Anda di halaman 1dari 27

REFERAT BEDAH

ELECTRIC INJURY

Pembimbing :

dr. Bambang Wicaksono, Sp. BP

Disusun oleh:
Yohana C Mantara
2015.04.20147

DEPARTEMEN BEDAH
RSAL Dr. RAMELAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................ i


BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2
2.1 Definisi........................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 2
2.3 Etiologi........................................................................................... 3
2.4 Patofisiologi ................................................................................... 3
2.5 Fase luka bakar ............................................................................. 6
2.6 Derajat kedalaman luka bakar ....................................................... 7
2.7 Luas luka bakar ............................................................................. 9
2.8 Kriteria berat ringannya (American Burn Association) ................. 10
2.9 Gejala dan tanda klinis ................................................................ 11
2.10 Penatalaksanaan penderita luka bakar ..................................... 14
2.11 Penanganan sirkulasi ................................................................ 16
2.12 Monitoring penderita luka bakar fase akut ....................................................... 18
2.13 Management electric injury ....................................................... 20
2.14 Kompilikasi ................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 25

i
BAB I

PENDAHULUAN

Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih


memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan
bagi kita, karena sampai saat ini angka morbiditas dan mortalitas yang
masih tinggi. Luka bakar bukan luka biasa, karena luka bakar dapat
memberikan dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik
tubuh yang berbeda pada kebayakan luka yang lain. Pada luka biasa
setelah kita rawat dan dilakukan penjahitan maka penderita bisa pulang
dengan rawat jalan, setelah luka sembuh kira - kira 1 minggu sudah dapat
dilakukan pelepasan jahitan. Pada luka bakar dapat menimbulkan
komplikasi baik komplikasi lokal maupun komplikasi sistemik berupa
infeksi, shok, gagal ginjal akut, ARDS dan juga dapat terjadi Multiple
Organ Failure dan mengakibatkan kematian.
Tindakan pencegahan terjadinya kejadian luka bakar sebagian bisa
dicegah tapi sebagian tidak bisa dicegah. Kejadian luka bakar yang
berhubungan dengan perilaku dan edukasi ini yang bisa dicegah, dimana
dari angka kejadian luka bakar banyak terjadi di rumah tangga. Kejadian
dirumah tangga seharusnya bisa dicegah dengan memberikan
penyuluhan untuk ibu-ibu dengan banyaknya anak-anak mengalami luka
bakar akibat tertumpah air panas, air soto panas, dan sebagainya.
Penyuluhan dapat ini diharapkan akan mengurangi angka kejadian di
rumah tangga.
Angka kematian dan angka kesakitan serta komplikasi yang berat
akibat luka bakar perlu dipikirkan adanya komplikasi kontraktur yang berat
sehingga akan menurunnya kemampuan seseorang / kualitas hidup
seseorang, maka penanganan yang komprehensif, perawatan terpadu dari
berbagai disiplin ilmu perlu ditingkatkan .

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Luka bakar atau cedera thermal adalah luka yang terjadi akibat
kontak dengan cairan panas, bahan panas atau api sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan kulit bahkan dapat menimbulkan
kerusakan jaringan yang lebih dalam mencapai jaringan otot dan tulang.
Penyebab luka bakar yang tersering disebabkan api, akibat air panas, luka
bakar karena bahan kimia, akibat listrik / petir atau radiasi, akibat
sengatan sinar matahari, juga karena ledakan bom.
Trauma listrik adalah luka yang disebabkan oleh trauma listrik, yang
merupakan jenis trauma yang disebabkan oleh adanya persentuhan
dengan benda yang memiliki arus listrik, sehingga dapat menimbulkan
luka bakar sebagai akibat berubahnya energi listrik menjadi energi panas.

2.2 Epidemiologi
Di Amerika dilaporkan pada tahun 2011 terdapat sekitar 2 sampai 3
juta penderita setiap tahunnya dengan penyebab terbanyak karena api
yaitu sebanyak 44% dari seluruh kasus, akibat air panas sebanyak 33%
dari seluruh kasus serta jumlah kematian sekitar 5-6 ribu kematian/tahun.
Di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah
penderita luka bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya.
Di unit luka bakar RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada
tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat,
dengan angka kematian 37,38%.
Di Unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya jumlah kasus yang
dirawat selama satu tahun (Januari 2011 sampai Desember 2011)
sebanyak 182 kasus dengan penyebab terbanyak karena api 86 kasus
atau 47 %, akibat listrik sebanyak 44 kasus atau 24%, luka bakar karena
air panas sebanyak 35 kasus atau 19 %, luka bakar karena bahan kimia 9

2
kasus atau 5 %, karena penyebab lain sebanyak 9 kasus atau 5% (Unit
Luka Bakar RSU Dr. Soetomo 2011).

2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas
beberapa jenis penyebab, antara lain :
1. Luka bakar karena api
2. Luka bakar karena air panas
3. Luka bakar karena bahan kimia
4. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari
6. Luka bakar karena tungku panas / udara panas
7. Luka bakar karena ledakan bom.

2.4 Patofisiologi
Pada luka bakar terjadi perubahan lokal berupa nekrosis koagulatif
pada epidermis, dermis dan jaringan di bawahnya, dengan kedalaman
tergantung pada temperatur bahan dan durasi pajanan.
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan bahan penyebab dan
kedalaman luka. Bahan yang dapat menyebabkan luka bakar adalah api,
sclad (cairan panas), kontak dengan bahan padat yang panas, bahan
kimia, dan listrik. Sedangkan kedalaman luka dapat dibagi menjadi :
1. Derajat 1 : luka terbatas pada epidermis (eritema)
2. Derajat 2 superfisial : luka pada epidermis hingga dermis superfisial
atau papila dermis (bullae)
3. Derajat 2 dalam : luka pada epidermis hingga dermis dalam
atau reticular dermis (bullae)
4. Derajat 3 : luka mencapai seluruh dermis dan jaringan
subkutan di bawahnya. (warna kulit putih hingga coklat kehitaman,
tanpa bullae)

3
Gambar 1. Penampang kedalaman luka bakar

Pada luka yang melibatkan sebagian tebal lapisan kulit (derajat 1


dan 2) disertai rasa nyeri, sedangkan derajat 3 biasanya rasa nyeri
minimal atau tidak ada. Berdasarkan gambaran histologis, pada luka
bakar terdapat tiga zona yaitu zona koagulasi, zona stasis, dan zona
hiperemia. Pada zona koagulasi terjadi nekrosis jaringan dan
kerusakan yang ireversibel. Zona stasis berada di sekitar zona
koagulasi, dimana terjadi penurunan perfusi jaringan dengan
kerusakan dan kebocoran vaskuler. Pada zona hiperemia terjadi
vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable dan proses
penyembuhan berawal dari zona ini.

Gambar 2. Zona luka bakar Jackson

4
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan
epitel akibat cedera termis yang melepaskan mediator-mediator
proinflamasi dan berkembang menjadi Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan
Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi
karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat
gangguan sirkulasi mikro. Berdasarkan konsep SIRS, paradigma
penatalaksanaan luka bakar fase akut berubah, semula berorientasi
pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses
perbaikan perfusi (sirkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur
resusitasi.
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat
terjadinya luka bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai
30% luas permukaan tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi
sebagai efek sistemik tersebut antara lain berupa
1. Gangguan kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas
vaskular yang menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari
intravaskular ke interstitial. Terjadi vasokonstriksi di pembuluh
darah sphlancnic dan perifer. Kontraktilitas miokardium menurun,
kemungkinan disebabkan adanya TNF. Perubahan ini disertai
dengan kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan hipotensi
sistemik dan hipoperfusi organ.
2. Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan
bronkokonstriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul
respiratory distress syndrome.
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate
hingga 3 kali lipat. Hal ini, disertai dengan adanya hipoperfusi
sphlancnic menyebabkan dibutuhkannya pemberian makanan
enteral secara agresif untuk menurunkan katabolisme dan
mempertahankan integritas saluran pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang
mempengaruhi sistem imun humoral dan seluler.

5
2.5 Fase Luka Bakar

Untuk mempermudah penanganan luka bakar maka dalam perjalanan


penyakitnya dibedakan dalam 3 fase yaitu fase akut, subakut dan fase
lanjut. Namun demikian pembagian fase menjadi tiga tersebut tidaklah
berarti terdapat garis pembatas yang tegas di antara ketiga fase ini.
Dengan demikian kerangka berpikir dalam penanganan penderita tidak
dibatasi oleh kotak fase dan tetap harus terintegrasi. Langkah
penatalaksanaan fase sebelumnya akan berimplikasi klinis pada fase
selanjutnya.

1. Fase akut/fase syok/fase awal


Fase ini mulai dari saat kejadian sampai penderita mendapat
perawatan di IRD/Unit luka bakar. Pada fase ini penderita luka bakar,
seperti penderita trauma lainnya, akan mengalami ancaman
gangguan airway (jalan napas), breathing (mekanisme bernapas) dan
gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat
terjadi segera atau beberapa saat setetah terjadi trauma, namun
masih dapat terjadi obstruksi saluran napas akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab
kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase ini dapat terjadi
juga gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat
cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Adanya syok yang
bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik
yang masih berhubungan akibat problem instabilitas sirkulasi.
2. Fase subakut
Fase ini berlangsung setelah fase syok berakhir atau dapat teratasi.
Luka yang terjadi dapat menyebabkan beberapa masalah yaitu:
- Proses inflamasi atau infeksi
- Problem penutupan luka
- Keadaan hipermetabolisme

6
3. Fase lanjut
Pada fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau
melalui rawat jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit
berupa parut yang hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas
dan timbulnya kontraktur.

2.6 Derajat Kedalaman Luka Bakar


Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada
derajat panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh
penderita. Dupuytren dulu membagi atas 6 tingkat, sekarang lebih praktis
hanya dibagi 3 tingkat/derajat, yaitu sebagai berikut.
a. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial), kulit
hiperemik berupa eritema, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena
ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara
spontan tanpa pengobatan khusus.
b. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-
ujung saraf sensorik teriritasi.
Dibedakan atas 2 (dua) bagian :
- Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
corium/dermis. Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebacea masih banyak. Semua ini merupakan
benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam
waktu 10–14 hari tanpa terbentuk cicatrik.
- Derajat II dalam/deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa-sisa
jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan

7
terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi. Biasanya
penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
c. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kult dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit
mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai
bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai
berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan
dermis yang dikenal sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan
hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak. Penyembuhan
terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

DERAJAT I
Kulit masih intak
Kemerahan
Tidak ditemukan bullae
Nyeri

DERAJAT II
Tampak bullae
Dasar luka kemerahan (Derajat II A)
Dasar pucat keputihan (Derajat II B)
Nyeri hebat terutama pada Derajat II A

8
DERAJAT III

Tampak kulit yang nekrosis


Dasar luka kehitaman
Kurang nyeri hebat
Terkadang terlihat jaringan dibawah kulit
(otot, tulang, dll)

2.7 Luas Luka Bakar


Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9.
terkenal dengan nama “Rule of Nine” atau “Rule of Wallace”
Kepala dan leher = 9%

Lengan = 18%

Badan depan = 18%

Badan belakang = 18%

Tungkai = 36%

Genitalia/perineum = 1%

Total = 100%

9
Dalam perhitungan agar lebih mempermudah dapat dipakai luas
telapak tangan penderita adalah 1% dari luas permukaan tubuhnya.
Pada anak-anak dipakai modifikasi ”Rule of Nine” menurut Lund and
Browder, yaitu ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.

2.8 Kriteria Berat Ringannya (American Burn Association)


1. Luka bakar ringan
- luka bakar derajat II < 15%
- luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
- luka bakar derajat III < 2%
2. Luka bakar sedang
- luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa
- luka bakar derajat II 10-20% pada anak-anak
- luka bakar derajat III < 10%
3. Luka bakar berat
- luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
- luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak

10
- luka bakar derajat III 10% atau lebih
-luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan
genetalia/perineum.
- luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.
2.9 Gejala dan Tanda Klinis
Menurut Henderson, gejala klinis yang utama pada luka bakar
yaitu lepuh yang merupakan tanda khas luka bakar superfisial. Cairan
dihasilkan dari jaringan cedera yang lebih dalam sehingga permukaan
superfisial yang terbakar (mati) akan terangkat. Lepuh atau bullae
pada luka bakar sering pecah dan meninggalkan suatu permukaan
merah kasar yang mengeluarkan cairan serous dan dapat berdarah.
Luka bakar yang superfisial terasa nyeri karena ujung saraf terpapar
dan mengalami inflamasi.
Luka bakar yang dalam, gejala klinisnya yaitu, kulit mungkin
terlihat normal. Akan tetapi, tampak mengkilap sehingga pembuluh-
pembuluh darahnya mudah dilihat, tetapi darah dalam pembuluh darah
tersebut tidak dapat keluar karena sudah mengalami koagulasi
sehingga saat ditusuk tidak akan mengeluarkan darah. Selain itu, kulit
amat kaku ketika disentuh, serta tidak dapat merasakan nyeri, karena
sebagian besar ujung saraf sudah mati. Pada kondisi yang lebih berat,
dapat terjadi pengarangan dan karbonisasi (hitam).
Gejala-gejala klinis lain selain diatas, yaitu adanya tanda-tanda
distress pernapasan seperti suara serak, ngiler, tanda-tanda cedera
inhalasi seperti pernapasan cepat dan sulit, krakles, stridor, serta batuk
pendek.
Berdasarkan aspek resistensi dan konduksi ini, dibedakan menjadi
dua jenis arus, yaitu arus langsung (direk) dan tidak langsung (indirek)
yang membedakan dua jenis luka bakar listrik.
1. Arus Langsung (Direk)
Terjadi saat seseorang menyentuh sebuah konduktor yang
terhubung dengan arus listrik. Dampak jaringan akibat listrik
diuraikan berikut ini :

11
a) Kulit
Kulit adalah jaringan yang merupakan resistor (namun tidak
sebaik tulang), bukan konduktor yang baik (tidak sebaik saraf,
pembuluh darah, dan otot). Oleh karena itu, sebagian besar
energi listrik diserap oleh kulit terutama di daerah yang memiliki
lapisan keratin tebal (telapak tangan, telapak kaki) dan diubah
menjadi energi panas menimbulkan luka bakar (efek termal).
Dalam keadaan basah, kulit menjadi konduktor yang baik,
sehingga tidak ada energi yang diserap, namun langsung
diteruskan ke jaringan dibawahnya. Kondisi ini menyebabkan
electric shock (lectrocotion) pada jaringan yang letaknya lebih
dalam disertai gangguan jantung (aritmia ventricular, cardiac
arrest) tanpa luka bakar sama sekali di permukaan (misal pada
bathtub injury).
b) Saraf
Saraf merupakan jaringan tubuh yang didesain untuk
menghantarkan aliran listrik. Jaringan saraf dapat mengalami
kerusakan pada sistem konduktivitasnya karena mengalami
nekrosis koagulasi.
c) Sistem otot dan pembuluh darah
Sistem otot dan pembuluh darah mengandung air dan kadar
elektrolit dengan konsentarsi tinggi sehingga berperan baik
sebagai konduktor.Otot menghantarkan arus listrik jauh lebih
banyak, sekaligus memanaskan jaringan sekitarnya. Kerusakan
otot periosteal dapat terjadi meski otot yang terletak superficial
terlihat normal.
Pembuluh darah mengalami kerusakan paling berat,
disebabkan difusi panas melalui tunika intima. Kerusakan pada
pembuluh darah berupa erosi endotel (diikuti gangguan
integritas endotel), adhesi leukosit-trombosit dan terbentuknya
trombus-trombus, trombosis menyebabkan terganggunya aliran
sirkulasi.

12
d) Tulang, lemak, dan tendon
Tulang, lemak dan tendon merupakan resistor yang baik
sehingga tidak menghantarkan listrik namun lebih menimbulkan
panas dan mengalami koagulasi.
2. Arus Tidak Langsung (indirek)
a) Arc (percikan listrik)
b) Flash
c) Step voltage
Sebab kematian karena arus listrik yaitu :
 Fibrilasi ventrikel
Bergantung pada ukuran badan dan jantung. Dalziel (1961)
memperkirakan pada manusia, arus yang mengalir sedikitnya
70 mA dalam waktu 5 detik dari lengan ke tungkai akan
menyebabkan fibrilasi. Hal yang paling berbahaya adalah jika
arus listrik masuk ke tubuh melalui tangan kiri dan keluar
melalui kaki yang berlawanan/kanan. Jika arus listrik masuk ke
tubuh melalui tangan yang satu dan keluar melalui tangan yang
lain maka 60% yang meninggal dunia.
 Paralisis respiratorik
Paralisis respiratorik timbul akibat spasme dari otot-otot
pernafasan sehingga korban dapat meninggal karena asfiksia.
Jantung mungkin masih berdenyut sampai timbul kematian. Hal
ini terjadi bila arus listrik yang memasuki tubuh korban di atas
nilai ambang yang membahayakan, tetapi masih di batas
bawah yang dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Menurut
Koeppen, spasme otot-otot pernafasan terjadi pada arus 25-80
mA, sedangkan ventrikel fibrilasi terjadi pada arus 70-100 mA.
 Paralisis pusat nafas
Jika arus listrik masuk melalui pusat di batang otak, dapat
menyebabkan trauma pada pusat-pusat vital di otak sehingga
dapat terjadi koagulasi dan mengakibatkan efek hipertermia.
Bila aliran listrik diputus, paralisis pusat pernafasan tetap

13
terjadi, tetapi jantung masih berdenyut, oleh karena itu dengan
bantuan pernafasan buatan korban masih dapat ditolong. Hal
tersebut bisa terjadi jika arus listrik melalui jalur kepala.
 Luka bakar
Paparan arus yang dihasilkan oleh sumber tegangan rendah
(termasuk sumber listrik rumah tangga) dapat menyebabkan
luka bakar di jaringan kutaneus yang disebabkan transformasi
energi listrik menjadi energi termal. Luka bakar dapat berupa
eritema lokal hingga luka bakar derajat berat. Tingkat
keparahan luka bakar tergantung pada intensitas arus,
permukaan daerah, dan durasi paparan.

2.10 Penatalaksanaan Penderita Luka Bakar


Fase Akut
Pada penanganan penderita dengan trauma luka bakar, seperti pada
penderita trauma-trauma lainnya harus ditangani secara teliti dan
sistematik.
I. Evaluasi Pertama / Triage
a. Airway, sirkulasi, ventilasi
Prioritas pertama penderita luka bakar yang harus
dipertahankan meliputi airway, ventilasi dan perfusi sistemik.
Kalau diperlukan segera lakukan intubasi endotrakeal,
pemasangan infus untuk mempertahankan volume sirkulasi.
b. Pemeriksaan fisik keseluruhan
Pada pemeriksaan penderita diwajibkan memakai sarung
tangan yang steril, bebaskan penderita dari baju yang terbakar,
penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain
misalnya bersamaan dengan trauma kapitis, trauma toraks atau
mengalami trauma abdomen dengan adanya internal bleeding
atau mengalami patah tulang punggung/spine.

14
c. Anamnesis
Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah
penderita terjebak dalam ruang tertutup sehingga kecurigaan
adanya trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi
jalan napas. Kapan kejadiannya terjadi, serta ditanyakan
penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya.
d. Pemeriksaan luka bakar
Luka bakar diperiksa apakah terjadi luka bakar berat, luka
bakar sedang atau ringan.
1. Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan ”Rule of Nine”
untuk menentukan luas luka bakarnya.
2. Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman).

II. Penanganan di Ruang Emergency


a. Diwajibkan memakai sarung tangan steril bila melakukan
pemeriksaan penderita.
b. Bebaskan pakaian yang terbakar.
c. Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk
memastikan adanya trauma lain yang menyertai.
d. Bebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distres jalan napas
dapat dipasang endotracheal tube. Tracheostomy hanya bila ada
indikasi.
e. Pemasangan intravenous kateter yang cukup besar dan tidak
dianjurkan pemasangan scalp vein. Diberikan cairan Ringer Laktat
dengan jumlah 30-50 cc/jam untuk dewasa dan 20-30 cc/jam untuk
anak-anak di atas 2 tahun dan 1cc/kg/jam untuk anak di bawah 2
tahun.
f. Dilakukan pemasangan Foley kateter untuk memonitor jumlah urine
produksi. Dicatat jumlah urine/jam.
g. Dilakukan pemasangan pipa nasogatrik untuk dekompresi gaster
dengan pengisapan berkala.

15
h. Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena
dan jangan diberikan secara intramuskuler.
i. Timbang berat badan.
j. Diberikan tetanus toksoid bila diperlukan. Pemberian tetanus
toksoid booster bila penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun
terakhir.
k. Pencucian luka di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum.
Luka dicuci, debridement dan didesinfeksi dengan savlon 1:30.
Setelah bersih tutup dengan tulle kemudian olesi dengan topical
Silver Sulfa Diazine (SSD) sampai tebal. Rawat tertutup dengan
kasa steril yang tebal. Pada hari ke-5 kasa dibuka dan penderita
dimandikan dengan air dicampur Savlon 1:30.
l. Eskarotomi dan Fasiotomi/insisi relaksasi dilakukan pada penderita
luka bakar derajat II dalam dan derajat III pada tangan, leher dan
penis. Tindakan ini dilakukan sebelum terjadi ketegangan pada
daerah luka bakarnya.

2.11 Penanganan Sirkulasi


Pada luka bakar berat/mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler
yang akan diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma protein dan
elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan
terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan
tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi ke bagian
distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel/jaringan/organ.
Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler
yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan masif di jaringan
interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler
mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses
transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan
syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk
mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara
nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.

16
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalaksanaan syok
dengan menggunakan metode resusitasi cairan konvensional
(menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok
dalam waktu singkat, menunjukkan perbaikan prognosis, derajat
kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam laktat), hipotermi
dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya, ketiganya
diketahui memiliki nilai prognostik terhadap angka mortalitas.
Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka bakar dikenal beberapa
formula berikut:
- Evans formula
- Brooke formula
- Parkland formula
- Modifikasi Brooke
- Monafo formula

Resusitasi Cairan
BAXTER formula

Hari pertama
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc X berat badan X % luas luka bakar per
24 jam
Anak : Ringer Laktat : Dextran = 17 : 3
2 cc X berat badan X % luas luka bakar ditambah
kebutuhan faali

Kebutuhan Faali :
< 1 tahun : berat badan X 100 cc
1 – 3 tahun : berat badan X 75 cc
3 – 5 tahun : berat badan X 50 cc

½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama


½ diberikan 16 jam berikutnya

17
Hari kedua
Dewasa : Dextran 500 – 2000 cc + D5 %
Albumin ( 3 x X ) x 80 x berat badan per hari
100

(Albumin 25% = Gram x 4 cc )


1 cc/menit

Anak : diberi sesuai kebutuhan faali

2.12 Monitoring Penderita Luka Bakar Fase Akut


Monitoring penderita luka bakar harus diikuti secara cermat.
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, penderita palpasi, perkusi dan
auskultasi adalah prosedur yang harus dilakukan pada perawatan
penderita. Pemeriksaan laboratoris untuk monitoring juga dilakukan untuk
mengikuti perkembangan keadaan penderita. Monitoring penderita kita
bagi dalam 3 situasi yaitu pada saat di triage, selama resusitasi ( 0–72 jam
pertama) dan pasca resusitasi.
1. Triage – Instalasi Gawat Darurat
a. A – B – C : Pada waktu penderita datang di rumah sakit, harus
dinilai adakah problem airway, breathing, circulation yang segera
harus segera diatasi untuk life saving. Penderita luka bakar dapat
pula mengalami trauma lain, misalnya bersama dengan trauma
kapitis, perdarahan atau trauma toraks atau mengalami
pneumotoraks.
b. Tanda Vital : Monitoring dan pencatatan tekanan darah, respirasi,
nadi, temperatur rektal. Monitoring jantung terutama pada penderita
karena trauma listrik, dapat terjadi aritmia atau pun sampai terjadi
cardiac arrest.
c. Produksi Urin : Bilamana urine tidak bisa diukur maka dapat
dilakukan pemasangan Foley kateter. Urine produksi dapat diukur
dan dicatat tiap jam. Observasi urine diperiksa warna urine

18
terutama pada penderita luka bakar derajat III atau akibat trauma
listrik. Mioglobin dan hemoglobin yang terdapat dalam urine
menunjukkan adanya kerusakan yang hebat.

2. Monitoring Dalam Fase Resusitasi (sampai 72 jam)


a. Mengukur produksi urine. Urine produksi dapat sebagai indikator
apakah resusitasi cukup adekuat/tidak. Pada orang dewasa jumlah
urine 30–50 cc urine/jam.
b. Berat jenis urine. Pascatrauma luka bakar berat jenis dapat normal
atau meningkat. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi
penderita. Bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan
naiknya kadar glukosa urine.
c. Tanda vital
d. pH darah
e. Perfusi perifer
f. Laboratorium
 Serum elektrolit
 Plasma albumin
 Hematokrit, hemoglobin
 Urine sodium
 Elektrolit
 Tes fungsi hati
 Tes fungsi ginjal
 Total protein/albumin
 Pemeriksaan lain sesuai indikasi
g. Penilaian keadaan paru
Pemeriksaan kondisi paru perlu diobservasi tiap jam untuk
mengetahui adanya perubahan yang terjadi antara lain stridor,
bronkospasme, adanya sekret, wheezing, atau dispnea merupakan
adanya impending obstruction. Dapat dilakukan pemeriksaan foto
thorax dan pemeriksaan arterial blood gas.

19
h. Penilaian gastrointestinal
Monitoring gastrointestinal setiap 2–4 jam dengan melakukan
auskultasi untuk mengetahui bising usus dan pemeriksaan sekresi
lambung. Adanya darah dan pH kurang dari 5 merupakan tanda
adanya Curling’s Ulcer.
i. Penilaian luka bakar
Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada
cairan berbau atau ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti.
Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.

2.13 Management Electric Injury


1. Cardiac monitoring
EKG ditujukan kepada semua pasien yang mengalami electric
injury ( voltase rendah maupun tinggi).
Anak-anak dan orang dewasa yang mengalami cedera listrik
tegangan rendah, tidak mengalami kelainan EKG, tidak ada riwayat
kehilangan kesadaran, dan tidak ada indikasi lain ( contoh, soft tissue
injury), tidak perlu dirawat di IGD.
Semua pasien yang memiliki riwayat kehilangan kesadaran atau
riwayat disritmia baik sebelum atau sesudah masuk IGD, harus
dilakukan telemetry monitoring. Pasien dengan tanda iskemia pada
EKG harus dilakukan monitor jantung.
Level enzim Creatine kinase, termasuk fraksi MB merupakan
indikator yang tidak dapat digunakan untuk cardiac injury akibat luka
bakar elektrik.
Semua studi mengatakan bahwa kelainan jantung termasuk
disritmia jantung dan kerusakan miokard yang terjadi setelah cedera
akibat tegangan rendah dan tegangan tinggi, mengharuskan pasien-
pasien tersebut untuk melakukan evaluasi EKG. Kelainan EKG yang
paling umum adalah perubahan ST-T yang spesifik dan atrial fibrilasi
adalah dysrhythmia yang paling umum terjadi.

20
Kriteria MRS:
1. Riwayat kehilangan kesadaran
2. EKG yang abnormal
3. Indikasi lain untuk MRS (seperti TBSA burned,
membutuhkan monitoring ekstremitas).
Pasien dengan cedera tegangan listrik rendah dan EKG yang
normal yang diperbolehkan pulang dari IGD, sebagian besar tidak
terjadi komplikasi.
Purdue dan Hunt menyimpulkan kriteria MRS untuk pasien cedara
elektrik:
1. Kehilangan kesadaran atau mengalami cardiac arrest di tempat
kejadian.
2. Tercatat mengalami cardiac arrhythmia di tempat kejadian.
3. EKG yang abnormal
4. Indikasi khusus untuk MRS

Durasi Pemantauan
Beberapa penelitian melaporkan pemantauan selama 24 jam
setelah MRS jika tidak ada kelainan EKG saat MRS atau
pemantauan selama 24 jam setelah resolusi dari dysrhythmias.
Arrowsmith et al, melaporkan bahwa semua pasien dengan
disritmia membaik dalam waktu 48 jam sejak MRS baik secara
spontan atau dengan intervensi farmakologis.

Kegunaan Creatine Kinase


Level Creatine kinase sering ditemukan setelah cedera listrik. CK
telah lama digunakan sebagai indikator cedera otot dan dapat
membantu dalam menentukan luasnya cedera otot pada ekstremitas.
Subunit MB telah dilaporkan lebih spesifik untuk miokard, karena itu
subunit MB digunakan untuk mengevaluasi cedera jantung setelah
cedera listrik. Hanya satu studi melaporkan korelasi antara serum CK-
MB dan cedera jantung.

21
Chandra et al, melaporkan bahwa peningkatan dan penurunan
fraksi MB adalah indikator yang dapat digunakan untuk menentukan
iskemia jantung. Namun, studi ini tidak berkorelasi dengan kadar
enzim yang meningkat pada studi cedera jantung lainnya. Bukti
korelasi ini masih dipertanyakan cukup kuat. Beberapa studi
menunjukkan bahwa level CK-MB buruk untuk memprediksi cedera
jantung dan peningkatan level enzim ini kemungkinan diakibatkan dari
cedera otot non cardiac.
Housinger et al, menyarankan bahwa hasil fraksi MB yang positif
tanpa adanya EKG harus ditafsirkan dengan hati-hati karena
kemungkinan tidak menandakan adanya cedera jantung. Karena
kurangnya bukti yang mendukung kegunaan dari level CK-MB, maka
enzim ini tidak boleh digunakan sebagai kriteria diagnostik untuk
cedera jantung akibat cedera listrik.

2. Evaluasi dan Manajemen Ekstremitas Atas

Pasien dengan cedera listrik tegangan tinggi pada ekstremitas


atas harus dirujuk ke pusat luka bakar khusus yang berpengalaman
sesuai dengan kriteria American Burn Association.
Indikasi untuk dekompresi bedah meliputi disfungsi neurologis
progresif, kompromi vaskular, peningkatan tekanan kompartmen dan
klinis yang memburuk yang diduga karena myonecrosis
berkelanjutan. Dekompresi termasuk forearm fasciotomy dan
penilaian kompartemen otot.
Ada beberapa metode untuk mengevaluasi cedera ekstremitas.
Tekanan kompartment dapat diukur sebagai tambahan untuk
pemeriksaan klinis. Tekanan lebih dari 30 mmHg atau tekanan
jaringan yang mencapai 10-20 mmHg pada tekanan diastole dapat
digunakan sebagai bukti peningkatan tekanan kompartmen dan
cedera deep-tissue, dan merupakan indikasi dibutuhkannya
dekompresi bedah pada pengaturan klinis yang tepat.

22
Luka bakar yang dihasilkan dari tegangan tinggi arus listrik
(>1000 V) sering dikaitkan dengan besarnya derajat deep-tissue
injury. Cedera ini agak jarang terjadi, hanya 3% - 12% dan
berhubungan dengan peningkatan angka amputasi.
Penanganan yang terlambat dan dekompresi pada ekstremitas yang
mengalami cedera, dapat meningkatkan angka amputasi bersamaan
dengan peningkatan kegagalan organ dan mortalitas.
Trauma listrik termasuk sambaran petir harus dibawa ke pusat
luka bakar khusus sesuai kriteria American Burn Association. Banyak
ahli bedah menganjurkan untuk melakukan eksplorasi bedah segera
(dalam 24 jam pertama) dan dekompresi pasien dengan trauma listrik
tegangan tinggi. Tindakan yang dilakukan seperti, eksplorasi awal,
fasciotomy dan debridement, kemudian diikuti debridement serial
jaringan nekrotik dan selanjutnya penutupan.
Hukum Joule mendefinisikan jumlah daya (panas) yang dikirimkan
ke suatu obyek: Power (J-Joule) = I2 (Current) times R (Resistance).
Dengan demikian, nekrosis otot yang dalam dapat terjadi di otot yang
berdekatan dengan tulang, yang memiliki resistensi yang tinggi.
Indikasi untuk dekompresi bedah, seperti ekstremitas yang
mengalami disfungsi saraf perifer yang progresif, manifestasi klinis
compartment syndrom, atau cedera yang menyebabkan kesulitan
dalam resusitasi pasien.

2.14 Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi
saat perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan
dengan eksisi dan grafting. Komplikasi yang dapat terjadi pada masa
akut adalah SIRS, sepsis dan MODS. Selain itu komplikasi pada
gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan
perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan ileus. Pada ginjal
dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal yang
menurun. Skin graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal

23
ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase
lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan
parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Arnoldo et al, Practice Guidelines fo the Management of electrical


Injuries in Journal of Burn Care and Research, Vol 27, Number 4.
2. Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM. Grabb & Smith’s Plastic Surgery.
Lipincott Raven. Philadelphia – New York, 1977. p : 161.
3. Converse JM, Mc Carthy JG. Reconstructive Plastic Surgery, 2nd ed,
vol 1. WB Saunders Co, Philadelphia – London – Toronto, 1977. p :
483.
4. Dimick AR. Burn and Cold Injury, in Hardy’s Textbook of Surgery. JB
Lippincott Co, Philadelphia, 1983, p : 177
5. Mc Carthy JG. Plastic Surgery. Vol 1. WB Saunders Co, Philadelphia –
London – Toronto, 1990. p : 787.
6. Settle JAD. Principles & Practice of Burns Management. Churchill
Livingstone, New York – London – Melbourne – San Fransisco –
Tokyo, 1966. p : 137.
7. Sudjatmiko, G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmi Bedah Plastik Rekonstruksi.
Jakarta : Yayasan Khasanah Kebajikan.
8. Swartz, MH. 2002. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC.
9. The Burn Wound : Its character, closure and complications. Burns.
1983, 10:1-8.

25

Anda mungkin juga menyukai