Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEPAILITAN

STUDI KASUS DAN TELAAH UNDANG-UNDANG:


MANAKAH YANG DIDAHULUKAN UNTUK DIBAYARKAN DALAM PROSES
LIKUIDASI OLEH PERUSAHAAN YANG PAILIT, APAKAH KREDITUR
SEPARATIS, PREFEREN, DAN KREDITUR KONKUREN

OLEH:
DEWANDARU AGUNG PRAMITA

MAHASISWA MAGISTER AKUNTANSI

UNIVERSITAS TARUMA NEGARA

NOMOR MAHASISWA: 127181009


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,
bangkrut.[1] Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation,
likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta perusahaan,
penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang
saham.[2] Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan
Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain:
Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang
Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa
“Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan
semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator
kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing”.[3]
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator
di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyatakan
tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan
dibitur sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya
(pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3
UU Kepailitan); d Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2
ayat (2) UU Kepailitan); e. bila debiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Bank Indonesia (pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kriling dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
(Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan pailit adalah untuk
mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda disita atau
dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya (kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat
menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah
dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi.
[4] Yaitu suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi.[5]
Pada tahap insolvensi penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan.
Apakah harta debitur akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur
masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi
utang. Apabila debitur sudah dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit,
dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari
perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.[6]
Saat sebuah perusahaan mengalami pailit, akan banyak kreditor yang terlibat dalam
proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu. Di
dalam proses kepailitan, kreditor akan terbagi ke dalam 3 macam kreditor, yaitu kreditor
separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Menurut UU Kepailitan, pembedaan
tersebut berhubungan dengan posisi kreditor bersangkutan dalam proses pembagian harta
pailit.
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu
diketahui. Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk tanggung jawab yang
harus dilakukan oleh Pengurus terhadap perseoroan yang mengalami kepailan. Selain itu,
didalam proses kepailitan terkait likuidasi, manakah yang perlu didahului untuk dibayarkan
diantara ketiga macam kreditor diatas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses terjadinya kepailitan?
2. Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang dipailitkan?
3. Manakah yang perlu didahului untuk dibayarkan diantara ketiga macam kreditor: kreditor
separatis, kreditor preferen, kreditor konkuren?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap
Perseroan yang dipailitkan.
3. Mendapatkan informasi dan menerapkan likuidasi terkait pembayaran kepada 3 jenis kreditur
berdasarkan skala prioritas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB II

LANDASAN TEORI

Proses Terjadinya Kepailitan


1. Prinsip-Prinsip umum dalam Proses terjadinya Kepailitan
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini. Berdasarkan pengertian yang ada pada undang-undang kepailitan, para ahli
hukum memberikan makna atau pengertian yang jelas tentang kepailitan, salah satunya
menurut Adrian Sutedi yang meberikan pengertian “suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh
kekayaan debitor untuk kepentingan kreditor-kreditornya”.[7] Kepailitan harus memenuhi
dan berlandaskan pada asas:[8]
a. keseimbangan, tidak ada penyalahgunaan lembaga atau pranata dalam kepailitan yang
digunakan oleh debitor yang tidak jujur dan terdapat ketentuan yang dapat mencegah kreditor
melakukan itikad tidak baik.
b. asas kelangsungan usaha, debitor yang pada proses kepailitannya atau telah diputus
kepailitannya tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya
c. asas keadilan, pada asas ini kepailitan dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang
memiliki kepentingan sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan baik yang dilakakan oleh
salah satu pihak.
d. Asas integrasi, dalam hal ini kepailitan harus berdasarkan hukum formil dan materiil yang
berlaku di Indonesia.
Kepailitan diatur dalam suatu kaedah hukum memiliki tujuan untuk menuju hukum
kepailitan yang progresif. Untuk mencapai tujuan terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam
mengajukan permohonan pailit, yaitu: [9]
a. Mempunyai dan diajukan oleh dua atau lebih kreditor, baik kreditor separatis, preferen, dan
konkurent. Kepailitan tersebut juga dapat diajukan oleh kejaksaan apabila debitor melakukan
tindak pidana, serta permohonan kepailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia ketika debitor
adalah perbankan, permohonan dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal apabila
debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjamin, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian. Permohan dapat pula diajukan oleh menteri keuangan
apabila debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, dan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Kreditur-kreditur tersebut menyatakan debitor tidak membayar lunas sedikit pun utang yang
harus dibayar dalam jangka waktu jatuh tempo.
2. Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu
pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan
permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37
Tahun 2004 yang telah dibahas sebelumnya oleh penulis. Permohonan pengajuan pailit
diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh kreditur
atau lembaga yang diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan
permohonan kepailitan pada Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai berikut:[10]
a. Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga
b. Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan
c. Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS)
d. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
e. Neraca keuangan terakhir
f. Nama serta alamat debitur dan kreditur
Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan
adalah:[11]
a. Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Niaga
b. Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
c. Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak
d. Perincian utang yang tidak terbayar
e. Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur
Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam
jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam
jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang
pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak
permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan utang antara
debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan utang seorang debitor wajib
datang sendiri agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim
pengawasmengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Pada rapat pencocokan utang
setelah semua pihak hadir baik debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan
membacakan daftar piutang yang diakui sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator.
Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim
apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua
atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan
perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit tidak
menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari
setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas
peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada
jurusita.[12]
Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan
kepengurusan yaitu:[13]
a. Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan pemberesan
harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b. Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit
Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi ke
Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah berakhir apabila telah
terjadi hal-hal seperti berikut: [14]
a. Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur pailit
dengan para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya
dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa
utangnya.
b. Insolvensi atas pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila kepailitan
tidak ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu kesepakatan sehingga
terjadi keadaan tidak mampu membayar, sebagaimana diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun
2004.
c. Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit atau ahli
warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh pembayaran piutangnya.
Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah
terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat setelah
putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan perbuatan hukum yang dilakukan
debitor sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan pada
pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.[15]
B. Tanggungjawab Hukum Bagi Pengurus Terhadap Perseroan yang Pailit
1. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Pasal 97 ayat (1) UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk kepentingan
dan usaha (tujuan perseroan). Sehingga Direksi bertanggung jawab atas pengurusan dan
perwakilan terhadap perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan tujuan perseroan.
Tanggung jawab direksi atas kepailitan PT dijelaskan dalam ketentuan pasal 104 UUPT,
antara lain:
1. Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada
Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
2. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak
cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap
anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang
tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
3. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah
menjabat sebagai anggota direksi dalam jangk waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan.
4. Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila dapat
membuktikan:
a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab
untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang dilakukan; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan;
5. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan pailit
berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Maka dapat diketahui bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT,
setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan,
jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota direksi
dan juga bagi anggota direksi yang salah/lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi
dalam jangka waktu lima tahun sebelum putusan pailit diucapkan.
Pada ayat (4) memberikan kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak
bertanggung jawab atas kepailitan perseroan, jika anggota direksi dapat membuktikan.
Dengan demikian beban pembuktian ada pada anggota direksi yang bersangkutan.
Pembuktian adanya unsur kesalahan atau kelalain menjadi kunci utama dalam menuntut
pertanggungjawaban anggota direksi. Menurut Schreuder, pengertian kesalahan menurut
hukum pidana menuntut adanya 3 (tiga) unsur berupa:[16]
1. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
2. Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian);
3. Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa beliau sependapat dengan sikap
pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam menjalankan
tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan adalah kelalaian berat
(gross negligence).[17] Meskipun demikian tidaklah mudah untuk membedakan mana
perbuatan hukum direksi yang bersifat kelalaian ringan dan mana perbuatan direksi yang
bersifat kelalaian berat, karena penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat
subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus perseroan
terbatas antara lain:
1. Melakukan penahanan terhadap direksi selaku pengurus perseroan terbatas (pasal 93 sampai
dengan pasal 95 UU Kepailitan)
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul
hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan
setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan penahanan terhadap terhadap direksi
selaku pengurus perseroan pailit baik di rumah tahanan negara (rutan) maupun di rumah
Direksi tersebut, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa
penahanan yang berlaku palin lama 30 hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan dan dapat
diperpanjang selama 30 hari oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas permintaan
kurator atau seorang kreditor lebih setelah mendengar hakim pengawas. Biaya penahanan
dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit sebagai utang harta pailit.
Pengadilan juga berwenang melepaskan direksi dari tahanan atas usul hakim
pengawas atau atas permohonan direksi (mewakili debitur pailit), dengan jaminan uang dari
pihak ketiga bahwa direksi (mewakili debitur pailit) setiap waktu akan menghadap atas
panggilan pertama.
2. Meminta kehadiran Direksi pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit (pasal
96 UU Kepailitan)
Jika direksi yang ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi pada
sesuatu perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat diambil dari tempat
tahan tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah hakim pengawas tersebut dilaksanakan
oleh kejaksaan.
3. Direksi tidak boleh meninggalkan domisilinya (pasal 97 UU Kepailitan)
Selama kepailitan, direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan domisilinya
tanpa izin dari hakim pengawas.
4. Direksi wajib menghadap hakim pengawas, kurator atau panitian kreditor apabila dipanggil
(pasal 110 ayat (1) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib menghadap hakim pengawas, kurator/panitia
kreditor apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.
5. Direksi wajib hadir dalam rapat pencocokan piutang (pasal 121 ayat (1) dan (2) UU
Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piuang
agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab
kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditor juga dapat meminta keterangan dari Direksi
selaku pengurus PT mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas.
2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan Perseroan Terbatas
Pasal 115 mengatur sejauh mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan
Perseroan. Sekiranya Perseroan dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik hal itu terjadi
atas permintaan sendiri oleh Direksi setelah mendapat persetujuan RUPS melalui proses
voluntary petition maupun oleh pihak ketiga melalui proses involuntary petition.
a. Faktor yang menyebabkan anggota Dewan Komisrais Bertanggung Jawab Atas
Kepailitan Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa
ikutnya anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas Kepailitan Perseroan, apabila
terpenuhi persyaratan atau digantungkan pada faktor berikut:[18]
Kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang dilakukan Dewan
Komisaris
Syarat atau faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris
selanjutnya disebut dengan DK ikut memikul tanggung jawab atas kepailitan terjadi sebagai
akibat kesalahan atau kelalaian DK melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
kepada pengurusan yang dilaksanakan Direksi.
Harta kekayaan perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban
Syarat kedua ternyata harta pailit perseroan “tidak mencukupi” membayar seluruh
kewajiban Perseroan kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap anggota DK ikut
bertanggung jawab scara tanggung renteng untuk membayar kewajiban yang belum terlunasi
dari harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab secara tanggung renteng yang dijelaskan
diatas berlaku juga bagi anggota DK yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan, asal terpenuhi syarat yang dijelaskan diatas.
b. Faktor yang dapat menggugurkan tanggung jawab anggota Dewan Komisaris atas
kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi kemungkinan kepada anggota DK membebaskan diri dari
keikutsertaan bertanggungjawab pribadi dan solider atas kepailitan Perseroan. Syarat yang
dapat membebaskannya digantungkan pada faktor kemampuan membuktikan hal-hal berikut
ini:
a) Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
b) Telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan
c) Tidak mempunyai kepentingan pribadi, langsung/tidak langsung atas tindakan pengurusan
oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan
d) Telah memberikan nasihat ke direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan tanggung jawab pribadi ini bersifat “kumulatif” bukan bersifat
“alternatif”. Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul tanggungjawab kepailitan
itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu membuktikan hal- hal yang disebutkan
pada a sampai dengan d.
BAB III

PEMBAHASAN

Saat sebuah perusahaan mengalami pailit, akan banyak kreditor yang terlibat dalam proses
tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu. Di dalam
proses kepailitan, kreditor akan terbagi ke dalam 3 macam kreditor, yaitu kreditor separatis,
kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Menurut UU Kepailitan, pembedaan tersebut
berhubungan dengan posisi kreditor bersangkutan dalam proses pembagian harta pailit.
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan, disebut kreditor separatis. Berdasarkan
Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak
istimewa atau hak prioritas. UU No. 37/2004 memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana
diatur di dalam KUH Perdata. Hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang
berpiutang lainnya. Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya
(tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, mereka memiliki
kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang
mereka.

Menurut Pasal 21 UU KUP, negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas
barang-barang milik Penanggung Pajak. Ketentuan dalam pasal ini menetapkan kedudukan
Negara sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik
Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata
disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang
tidak bergerak. Pembayaran kepada Kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Sedangkan dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan juga diatur mengenai
hak mendahulu untuk upah dan hak pekerja/ buruh terhadap utang lainnya jika terjadi
kepailitan.

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, baik UU KUP maupun UU Ketenagakerjaan


memberikan prioritas kepada objek untuk mendapatkan referensi/ hak mendahulu. Yang
menjadi pertanyaan adalah “di antara kedua undang-undang tersebut mana yang
didahulukan”. UU KUP tentu memprioritaskan bahwa utang pajak menjadi yang paling
diprioritaskan sedangkan UU Ketenagakerjaan memprioritaskan pembayaran upah pekerja/
buruh.

Kedudukan utang pajak dalam kepailitan

Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) UU KUP mengatur mengenai hak mendahulu sebagai berikut:
(1) “Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak”.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
terhadap:

a. biaya
perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.

Ketentuan dalam pasal ini menempatkan negara sebagai kreditor preferen yang mempunyai
hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak. Pembayaran kepada kreditur
lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. UU KUP ini juga memberikan kedudukan
istimewa untuk utang pajak melebihi kedudukan semua kreditur dalam kepailitan, termasuk
hak jaminan dan juga mendahulu dari upah buruh dan biaya kepailitan serta kreditur
konkuren.

Ketentuan Pasal 21 UU KUP sejalan dengan Pasal 1137 KUHPerdata yang mengatur
mengenai hak negara sebagai berikut:
“Hak dari kas negara, kantor lelang, dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh
Pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu
berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus mengenai hal-
hal itu”.

Undang-undang khusus yang mengatur hal yang disebutkan dalam Pasal 1137 KUH Perdata
salah satunya adalah UU KUP khususya Pasal 21. Dengan demikian, merujuk ketentuan-
ketentuan tersebut di atas hak negara terhadap pembayaran utang pajak ditempatkan sebagai
pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditur separatis (pemegang hak tanggungan,
gadai, fidusia, hipotik).

Kedudukan Upah Buruh dalam Kepailitan

Dalam UU Ketenagkerjaan juga diatur mengenai hak mendahulu yaitu dalam Pasal 95 ayat
(4) sebagai berikut: “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Dalam penjelasan pasal ini diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan didahulukan
pembayarannya adalah upah pekerja/ buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang
lainnya.

Berdasarkan ketentuan ini, kedudukan pekerja/ buruh adalah sebagai kreditor, maka jika
terjadi kepailitan, hak-hak buruh sama dengan kreditor-kreditor lainnya. Yang menjadi
permasalahan adalah kedudukan buruh sebagai kreditor dalam klasifikasi yang mana
(kreditor separatis, preferen, atau konkuren) karena ini akan menentukan urutan prioritas
pembayarannya.

Pasal 1134 KUH Perdata menjelaskan hak istimewa sebagai berkut:


“Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang
kreditor yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-
mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan Hipotek lebih tinggi daripada hak
istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan
kebalikannya”.

Dalam Pasal 1149 KUH Perdata dijelaskan lebih lanjut mengenai hak istimewa, sebagai
berikut:
“Hak istimewa atas semua benda bergerak dan benda tidak bergerak pada umumnya,
yaitu:
a. …
d. upah para buruh selama tahun lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun
berjalan, beserta uang-uang yang harus dibayar oleh majikan baik kepada buruh
maupun kepada keluarga buruh…”.

Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menempatkan upah buruh dalam kedudukan sebagai
kreditor preferen, karena memiliki hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang. Dari
ketentuan Pasal 1134 KUHPerdata dijelaskan bahwa kreditur pemegang hak gadai dan
hipotek mempunyai tingkatannya lebih tinggi dibandingkan kreditor pemegang hak istimewa,
kecuali undang-undang dengan tegas mengatur sebaliknya. Dengan demikian, apabila UU
Ketenagakerjaan mau mengecualikan bahwa kedudukan hak istimewa lebih tinggi daripada
gadai dan hipotek (kreditor separatis), UU Ketenagkerjaan harus menyatakan secara spesifik
bahwa tingkatannya lebih tinggi daripada gadai dan hipotik. Ketentuan yang menyatakan
bahwa upah buruh tingkatannya lebih tinggi dari kreditor separatis tidak terdapat dalam UU
Ketenagakerjaan. Hal ini mengakibatkan upah pekerja/ buruh kedudukannya di bawah
kreditor separatis.

Ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memang mewajibkan perusahaan yang


pailit harus mendahulukan pemenuhan hak-hak pekerja seperti pesongan dan hak-hak
lainnya. Akibatnya dalam praktik, pengertian kata “didahulukan pembayarannya”
ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan kreditor separatis. Permasalahan
ini yang sering menuai perdebatan jika terjadi kepailitan.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 dikeluarkan karena adanya permohonan


judicial review yang diajukan oleh Ir Otto Geo Diwara Purba, dkk. Dalam permohonannya,
pemohon meminta penafsiran yang tegas terhadap ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan terkait dengan pengertian frasa “didahulukan pembayarannya". Pemohon
menilai pada praktiknya, ketika perusahaan dinyatakan pailit, pembayaran upah untuk pekerja
tidak didahulukan. Yang diprioritaskan adalah hak negara (ditempatkan sebagai pemegang
hak posisi pertama), diikuti oleh kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia,
hipotik). Menurut pemohon, praktik ini terjadi karena kata "didahulukan" dalam UU
ketenagakerjaan ditempatkan setelah pelunasan terhadap hak-hak negara dan para kreditur
separatis yang merujuk pada Buku Kedua, Bab IXI KUHPerdata dan Pasal 21 UU KUP.
Dengan adanya praktik demikian dalam pelaksanaanya, pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) UU
Ketenagkerjaan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum mengingat tidak adanya
penafsiran yang jelas dan tegas mengenai klausula “didahulukan pembayarannya”.

Pada tanggal 30 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan judicial
review tersebut dengan amar putusan sebagai berikut:

1. Pasal 95 ayat(4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh
yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur
separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yangdibentuk Pemerintah,
sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan
termasuk tagihan hak negara,kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah,
kecuali tagihandari kreditur separatis”;
2. Pasal 95 ayat (4) UU tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis
kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan
badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh
lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan
badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”[1]

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sudah jelas apabila terjadi kepailitan,
hak mendahulu atas utang pajak tidak berlaku apabila bertemu dengan upah pekerja/buruh
dan hak-hak pekerja buruh/ lainnya. Hal ini agak berbeda dengan kreditor separatis dimana,
jika ada pembayaran upah pekerja/buru maka kreditor separatis mengalah tapi tidak untuk
pembayaran hak-hak pekerja/ buruh lainnya.

Adapun pertimbangan Majelis Hakim memutus demikian adalah upah pekerja/buruh secara
konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 merupakan hak konstitusional yang
oleh karenanya adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja. Sedangkan mengenai kewajiban/ tagihan terhadap negara, adalah
wajar jika berada diperingkat setelah upah dan hak-hak pekerja/ buruh (seperti uang
pesangon, uang penhargaan masa kerja dan uang penggantian hak dan seterusnya). Hal ini
karena negara mempunyai sumber pembiayaan lain sedangkan bagi pekerja, upah adalah
satu-satunya sumber mempertahankan hidup bagi diri dan keluarganya.

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menempatkan upah pekerja sebagai
prioritas pertama dari pembayaran dalam hal terjadi kepailitan, prioritas selanjutnya hak
negara diharapkan kisruh antara upah buruh dan utang pajak berakhir.

BAB IV

KESIMPULAN

Pembayaran upah pekerja/buruh harus didahulukan dalam kasus kepailitan perusahaan adalah
amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. Dengan adanya putusan ini
mengubah praktik selama ini yang menempatkan upah pekerja/ buruh berada pada utang
pajak.
Kewajiban/ tagihan terhadap negara (termasuk kedudukan utang pajak) berada pada tingkat
setelah upah dan hak-hak pekerja/buruh. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Majelis
Hakim yang berpendapat bahwa negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel
pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya sumber mempertahankan hidup diri
dan keluarganya. Di samping itu pula “upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang
pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya dibayar sebelum kering keringatnya.”
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
1. Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
2. Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
3. Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
4. M. Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.
5. Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang.
6. S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya,
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.
7. Sofjan Sastrawidjaja, 1996, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan
Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung.
8. Zaeni Asyhdie, 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
UNDANG-UNDANG
9. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
11. Kamus
12. Daryanto, 1997, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya.
13. Kamus Hukum Ekonomi, 1997, ELIPS.
JURNAL
14. Adi Nugroho Setiarso, 2013, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam
Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnal tidak
diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
15. Ari Purwandi, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang
Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma
Surabaya, Surabaya.
INTERNET
16. [1] Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, hlm 455.
17. [2] Kamus Hukum Ekonomi, ELIPS, 1997, hlm 105.
18. [3] Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah,
Jurnal tidak diterbitkan, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma
Surabaya, 2011, hal 129.
19. [4] Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam
Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnat tidak
diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013, hlm. 3.
20. [5] Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 1.
21. [6] Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hlm 135
22. [7] Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta,2009, hlm 24.
23. [8] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2007, hlm 16.
24. [9] Penulis menafisrkan tentang syarat-syarat yang ada pada pasal 2 UU No 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
25. [10] Opcit, hlm 74.
26. [11] Ibid, hlm 74.
27. [12] Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 91.
28. [13] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 126-127.
29. [14] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 175-186.
30. [15] Jono, Opcit, hlm 107-108.
31. [16] S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya,
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 160-161.
32. 1[17] Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan
Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung, 1996, hlm. 214.
33. 2[18] M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, hal. 463.
34. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
35. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
36. Undang-Undang Nomor UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
37. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
38. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013

Anda mungkin juga menyukai