Hukum - Kepailitan
Hukum - Kepailitan
OLEH:
DEWANDARU AGUNG PRAMITA
PENDAHULUAN
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,
bangkrut.[1] Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation,
likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta perusahaan,
penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang
saham.[2] Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan
Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain:
Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang
Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa
“Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan
semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator
kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing”.[3]
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator
di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyatakan
tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan
dibitur sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya
(pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3
UU Kepailitan); d Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2
ayat (2) UU Kepailitan); e. bila debiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Bank Indonesia (pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kriling dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
(Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan pailit adalah untuk
mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda disita atau
dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya (kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat
menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah
dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi.
[4] Yaitu suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi.[5]
Pada tahap insolvensi penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan.
Apakah harta debitur akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur
masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi
utang. Apabila debitur sudah dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit,
dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari
perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.[6]
Saat sebuah perusahaan mengalami pailit, akan banyak kreditor yang terlibat dalam
proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu. Di
dalam proses kepailitan, kreditor akan terbagi ke dalam 3 macam kreditor, yaitu kreditor
separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Menurut UU Kepailitan, pembedaan
tersebut berhubungan dengan posisi kreditor bersangkutan dalam proses pembagian harta
pailit.
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu
diketahui. Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk tanggung jawab yang
harus dilakukan oleh Pengurus terhadap perseoroan yang mengalami kepailan. Selain itu,
didalam proses kepailitan terkait likuidasi, manakah yang perlu didahului untuk dibayarkan
diantara ketiga macam kreditor diatas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses terjadinya kepailitan?
2. Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang dipailitkan?
3. Manakah yang perlu didahului untuk dibayarkan diantara ketiga macam kreditor: kreditor
separatis, kreditor preferen, kreditor konkuren?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap
Perseroan yang dipailitkan.
3. Mendapatkan informasi dan menerapkan likuidasi terkait pembayaran kepada 3 jenis kreditur
berdasarkan skala prioritas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
LANDASAN TEORI
PEMBAHASAN
Saat sebuah perusahaan mengalami pailit, akan banyak kreditor yang terlibat dalam proses
tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu. Di dalam
proses kepailitan, kreditor akan terbagi ke dalam 3 macam kreditor, yaitu kreditor separatis,
kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Menurut UU Kepailitan, pembedaan tersebut
berhubungan dengan posisi kreditor bersangkutan dalam proses pembagian harta pailit.
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan, disebut kreditor separatis. Berdasarkan
Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak
istimewa atau hak prioritas. UU No. 37/2004 memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana
diatur di dalam KUH Perdata. Hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya. Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya
(tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, mereka memiliki
kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang
mereka.
Menurut Pasal 21 UU KUP, negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas
barang-barang milik Penanggung Pajak. Ketentuan dalam pasal ini menetapkan kedudukan
Negara sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik
Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata
disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang
tidak bergerak. Pembayaran kepada Kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Sedangkan dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan juga diatur mengenai
hak mendahulu untuk upah dan hak pekerja/ buruh terhadap utang lainnya jika terjadi
kepailitan.
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) UU KUP mengatur mengenai hak mendahulu sebagai berikut:
(1) “Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak”.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap:
a. biaya
perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
Ketentuan dalam pasal ini menempatkan negara sebagai kreditor preferen yang mempunyai
hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Pembayaran kepada kreditur
lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. UU KUP ini juga memberikan kedudukan
istimewa untuk utang pajak melebihi kedudukan semua kreditur dalam kepailitan, termasuk
hak jaminan dan juga mendahulu dari upah buruh dan biaya kepailitan serta kreditur
konkuren.
Ketentuan Pasal 21 UU KUP sejalan dengan Pasal 1137 KUHPerdata yang mengatur
mengenai hak negara sebagai berikut:
“Hak dari kas negara, kantor lelang, dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh
Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu
berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus mengenai hal-
hal itu”.
Undang-undang khusus yang mengatur hal yang disebutkan dalam Pasal 1137 KUH Perdata
salah satunya adalah UU KUP khususya Pasal 21. Dengan demikian, merujuk ketentuan-
ketentuan tersebut di atas hak negara terhadap pembayaran utang pajak ditempatkan sebagai
pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditur separatis (pemegang hak tanggungan,
gadai, fidusia, hipotik).
Dalam UU Ketenagkerjaan juga diatur mengenai hak mendahulu yaitu dalam Pasal 95 ayat
(4) sebagai berikut: “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Dalam penjelasan pasal ini diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan didahulukan
pembayarannya adalah upah pekerja/ buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang
lainnya.
Berdasarkan ketentuan ini, kedudukan pekerja/ buruh adalah sebagai kreditor, maka jika
terjadi kepailitan, hak-hak buruh sama dengan kreditor-kreditor lainnya. Yang menjadi
permasalahan adalah kedudukan buruh sebagai kreditor dalam klasifikasi yang mana
(kreditor separatis, preferen, atau konkuren) karena ini akan menentukan urutan prioritas
pembayarannya.
Dalam Pasal 1149 KUH Perdata dijelaskan lebih lanjut mengenai hak istimewa, sebagai
berikut:
“Hak istimewa atas semua benda bergerak dan benda tidak bergerak pada umumnya,
yaitu:
a. …
d. upah para buruh selama tahun lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun
berjalan, beserta uang-uang yang harus dibayar oleh majikan baik kepada buruh
maupun kepada keluarga buruh…”.
Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menempatkan upah buruh dalam kedudukan sebagai
kreditor preferen, karena memiliki hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang. Dari
ketentuan Pasal 1134 KUHPerdata dijelaskan bahwa kreditur pemegang hak gadai dan
hipotek mempunyai tingkatannya lebih tinggi dibandingkan kreditor pemegang hak istimewa,
kecuali undang-undang dengan tegas mengatur sebaliknya. Dengan demikian, apabila UU
Ketenagakerjaan mau mengecualikan bahwa kedudukan hak istimewa lebih tinggi daripada
gadai dan hipotek (kreditor separatis), UU Ketenagkerjaan harus menyatakan secara spesifik
bahwa tingkatannya lebih tinggi daripada gadai dan hipotik. Ketentuan yang menyatakan
bahwa upah buruh tingkatannya lebih tinggi dari kreditor separatis tidak terdapat dalam UU
Ketenagakerjaan. Hal ini mengakibatkan upah pekerja/ buruh kedudukannya di bawah
kreditor separatis.
Pada tanggal 30 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan judicial
review tersebut dengan amar putusan sebagai berikut:
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sudah jelas apabila terjadi kepailitan,
hak mendahulu atas utang pajak tidak berlaku apabila bertemu dengan upah pekerja/buruh
dan hak-hak pekerja buruh/ lainnya. Hal ini agak berbeda dengan kreditor separatis dimana,
jika ada pembayaran upah pekerja/buru maka kreditor separatis mengalah tapi tidak untuk
pembayaran hak-hak pekerja/ buruh lainnya.
Adapun pertimbangan Majelis Hakim memutus demikian adalah upah pekerja/buruh secara
konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 merupakan hak konstitusional yang
oleh karenanya adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja. Sedangkan mengenai kewajiban/ tagihan terhadap negara, adalah
wajar jika berada diperingkat setelah upah dan hak-hak pekerja/ buruh (seperti uang
pesangon, uang penhargaan masa kerja dan uang penggantian hak dan seterusnya). Hal ini
karena negara mempunyai sumber pembiayaan lain sedangkan bagi pekerja, upah adalah
satu-satunya sumber mempertahankan hidup bagi diri dan keluarganya.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menempatkan upah pekerja sebagai
prioritas pertama dari pembayaran dalam hal terjadi kepailitan, prioritas selanjutnya hak
negara diharapkan kisruh antara upah buruh dan utang pajak berakhir.
BAB IV
KESIMPULAN
Pembayaran upah pekerja/buruh harus didahulukan dalam kasus kepailitan perusahaan adalah
amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Dengan adanya putusan ini
mengubah praktik selama ini yang menempatkan upah pekerja/ buruh berada pada utang
pajak.
Kewajiban/ tagihan terhadap negara (termasuk kedudukan utang pajak) berada pada tingkat
setelah upah dan hak-hak pekerja/buruh. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Majelis
Hakim yang berpendapat bahwa negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel
pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri
dan keluarganya. Di samping itu pula “upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang
pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya dibayar sebelum kering keringatnya.”
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1. Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
2. Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
3. Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
4. M. Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.
5. Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang.
6. S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya,
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.
7. Sofjan Sastrawidjaja, 1996, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan
Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung.
8. Zaeni Asyhdie, 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
UNDANG-UNDANG
9. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
11. Kamus
12. Daryanto, 1997, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya.
13. Kamus Hukum Ekonomi, 1997, ELIPS.
JURNAL
14. Adi Nugroho Setiarso, 2013, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam
Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnal tidak
diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
15. Ari Purwandi, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang
Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma
Surabaya, Surabaya.
INTERNET
16. [1] Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, hlm 455.
17. [2] Kamus Hukum Ekonomi, ELIPS, 1997, hlm 105.
18. [3] Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah,
Jurnal tidak diterbitkan, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma
Surabaya, 2011, hal 129.
19. [4] Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam
Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnat tidak
diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013, hlm. 3.
20. [5] Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 1.
21. [6] Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hlm 135
22. [7] Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta,2009, hlm 24.
23. [8] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2007, hlm 16.
24. [9] Penulis menafisrkan tentang syarat-syarat yang ada pada pasal 2 UU No 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
25. [10] Opcit, hlm 74.
26. [11] Ibid, hlm 74.
27. [12] Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 91.
28. [13] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 126-127.
29. [14] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 175-186.
30. [15] Jono, Opcit, hlm 107-108.
31. [16] S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya,
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 160-161.
32. 1[17] Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan
Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung, 1996, hlm. 214.
33. 2[18] M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, hal. 463.
34. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
35. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
36. Undang-Undang Nomor UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
37. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
38. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013