Daya Dukung Lahan
Daya Dukung Lahan
1. PENDAHULUAN
Pola tanam ganda yang menanam aneka jenis tanaman pada waktu yang bersamaan
dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan sekaligus daya dukung
lahan.
Degradasi lahan kering biasanya terjadi karena tindakan manusia yang tidak
mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dalam mengelola
usahataninya, hal ini merupakan kemunduran dalam penggunaan sumber
daya alam lahan. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bencana, misalnya
banjir, kekeringan, erosi, dan lain-lain. Oleh karena itu dalam pengelolaan
sumberdaya lahan harus senantiasa memperhatikan tindakan konservasi
(teknologi usahatani konservasi).
8. Kehidupan penduduk
Perlu diingat bahwa daya dukung yang dimaskud adalah yang alami. Akan
tetapi dapat ditingkatkan dengan teknologi. Walaupun demikian ada batas
maksimalnya.
Ekosistem lahan sawah yang baru ditanami dengan bibit padi (Foto Soemarno,
Desember 2011)
4
Ekosistem lingkungan binaan (non alami), kolam resapan air hujan dibuat di bagian
terendah dari bentang lahan
Perencanaan Wilayah bermatra tempat dan waktu, akses jalan dan transportasi
sangat m,enentukan laju perkembangan lahan (Foto, soemarno, desember 2011)
Tanah
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah
mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air
sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga
menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga
menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan
darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. “Tanah” merupakan
kompenen “lahan” yang sangat penting.
Definisi Tanah.
Tanah adalah bahan padat (mineral atau organik) yang terletak dipermukaan
bumi, yang telah dan sedang serta terus mengalami perubahan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor: Bahan Induk, Iklim, Organisme, Topografi,
dan Waktu.
1. Kajian Pedologis:
Mengkaji tanah berdasarkan dinamika dan evolusi tanah secara alamiah atau
berdasarkan Pengetahuan Alam Murni. Kajian ini meliputi: Fisika Tanah,
Kimia Tanah, Biologi tanah, Morfologi Tanah, Klasifikasi Tanah, Survei dan
Pemetaan Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan Ilmu Ukur Tanah.
2. Kajian Edaphologis:
Mengkaji tanah berdasarkan peranannya sebagai media tumbuh tanaman.
Kajian ini meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan Air,
Agrohidrologi, Pupuk dan Pemupukan, Ekologi Tanah, dan Bioteknologi
Tanah.
Meliputi kajian: Pengelolaan Tanah dan Air, Evaluasi Kesesuaian Lahan, Tata
Guna Lahan, Pengelolaan Tanah Rawa, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan.
Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai
tempat tumbuh & berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya
tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi
sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu,
Zn, Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota
(organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan
zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya
secara integral mampu menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan
biomass dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri
perkebunan, maupun kehutanan.
Fungsi Tanah
8
Profil Tanah
Profil Tanah adalah irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas
hingga ke batuan induk tanah. Profil dari tanah yang berkembang lanjut
biasanya memiliki horison-horison sbb:
O –A – E – B - C – R.
Keterangan:
O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil
dekomposisi serasah (Oa)
A : Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap
E : Horison mineral yang telah tereluviasi (tercuci) sehingga kadar (BOT, liat silikat,
Fe dan Al) rendah tetapi pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) dan mineral
resisten lainnya tinggi, berwarna terang
B : Horison illuvial atau horison tempat terakumulasinya bahan-bahan yang tercuci
dari harison diatasnya (akumulasi bahan eluvial).
C : Lapisan yang bahan penyusunnya masih sama dengan bahan induk (R) atau
belum terjadi perubahan
R : Bahan Induk tanah .
9
Komponen Tanah
Empat macam komponen penyusun tanah :
(1) Bahan Padatan berupa bahan mineral
(2) Bahan Padatan berupa bahan organic
(3) Air
(4) Udara.
Bahan tanah tersebut rata-rata 50% bahan padatan (45% bahan mineral dan
5% bahan organik), 25% air dan 25% udara.
2. Serie Tempur
Serie ini terdiri atas tanah-tanah yang solumnya sangat dalam,
drainagenya baik , permeabilitasnya lambat, padfa lereng uang konveks,
bahan induknya hasil lapukan material klastik-vulkanik yang terletak di atas
batukapur yang telah lapuk; gradien slope 1-65%, rataan suhu udara tahunan
25oC, dan rataan curah hujan tahunan 1900 mm.
4. Profil pewakil
Tanah liat Tempur ini terletak pada lereng konveks yang menghadap
ke Timur , lahan garapan berteras bangku dengan lebar teras 3-15 m dan
tinggi tebing 30- 60cm, untuk menanam tanaman tebu , slope 3- 7%.
11
Ap (kedalaman 0-12 cm); liat coklat tua kemerahan (5YR 3/3) dan
coklat tua (10 YR 4/3) bila kering; granuler halus lemah; konsistensi agak
keras, gembur, plastis dan lekat; banyak pori halus, pori medium dan pori
kasar yang tidak teratur ; banyak akar halus ; celah-celah lebar 3-5 cm;
reaksinya agak masam ; batas horison smooth abrupt (tebalnya 9-15 cm)
Bt1 (kedalaman 12-47 cm); liat coklat tua kemerahan (5 YR 3/3) ;
prismatik sangat kasar lemah hingga gumpal bersudut medium moderat;
konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat cklat tua kemerahan
pada permukaan ped dan pori; banyak akumulasi Mn ; banyak pori halus,
sedikit pori medium dan pori kasar tubuler dan vesikuler; akar halus dan
kasar sedikit ; celah-celah selebar 2-4 cm; reaksinya netral; batas horison
smooth diffuse
Bt2 (kedalaman 47-68 cm); liat coklat tua kemerahan (5YR 3/3) ;
sedikit material vulkanik-klastik keputihan berukuran pasir; struktur
prismatik sangat kasar lemah hingga gumpal bersudut, medium , moderat,
dan gumpal; konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat coklat tua
kemerahan (5YR 3/4) pada permukaan ped dan pori; agak banyak akumulasi
Mn; pori halus, dan medium sedikit ; akar halus dan kasar sedikit; celah-
celah lebarnya 2-3 cm; reaksinya agak alkalin ; batas horison smooth
gradual .
Bt3 (kedalaman 68- 97 cm); Liat coklat tua kemerahan ( 5YR 3/4);
banyak material keputihan berukuran pasir dengan becak-becak keputihan
halus; struktur gumpal bersudut medium dan kasar moderat; gumpal
membulat; konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat coklat tua
kemerahan (5YR 3/3) pada ped dan pori; akumulasi Mn cukup banyak;
sedikit pori halus, dan pori medium tubuler; celah-celah selebar 1-2 cm;
reaksinya netral ; batas horison smooth diffuse .
Bt4 (kedalaman 97 -115 cm); liat coklat kemerahan; banyak material
vulkanik-klastik berukuran pasir keputihan; struktr prismatik sangat kasar
lemah dan gumpal membulat lemah; konsistensi sangat teguh, plastis dan
lekat; ada selaput liat yang jelas, coklat tua kemerahan(5YR 3/3) pada
permukaan ped dan pori; banyak akumulasi Mn pada permukaan ped; pori
halus agak banyak, pori medium dan pori kasar tubuler sedikit; celah-celah
selebar 1-2 cm; reaksinya netral; batas horison smooth jelas..
Bt5 (kedalaman 115-142 cm); liat coklat kuat (7.5YR 4/6); struktur
gumpal bersudut , kasar dan medium, lemah; konsistensi teguh, plastis dan
lekat; ada sedikit selaput liat coklat tua kemerahan (5YR 3/3) pada
permukaan ped ; sedikit akumulasi Mn yang jelas ; kerikil batukapur 5% ;
reaksinya agak alkalin; batas horison smooth jelas (Tebalnya gabungan
horison Bt adalah 110- 165 cm).
12
5. Karakteristik Umum
Solum tanah 150-180 cm , dan kedalaman hingga bahan litologis
yang diskontinyu 80-130 cm, kedalaman hingga batuan induk lebih dari 150
cm. Celah-celah mulai terjadi pada permukaan tanah dan meluas hingga
kedalaman 50-140 cm selama musim kering, lebarnya 3-5 cm di permukaan
tanah dan 0.5 cm pada kedalaman 140 cm. Fragmen batuan kapur 1-5% di
sebelah bawah diskontinyu; reaksinya agak masam hingga agak alkalis di
sebelah atas lapisan diskontinyu dan agak masam hingga agak alkalis di
sebelah bawah lapisan diskontinyu.
a. Horison Ap mempunyai hue 10YR - 5YR , value 3 atau 4, dan
khroma 2 atau 3 bila kering dan bila basah mempunyai hue
10YR-5YR, value 3 dan khroma 2 atau 3; teksturnya liat ,
lempung liat, dan lempung debu; reksinya agak masam.
b. Horison Bt mempunyai hue 5YR atau 7.5YR, value 3 atau 4 ,
khroma 3 - 6 , teksturnya liat , akumulasi Mn sedikit hingga agak
banyak; persentase kerikil batukapur 1-5%; reaksinya netral
hingga agak alkalis.
c. Horison 2C mempunyai hue 5YR atau 7.5YR, value 4 atau 5 ,
khroma 6 - 8 , teksturnya liat ; nodul besi di beberapa horison 1-
5%; reaksinya agak alkalis.
6. Tatanan Geografis
Tanah-tanah ini ditemukan pada punggung bukit yang konveks, dan
lereng sisi yang lurus , bahan induknya material vulkanik- klastis yang
terletak di atas hasil lapukan batukapur; gradien slope 1% pada punggung
bukit yang datar hingga 65% pada lereng sisi; rataan suhu udara 24-26 oC,
rataan curah hujan tahunan 1700-2100 mm.
Hasil analisis contoh tanah, hasil analisis neraca lengas lahan, dan
evaluasi kesesuaian lahan disajikan dalam Tabel-tabel berikut.
13
1. Tekstur:
Pasir; % 23 11 12 5 2 2
Debu; % 26 20 19 28 15 16
Liat; % 51 69 69 67 83 82
2. Reaksi tanah:
pH(H2O) 6.5 7.1 7.5 7.3 7.3 7.4
pH(KCl) 4.9 5.2 5.3 5.6 6.2 6.4
3. Kesuburan
C; % 0.89 0.46 0.42 0.40 0.30 0.26
N; % 0.07 0.04 0.03 0.03 0.04 0.02
C/N 13 12 14 13 8 13
P-Olsen; ppm 5 2 7 2 4 7
Total P; kg/ha 5
Total K; kg/ha 120
4. Kation Tukar:
KTK; me/100g 27.49 34.17 34.66 36.10 33.08 33.70
Ca 14.60 20.33 20.65 22.08 23.32 25.95
Mg 2.40 2.54 2.44 3.18 3.67 4027
K 1.37 0.59 0.23 0.20 0.19 0.16
Na 0.27 0.67 0.80 0.82 0.65 0.62
KB; % 68 63 70 73 84 91
5.Lengastanah;v/v
Unsur-unsur Bulan:
Iklim Jan Fbr Mrt April Mei Juni Juli Agust Sept. Okt. Nop Des.
1. ETP terkoreksi 120.6 104 118 112 114.5 106.3 106.9 111.8 112.7 124 128 124
2. C. hujan 330 263 170 165 67 74 80 30 52 126 243 275
3. SA 209.4 159 51.6 53.4 -47.5 -32.3 -26.9 -81.8 -60.7 2.4 115 151
4. APWL 0 0 0 0 47.5 79.8 106.6 188.4 249.1 0 0 0
5. Kadar air
tanah (KAT) 486 486 486 486 446.2 421 401.2 346.3 310.5 313 486 486
6. Perubahan
d(KAT) 0 0 0 0 -39.8 -25.2 -19.9 -54.9 -35.8 2.4 173. 0.0
7 .ETA 120.6 104 118 112 106.8 99.2 99.9 84.9 87.8 124 128. 124
8. Defisit 0 0 0 0 7.7 7.1 7.0 26.9 24.9 0 0 0
9. Surplus 209.4 159 51.6 33.4 0 0 0 0 0 0 0 151
Keterangan: Kedalaman tinjau tanah = 115 cm; KL = 486 mm; APWL = Akumulasi
daya penguapan; Defisit = ETP – ETA; Surplus = CH - ETP - d(KAT); Titik Layu
Permanen (TLP) = 260 mm. Sumber: Soemarno, 1994
1. Iklim
Temperatur berkisar antara 16 - 32oC, dan kisaran optimumnya 20-
26oC. Curah hujan berkisar 500-5000 mm/th, kisaran optimumnya 1000-
1500 mm/th.
2. Tanah
Persyaratan kebutuhan tanah adalah : tanah dalam, konsistensi
gembur, permeabilitas sedang, drainase agak cepat hingga baik, tingkat
kesuburan tanah sedang, tekstur lempung dan lempung berdebu dengan
kandungan humus sedang, reaksi tanah (pH ) antara 5.2 - 8.5 dan kisaran
optimumnya 5.8-7.8.
Sumber: www.obamagardensofhope.com/gallery2/v/South+D...
Sumber: http://tipspetani.blogspot.com/2010/05/cara-meningkatkan-produksi-
jagung.html
21
3. SUMBERDAYA AIR
Sumber: http://www.schweich.com/imagehtml/climdiag.html
23
EMBUNG
Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk
menampung air hujan dan air limpahan atau air rembesan di lahan
sawah tadah hujan yang berdrainase baik.
Menurut Pedoman Membuat Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering
di Indonesia (1997) oleh Departemen Pekerjaan Umum, “embung” adalah
bangunan penyimpan air yang dibangun di daerah depresi, biasanya di luar
sungai. Embung akan menyimpan air di musim hujan, kemudian airnya dapat
dimanfaatkan oleh suatu desa hanya selama musim kemarau atau saat
kekurangan air. Itu pun dalam memenuhi kebutuhan harus dengan urutan
prioritas, yaitu penduduk, ternak, dan sedikit kebun.
Menurut Pedoman Teknis Konservasi Air Melalui Pengembangan Embung
(2007) oleh Departemen Pertanian, “embung” merupakan waduk berukuran
mikro di lahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk
menampung kelebihan air hujan di musim hujan yang memenuhi kriteria air
bersih. Air bersih yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai
sumber irigasi suplementer untuk budi daya komoditas pertanian bernilai
ekonomi tinggi (high added value crops) di musim kemarau atau di saat curah
hujan makin jarang.
Beberapa teknik konservasi air antara lain dengan pembuatan embung, sumur
resapan, rorak, dam aprit dan cara lain untuk mengurangi penguapan
(evaporasi) dengan memanfaatkan mulsa. Air yang mengisi embung dapat
berasal dari saluran drainase yang ada di sekitar embung. Dalam hal ini, tujuan
embung adalah untuk mengurangi kelebihan debit air saja dari saluran
drainase yang berpotensi menimbulkan banjir.
Budidaya tanaman cabe pada lahan miring, rawan erosi dan longsor. Sumber:
http://edijabonpadalarang.wordpress.com/2010/10/12/menyelamatkan-lahan-
kritis/
4. POTENSI LAHAN
4.1. Potensi Maslahat
Metode Parametrik
Metode evaluasi lahan semikuantitatif seperti penilaian
parametrik diposisikan di tengah antara metode kualitatif dan
kuantitatif. Ini berasal dari efek disimpulkan numerik dari berbagai
karakteristik tanah pada perilaku potensi sistem penggunaan lahan.
Sistem aritmatika mempertimbangkan faktor-faktor yang paling
signifikan dan memperhitungkan interaksi antara faktor-faktor yang
signifikan tersebut, baik dengan perkalian sederhana maupun dengan
penambahan faktor tunggal indeks.
Sistem ini mengalikan nilai peringkat masing-masing
karakteristik lahan atau faktor, dan kemudian mengambil produk dari
semua peringkat faktor tersebut sebagai indeks peringkat akhir.
Sistem ini memiliki keuntungan karena faktor- faktor produktivitas
yang penting ikut menentukan “rating”.
Keuntungan lainnya adalah bahwa nilai rating
keseluruhan tidak dapat bernilai negatif. Keterbatasan dari
sistem ini adalah bahwa peringkat akhir mungkin jauh lebih
31
SIR = A . B . C . X (1)
Storie made it quite clear that the factor ratings he provided were to
be taken as guides rather than as absolute values and that the ratings were
to be changed as soil scientists gained experience with the index.
Three other well-known systems—the Universal Soil Loss Equation
(USLE), the Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE), and the Revised
Universal Soil Loss Equation (RUSLE)—take a very similar form to the Storie
Index, and operate by multiplying the most critical factor values. The USLE
has, in many cases, superseded the USDA Land Capability System for on-farm
planning function in the 1980s.
Additive systems also allocate a numerical value to the most
important land factors, but instead of being multiplied these parameters are
added. These numbers are either summed up or subtracted from a
maximum rating of 100 to derive a final rating index. Additive systems have
the advantage of being able to incorporate information from more land
characteristics than do multiplying systems. Experience has shown that four
or five factors appear to be a good average to use in multiplying systems;
otherwise most final ratings become so low that the approach can no more
distinguish small differences in response. Additive systems allow the
consideration of many more criteria, both single and in combination with the
effects of other factors. Other advantages of this approach are that no single
factor can have enough weight to unduly influence the final rating, and that
it is generally easier to specify the criteria and their factor ratings for an
unambiguous land performance determination.
Limitations of additive systems stem from their complexity. As the
number of factors evaluated increases, so does the difficulty in juggling
factor ratings so that the final ratings derived for a number of land units or
soils are all realistic. Another problem might occur in cases where negative
ratings have to be taken into consideration.
32
In this case,
Si = 1 – e–xS (3a)
Axr
CCR = ----------------------------------
Hxhxf
Sehingga diperoleh:
Axr
H = ------------------------------
CCR x hx f
Keterangan
CCR : Kemampuan daya dukung (Carrying Capacity Ratio)
A : Jumlah total area yang digunakan untuk kegiatan pertanian
r : Frekuensi panen per hektar
H : Jumlah KK (rumah tangga)
37
Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara langsung oleh
petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli. Konversi yang dilakukan langsung
oleh petani luasannya sangat kecil. Hampir 70 persen proses jual beli lahan
sawah melibatkan pemerintah, yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan lahan.
Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan sawah
berlangsung melalui dua pola, yaitu pola dimana kedudukan petani sebagai
penjual bersifat monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi
karena pasar lahan adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi
asimetrik informasi diantara keduanya. Sehingga struktur pasar yang
terbentuk lebih menekankan pada kekuatan bargaining. Sedangkan tipe
yang kedua adalah konversi lahan dengan bentuk monopsoni. Keterlibatan
pemerintah dimungkinkan karena kedudukan pemerintah sebagai planner
yang bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara teoritis harus
disesuaikan dengan data kesesuaian lahan suatu daerah lewat rencana tata
ruang wilayahnya.
Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pelaku,
pemanfaatan dan proses konversi, maka tipologi konversi terbagi menjadi
tujuh tipologi, yaitu:
1) Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi yang
diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang
tidak/kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi dan
keterdesakan pelaku konversi.
2) Konversi sisitematik berpola enclave, pola konversi yang
mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara
serentak dalam waktu yang relatif sama.
3) Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena
kebutuhan tempat tinggal/pemukiman akibat adanya
pertumbuhan pendudukan.
4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi
yang terjadi karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama
untuk keluar dari sektor pertanian utama.
5) Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku
untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak
pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan
lain.
6) Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena
keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli
tanah baru ditempat tertentu.
7) Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang
diakibatkan berbagai faktor peruntukan seperti pembangunan
perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, dan sebagainya.
47
C2
example: --------------------
32 - 2 - D
Cultivable Land 2
means: ------------------------------------------------------------
Wirefence Clay Loam - 7° to 15° - 36 in(90 cm)
REMARKS:
(a) Slope classification
Slopes are divided into six categories, each having its implications for
conservation treatments and the kind of tools to be used:
< 7° Flat to gently sloping. Broadbase terraces or other simple conservation
treatments can be used up to 7°. Full mechanization for cultivation is
applicable in this category. This slope class may not be common in hilly
watersheds.
7°-15° Moderately sloping. Medium-sized machines such as a Bulldozer D5
or D6 can be employed for bench terracing. Four wheel tractor
mechanization for cultivation can be applied.
15°-20° Strongly sloping. Small-sized machines such as b4 can be employed
for conservation treatments. Small tractors, or walking tractors can be used
for cultivation.
20°-25° Very strongly sloping. Manual for building the structures Hand
labour and walking tractor for cultivation.
52
25°-30° Steep. Only for permanent tree crops such as food trees, fruit trees,
forest or agroforestry. Manual labour for treatments.
>30° Very steep. Needs forest cover.
(b) Soil depth
Soil depth is divided into four classes. Here the depth refers to the effective
depth of the soil which machine or manual labour can cut for conservation
treatments and which plant roots can penetrate.
< 8 in Very shallow. Only on nearly level land can cultivation be (20
cm) practised.
8-20 in Shallow. Only below 20° slopes can this be cultivated with (20 -50
cm) conservation treatments.
20-36 in Moderately deep. On a 25° slope, for instance, it needs about (50-
90 cm) 30 in (76 cm) of soil to make narrow terraces of 8 ft (2.5 m) wide.
> 36 in Deep. No further soil depth classification is needed because (90
cm) the riser or terrace is limited to 6 ft height which is 3 ft cut and 3 ft fill.
(c) Other limiting factors
Land which is too wet, has poor drainage, occasionally floods or is too stony;
which permanently limits the tillage or treatment, should be classified for
lower or less intensive uses. On slopes under 25° such land can be used as
pasture, whereas on slopes over 25° forest cover is proper so far as erosion
control is concerned. Gully-dissected land which prevents any tillage activity
should be put under permanent cover.
(d) Capability classes
Land is classified into its most intensive tillage or use. T ere are four major
classes - cultivable land, pasture, food trees and forest . Only cultivable land
has four sub-classes, each having implications for needed conservation
treatments and tools to be employed. Use according to or within the
capability class is encouraged, whereas use beyond the capability class is
discouraged.
(e) Soil conservation treatment
In addition to the most popular conservation treatments on gentle slopes
(below 7°) such as broadbase terraces and strip cropping, etc., six major
treatments for steeper slopes are taken into account for the basis of the new
classification scheme. These six treatments, which have been established in
the hill slopes of Taiwan as well as in the western part of Jamaica under the
UNDP/FAO project JAM/67/505, are particularly suited for the humid tropics.
Bench terraces, hillside ditches and individual basins can be used to treat
slopes up to 25° if the soils are deep enough. Orchard terracing can be
applied from 25° to 30° slope. Convertible terracing and hexagons for full
mechanization are to be employed on slopes up to 20 °. All of them are
mainly reverse sloped terraces of varying widths. Later another type of
terracing was added: Intermittent terraces (see FAO Conservation Guide
13/3).
53
b. Dasar penilaian
Dasar-dasar penilaian angka-angka laboratorium ialah golongan
harkat menurut WICAKSONO (1953). Dasar penilaian fakta-fakta lapang
berpedoman pada penggolongan oleh SOEPRAPTOHARDJO, et al (Dok LPTP,
1964.
Angka yang diberikan kepada setiap unsur kemampuan wilayah
merupakan penilaian relatif dengan dasar : peranan tertinggi sesuatu sifat
terhadap unsur kemampuan diberi angka tertinggi (Lampiran 1).
Sifat-sifat tanah merupakan faktor menguntungkan dan dinilai dengan
angka positif ; ditinjau sifat fisik dan kimia lapisan atas (50 cm), kecuali
permeabilitas dan kedalaman efektif. Faktor sekeliling merupakan faktor
merugikan dan dinilai dengan angka negatif. Jumlah nilai (positif dan negatif)
menentukan nilai kemempuan wilayah.
C. Berdasarkan lereng
1. Yang paling baik adlah lerng datar sampai hampir datar
dengan kemiringan 0-2%, dan diberi nilai 100
2. Yang paling jelek adalah tanah yang lerengnya sangat
curam dengan kemiringan 45%, dan diberi nilai 5-30
Lereng yang curam atau sangat curam maka tanah-tanah yang
berada mudah tererosi.
D. Faktor X
Dengan memperhatikan kadar atau keadaan tanah:
1. Drainase
Yang paling baik diberi angka 100 sedang yang paling jelek
(rawa) diberi angka 10-40.
2. Alkalinitas
Alkalinitas berkaitan dengan pH. Jika pH tanah 8,5 maka dapat
dikatakan bahwa tanah tersebut alkalin karena kadar Na nya
tinggi. Tanah yang sangat alkalin diberi nilai 5-15, sedang yang
bebas dinilai 100. Sodik: lapisan tanah yang kaya Na
3. Kandungan hara atau kesuburan tanah
Jika kandungan hara tinggi maka diberi nilai 100. Sedang
serendah-rendahnya kandungan hara (miskin) diberi nilai 60-80.
Hal ini karena penangannannya dapat dilakukan dengan mudah,
yaitu pemupukan.
4. Kemasaman
57
Tabel dan Kolom Penilaian Kesesuaian Lahan dengan Metode Indeks Storie
N PARAMETER NILAI
O
A B C X
1 1
2
3
4
5
6
Rata-rata
2 1
2
3
4
5
6
Rata-rata
3 1
2
3
4
5
Rata-rata
No Parameter K E L A S
I II III IV V VI VII
1 Lereng Datar Landai Agk Curam Curam Curam
miring
2 Solum Dalam Dangkal Dangkal Sgt Sgt
dangkal dangkal
3 Erosi S kecl Peka Sgt peka Sgt peka Sgt Sgt
berat berat
4 Drainase Baik Buruk Buruk Tergenang
5 Pengolahan Mudah berbatu Berbatu
6 WHC Baik Rendah Rendah
7 Respon respon Rendah
pemupukan
8 Struktur tanah Sdkt
krg
59
baik
9 Permeabilitas Sgt
lambat
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA