Anda di halaman 1dari 15

IRIGASI RAWA PASANG SURUT

Adenan Yusuf1) dan Hary Wijanarko2)


Program Magister Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, 35145, INDONESIA.

Abstrak : bertambahnya jumlah penduduk maka pemenuhan kebutuhan pangan


ikut meningkat dan ketersediaan lahan terbatas sehinga diperlukan upaya dalam
meningkatkan produktivitas padi pada lahan terbuka, . Lahan rawa pasang surut
digolongkan sebagai daerah yang dipengaruhi oleh adanya luapan pasang (spring
tide) dan surut (neap tide) dari sungai atau laut baik langsung maupun tidak
langsung. Berdasarkan pengaruh luapan pasang, khususnya pada musim hujan,
daerah rawa pasang surut dibagi dalam 4 (empat) wilayah tipe luapan, yaitu tipe
luapan A, B, C dan D. Dalam satuan kawasan rawa pasang surut terdapat sekitar
10-20% wilayah tipe luapan A, 20-30% wilayah tipe luapan B dan D, dan 60-70%
wilayah tipe luapan C. Lahan rawa lebak adalah rawa yang dipengaruhi oleh
adanya genangan dengan waktu lamanya genangan > 3 bulan dan tinggi
genangan > 50 cm. Berdasarkan lama dan tingginya genangan daerah rawa lebak
dibagi dalam 4 (empat) tipe, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam dan
lebak sangat dalam. Dalam satu daerah rawa lebak dapat terdiri atas wilayah lebak
dangkal sekitar 40-60%, lebak tengahan 30-50%, dan lebak dalam, 10-30% dan
lebak sangat dalam antara 5-10%.
I. PENDAHULUAN

Peningkatan produktivitas padi merupakan salah satu cara dalam memenuhi


kebutuhan pangan, masayarakat indonesia pada umumnya dalam pemenuhan
kebutuhan pangan masih memanfaatkan beras sebagai bahan makanan pokok
sehari-hari.
Keterbatasan lahan menjadi permasalahan sehingga perlu memanfaatkan lahan
terbuka seperti daerah rawa, ada beberapa rawa di indonesia yaitu Rawa Pasang
Surut dan Rawa Lebak, pengolahan rawa terdapat berbagai kendala yaitu
kandungan unsur tanah rawa yang mengandung asam cukup tinggi sehingga
diperlukan penanganan rutin untuk menjaga keasaman lahan rawa tersebut.
Pengembangan rawa tidak hanya berhubungan dengan infrastruktur saja, tapi
harus mempertimbangkan pula faktor pengembangan sosial dan ekonomi
Istilah lahan rawa digunakan untuk lahan-lahan yang dipengaruhi oleh rezim air
dan umumnya lekat dengan adanya kondisi genangan air, luapan pasang air
laut/sungai, kebanjiran, dan lumpur. Lahan rawa adalah salah satu ekosistem lahan
basah (wetland) yang terletak antara wilayah dengan sistem daratan (terrestrial)
dengan sistem perairan dalam (aquatic). Wilayah ini dicirikan oleh muka air
tanahnya yang dangkal atau tergenang tipis. Menurut Tim Koordinasi P2NPLRB
(Penyusunan Perencanaan Nasional Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan)
disebut lahan rawa apabila memenuhi 4 (empat) unsur utama berikut, yaitu : (1)
jenuh air sampai tergenang secara terus nenerus atau berkala yang menyebabkan
suasana anaerobic, (2) topografi landai, datar sampai cekung, (3) sedimen mineral
(akibat erosi terbawa aliran sungai) dan atau gambut (akibat tumpukan sisa
vegetasi setempat), dan (4) ditumbuhi vegetasi secara alami (WACLIMAD,
2011).
Dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa yang diadakan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan tahun 1992 di Cisarua,
Bogor disepakati bahwa lahan rawa dibagi dalam 2 (dua) tipologi rawa, yaitu (1)
rawa pasang surut dan (2) rawa lebak. Dalam pembagian di atas rawa pantai
masuk ke dalam bagian lahan rawa pasang surut. Lahan rawa pasang surut
digolongkan sebagai daerah yang dipengaruhi oleh adanya luapan pasang (spring
tide) dan surut (neap tide) dari sungai atau laut baik langsung maupun tidak
langsung. Berdasarkan pengaruh luapan pasang, khususnya pada musim hujan,
daerah rawa pasang surut dibagi dalam 4 (empat) wilayah tipe luapan, yaitu tipe
luapan A, B, C dan D. Dalam satuan kawasan rawa pasang surut terdapat sekitar
10-20% wilayah tipe luapan A, 20-30% wilayah tipe luapan B dan D, dan 60-70%
wilayah tipe luapan C. Lahan rawa lebak adalah rawa yang dipengaruhi oleh
adanya genangan dengan waktu lamanya genangan > 3 bulan dan tinggi
genangan > 50 cm. Berdasarkan lama dan tingginya genangan daerah rawa lebak
dibagi dalam 4 (empat) tipe, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam dan
lebak sangat dalam. Dalam satu daerah rawa lebak dapat terdiri atas wilayah lebak
dangkal sekitar 40-60%, lebak tengahan 30-50%, dan lebak dalam, 10-30% dan
lebak sangat dalam antara 5-10%.

1.1. Latar Belakang


Pertumbuhan penduduk saat ini sangat pesat, dan kebutuhan pangan
meningkat namun ketersediaan lahan pertanian terbatas, sehingga diperlukan
upaya dalam meningkatkan produktivitas padi dengan memanfaatkan lahan
terbuka yaitu Daerah Rawa

1.2. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengertian daerah irigasi rawa Pasang Surut
2. Mengetahui pengelolaan daerah irigas rawa Pasang Surut
II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Rawa


Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di
dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara
alami dilahan yang relatif datar atau cekung dengan endapan mineral atau
gambut,dan ditumbuhi vegetasi, yang merupakan suatu ekosistem.

2.2. Macam-macam Rawa


1. Rawa Pasang Surut
Rawa pasang surut adalah rawa yang dipengaruhi oleh pasang surut
permukaan air laut
2. Rawa Lebak
Rawa lebak adalah rawa yang terletak jauh dari pantai dan berada pada
kawasan tanah rendah yang tergenang air akibat luapan air sungai dan
hujan yang tergenang secara periodik atau menerus.

2.3. Irigasi Pasang Surut


Irigasi pasang surut dipengaruhi olej pasang surutnya permukaan air laut,
Bangunan pintu pengatur air di jaringan sekunder umumnya berupa pintu
klep dikombinasikan dengan pintu geser, sedangkan di jaringan tersier
biasanya berupa pintu geser, pintu klep, atau stoplog. Referensi ini
didasarkan kepada penggunaan pintu geser di saluran tersier mengingat
pintu air tipe ini adalah yang paling umum dipakai. Namun, prinsip yang
sama bisa diterapkan pula untuk pintu stoplog atau pintu klep. Masalah
yang paling utama adalah bagaimana mempertahankan taraf muka air yang
optimal baik selama musim kemarau maupun musim hujan dan bagaimana
memenuhi kebutuhan irigasi dan drainase sebaik-baiknya. Ini tergantung
kepada jenis tanaman yang dibudidayakan, karena adanya perbedaan yang
mencolok antara tanaman padi dibandingkan dengan palawija.
Menyangkut seberapa optimal taraf muka air bisa diatur, untuk itu perlu
dibedakan antara level yang optimal selama kondisi normal dan level yang
optimal selama kondisi ekstrim. Misalnya pada musim kemarau panjang ,
ataukah pada saat musim penghujan dengan intensitas curah hujan yang
tinggi.
Opsi pengelolaan air pada dasarnya ditentukan oleh kondisi tanah dan
faktor hidrotopografi. Opsi pengelolaan air menjadi dasar pertimbangan
yang kemudian dijabarkan kedalam ketentuan pengoperasian bangunan-
bangunan air yang ada. Hal ini berarti bahwa setelah tahap pengembangan
pertama dimana jaringan salurannya masih berupa sistem terbuka untuk
memfasilitasi terjadinya pematangan tanah dan membuang pembuangan
air yang berlebihan keluar dari lahan , maka selanjutnya pada tahap
pengembangan berikutnya adalah meningkatkan sistem pengelolaan air
dengan melengkapi bangunan pengatur air pada jaringan saluran yang ada.
Tujuannya adalah untuk :
menjamin kecukupan air bagi tanaman ;
membuang air yang berlebih keluar dari lahan ;
mencegah pertumbuhan gulma tanaman ( dengan mempertahankan
genangan air disawah) ;
mencegah memburuknya kualitas air ;
mencegah intrusi air asin.
Dalam kasus tanah sulfat masam, persyaratan pengelolaan air harus
memperhitungkan sejauh mungkin kebutuhan untuk pencegahan terjadinya
keasaman tanah selama pertumbuhan tanaman. Namun demikian, perlu
diketahui pula bahwasanya keasaman
akan hilang setelah beberapa periode waktu dan setelah periode itu, dapat
diberlakukan pengoperasian dengan ketentuan normal.
1.4

1.2

0.8
water level [m+MSL]

0.6

0.4

0.2

-0.2
0 48 96 144 192 240 288 336 384 432 480 528 576

time [hrs]

Gambar 2.1 Contoh fluktuasi pasang surut

2.3.1. Kualitas Air


Disamping intrusi air asin, kualitas air sungai yang berada dikawasan
pasang surut pada umumnya memenuhi kelayakan sebagai air irigasi
untuk pertanian. Sedangkan air disungai-sungai kecil bisa saja
tercemari polusi sebagaimana halnya jaringan saluran drainase disuatu
kawasan pertanian, misalnya, pH rendah, kandungan bahan organik
tinggi, airnya berwarna kehitam-hitaman. Dengan kondisi demikian,
akan membatasi penggunaannya untuk keperluan penggelontoran
saluran dan juga tidak layak digunakan sebagai air baku rumah tangga.

2.3.2. Ekosistem, Satuan Hidrologi, dan Gambut


Rawa merupakan bagian daratan yang hampir sepanjang tahun jenuh
air atau tergenang. Bentang lahan rawa meliputi wilayah pantai
(coastal land), muara sungai, rawa belakang (back swamps) sampai
pada rawa dalam (deep water land). Lahan rawa umumnya terletak
pada satuan hidrologi sungai-sungai besar seperti Barito (Kalimantan
Selatan), Kapuas (Kalimantan Barat), Kahayan (Kalimantan Tengah),
Mahakam (Kalimantan Timur), Musi (Sumatera Selatan), Batang Hari
(Riau), Digul (Papua) dan lainnya. Sungai-sungai besar tersebut
mengalir jauh ke pedalaman melalui cabang-cabang anak sungainya.
Menurut jangkauan pengaruh pasang dan intrusi air laut maka bentang
lahan rawa dapat dibagi dalam 3 (tiga) zone, yaitu (1) zone I- pantai
atau perairan air payau, (2) zone II- rawa pasang surut atau perairan air
tawar, dan (3) zone III –rawa lebak atau peraiaran air tawar pedalaman
(Gambar 1).
Pada zone II (rawa pasang surut), luas wilayah yang masuk rawa
pasang surut didasarkan pada satuan hidrologi dan ketebalan
gambutnya. Luas satuan wilayah hidrologi ditentukan oleh kekuatan
dan jangkauan pasang. Misalnya Sungai Barito (meliputi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah) dapat masuk ke pedalaman
menjangkau sekitar 140 km dari muaranya, Sungai Kapuas
(Kalimantan Barat) menjangkau sekitar sekitar 120 km, sementara
Sungai Sebangau (Kalimantan Tengah) menjangkau sekitar 60 km.
Jangkauan pasang pada musim kemarau lebih pendek bersamaan
dengan intrusi air laut dapat mencapai 60 km (Soeparmono, 1996).
Aliran sungai-sungai tersebut akan berpengaruh terhadap muka air
tanah secara signifikan akibat gerakan gaya tarik antara bumi dan
bulan dalam tatanan tata surya semesta. Aliran sungai-sungai di atas
semakin lemah semakin jauh dari muara sungai sampai nihil pada rawa
pedalaman yang masuk zone rawa lebak.

Gambar 2.2. Pembagian zone pada bentang lahan rawa berdasarkan pengaruh
kekuatan pasang dan jangkauan intrusi air laut.
Pada zone II (rawa pasang surut), berdasarkan daya jangkau, kekuatan pasang,
dan hidrotopografi wilayah rawa pasang surut dapat dipilah dalam 4 (empat) tipe
luapan, yaitu tipe luapan A, B, C, dan D. Sementara pada zone III (rawa lebak)
yang bebas dari pengaruh pasang, berdasarkan ketinggian dan lama genangan
wilayah rawa lebak dapat dipilah dalam 4(empat) tipologi, yaitu lebak dangkla,
tengahan, dalam, dan sangat dalam.
Dari segi luasan, ekosistem rawa pantai sangat sempit yang umumnya
berada pada dataran pantai, rawa pasang surut paling luas umumnya berada pada
dataran delta yang berasosiasi dengan lapisan pirit dan pasir kuarsa pada lapisan
bagian bawah, sementara rawa lebak umumnya berada pada daratan pedalaman air
tawar. Luas agroekosistem rawa pantai yang < 1 juta ha, rawa pasang surut
dengan luas sekitar 10,52 juta ha, dan rawa lebak dengan luas sekitar 4,99 juta ha.
Gambut dengan ketebalan > 2 m mencapai 2,817 juta ha. Menurut Kementerian
Negara Lingkungan Hidup, berdasarkan kesatuan hidrologi dan perlindungan
hutan/lahan gambut yang masuk kawasan dilindungi sekitar 7,04 juta ha,
sementara yang non-lindung mencapai sekitar 25,61 juta ha yang sebagian besar
berada di 3 (tiga) pulau besar Kalimantan (7,37 juta ha), Sumatera (8,38 juta ha)
dan Papua (9,41 juta ha) (KNLH, 2010). Dari 11 daerah konservasi atau lindung
yang ditetapkan pemerintah 5 kawasan diantaranya adalah kawasan gambut, yaitu
Berbak (Jambi), Sentanum (Kalbar), Lorenz (Papua), Rawa Biru (Papua), dan
Sebangau (Kalteng).
Berkenaan dengan tata ruang wilayah, maka ekosistem rawa dapat
dibedakan dalam 3 (tiga) atau 4 (empat) mintakat utama (macro zone), yaitu (1)
zone pengembangan atau budidaya, (2) zone adapatif atau budidaya terbatas, (3)
zone konservasi, dan atau (4) zone pesisir . Faktor-faktor penting dari ekosistem
rawa adalah iklim, bentang lahan, hidrologi, tanah dan air, dan keanekaragaman
hayatinya. Faktor-faktor ekosistem ini akan berubah dengan perubahan
lingkungan baik akibat deraan alami seperti kebakaran atau kekeringan ataupun
rekayasa manusia seperti pembukaan atau reklamasi. Dinamika perubahan yang
terjadi dapat bersifat menguntungkan atau sebaliknya merugikan baik bagi
kepentingan produksi yang dihasilkan maupun kepentingan ekologi sebagai
penyangga (buffer) lingkungan. Lahan gambut selain dapat dimanfaatkan sebagai
kawasan pertanian yang menghasilkan berbagai komoditas (tanaman, ternak,
ikan), juga menghasilkan cemaran berupa emisi gas rumah kaca, khususnya CO2,
CH4 dan N2O (Gambar 2).
Perubahan iklim dan pemanasan global yang sekarang menjadi isu penting ke
depan semakin mendapatkan perhatian serius terkait dengan pembukaan lahan
rawa dan pemanfaatannya untuk pertanian, khususnya lahan gambut. Dalam
pengelolaan lahan rawa, maka pengendalian terhadap tingkat emisi gas rumah
kaca (GRK) mutlak dilakukan. Hal ini juga mengingat komitmen pemerintah yang
mentargetkan untuk penurunan tingkat emisi GRK sebesar 26% atau 41% apabila
dapat dukungan bantuan dari Negara maju sampai tahun 2020. Ekosistem rawa,
khsusunya lahan gambut adalah tempat pemendaman (sequestering) karbon yang
telah berlangsung ribuan tahun. Laju penumpukan karbon rata-rata di lahan rawa
gambut Kalimantan sekitar 0,74 ton. ha-1tahun-1. Ekosistem rawa gambut
berperan penting dalam pengaturan sistem karbon di biosfer.

Str Lingkungan:
Proses: Geomorfologi,
Fisika, Hidrologi,
Kimia, Tanah,
Biologi Flora & Fauna

Fungsi Lingkungan:
Hidrologis
Dinamika Biiogeokimia
Lahan Ekologis

Dinamika Sifat:
Profit Keanekaragaman,
Nilai Sosial
Budaya.
Keunikan,
Ilmu pengetahuan
Jasa Lingkungan:
Mencegah banjir Hasil Produk:
Menjaga mutu air Kayu, Burung,
Keanekaragaman Hayati Ikan, Tanaman
Regulasi Iklim Emisi GRK

Gambar 2. Ekosistem lahan gambut (Malty dan Immirzy dalam Noor, 2001)
2.4. Tipologi Lahan
Berdasarkan sifat tanah dan kendalanya dalam pengembangan pertanian,
lahan rawa dibagi dalam 4 (empat) tipologi lahan, yaitu (1) lahan
potensial, (2) lahan sulfat masam, (3) lahan gambut, dan (4) lahan salin.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengaruh marin, ketebalan
lapisan gambut, adanya potensi sulfat masam/pirit, serta intensitas dan
lama genangan, maka lahan di wilayah rawa dapat dikelompokkan dalam
beberapa tipologi lahan utama, sebagai berikut:
1. Lahan Potensial : Merupakan lahan yang lapisan atasnya 0 - 50 cm,
mempunyai kadar pirit < 2% dan kedalaman pada > 50 cm, dan belum
mengalami proses oksidasi, dengan demikian hal ini memiliki resiko atau
kendala kecil untuk pengusahaan tanaman.
2. Lahan Sulfat Masam : Merupakan lahan yang tanahnya memiliki lapisan
pirit atau sulfidik pada kedalaman < 50 cm dan semua tanah yang memiliki
horison sulfurik, walau kedalaman lapisan piritnya > 50 cm. Lahan sulfat
masam dibedakan atas
a) Lahan sulfat masam aktual menunjukkan adanya lapisan sulfurik
b) Lahan sulfat masam potensial yang tidak/belum mengalami proses
oksidasi pirit.
3. Lahan Gambut : Merupakan lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut
dari berbagai ketebalan, yaitu mulai dari dangkal/tipis (50 - 100 cm),
sedang (100 - 200 cm), dalam/tebal (200 - 300 cm), sampai dengan sangat
dalam/tebal (> 300 cm). Lahan dengan lapisan gambut tipis < 50 cm
disebut lahan bergambut (peaty soil).
4. Lahan Salin : Merupakan lahan pasang-surut payau/salin. Bila lahan ini
mendapat intrusi atau pengaruh air laut lebih dari 4 bulan dalam setahun
dan kandungan Na dalam larutan 8-15%, lahan ini disebut lahan salin
Disebut lahan potensial karena mempunyai kendala lebih ringan
dibandingkan dengan lahan sulfat masam atau lahan gambut, antara lain
kemasaman tanah sedang (pH tanah > 4,0-4,5), lapisan pirit ada pada
kedalaman > 50 cm, kadar aluminium, dan besi rendah. Disebut lahan
sulfat masam karena mempunyai kendala lebih berat karena pirit berada
pada kedalaman antara < 50 cm, pH tanah 4,0-4,5 yang apabila teroksidasi
menurunkan pH menjadi < 3,5. Selain itu, tipologi lahan sulfat masam ini
juga mempunyai kadar aluminium dan besi yang cukup tinggi.
Berdasarkan kedalaman pirit dan tingkat intensitas oksidasi yang terjadi,
lahan sulfat masam dibagi dalam 2 (dua) tipologi yaitu (1) lahan sulfat
masam potensial dan (2) lahan sulfat masam aktual. Sedangkan disebut
lahan gambut karena adanya lapisan gambut pada lapisan atas setebal > 50
cm dengan kadar bahan organik > 20%. Berdasarkan ketebalannya, lahan
gambut dibagi dalam 4 (empat) tipologi lahan, yaitu gambut dangkal
(apabila tebal gambut > 50-100 cm), gambut sedang (tebal gambut 101-
200 cm), gambut dalam (tebal gambut 201-300 cm), dan gambut sangat
dalam (tebal gambut > 300 cm). Lahan gambut mempunyai sifat tersendiri
berbeda dengan tipologi lainnya antara lain adanya lapisan gambut dengan
kerapatan lindak (bulk density) < 0,1 g/cm3 sehingga daya dukung lahan
terhadap beban sangat rendah, Selain itu, sifat kahas lainnya yaitu kahat
(defisiency) hara mikro, terutama Cu dan Zn. Adapun disebut lahan salin
karena mempunyai kendala berupa salinitas akibat pengaruh intrusi air laut
dan umumnya tekstur pasiran karena berada pada dataran pantai (coastal
plain).

2.5. Jenis Tanah Rawa


Lahan rawa merupakan lahan yang selalu dijenuhi air, baik yang berasal
dari hujan maupun luapan sungai atau pengaruh pasang surut air laut.
Keberadaan air tersebut terutama disebabkan oleh bentuk fisiografi datar
sampai cekung yang tidak memungkinkan air tersebut teratus secara cepat.
Endapan gambut di rawa terbentuk secara geologis dengan bahan endapan
berupa bahan yang terbawa bersama air dari daerah hulu (koloid mineral)
atau berupa timbunan sisa tumbuhan setempat yang laju penimbunan lebih
cepat daripada laju perombakannya. Sering sekali bahan penyusun rawa
tersebut berupa campuran gambut dan tanah mineral, baik campuran
langsung maupun lapis melapisi. Vegetasi alami, kejenuhan air yang relatif
tidak bergerak, kekahatan oksigen merupakan keadaan dimana laju
dekomposisi lebih rendah daripada laju sedimentasi yang menyebabkan
lahan gambut dapat tumbuh dan berkembang.
Rawa bukan gambut merupakan endapan aluvial mineral (umumnya
lempung) mentah atau gambut yang keadaan aslinya jenuh air (reduksi)
dengan suasana tawar atau masin. Pengisian endapan tersebut berasal dari
bahan erosi di daerah hulu yang terbawa oleh aliran sungai yang
kehilangan kecepatannya sewaktu memasuki rawa. Dengan sangat
berkurangnya kecepatan air, menyebabkan sebagian besar bahan erosi
akan mulai diendapkan di daerah cekungan rawa tersebut. Bilamana
suasana pembentukan rawa adalah marin, maka terjadi reduksi besi dari
bahan sedimen dan reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Kedua
komponen reduktif ini dapat membentuk senyawa yang disebut dengan
pirit. Kandungan pirit yang > 0.75 % dan tidak cukup bahan alkalinitas
untuk menetralkan asam yang ada di dalam pirit tersebut disuatu
lingkungan maka tanahnya disebut Sulfaquent atau sulfat masam potensial
(SMP). Bilamana pirit teroksidasi dan bersifat sangat masam yang disertai
oleh bercak jarosit maka disebut dengan Sulfaquept atau tanah sulfat
masam aktual (SMA).
Sifat dan karakteristik tanah merupakan faktor penentu dalam
pendayagunaan lahan rawa pasang surut. Parameter dari tanah yang
diperhatikan dalam pendayagunaan lahan rawa pasang surut yaitu
ketebalan gambut dan kedalaman lapisan pirit. Dataran rawa termasuk
kelompok fisiografi yang disebut lingkungan pengendapan baru. Di
wilayah rawa pasang-surut air tawar (Ruas sungai II), fisiografi endapan
marin biasanya adalah endapan campuran, yakni berupa endapan marin
yang ditutupi oleh endapan sungai (fluviatil-marin). Jenis tanah utama
yang banyak ditemukan di lahan rawa pasang surut adalah:
 Tanah mineral rawa;
 Tanah organik, tanah gambut dan tanah bergambut;
 Tanah mineral lahan kering.
2.5.1 Tanah Mineral

Tanah mineral rawa mempunyai tekstur halus, berwarna abu-abu, sering


mengandung bahan organik yang tinggi (tanah bergambut) dan terdapat
lapisan organik dangkal sampai medium di bagian atas tanah. Memiliki
drainase yang buruk, dan sebelum reklamasi tanahnya mentah atau
sebagian matang pada 0,70 m lapisan atas serta mempunyai daya dukung
tanah yang sangat rendah walaupun proses reklamasi telah berlangsung
cukup lama. Kesuburan tanahnya bervariasi tetapi pada umumnya sedang
sampai tinggi.

2.5.2. Tanah Salin


Lahan ini langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut, baik melalui
sungai maupun pengaruh pasang surut yang melebar ke arah depresi
aluvium rawa. Secara garis besar intrusi air laut ini sangat bervariasi, dapat
hanya < 10 km dari garis pantai sampai menjorok cukup jauh ke
pedalaman (60 km), tergantung dari hidrotopografi lahan dan besar
kecilnya discharge dari sungai yang bermuara di laut tersebut, di samping
besarnya amplitudo ayunan pasang surut. Tanah bersuasana payau sampai
masin dengan tumbuhan penutup berupa hutan bakau sampai nipah.
Tanahnya terdiri atas bahan endapan mineral bersuasana marin dan/atau
gambut pantai. Mengingat suasana endapan yang bersifat marin, kaya
bahan organik dan daerah dengan iklim tropis, di daerah ini berkembang
tanah yang mengandung bahan sulfidik dan merupakan tanah yang mentah
(lunak). Menurut klasifikasinya tanah yang ada disebut tanah Halaquent,
Sulfaquent bila endapannya adalah mineral dan Sulfihemist bila tanahnya
adalah gambut.

2.5.3 Lahan Endapan Marin Non Salin


Lahan ini masih dipengaruhi oleh pasang surut tetapi tidak bersuasana
payau atau masin, meskipun suasana asin-payau masih terasa di aliran
sungai. Sewaktu pengisiannya dipengaruhi oleh air masin, sehingga
tanahnya dapat mengandung bahan sulfidik yang terutama pada tanah
mineralnya. Meliputi daerah belakang lahan yang masih aktif dipengaruhi
air asin, baik berupa jalur meander ataupun pengisian celah teras yang
teriris oleh aliran sungai/saluran drainasi alami. Keberadaan bahan
s.ulfidik dicirikan pula oleh vegetasi gelam atau rerumputan yang toleran
suasana masam.

2.5.4. Tanah Aluvial Non Marin


Lahan yang jenuh air, baik musiman ataupun permanen yang tidak
dipengaruhi oleh air payau atau masin dan pengisian daerah cekungan di
antara perbukitan atau dataran rendah dengan bahan pengisi berupa tanah
mineral atau gambut yang tidak mengandung bahan sulfidik. Tanah ini
dapat juga berupa tanah gumuk pasir di pesisir pantai, atau dapat pula
berupa teras tua yang sudah cukup matang dan tidak terpengaruh pasang
surut. Demikian pula daerah rawa musiman yang hanya tergenang dalam
jangka waktu singkat di musim hujan (2 – 3 bulan) yang dikenal dengan
lahan rawa musiman.
Karena dalam kondisi alamiah kandungan airnya tinggi, penurunan muka
tanah akan terjadi setelah reklamasi, drainase akan menambah tekanan
tanah dan selanjutnya terjadi penurunan muka tanah. Untuk tujuan
reklamasi dan pengembangan pertanian, dua aspek yang sangat penting
dari tanah mineral rawa adalah:

1. Keberadaan tanah sulfat masam potensial atau pirit;


2. Permeabilitas dan tingkat kematangan tanah.
III. KESIMPULAN

Daerah Irigasi Pasang surut sangatlah dipengaruhi oleh permukaan air laut, lahan
rawa pasang surut digolongkan sebagai daerah yang dipengaruhi oleh adanya
luapan pasang (spring tide) dan surut (neap tide) dari sungai atau laut baik
langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan pengaruh luapan pasang,
khususnya pada musim hujan, daerah rawa pasang surut dibagi dalam 4 (empat)
wilayah tipe luapan, yaitu tipe luapan A, B, C dan D. Dalam satuan kawasan rawa
pasang surut terdapat sekitar 10-20% wilayah tipe luapan A, 20-30% wilayah tipe
luapan B dan D, dan 60-70% wilayah tipe luapan C. Lahan rawa lebak adalah
rawa yang dipengaruhi oleh adanya genangan dengan waktu lamanya genangan >
3 bulan dan tinggi genangan > 50 cm. Berdasarkan lama dan tingginya genangan
daerah rawa lebak dibagi dalam 4 (empat) tipe, yaitu lebak dangkal, lebak
tengahan, lebak dalam dan lebak sangat dalam. Dalam satu daerah rawa lebak
dapat terdiri atas wilayah lebak dangkal sekitar 40-60%, lebak tengahan 30-50%,
dan lebak dalam, 10-30% dan lebak sangat dalam antara 5-10%.

Anda mungkin juga menyukai