Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul “Hukum-
hukum Syar’i.” tepat pada waktunya.
Dengan adanya suatu tugas makalah kami sangat bersyukur karena dengan
adanya bisa menambah wawasan kita serta pengetahuan dari tidak tahu menjadi
tahu.
Walaupun masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, namun
kami berharap agar makalah ini dapat dipergunakan dan dimanfaatkan baik di
dalam sekolah atau diluar sekolah.
Dalam melaksanakan makalah ini banyak pihak yang terlibat dan membantu
sehingga dapat menjadi satu makalah yang dapat dibaca dan dimanfaatkan .
Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca
umumnya. Sekian dari kami mengucapkan banyak terima kasih.

Talaga, Oktober 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan ...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syar’i ......................................................................... 2
B. Hukum Syar’i ........................................................................................... 3
C. Mahkum Bihi ........................................................................................... 11
D. Mahkum Alaih ......................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 14
B. Saran ......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dipilihnya “Hukum Syar’i” sebagai judul makalah karena pentingnya judul ini
untuk dikaji, dipahami dan dipelajarinya dengan sebaik mungkin. Selain
memberikan keterangan lebih atas perselisihan yang terjadi diantara para imam
madzhab dalam sub judul makalah ini. Karena pada dasarnya perselisihan para
imam tersebut disebabkan perbedaan mereka dalam menafsirkan nushus (teks)
termasuk di dalamnya teks (al-iqtidha’, al-takhyir, al-wadh’u) baik yang bersumber
dari al-qur’an maupun hadist.
Ketika perbedaan para imam madzhab ataupun sebagian ulama dalam masalah
judul ini yaitu (Hukum Syar’i) semakin mengental dan menempati posisi yang
sangat fital dalam permasalahan ini. Ketika kaum muslimin berkewajiban untuk
menyampaikan (tabligh) ajaran (risalah) islam kepada komunitas lain, saya
memandang bahwa judul makalah ini wajib diangkat ke permukaan sebagai saham
dalam dakwah islamiyah. Di sisi lain yang menjadi penyebab untuk dibahas sub
judul ini karena judul ini begitu sulit dan rumit sehingga membutuhkan kerja keras
dan kajian yang mendalam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum syar’i?
2. Ada berapa macam bagian hukum syar’i?
3. Apa yang dimaksud dengan mahkum bihi?
4. Apa yang dimaksud dengan mahkum alaih?

C. Tujuan
1. Ingin mengetahui pengertian hukum syar’i
2. Ingin mengetahui bagian-bagian dari hukum syar’i
3. Ingin mengetahui mahkum bihi
4. Ingin mengetahui mahkum alaih.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syar’i


Sebelum kita membahas tentang pengertian hukum syar’i ada baiknya kalau
bab ini dimulai dengan mengemukakan pengertian syariat terlebih dahulu. Hal ini
penting mengingat pembahasan yang sesungguhnya dibutuhkan dalam masalah ini
adalah mengenai syariat itu sendiri. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 37)
Dari segi bahasa kata syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang
sesungguhnya harus di turut (aturan). Syariat juga berarti tempat akan air di sungai.
Kata syariat terdapat dalam ayat Al-Qur’an seperti dalam Al-Maidah ayat 48 dan
Al-Syura ayat 13.
Dan kata syari’ah pada prinsipnya mengandung arti “jalan yang jelas
membawa kepada kemenangan.” Dalam hal ini, agama Islam yang ditetapkan untuk
manusia disebut syariat, karena umat Islam selalu memulainya dalam kehidupan
mereka di dunia. Adapun dari segi kesamaan antara syariat Islam dengan “jalan air”
(seperti dalam pengungkapan lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang
mengikuti syariat jiwanya akan mengalir dan bersih. Allah menjadikan air sebagai
penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan, sebagaimana ia menjadikan
syariat bagi penyebab kehidupan diri manusia.
Pada asalnya syariat diartikan sebagai hukum atau aturan yang ditetapkan
Allah buat hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan hubungan mereka dengan Allah
maupun hubungan antara sesama mereka sendiri. Dengan makna seperti ini, syariat
diterjemah sebagai ‘agama’ sebagaimana disinggung dalam surat Al-Syura ayat 13.
Namun kemudian, pemakaiannya dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah.
Pengkhususan ini dilakukan karena ‘agama’ (samawy) pada prinsipnya adalah satu,
berlaku secara universal dan ajaran aqidahnya pun tidak berbeda dari rasul yang
satu umat sebelumnya. Dengan demikian, syariat lebih spesifik dari pengertian
agama. Ia adalah hukum amaliyah yang menurut perbedaan rasul yang
membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksi dan atau menasahkan
yang datang lebih dahulu.
Berhubungan dengan penjelasan di atas dan dikaitkan pula dengan pembahasan
kita tentang metode hukum Islam, maka dapat dipertegas lagi bahwa yang

2
dimaksud dengan syariat disini adalah segala aturan Allah yang berkaitan dengan
amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala
hukum atau aturan-aturan yang berasal dan dibangsakan kepada syariat tersebut
disebut hukum syar’i. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 37-38)
Antara ahli ushul fiqih (Ushuliyun) dan ahli fiqih (fuqoha’) berbeda pendapat
dalam memahami hukum syar’i tersebut. Pihak ahli ushul fiqih (Ushuliyun),
memberi definisi hukum syar’i sebagai kitab (titah) Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukalaf yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau
wadha’ (yaitu mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum).
Sedangkan pihak ahli fiqih (fuqoha’), memberi definisi sebagai efek yang
dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan yang wajib, haram dan mubah.
Bila melihat definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa nash dari perbuatan syara’ (Allah dan Rasul-Nya) itulah
menurut ahli ushul ( Ushuliyun), yang dikatakan hukum syar’i. Sedangkan menurut
ahli fiqih (fuqoha’) bukan nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i melainkan
efek dari nash itu sendiri.
Umpamanya, firman Allah dalam surat Al-Nisa’ : 4
ٗۚ
‫ص ُد َٰقَتِ ِهن نِ ۡحلَة‬ ْ ُ‫َو َءات‬
َ ‫وا ٱلنِّ َسآ َء‬
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Ahli ushul fiqih mengatakan bahwa firman (perintah memberi maskawin)
itulah yang dikatakan hukum syar’i berbeda dengan ahli fiqih yang mengatakan
bahwa wajib memberi maskawin yang dikatakan hukum syar’i. (H. Alaiddin Koto,
2004, hal. 38-39)

B. Hukum Syar’i
Pada umunya ulama ushul fiqih membagi hukum syar’i menjadi dua bagian:
hukum taklifi dan hukum wadh’i.
1. Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi ialah syar’i yang mengandung
tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang
mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. (H. Alaiddin
Koto, 2004, hal. 41)

3
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian: ijab, nadb, tahrim, karahah
dan ibahah.
Ijab (wajib) adalah firman yang menuntut melakukan sesuatu perbuatan
dengan tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 43:
َ َّ َ َ ُ َ ۡ َ َ ٰ َ َّ ُ َ َ َ ٰ َ َّ ُ ََ
ْ ْ٤٣ْ‫ي‬ ٰ
ْ ِ‫وأقِيمواْْٱلصلوْةْوءاتواْٱلزكوْةْ ْوٱركعواْْمعْٱلركِع‬

Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta


orang-orang yang ruku´
Nadb (Sunnah) adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu
perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk
berbuat.
Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah (2): 282:
ُ ُ ُ ۡ َ ٗ‫َ َٰٓ َ ُّ َ َّ َ َ َ ُ ٓ َ َ َ َ ُ َ ۡ َ َٰٓ َ َ ُّ َ ى‬
ْ ْ‫وه‬ْ ‫ْفٱكتب‬ ْ ‫ِينْءامنواْإِذاْتداينتمْبِدي ٍنْإَِلْأج ٖلْمسّم‬
ْ ‫يأيهاْٱَّل‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Tahrim (Haram) adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan
sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 3:
ۡ ُ ۡ َ َ ُ َّ َ ُ َ ۡ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ۡ َ ٗ ُ
ْ ْ‫ير‬
ِْ ‫ِزن‬
ِ ‫ٱۡل‬ْ‫تْعليكمْٱلميت ْةْ ْوٱدل ْمْوَلم‬ ْ ‫ح ِرم‬
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi

Karahah (Makruh) adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak


melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya
berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-
Maidah ayat 101:
ۡ ُ ۡ َُ ۡ ُ َ َُۡ ََٓ َۡ ۡ َ َُ َۡ َ
ْ ْ‫َلْتسْلواْعنْأشياءْإِنْتبدْلكمْتسؤكم‬
Artinya: janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu niscahya menyusahkanmu...

4
Ibahah (Mubah) adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada
mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya,
Allah dalam surat Al-Baqarah 235:
ٓ َ ٗ َ ۡ ۡ ُ ۡ َّ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ُ َ َ
ْ ِْْ‫خطبةِْٱلنِساء‬
ِ ْ‫َلْجناحْعليكمْفِيماْعرضتمْب ِ ْهِۦْمِن‬ ْ‫و‬
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran.
Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian yaitu
dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan
tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab. Begitu juga firman yang
menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan pasti kepada dua
bagian: tahrim dan karahah tanzih.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dalil yang qath’i
seperti dalil Al-Qur’an dan Hadits Mutawir maka perintah itu disebut fardhu.
Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab. Begitu
pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanni, ia disebut karahah
tanzih.
Dengan pembagian seperti di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum
taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah, karahah tanzih, nadb dan ibadah.
Walaupun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi
kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum
tersebut kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum
itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang
dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub,
makruh dan mubah. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal, 42-44)
a. Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah segala perbuatan yang
diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (‘iqab) apabila
meninggalkannya. Misalnya, mengerjakan beberapa rukum Islam yang lima.

5
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat.
1) Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,
wajib dibagi dua:
a) Wajib mu’ayyan (ditentukan) yaitu yang telah ditentukan macam
perbuatannya, misalnya membaca fatihah, atau tahiyyat dalam shalat.
b) Wajib mukhayyar (dipilih) yaitu yang boleh pilih salah satu dari
beberapa macam perbauatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat
sumpah yang memberi pilihan tiga alternatif, memberi makan sepuluh
orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau
memerdekakan budak.
2) Dilihat dari segi siapa saja yang mengharuskan memperbuatnya, wajib
terbagi kepada dua bagian:
a) Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf.
Misalnya, mengerjakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain
sebagainya. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b) Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah
seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang
mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang
antara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila
tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota
masyarakat tersebut. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan,
mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan shalat jenazah
dan lain sebagainya.
3) Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya, wajib itu terbagi kepada dua:
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau
jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah
rakaat shalat dan lain-lain.
b) Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas
bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad,
tolong-menolong dan lain sebagainya. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal.
44-46)

6
b. Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang
yang melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang meninggalkannya
diberi pahala. Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang
menjadi tanggungan dan lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat,
qabih.
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
1) Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram
seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharapkan sejak
semula. Misalnya, membunuh, berzina, mencuri dan lain-lain.
2) Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor
lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya
mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang.
Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semula wajib berubah menjadi
haram karena dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit yang
mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya. (H. Alaiddin
Koto, 2004, hal, 46)
c. Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan
pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab).
Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada:
1) Sunat ‘ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi
mukalaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunat rowatib.
2) Sunat kafiyah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat
cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnya
mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin dan lain-lain.
Selain itu, sunat juga dibagi kepada:
1) Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh
Rasul, atau lebih banyak dikerjakan Rasul dari pada tidak dikerjakannya.
Misalnya, shalat sunat hari raya.

7
2) Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak
selalu dikerjakan Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin. (H.
Alaiddin Koto, 2004, hal. 47)
d. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan,
orang lain yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang
mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘iqab). Misalnya, merokok, memakan
makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap dan lain sebagainya.
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:
1) Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari
pada mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut di atas.
2) Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang
melarangnya itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya bermain catur, memakan
kala dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan
Malikiyah). (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 46-47)
e. Mubah
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang tidak diberi
pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya.
Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz. (H. Alaiddin Koto,
2004, hal. 48)
2. Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan
sesautu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi
sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang
lain tersebut. Oleh karenanya, ulama membagi hukum wadh’i ini kepada: sebab,
syarat, mani’. Namun, sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan
rukhshah. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 49)
a. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh
syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu

8
menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak
adanya hukum.
Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian:
1) Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa
menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau
tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat.
2) Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Sebab ini dibagi dua:
a) Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan
menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa (QS. Al-Baqarah (2):
185). Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab
boleh tidaknya berpuasa di bulan Ramadhan (QS. Al-Baqarah (2): 185)
b) Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi
sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya
mengawini mertua dan lain sebagainya. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal.
49-50)
b. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung
adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu
tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan
apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat
berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun,
dengan adanya syarat berjalan, satu tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat,
karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut
senisab. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 50)
c. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya
dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Dari
definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:
1) Mani terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan
yang akan diwarisi adalah mani (penghalang) hukum pusaka mempusakai

9
sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan.
Begitu juga najis yang terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang
shalat. Dalam contoh ini tidak terdapat salah satu syarat sah shalat, yaitu
suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya shalat. Hal ini
disebut mani’ hukum.
2) Mani terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta
senisab wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai
hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat ia tidak wajib
membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memiliki
harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat. Namun,
keadaannya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan penghalang
sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh
ini adalah menghalangi sebab hukum zakat. Hal ini disebut mani’ sebab.
(H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 52-53)
3. Perbedaan Antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan
hukum wadhi dari dua hal:
a. Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklifi adalah hukum Allah yang
berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau
memperbolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan
hukum wadh’i tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya
menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah dan batal.
b. Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi
selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau
meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang dapat
dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak. (H. Alaiddin
Koto, 2004, hal 58-59)

10
C. Mahkum Bihi
Mahkum bihi, yaitu perbuatan orang mukalaf yang berhubungan dengan
hukum syara’ atau yang dibebani hukum syar’i. Contoh, firman Allah SWT.
ُ َ ٗ ُ ُ ۡ َ َ َ ُ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
ْ ْ‫ام‬
ْ ‫ٱلصي‬
ِ ْ‫ِينْءامنواْكتِبْعليكم‬
ْ ‫يأيهاْٱَّل‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa (QS. Al-
Baqarah: 183)
Firman Allah SWT di atas berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf yaitu
berpuasa, sehingga dapat diambil pengertian bahwa status hukum puasa adalah
wajib. Contoh lain, firman Allah SWT:
‫َ َ َ ۡ َ ُ ٗ َ َٰٓ َّ ُ َ َ َ َ ى َ َ ٓ َ َ ى‬
ْ ْ٣٢ْ‫ْسبِيٗل‬ ‫حشةْوساء‬ِ ٰ ‫ن ىْإِن ْهۥَْكنْف‬
ْ ‫ٱلز‬
ِ ْ‫َلْتقربوا‬
ْ‫و‬

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (QS. Al-Isra’ : 32)
Firman Allah di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf, yaitu
mendekati zina, dimana status hukumnya adalah haram. Setiap hukum syara’
berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf.
Adapun syarat-syarat mahkum bihi adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya tuntutan perbuatan yang dikenal hukum itu diketahui dengan jelas
dan pasti oleh orang mukalaf sehingga ia bisa menunaikannya sesuai dengan
yang dituntut.
2. Perbuatan yang dikenai hukum itu bisa diketahui oleh orang mukalaf bahwa
beban hukum tersebut berasal dari Allah, sehingga dalam mengerjakannya ada
kehendak dan rasa keinginan untuk ta’at kepada Allah dan semata-mata untuk
mendapat keridhoan-Nya.
3. Beban hukum (Taklif) tersebut adalah hal yang mungkin terjadi, karena tidak
ada taklif terhadap perbuatan yang mustahil terjadi diluar batas kemampuan
manusia

11
4. Taklif tersebut jelas dan mukalaf dapat membedakan antara perbuatan-perbuatan
tersebut dengan yang lainnya, supaya ditentukan niat terhadap perbuatan
tersebut bila hendak mengerjakannya.

D. Maklum Alaih
Maklum alaih ialah mukalaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum
syar’i atau dengan kata lain orang mukalaf yang perbuatannya menjadi tempat
berlakunya hukum Allah. Dinamakan Mukallah sebagai Mahkum ‘alaih adalah
karena dialah yang dikenai hukum syara’. Singkat kata yang dimaksud dengan
hukum mahkum ‘alaih adalah mukalaf itu sendiri sedang perbuatannya dinamakan
mahkum bihi.
Kemudian tuntutan-tuntutan akan perbuatan tersebut ditujukan kepada orang
mukalaf, dan tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang yang sedang
mengalami gangguan jiwa atau gila. Tuntutan-tuntutan Allah (taklif) selalu
disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua tuntutan hukum baik yang
berkaitan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak sesama manusia tidak dituntutkan
kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Oleh
karena itu, kemampuan menjadi dasar adanya taklif.
Allah berfirman:
ُ ‫ٱّللْ َن ۡف ًساْإ ََّل‬
ْ ْ‫ْو ۡس َع َها‬ ْ
َ ُ َ
ُ َّ ْ‫كلٗ ِ ُف‬ ‫َلْي‬
ْ
ِ
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya (QS. Al-Baqarah : 286)
Adapun kondisi manusia untuk melaksanakan hukum-hukum Allah ada tiga
kemungkinan, antara lain sebagai berikut:
1. Tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk berbuat, contohnya anak kecil
atau orang yang mengalami gangguan jiwa atau orang gila. Mereka tidak
memiliki kemampaun untuk melaksanakan hukum Allah karena belum/ tidak
sempurna akalnya.
2. Memiliki kemampuan untuk berbuat akan tetapi belum sempurna, yaitu anak
yang sudah mumayyiz (anak yang sudah membedakan baik buruknya

12
perbuatan). Perbuatan mumayyiz tersebut yang berkaitan dengan hak-hak Allah
seperti shalat, puasa dan lain-lain dihukumi sah tetapi belum berkewajiban untuk
menunaikannya.
Memiliki kemampuan berbuat secara penuh dan sempurna, yaitu semua orang
yang sudah baligh dan berakal. Semua perbuatannya yang berkaitan dengan hak-
hak Allah maupun yang berhubungan dengan hak-hak sesama manusia, berlaku
padanya ketentuan-ketentuan hukum beserta sanksi-sanksinya dan akibatnya secara
penuh, kecuali jika terdapat udzur, baik yang muncul dari tindakan manusia sendiri
seperti: mabuk, bepergian, paksaan, maupun yang timbul diluar dari perbuatan
manusia itu sendiri seperti: sakit, gila, lupa dan tidur. (baca Tentang mahkum bin
dan mahkun alaihi, Alaiddin Koto, 2004, hal. 157)

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehujjahan Al-Qur’an, AL-Quran disebut sebagai wurud yaitu kehujjahannya
QAth’I AL-Wurud dan AL-Quran disebut sebagai Dalalah karena terbagi menjadi
dua yaitu Qth’I AL-Dalalah dan Zhanni AL-Dalalah.
Petunjuk (Dalalah) Al-Qur’an :bahwa Al-Qur’an dan ayat- ayat Al-Qur’an dari
segi wurud (kedatangan )dan tsubut (penetapannya) adalah Qoth’I. Hal ini semua
karena ayatnya sampaikan kepada kita dengan jlan mutawtir. Nash yang Qoth’I
dalalahnya, Nash maknanya tidak bias ditakwil, tidak mempunyai makna yang lain,
dn tidk bertanggung pada hal- hal yng lain diluar nash itu sendiri. Contoh ayat- yang
menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi,
hukum zina dan sebginya sudah jelas dn tidak memerlukan ijtihad lagi.
Sumber-sumber ajaran Islam adalah:
1. Al-Qur’an
2. Al-Sunnah
3. Ijtihad
4. Qiyas

B. Saran
Penulis menyadari akan keterbatasan dari keilmuan dan pemahaman dalam
memahami dari materi keterampilan membaca, maka penulis meminta dengan
sangat agar bapak dosen dapat membantu menjelaskan dari isi makalah ini agar
keilmuan yang kita dapat menjadi lebih sempurna.

14
DAFTAR PUSTAKA

 Buku LKS/Fiqih/XII/MIA/Semester Ganjil/gml


 http://arief1418.blogspot.com/2017/07/contoh-makalah-tentang-hukum-
syari.html
 https://pandidikan.blogspot.com/2011/04/hukum-syari-dan-
pembagaiannya.html
 http://kisahmuslim.com

15

Anda mungkin juga menyukai