Anda di halaman 1dari 8

NOSTALGIA HUJAN

Deru burung besi yang aku tumpangi ini mengisyaratkan bahwa aku telah sampai ke
tujuan ditemani semburat sang surya di ufuk barat menandakan senja datang menghampiri.
Lagi-lagi senja hari ini diikuti oleh alarm kehidupan yang selalu mengingatkanku tentang
sebuah luka lama yang membekas di hati, yah itulah dia hujan. Rintik demi rintiknya
membasahi tubuh ketika keluar dari perut burung besi itu. Namun, hujan di kala senja kali ini
berbeda dari sebelumnya, hujan kali ini tidak mengingatkanku tentang sebuah goresan luka
tapi membawa jiwaku hanyut dalam mimpi yang akhirnya tercapai.
Aku kemudian mengambil barang-barang bawaan lalu bergegas menuju pintu keluar dari
bandara yang sangat padat sekali. Setelah keluar, mataku tertuju pada seseorang yang sedang
duduk bersantai, aku pun bergegas menghampirinya.
“hei, kamu David, kan ?” tanyaku yang mengagetkannya.
“Ya, dan kamu pasti Fauzan, kan ?” jawabnya.
“Sudah lama kita tidak pernah berjumpa” sambil aku memeluknya
“Aku senang dapat berjumpa denganmu boy, akhirnya kau datang juga ke sini” ucapnya
Inilah David. Ia adalah teman SMA ku, kami sangat akrab sekali. Namun, kami berpisah
saat melanjutkan pendidikan kami, David melanjutkan kuliahnya ke luar negeri, sedangkan
aku melanjutkan kuliah di dalam negeri. Hari ini kami bertemu lagi, aku sudah
memberitahunya bahwa aku akan melanjutkan S2 ku di negaranya yaitu negeri Paman Sam.
Aku mendapat beasiswa di Harvard University, sebuah universitas ternama dan tertua di
dunia. Jauh sebelum keberangkatan ke Amerika aku sudah memberitahu David lewat e-mail
untuk menjemputku ketika sampai di sana.
“Bagaimana perjalananmu kawan” ucap David sambil mengendarai mobilnya.
“Sangat melelahkan, tapi yahh itu semua sudah terbayar” jawabku.
“Nahh… sebelum kita ke apartemenku, aku akan mengajakmu jalan-jalan terlebih
dahulu” ucap David sambal tersenyum.
Sepanjang perjalanan dari bandara kami selalu mengobrol mengingat kembali masa-masa
ketika di SMA. Mengingat kejadian-kejadian itu membuat kami tertawa geli dan membuka
kembali nostalgia saat-saat itu. Tidak terasa kami sudah sampai di sebuah taman kota.
“Kita sudah sampai” kata David.
“Wow, indah sekali disini ya” ucapku.
“Hahaha… jelas dong, tempat-tempat seperti ini sulit ditemui di Indonesia kawan” jawab
David sambal terkekeh.
Aku berdiri menghadap ke arah sungai yang besar sekali dan di sana banyak anak-anak
muda bermain kano. Airnya berwarna kuning kemerahan karena senja sudah mendekati
waktunya untuk menghilang. Aku menghirup udara dalam-dalam, tak terasa rintik hujan
menetes di wajahku. Ah, lagi-lagi hujan, alarm kehidupan ini selalu datang kapan saja. Tapi
setiap tetesnya menyegarkan jiwa ini.
“Fauzan cepat sini kita berteduh” ajak David
Aku tidak menghiraukan ucapan David, aku tetap memejamkan mataku sambil tersenyum
menikmati setiap tetes yang membasahi tubuhku. Ternyata dugaanku selama ini salah. Aku
mengira hujan selalu datang di kala lara menerpa, tapi aku salah benar-benar salah. Hujan
juga datang ketika hati ini sedang bahagia. Namun, hujan tetap mengingatkanku pada sesuatu
yang sebelumnya membuatku benci kepada hujan dan senja.
**************
Kring….kring….kring….
Ah, lagi-lagi bel butut itu berbunyi memekakkan telinga bagi siapa pun yang
mendengarnya. Inilah sekolahku, terletak nun jauh di ujung kampung yang jaraknya sangat
jauh dari tempat tinggalku. Dinding reyot, cat yang kusam, begitulah sekolahku, tempat
penuh kenangan bagi kami anak-anak yang tinggal di kampung.
“Fauzan, kau dipanggil Pak Ferdi” ucap temanku
“Ada apa memangnya” jawabku
“Mana ku tahu, cepatlah ke sana sebelum ia marah” jawab temanku.
Aku pun bergegas menuju ruang Pak Ferdi. Hati ini tidak tenang rasanya, beribu
pertanyaan terlintas di benakku, mengapa Pak Ferdi memanggilku.
“Permisi, Pak, bapak memanggil saya ?” sambil aku mengetuk pintu.
“Ya, Fauzan, mari sini masuk” jawab Pak Ferdi
“Silahkan duduk” ucap Pak ferdi
“Ada masalah apa ya Pak” tanyaku
“Begini Fauzan, minggu depan ada lomba pidato, nah sekolah kita diundang, dan bapak
ingin kamu yang mewakili sekolah ini” jelas Pak Ferdi
“Yang benar pak” jawabku kegirangan
“Iya Fauzan, mulai besok kita latihan sepulang sekolah” ucap pak Ferdi
Rasanya tubuku terbang hingga ke puncak tak terbatas mendengar aku mewakili sekolah
untuk lomba pidato. Bagaimana tidak, aku hanyalah seorang anak dari desa yang
jarangbahkan belum pernah mengikuti lomba semacam ini. Yang aku tahu hanyalah bermain,
membantu ibu berladang, dan memancing ikan di sungai.
Setiap hari sepulang sekolah aku selalu berlatih pidato bersama Pak Ferdi. Bahkan karena
semangat yang menggebu-gebu aku sering latihan pidato di rumah, dan juga di tepi sungai.
Hingga akhirnya hari perlombaan pun tiba.

Aku bersama Pak Ferdi berangkat ke kota kabupaten dengan mobil tua bersama orang-
orang desa yang akan menjual dagangannya ke kota. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya
aku melihat pemandangan sekeliling, karena ini pertama kalinya aku ke kota. Setelah
menempuh perjalanan yang panjang akhirnya kami tiba di tempat perlombaan.
Aku sangat gugup karena ini pengalaman pertama bagiku. Namun, karena latihan yang
kurasa sudah cukup, maka aku pun yakin bahwa aku bisa memenangi perlombaan ini.
Giliranku pun tiba, aku naik ke atas panggung dengan penuh percaya diri. Ketika sudah
berada di atas panggung, lidahku kelu rasanya untuk berpidato, peluh terus menetes di
wajahku, inikah yang dinamakan demam panggung. Kulihat wajah Pak Ferdi tersenyum
memberikan semangat kepadaku.
Pengumuman pun tiba, hati ini tidak tenang rasanya apakah aku mendapat juara. Setelah
diumumkan ternyata namaku tidak ada. Hancur rasanya hatiku, karena aku sudah latihan
dengan keras namun hasil yang kudapat mengecewakan. Tak terasa air mataku menetes
membasahi pipi.
Pak Ferdi kemudian mengajakku untuk pulang karena hari sudah sore. Sepanjang
perjalanan aku duduk termenung dengan raut wajah yang kusut. Di tengah perjalanan, hujan
turun dengan derasnya. Ah, hujan mengapa kau datang di saat hati ini sedang bersedih.
“Sudahlah Fauzan, tidak apa-apa, yang penting pengalaman” ucap Pak Ferdi
menenangkanku
Aku tetap diam sembari menatap rintik hujan yang membasahi jalan yang kami lewati.
Semenjak itu aku agak malas mengikuti perlombaan, karena aku sudah berusaha dengan
keras namun gagal. Berkali-kali Pak Ferdi membujukku, namun berkali-kali pula aku
menolaknya.
Empat tahun berlalu sejak kejadian itu. Kini aku sudah berada di salah satu SMA ternama
di ibukota provinsi kami. Aku bisa memasuki SMA ini karena aku berhasil melewati tes.
Banyak anak-anak seusiaku yang menginginkan berada disini, namun mereka gagal melewati
tesnya.
Aku merasa tidak cukup percaya diri berada di SMA ini karena aku yang notebenenya
anak desa bersekolah di tempat yang banyak sekali anak-anak pejabat pemerintah. Hari ini
adalah hari pertama sekolah, seperti biasa hari pertama pasti dilewati dengan masa orientasi
sekolah, atau ajang perploncoan kakak kelas kami. Aku belum mempunyai teman satu pun
disini karena sebelumnya aku bersekolah di desa.
Satu minggu berlalu sejak hari pertama sekolah, hingga kini aku masih saja menyendiri
tidak bergaul dengan teman-teman. Di kelas pun aku memilih duduk sendiri. Beberapa hari
kemudian di kelas kami datang seorang murid baru yang bernama David. Ia kemudian duduk
di sampingku, yah memang tinggal satu bangku yang kosong yaitu di sampingku. Awalnya
kami hanya tersenyum tanpa pernah berucap sepatah kata. Bel istirahat pun berbunyi, di saat
anak-anak keluar dari kelas seperti air bah, aku lebih memilih berada di kelas.
“Hai, aku David” katanya mengejutkan lamunanku
“Oh, hai juga namaku Fauzan” jawabku
“Salam kenal ya” ucapnya.
Sejak saat itu aku dan David menjadi teman akrab bahkan bisa kuanggap ia adalah
sahabatku. David ternyata anak seorang pengusaha sukses di kota ini, namun arena kesibukan
kedua orang tuanya ia sering sendiri. Sedangkan aku hanyalah anak desa yang bersekolah di
kota, dan aku pun hanya dapat tinggal bersama pamanku yang kadang harus pergi
berdangang ke tempat lain. Tapi David tidak seperti anak orang kaya yang sombong, ia ramah
dan juga pintar sekali.
Suatu hari guru matematika ku Pak Dani memanggil David dan aku ke ruangannya. Entah
ada apa lagi hingga aku harus dipanggil Pak Dani, bahkan David juga.
“David, Fauzan bulan depan akan diadakan olimpiade matematika tingkat provinsi dan
bapak ingin kalian berdua mewakili sekolah ini, kalian siap ?” ucap Pak Dani kepada kami
berdua.
Seketika ingatanku kembali saat enam tahun yang lalu ketika aku kalah dalam lomba
pidato. Ingin rasanya aku mengatakan tidak kepada Pak Dani tapi ada keinginan untuk
mengikutinya karena ini sebuah peluang.
“Ayolah Fauzan, kita kan bisa belajar bersama” ucap David kepadaku
“Baiklah aku mau” jawabku.
Akhirnya aku menyetujui untuk mengikuti olimpiade matematika tersebut. Sejak hari itu
aku dan David mulai berlatih bersama baik di sekolah maupun di rumahnya. Aku merasa
tidak sepi lagi sekarang karena sudah ada teman yang bisa menghiburku. Hari perlombaan
pun tiba, tak sabar rasanya aku untuk mengerjakan soal-soal itu.
Kami akhirnya tiba di tempat perlombaan didampingi Pak Dani. Soal demi soal aku
kerjakan, ternyata sulit sekali tidak seperti yang kubayangkan. Kulihat David pun terlihat
kesulitan mengerjakannya. Akhirnya kami selesai mengerjakan soal tersebut, dan
pengumumannya akan dilaksanakan minggu depan.
Pada saat pengumuman ternyata aku dan David tidak meraih juara. Ah, lagi-lagi gagal
setelah berusaha keras. Dan lagi-lagi hujan turun saat hati ini sedang remuk. Seketika tingkat
kebencianku pada hujan bertambah.
Dua tahun berlalu sejak kejadian olimpiade itu. Kini kami sudah melanjutkan ke
perguruan tinggi. David melanjutkan kuliahnya di Amerika, sedangkan aku melanjutkan di
salah satu universitas ternama di negeri ini, itupun berkat beasiswa yang kuterima. Kami
akhirnya berpisah, berat rasanya karena ia telah menjadi teman terbaik menurutku.
Aku pun menjalani masa-masa kuliahku dengan baik. Sudah lama aku tidak pernah
kembali ke kampung menemui kedua orang tuaku. Rindu rasanya setelah hampir delapan
tahun tidak pernah kembali ke kampung halaman.
Suatu hari aku mendapat sepucuk surat. Setelah kulihat ternyata surat tersebut dari
kampungku. Aku pun sangat antusias untuk membacanya. Namun, aku terpaku, tubuhku
bergetar saat membaca surat tersebut. Ternyata ibuku sudah meninggal dunia karena sakit. Ia
tidak mau memberi tahuku karena tidak mau menjadi beban bagiku dan tidak mau
melanjutkan kuliah.
Air mataku mengalir deras saat membaca surat itu, hingga menetes ke surat tersebut. Aku
merasa benci sebenci-bencinya kepada diriku karena tidak pernah mau kembali ke kampung
untuk menemui ibuku. Tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur, aku tidak mungkin lagi
menemui ibuku karena ia sudah meninggal. Tidak ada lagi pelukan hangat untukku.
Aku rasanya ingin pulang, tapi yang akan ku temui hanya pusara ibuku saja dan itu akan
membuatku tambah sedih. Di tengah gundah gulana hati ini, aku memutuskan untuk
menenangkan diri di tepi pelabuhan terbesar di kota ini. Semburat sang mentari kala senja
sangat indah, namun lagi-lagi hujan turun membasahi tanah. Aku benci rasanya mengapa
harus hujan yang menemaniku saat sedih. Aku tetap berdiri meskipun sedang hujan, dan
terdengar adzan maghrib berkumandang dan aku pun pulang.
Belum selesai rasa sedih di hatiku, tiba-tiba datang lagi sepucuk surat kepadaku. Dan
setelah kubaca isinya sangat mengiris hati, karena kali ini datang lagi kabar duka dari
kampungku dan isinya mengatakan bahwa ayahku telah pergi menyusul ibu. Tak tahan lagi
rasanya hati ini, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman.
Saat aku tiba di kampung halamanku, aku langsung pergi ke pusara kedua orang tuaku.
Aku langsung terduduk di depan pusara keduanya. Aku menangis sejadi-jadinya karena aku
pulang setelah keduanya pergi meninggalkan ku. Lagi-lagi hujan membasahi tempat ini, aku
sudah berada di tingkat kebencian yang paling tinggi dengan hujan karena selalu datang di
saat aku sedang bersedih. Kemudian aku singgah sebentar ke rumah masa kecilku, disini aku
bernostalgia mengingat kembali bagaimana kasih saying kedua orang tuaku dulu, tapi
sekarang aku tidak akan pernah merasakannya lagi. Rasanya aku tidak mau lagi kembali ke
kota untuk melanjutkan kuliah
Ketika aku sedang duduk di beranda rumah sambil merenungi nasib yang beigtu malang,
tiba-tiba datang seorang kakek tua yang menghampiriku.
“Kau terlihat murung sekali anak muda” kakek itu berkata kepadaku
“Kakek siapa, aku belum pernah melihat kakek sebelumnya” jawabku.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku anak muda, tapi dengar apa yang akan aku katakan”
ujarnya.
“Aku tahu masalah yang kau hadapi nak. Aku tahu haitumu sedang sakit saat ini, tapi
tidak sepantasnya kau benci pada hidupmu. Cintailah rasa sakit itu, Karena ia akan
membuatmu menjadi pribadi yang lebih kuat. Dan jangan pernah benci terhadap hujan,
karena ia rahmat dari Tuhanmu. Ia turun untuk mengingatkanmu bahwa kau punya Tuhan
yang lebih besar daripada masalah yang kau hadapi. Bangkitlah, Nak jika tidak ada tempat
untuk bersandar masih ada tempat untuk bersujud. Ingatlah bahwa Tuhan tidak akan pernah
pergi darimu, ia akan selalu ada di hatimu. Ingatlah satu hal lagi bahwa aka nada pelangi
setelah hujan” kata kakek itu sambil meninggalkanku.
Kata-kata kakek itu terngiang-ngiang di kepalaku. Ada benarnya juga. Aku tidak bisa
terus menerus hidup seperti ini, aku harus bangkit dan menjalani hidupku. Jika orang tuaku
masih hidup, mereka pun akan berkata hal yang sama kepadaku.
*********
Hujan telah reda, dan kali ini aku bisa melihat pelangi setelah hujan. Pelangi kali ini
sangat istimewa bagiku Karena pelangi ini datang di kala senja. Tarikan tangan David
mengejutkanku
“Ayo kita harus ke apartemenku” ujar David
“Baiklah” jawabku
Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada hidupmu entah itu menyenangkan
atau menyedihkan. Terkadang kita benci pada hidup bahkan putus asa menjalaninya. Kita
tidak pernah ingat kepada Tuhan yang selalu ada menemani jauh di lubuk hati yang paling
dalam. Rasa sakit yang kita punya akan menjadikan kita pribadi yang lebih kuat. Bangkitlah
untuk berubah, jadilah seperti hujan yang tidak pernah letih untuk jatuh dan berarti di setiap
rintiknya. Kau terkadang benci pada hujan yang datang di saat yang tidak tepat, namun itulah
cara Tuhan untuk mengingatkanmu agar selalu bangkit dari jatuh. Tak perlu berapa kali kau
hatuh, kau harus bangkit, tak perlu seberapa banyak hujan yang turun karena pasti ada
pelangi yang indah dibaliknya.

Struktur Cerpen
No. Struktur Teks Fungsi Tiap Struktur Teks
1. Abstrak Deru burung besi yang aku tumpangi ini
mengisyaratkan bahwa aku telah sampai ke tujuan
ditemani semburat sang surya di ufuk barat
menandakan senja datang menghampiri. Lagi-lagi
senja hari ini diikuti oleh alarm kehidupan yang
selalu mengingatkanku tentang sebuah luka lama
yang membekas di hati, yah itulah dia hujan. Rintik
demi rintiknya membasahi tubuh ketika keluar dari
perut burung besi itu. Namun, hujan di kala senja kali
ini berbeda dari sebelumnya, hujan kali ini tidak
mengingatkanku tentang sebuah goresan luka tapi
membawa jiwaku hanyut dalam mimpi yang akhirnya
tercapai.
2. Orientasi Kring….kring….kring….
Ah, lagi-lagi bel butut itu berbunyi memekakkan
telinga bagi siapa pun yang mendengarnya. Inilah
sekolahku, terletak nun jauh di ujung kampung yang
jaraknya sangat jauh dari tempat tinggalku. Dinding
reyot, cat yang kusam, begitulah sekolahku, tempat
penuh kenangan bagi kami anak-anak yang tinggal di
kampung.
3. Komplikasi Aku sangat gugup karena ini pengalaman pertama
bagiku. Namun, karena latihan yang kurasa sudah
cukup, maka aku pun yakin bahwa aku bisa
memenangi perlombaan ini. Giliranku pun tiba, aku
naik ke atas panggung dengan penuh percaya diri.
Ketika sudah berada di atas panggung, lidahku kelu
rasanya untuk berpidato, peluh terus menetes di
wajahku, inikah yang dinamakan demam panggung.
Kulihat wajah Pak Ferdi tersenyum memberikan
semangat kepadaku.
Pengumuman pun tiba, hati ini tidak tenang
rasanya apakah aku mendapat juara. Setelah
diumumkan ternyata namaku tidak ada. Hancur
rasanya hatiku, karena aku sudah latihan dengan
keras namun hasil yang kudapat mengecewakan. Tak
terasa air mataku menetes membasahi pipi.
Pak Ferdi kemudian mengajakku untuk pulang
karena hari sudah sore. Sepanjang perjalanan aku
duduk termenung dengan raut wajah yang kusut. Di
tengah perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Ah,
hujan mengapa kau datang di saat hati ini sedang
bersedih.
4. Evaluasi Suatu hari aku mendapat sepucuk surat. Setelah
kulihat ternyata surat tersebut dari kampungku. Aku
pun sangat antusias untuk membacanya. Namun, aku
terpaku, tubuhku bergetar saat membaca surat
tersebut. Ternyata ibuku sudah meninggal dunia
karena sakit. Ia tidak mau memberi tahuku karena
tidak mau menjadi beban bagiku dan tidak mau
melanjutkan kuliah.
5. Resolusi “Aku tahu masalah yang kau hadapi nak. Aku tahu
haitumu sedang sakit saat ini, tapi tidak sepantasnya
kau benci pada hidupmu. Cintailah rasa sakit itu,
Karena ia akan membuatmu menjadi pribadi yang
lebih kuat. Dan jangan pernah benci terhadap hujan,
karena ia rahmat dari Tuhanmu. Ia turun untuk
mengingatkanmu bahwa kau punya Tuhan yang lebih
besar daripada masalah yang kau hadapi. Bangkitlah,
Nak jika tidak ada tempat untuk bersandar masih ada
tempat untuk bersujud. Ingatlah bahwa Tuhan tidak
akan pernah pergi darimu, ia akan selalu ada di
hatimu. Ingatlah satu hal lagi bahwa aka nada pelangi
setelah hujan” kata kakek itu sambil meninggalkanku.
6. Koda Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi
pada hidupmu entah itu menyenangkan atau
menyedihkan. Terkadang kita benci pada hidup
bahkan putus asa menjalaninya. Kita tidak pernah
ingat kepada Tuhan yang selalu ada menemani jauh di
lubuk hati yang paling dalam. Rasa sakit yang kita
punya akan menjadikan kita pribadi yang lebih kuat.
Bangkitlah untuk berubah, jadilah seperti hujan yang
tidak pernah letih untuk jatuh dan berarti di setiap
rintiknya. Kau terkadang benci pada hujan yang
datang di saat yang tidak tepat, namun itulah cara
Tuhan untuk mengingatkanmu agar selalu bangkit
dari jatuh. Tak perlu berapa kali kau hatuh, kau harus
bangkit, tak perlu seberapa banyak hujan yang turun
karena pasti ada pelangi yang indah dibaliknya.

Anda mungkin juga menyukai