Anda di halaman 1dari 8

Nikah Muthah Dalam Fiqih

Oleh : Imrotus Sholikhah 17201153268

Ringkasan

Awalnya, Nikah Muth’ah terjadi di medan perang, saat itu, mayoritas tentara islam adalah
golongan pemuda yang belum sempat mengikat dirinya dengan ikatan pernikahan. Sebagai
manusia biasa, bersama gelora darah jihadnya dipadang pasir untuk menancapkan syiar
islam, gelora birahi mereka sebagai gejala fitrah insani juga ikut menggejolak menuntut
untuk segera dipenuhi. Mereka memeasung goncangan syahwat itu dengan melakukan
puasa. Tetapi karena mereka harus melakukan kontak senjata dengan tentara musuh maka
puasa bukanlah solusi efektif untuk meredam hasrat yang menyiksa. Karena fisik mereka
menjadi lemah kondisi ini yang kemudian mengantar ide disyariatkannya nikah muth’ah
atau sering disebut kawin kontrak.

Pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari
istrinya untuk melakukan nikah muth’ah dari pada melakukan penyimpangan. Namun
kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Makkah pada
tahun 8 H/ 630 M.

Awalnya, nikah muth’ah dalam islam dhukumi halal lalu di nasakh (dihapus), nikah ini
menjadi haram hingga kiamat. Dalam HR.Muslim no.1406 dijelaskan “Rasulullah SAW
pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah muth’ah pada saat fathul makkah
ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau
pun melarang kami dari bentuk nikah tersebut”. Dalam hadist lain disebutkan “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan
kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliauShallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengharamkannya atas kami ” HR Muslim, 9/159,(1406)”.

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penikahan adalah akad yang sangat agung. Ia disebut mitsaqan ghaliza karena dampak dari
akad yang tak lebih dari satu menit itu amat luas. Pernikahan merupakan sunnatullah dari
Allah swt. Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan
berkesinambungannya ciptaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia seperti
ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau
membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah
meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada banyak macam dari menikah salah satunya adalah nikah muth’ah atau sering disebut
dengan kawin konrak. Pernikahan ini hukumnya haram karena seorang wanita yang
menikah muth’ah (dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya,
berupa harta, makanan, pakian atau yang lainnya) jika masanya telah selesai, maka dengan
sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan bentuk pernikahan ini,
seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka
membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu.

Nikah muth’ah atau kawin kontrak ini banyak dilakukan oleh sebagian umat islam di
Indonesia, terutama pada kalangan pemuda. Nikah muth’ah ini menimbulkan keprihatinan,
kekhawatiran, dan keresahan bagi para ornang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat dll.
Kawin kontrak ini dalam perkembangannya bayak menimbulkan pro-kontra sehingga
banyak pendapat-pendapat yang bermunculan tentang keberadaan jenis pernikahan ini.

Nikah mut’ah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin kontrak, secara kwantitatif
sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak dilaporkan,
secara yuridis formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat
dikatakan bahwa perkawinan kontrak/ nikah mut’ah di Indonesia tidak diakui dan tidak
berlaku hukum itu.

2
Tinjauan Historis-Sosiologis
Nikah Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at islam,
yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian
diharamkan.
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam pada
waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang
perzinaan pada masa jahiliyah suatu halyang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru
pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah
suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang
sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina
yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya
berkeinginan untuk mengkebiri.
Sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber Syi’ah, nikah muth’ah merupakan suatu fakta
sejarah yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pernikahan jenis ini dipraktekkan oleh para
shahabat sejak era permulaan Islam, yaitu sejak wahyu pertama dan hijrah Nabi ke
Madinah. Seperti dalam peristiwa Zubair As-Shahabi yang menikahi Asma’, putri Abu
Bakar dalam suatu pernikahan sementara (muth’ah).
Masih menurut sumber Syi’ah, nikah muth’ah juga dipraktekkan semenjak hijrah hingga
wafatnya Nabi. Bahkan setelah peristiwa itu, selama pemerintahan Khalifah Pertama dan
sebagian dari masa pemerintahan Khalifah Kedua, kaum muslimin meneruskan praktek itu
sampai saat dilarang oleh Umar Ibn Khattab sebagai Khalifah Kedua.
Tentu saja historisitas seperti ini ditolak oleh kalangan Sunni yang menganggap Nabi sudah
melarang nikah muth’ah sejak Perang Khaibar dan peristiwa Fathul Makkah,
sepertitertuang dalam hadis yang telah dikemukakan “Rasulullah SAW pernah
memerintahkan kami untuk melakukan nikah muth’ah pada saat fathul makkah ketika
memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun
melarang kami dari bentuk nikah tersebut”.
Mengenai larangan Umar terhadap praktek nikah muth’ah, menarik untuk dicermati bahwa
larangan ini juga diakui ada dalam beberapa kitab fiqih kaum Sunni. Analisis yang bisa
dikemukakan di sini adalah, apakah laranga itu terkait dengan kewenangan Umar sebagai

3
pemimpin agama atau ini hanya sekedar strategi dakwah Islam (kebijakan politik). Jika
dipahami ini sebagai kebijakan politik yang terkait dengan dakwah Islam, maka akan
ditemukan relevansinya dengan persoalan umat saat itu. Pada era Umar, umat Islam (para
shahabat) banyak yang bertebaran di wilayah-wilayah taklukan dan mereka bercampur baur
dengan masyarakat yang baru saja memeluk Islam. Jika para shahabat itu diberi kebebasan
untuk melakukan nikah muth’ah, maka yang dikhawatirkan adalah akan muncul generasi-
generasi baru Islam hasil pernikahan muth’ah yang tidak jelas warna keislamannya. Dengan
alasan inilah, maka Umar melarang nikah muth’ah. Sehingga dapat dipahami, larangan ini
bukan larangan mermanen, tetapi hanya sementara waktu karena terkait dengan persoalan
keummatan saat itu.
Sepintas, nikah muth’ah adalah implementasi paling kasat mata bagaimana kedudukan
perempuan tidak begitu dihargai. Berbeda dengan nikah permanen yang diasumsikan telah
menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Menurut Ustadz Ahmad Baraghah,
nikah muth’ah justru meningkatkan derajat kaum perempuan. Alasannya, dalam muth’ah
perempuan dimungkinkan membuat persyaratan tertentu yang harus disetujui oleh pihak
laki-laki. Dengan kewenangan ini, masih menurut Baraghah, perempuan dapat
meningkatkan bergainning position-nya bila akan melaksanakan nikah muth’ah.1
Secara sosiologis, nikah muth’ah menjadi bukan persoalan serius ketika dipraktekkan
dalam kondisi masyarakat Muslim yang sudah mempunyai tingkat kesejahteraan yang
memadai dan pendidikan yang maju. Anggota masyarakat Muslim ini mempunyi otonomi
pribadi atau kewenangan individual yang penuh dalam menentukan nasibnya. Dalam tradisi
Persia atau Iran sekarang, nikah muth’ah bukanlah sumber penyakit sosial seperti yang
disumsikan oleh kalangan Sunni. Para perempuan Iran khususnya, mempunyai nilai tawar
yang tinggi sebelum melakukan nikah muth’ah, sehingga dalam prakteknya mereka jarang
yang melakukan pernikahan model ini. Tetapi, kondisinya adalah jauh berbeda jika nikah
muth’ah dilegalisasi di dalam komunitas masyarakat Muslim yang tingkat kesejahteraan
dan pendikannya masih rendah, seperti di Indonesia misalnya. Nikah muth’ah dalam
komunitas masyarakat Muslim yang rata-rata miskin dan bodoh, hanya menjadi komuditas

1
A. Rahman Zaenuddin dan M. Hamdan Basyar. Syi’ah dan politik di Indonesia. (Bandung: Mizan. 2000).
hlm. 112

4
pemuas nafsu laki-laki berkuasa yang pada akhirnya akan mengakibatkan kesengsaraan
berlipat bagi perempuan dan anak-anak.
Fenomena Nikah Muth’ah Diindonesia

Pernikahan merupakan suatu ikatan yang lahir antara dua orang laki-laki dan perempuan
untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan
menurut ketentuan-ketentuan syariat islam. Kata “mut’ah” berasal dari kata “mata’a” yang
bererti bersenang-senang. Perbedaan dengan pernikahan biasa, selain adanya pembatasan
waktu adalah:

1. Tidak saling mewarisi, kecuali kalau diisyaratkan


2. Lafadz ijab yang berbeda
3. Tidak ada talak, sebab sehabis kontrak, pernikahan itu putus
4. Tidak ada nafkah iddah.

Nikah muth’ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan
dengan memakai lafadz “tamattu, istinta” atau sejenisnya. Nikah muth’ah atau kawin
kontrak (muaqqat) dilakukan dengan jangka waktu tertentu atau tak tertentu, tanpa wali
ataupun saksi.2

Banyak alasan seseorang melakukan kawin kontrak, mulai dari untuk mendapatkan
kepuasan biologis, hingga solusi masalah ekonomi yang memaksa beberapa orang untuk
melakukan kawin kontrak. Secara umum faktor pemicu praktik kawin kontrak antara lain:
Pertama, pengetahuan agama yang kurang, karena membentuk penilaian nikah kontrak sah
dan lebih baik dari pada zina. Kedua, pendidikan, lapangan kerja yang sempit, dan
ekonomi.

Sebagai contoh, dikampung Warung Kaleng Bogor pada bulan-buan tertentu banyak
wisatawan asing yang melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan asal daerah
tersebut. Perkawinan tersebut dimaksud hanya untuk menemani mereka selama
diIndonesia.

2
Beni Ahmad Saebani. Fiqh Munakat 1 (Bandung: CV Pustaka Setia. 2009). Hal. 67

5
Berdasarkan berbagai sumber yang terangkum, dapat disimpulkan bahwa faktor utama
pendukung masih bergulirnya budaya kawin kontrak hingga saat ini adalah masalah
finansial. Iming-iming materi dan jangka waktu yang telah ditentukan membuat siapapun
tergiur untuk melepaskan statusnya sebagai istri dari suami resminya atau dari
keperawanannya. Bagaimana tidak, 15juta rupiah perbulan bisa diraup begitu saja. Hanya
memerankan sosok istri yang hanya melayani nafsu birahi suami kontraknya, orang mana
yang bisa menolaknya? Jangankan cewek, cowok-cowok di daerah setempat pun bahkan
mengizinkan istrinya untuk ikut kawin kontrak.3

Nikah muth’ah atau Kawin kontrak dalam perkembangannya juga banyak menimbulkan
pro-kontra sehingga banyak pendapat-pendapat yang bermunculan tentang keberadaan jenis
perkawinan ini. Tanggapan maupun pertanyaan yang muncul adalah mengenai boleh atau
tidakkah melakukan kawin kontrak tersebut. Dalam hal ini tentunya harus mendapatkan
penjelasan dari para ulama atau imam mengenai apa yang menyebabkan munculnya kawin
kontrak serta yang mendasari seseorang melakukan mut’ah berdasarkan riwayat serta dalil-
dalil kuat sehingga kemudian hal-hal menyangkut atau berkenaan dengan kawin kontrak
lebih dipahami.

Mungkin yang paling dirugikan dalam hal kawin kontrak adalah perempuan, agar
perempuan tidak terjerat kawin kontrak, dibutuhkan upaya pemberdayaan. Negara harus
lebih membuka akses pendidikan dan keterampilan perempuan, terutama di daerah-daerah
kantong; Serta menyediakan lapangan kerja yang luas dan tidak diskriminatif. Peran ulama
perempuan yang telah terberdayakan dibidang kesetaraan, pembacaan timbal-balik dan
kontekstualisasi atas tafsir teks-teks agama, juga penting untuk memberi pesan
agama rahmatan lil’alamin. Ini agar budaya patriarki tidak makin merajalela. Lalu
membantu negara mensosialisasikan hak-hak dasar perempuan; Serta turut menggali
potensi-potensi untuk kemandirian ekonomi perempuan

3
https://www.hipwee.com/wedding/soal-fenomena-kawin-kontrak-pada-musim-arab-bagaimana-
menurutmu/ diakses pada 02-12-2017 pukul 0.33

6
Di negara kita , fenomena kawin kontrak tidak tertutup kemungkinan akan semakin
berkembang. Dan mungkin juga suatu saat nanti akan dianggap menjadi suatu hal yang
wajar terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, mari kita pertahankan nilai nilai agama dan
juga nilai nilai sosial dan budaya kita sebagai bangsa Indonesia.

Adapun dalil yang mengharamkan Nikah Muth’ah, Pertama, Hadits Ali bin Abi Thalib
radliyallahu anhu, yang berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi
wa sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging khimar jinak pada waktu perang
khaibar. [HR. al-Bukhoriy: 5115 dan Muslim: 1407].
Kedua, Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhainiy radliyallahu anhu, dari ayahnya dari
kakeknya berkata,
‫ام ْالفَتْحه هحينَ دَخ َْلنَا َم َكةَ ث ُ َم لَ ْم ن َْخ ُرجْ هم ْن َها َحتَى‬
َ ‫ع‬َ ‫سلَ َم هب ْال ُمتْ َع هة‬
َ ‫علَ ْي هه َو‬ َ ‫صلَى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َم َرنَا َر‬
َ ‫سو ُل‬
َ ‫ّللاه‬
‫ع ْن َها‬
َ ‫نَ َهانَا‬
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada
Fat-hu Makkah saat kami masuk mekah. Dan tidaklah kami keluar darinya sehingga
melarang kami darinya.”

7
Simpulan

Nikah Mut’ah adalah, merupakan pernikahan yang dalam batas waktu tertentu, dengan
sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya, namun
Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan
tanpa warisan.

Nikah Mut’ah haram hukumnya, baik menurut perspektif hukum Islam maupun hukum
yang berlaku di Indonesia. Karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka,
tidak untuk membangun rumah tangga yang baik. Selain itu Rasulullah juga sudah
mengharamkan Nikah Muth’ah atau Kawin Kontrak tersebut.

fenomena kawin kontrak tidak tertutup kemungkinan akan semakin berkembang. Dan
mungkin juga suatu saat nanti akan dianggap menjadi suatu hal yang wajar terjadi di
masyarakat. Oleh karena itu, mari kita pertahankan nilai nilai agama dan juga nilai nilai
sosial dan budaya kita sebagai bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai