapisan dipadatkan
untuk mendapatkan koefisien permeabilitas (konduktivitas hidrolik) dan daya
dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan-lapisan diatasnya, limbah
B3 yang ditimbun serta lapisan penutup.
2. Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System)
Setelah dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan
pekerjaan penyiapan lahan diantaranya pengupasan tanah yang tidak kohesif,
perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan dan sebagainya), serta
pemenuhan konstruksi daya dukung muatan ( bearing capacity) yang
diperlukan untuk menopang muatan (landfill dan dan limbahnya) diatasnya.
Sistem pendeteksi kebocoran dipasang diatas lapisan tanah setempat terdiri dan
bahan butiran atau geonet HDPE dan "non woven geotekstile" . Bahan
butiran atau geonet HDPE tersebut harus memiliki transmisivitas planar
sama atau lebih lebih besar dari transmisivitas planar bahan butiran setebal 30
cm dengan konduktivitas hidrolik 1 x 10-4 m/detik. Sistem pendeteksi
kebocoran harus dirancang sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan
terkumpul dan dapat dipindahkan ketempat penampungan /pengumpulan lindi.
3. Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner)
Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga memiliki
permeabilitas 1 x 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau "
geosyntetic clay liner (GCL)" dengan tebal minimum 6 mm . GCL tersebut
berupa bentonit yang diselubungi oleh geotekstil . Jenis-jenis GCL yang bisa
digunakan adalah Claymax, Bentomat, Bentofix atau yang sejenis.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -50


Pengelolaan Limbah B-3

4. Sistem Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL)


SPPL pada saat dasar landfill terdiri dari sekurang-kurangnya 30 cm
bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidrolik minimum 1 x 10 -4
m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPLnya .
Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari
transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidrolik
jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik.
Untuk meminimumkan terjadi penyumbatan pada SPPL , harus dipasang
geotekstil pada bagian atas SPPL. SPPL harus mempunyai kemiringan
sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat
dipindahkan ke tangki penampung/pengumpul lindi.
5. Lapisan Pelindung (Operation Cover)
Sistem pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO)
dengan ketebalan minimum 30 cm , dirancang untuk mencegah kerusakan
komponen lapisan dasar landfill selama penempatan limbah di landfill . LPSO
berupa tanah setempat atau tanah fdari tempat lain yang tidak mengandung
material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal.
Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif
sel landfill.

2). Pelapisan Penutup Akhir (Final Cover ) bagi landfill Katagori I,II,dan III.

Setelah landfill diisi penuh dengan limbah , landfill harus ditutup dengan pelapis
penutup akhir (PPA) . PPA tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu :
a. meminimumkan perawatan dimasa yang akan datang setelah landfil ditutup ;
b. meminimumkan infiltrasi air permukaan kedalam landfill dan
c. mencegah lepasnya unsur-unsur limbah dari landfill .

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -51


Pengelolaan Limbah B-3

Pelapis penutup akhir landfill limbah B3 mulai dari bawah ke atas terdiri dari :

1. Tanah Penutup Perantara (Intermediate Soil Cover )

Tanah penutup perantara (TPP ) ditempatkan diatas limbah ketika tahap akhir
dari penimbunan limbah di landfill limbah B3 telah dicapai . TPP berupa tanah
dengan ketebalan sekurang-kurangnya 15 cm. Lapisan penutup ini harus
berfungsi memberikan dasar yang stabil untuk penempatan dan pemadatan
lapisan diatasnya .

2. Tanah Tudung Penghalang (Cap Soil Barrier)

Tanah tudung penghalang berupa lapisan lempung yang dipadatkan hingga


mempunyai permeabilitas maksimum 1 x 10-9 m/detik . Ketebalan minimum
tanah penghalang penutup adalah 60 cm.

3. Tudung Geomembran (Cap Geomembran)

Tudung geomembrane berupa HDPE dengan ketebalan 1mm (40 mil) dan
permeabilitas maksimum 1 x 10-9 m/detik. Tudung geomembran, ini harus
dirancang tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, konstruksi lapisan
atas serta saat penutupan landfill.

4. Pelapisan untuk tudung drainase (Cap Drainase Layer)

Pelapisan untuk tudung drainase (PTD) harus dirancang mampu


mengumpulkan air permukaan yang meresap kedalam lapisan tumbuhan yang
ada diatasnya dan kemudian menyalurkan ketepian landfill. PTD berupa bahan
butiran atau geonet HDPE dengan transmisivitas planar minimum sma dengan
transmisivitas planar lapisan bahan /tanah butiran setebal 30 cm dengan
konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-9 m/detik. Untuk memperkecil
penyumbatan pada PTD oleh lapisan tanah tumbuhan diatasnya maka harus
dipasang geotektil diatas PTD.

5. Pelapisan Tanah untuk Tumbuhan (Vegetative Layer)


Pelapisan tanah untuk tumbuhan (PTT) berupa tanah setempat atau tanah dari
tempat lain dengan sifat fisik perbedaan kembang kerut kecil. Ketebalan PTT

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -52


Pengelolaan Limbah B-3

minimum 60 cm. PTT harus mampu mendukung tumbuhnya tumbuhan di


atasnya.

6. Tumbuh-tumbuhan
Pelapisan tanah untuk tumbuhan (PTT) harus segera ditanami, setelah
konstruksi selesai untuk meminimumkan erosi pada PTT atau sistem penutup.
Tanaman yang digunakan/ditanam adalah tanaman yang membutuhkan
perawatan sederhana, cocok dengan daerah setempat dan tidak mempunyai
potensi merusak lapisan di bawahnya (tanaman rerumputan).
Rancangan bangun landfill limbah B3 secara visual dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2 Penampang Rancang Bangun Landfill Limbah B3.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -53


Pengelolaan Limbah B-3

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -54


Pengelolaan Limbah B-3

Persyaratan Konstruksi dan Instalasi Komponen-Komponen Landfill

Pemilik fasilitas landfill wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:


a. Sebelum memulai konstruksi dan instalasi komponen-komponen landfill, harus
membuat dan menyerahkan Rencana Konstruksi dan Instalasi Landfill serta
Rencana Jaminan Kualitas komponen-komponen landfill yang dibangun
memenuhi standar yang dipersyaratkan;
b. Pada saat konstruksi dan instalasi komponen-komponen landfill, harus melakukan
kegiatan inspeksi, uji kualitas komponen-komponen landfil, dan melaporkan hasil
inspeksi dan uji kualitas tersebut kepada Bapedal;
c. Setelah konstruksi dan instalasi landfill selesai dilaksanakan, harus membuat dan
menyerahkan laporan hasil kegiatan konstruksi dan instalasi komponen-komponen
landfill yang dibangun Bapedal;
d. Mengikutsertakan Bapedal atau pihak ketiga yang ditunjuk Bapedal sebagai
pengawas dalam setiap pelaksanaan konstruksi dan instalasi landfill.

Persyaratan Peralatan dan Pelengkapan Fasilitas Landfill


Pengoperasian fasilitas landfill harus mendukung peralatan atau perlengkapan-
perlengkapan sebagai berikut:
a. kantor administrasi;
b. gudang peralatan;
c. fasilitas pencucian kendaraan dan perlengkapan;
d. tempat parkir;
e. peralatan dan perlengkapan untuk mengatasi keadaan darurat;
f. perlengkapan emergency shower;
g. peralatan penimbunan limbah di lokasi landfill (contoh: buldoser)
h. perlengkapan pengaman pribadi pekerja;
i. perlengkapan PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan).

Perlakuan Limbah B3 Sebelum Ditimbun


Tindakan yang harus dilakukan pada limbah B3 yang memerlukan pengolahan awal
sebelum ditimbun adalah sebagai berikut:

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -55


Pengelolaan Limbah B-3

a. Melakukan uji analisa limbah B3 di laboratorium untuk menentukan cara


pengolahan awal yang sesuai dan tepat, misalnya: dengan cara
solodifikasi/stabilisasi;
b. Melakukan pengolahan limbah B3 yang sesuai dan tepat berdasarkan hasil analisa
butir a di atas, hingga memenuhi persyaratan untuk dapat ditimbun di landfill.
Untuk limbah B3 yang tidak memerlukan pengolahan awal tetapi telah memenuhi
baku mutu uji TCLP, lolos uji paint filter test dan uji kuat tekan, dapat ditimbun
langsung di landfill.

Persyaratan Limbah B3 yang dapat Ditimbun di Landfill


Limbah B3 yang dapat ditimbun di landfill wajib memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Memenuhi baku mutu uji Toxicity Charactersitic Leaching Procedure (TCLP)
Tabel 3; lolos uji Pain Filter Test dan uji kuat tekan (compressive strength);
b. Sudah melalui proses stabilisasi/solidifikasi, insinerasi atau pengolahan secara
fisika atau kimia;
c. Tidak bersifat:
1. Mudah meledak
2. Mudah terbakar
3. Reaktif
4. Menyebabkan infeksi.
d. Tidak mengandung zat organik lebih besar dari 10%;
e. Tidak mengandung PCB;
f. Tidak mengandung dioxin;
g. Tiadak mengadung radioaktif;
h. Tidak berbentuk cair atau lumpur.
Pada sat penimbunan limbah B3 di landfill harus dilakukan pencatatan yang memuat
informasi (waste tracking form) mengenai asal penghasil limbah B3, karakteristik
awal limbah B3, volume, tanggal, dan lokasi (koordinat) penimbunan.

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -56


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Uji TCLP (Hasil Ekstraksi/Lindi)


Parameter Konsentrasi dalam ekstraksi limbah
(mg/l)
Aldrin + Dieldrin 0,07
Arsen 5,0
Barium 100,0
Benzene 0,5
Boron 500
Cadmium 1,0
Carbon tetrachloride 0,5
Chlorodane 0,03
Chlorobenzene 100,0
Chloroform 6,0
Chromium 5,0
Copper 10,0
o-Cresol 200,0
m-Cresol 200,0
p-Cresol 200,0
Total Cresol 200,0
Cyanide (free) 20,0
2,4 D 10,0
1,4- Dichlorobenzene 7,5
1,2- Dichloroethane 0,5
1,1- Dichloroethylene 0,7
2,4- Dinitrotoluene 0,13
Endrin 0,02
Fluorides 150,0
Heptachlor + Heptachlor epoxide 0,008
Hexachlorobenzene 0,13
Hexachlorobutadiene 0,5
Hexachloroethane 3,0
Lead 5,0
Lindane 0,4
Mercury 0,2
Methoxychlor 10,0
Methyl Ethyl Ketone 200,0
Methyl Paration 0,7
Nitrat + Nitrite 1000,0

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -57


Pengelolaan Limbah B-3

Tabel : Baku Mutu Uji TCLP (Hasil Ekstraksi/Lindi) (lanjutan)

Parameter Konsentrasi dalam ekstraksi limbah


(mg/l)
Nitrite 100,0
Nitrobenzene 2,0
Nitrilotriaceptic acid 5,0
Pentachlorophenol 100,0
Pyridine 5,0
Parathion 3,5
PCBs 0,3
Salenium 1,0
Silver 5,0
Tetrachloroethylane (PCE) 0,7
Toxaphene 0,5
Trichloroethylene (TCE) 0,5
Trihalomethane 35,0
2,4,5-Trichlorophenol 400,0
2,4,6- Trichlorophenol 2,0
2,4,5- TP (Silver) 1,0
Vynil chloride 0,2
Zinc 50,0

Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -58

Anda mungkin juga menyukai