Anda di halaman 1dari 51

BAB I

Pendahuluan

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding
Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1 Gagal jantung
adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki
tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat
melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau
edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi
jantung saat istrahat.(1) Prevalensi populasi yang mengalami gagal jantung di dunia
menurut American Heart Association (AHA) pada tahun 2013, saat ini sudah mencapai
lebih dari 23 juta populasi, dan 5,8 juta populasi diantaranya berada di negara Amerika
serikat, dengan populasi yang baru terdiagnosis gagal jantung tiap tahunnya mencapai
>550.000 kasus.(2)

Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013, mengatakan


bahwa angka kejadian gagal jantung di Indonesia yang terdiagnosis dokter mencapai
0.13% populasi, dan yang terdiagnosis dan gejala mencapai 0,3% populasi di Indonesia.
Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi DI Yogyakarta
(0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%). Prevalensi gagal
jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,8%),
diikuti Sulawesi Tengah (0,7%), sementara Sulawesi Selatan dan Papua sebesar 0,5
persen.(3) Berdasarkan laporan terbaru yang diterbitkan oleh Central of Disease Control
and Prevention (CDC) pada tahun 2014, terjadi peningkatan jumlah populasi yang
meninggal akibat gagal jantung, yakni 81,4 per 100.000 populasi menjadi 84 per 100.000
populasi.(4) Penyakit gagal jantung masih menjadi masalah pada populasi di negara
berkembang, salah satunya adalah sebagai beban dalam bidang ekonomi, baik dari segi
perawatan rawat jalan maupun lenght of stay (LOS) atau lama perawatan rawat inap yang

1
lama akan berdampak pada pembiayaan yang meningkat dan berujung pada beban
ekonomi dari masing-masing individu dan keluarga(5). Angka kejadian gagal jantung
yang tiap tahun semakin meningkat serta dampak buruk pada sosioekonomi pasien,
dibutuhkan suatu pemahaman terhadap penyakit ini agar dapat digunakan untuk
menatalaksana gagal jantung dengan baik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Definisi gagal jantung menurut American Heart Association (AHA) adalah suatu
sindrom klinik yang kompleks yang merupakan dampak dari kelainan struktur atau fungsi
jantung dimana jantung mengalami gangguan dalam pengisian ventrikel atau gangguan
pada kemampuan untuk memompa darah. Gagal jantung merupakan suatu sindrom dan
yang dapat terdiagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.2

1.2. Epidemiologi
Prevalensi populasi yang mengalami gagal jantung di dunia menurut American
Heart Association (AHA) pada tahun 2013, saat ini sudah mencapai lebih dari 23 juta
populasi, dan 5,8 juta populasi diantaranya berada di negara Amerika serikat, dengan
populasi yang baru terdiagnosis gagal jantung tiap tahunnya mencapai >550.000 kasus.2
Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013, mengatakan bahwa
angka kejadian gagal jantung di Indonesia yang terdiagnosis dokter mencapai 0.13%
populasi, dan yang terdiagnosis dan gejala mencapai 0,3% populasi di Indonesia.
Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi DI Yogyakarta
(0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%). Prevalensi gagal
jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,8%),
diikuti Sulawesi Tengah (0,7%), sementara Sulawesi Selatan dan Papua sebesar 0,5
persen.3 kejadian gagal jantung paling sering terjadi pada rentang usia 65 tahun- 74 tahun
(0,5%) dan menurun pada usia di atas 75 tahun (0.4%). Terdapat 0.02% pasien yang
mengalami gagal jantung berusia 15-24 tahun. Berdasarkan laporan terbaru yang
diterbitkan oleh Central of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2014,
terjadi peningkatan jumlah populasi yang meninggal akibat gagal jantung, yakni 81,4 per
100.000 populasi menjadi 84 per 100.000 populasi.4- Penyebab kematian paling sering
pada pasien dengan gagal jantung mengarah pada penyakit jantung koroner / coronary

3
heart disease (CHD), yakni sebanyak 23,9% pasien, sedangkan sebanyak 41,2%
disebabkan oleh karena komplikasi jantung lainnya, dan 34,9% akibat komplikasi non-
jantung.
1.3. Klasifikasi

Klasifikasi gagal jantung dibagi berdasarkan kelainan struktural dan kelainan


fungsional jantung. Terdapat dua klasifikasi derajat kelainan gagal jantung, yakni
berdasarkan American College of Cardiology Foundation (ACCF) atau American Heart
Association (AHA), dan New York Heart Association (NYHA). Derajat gagal jantung
berdasarkan ACCF/AHA berguna untuk melihat adanya progresifitas dari penyakit gagal
jantung, sedangkan klasifikasi menurut NYHA berfokus pada kapasitas dalam
beraktivitas dan berat ringan gejala yang berdampak pada aktivitas sehari-hari(6).

Tabel 1. Derajat Gagal jantung menurut ACCF/AHA5

Derajat gagal jantung menurut ACCF/AHA


A Pasien risiko tinggi gagal jantung, tanpa adanya kelainan struktural atau
gejala gagal jantung
B Pasien dengan kelainan struktural jantung tanpa adanya gejala gagal
jantung
C Pasien dengan kelainan struktural jantung disertai dengan adanya gejala
gagal jantung
D Gagal jantung refrakter yang membutuhkan intervensi ahli

Tabel 2. Derajat gagal jantung fungsional menurut NYHA5

Derajat gagal jantung fungsional menurut NYHA


Kelas I Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas. Aktivitas biasa tidak
menyebabkan kelelahan, sesak napas atau palpitasi

4
Kelas II Adanya keterbatasan minimal pada aktivitas fisik. Aktivitas biasa dapat
menyebabkan kelelahan, sesak napas, palpitasi atau angina, hilang
dengan istirahat
Kelas III Adanya keterbatasan aktivitas fisik yang bermakna. Aktivitas fisik yang
lebih ringan dari biasanya dapat memunculkan gejala klinis gagal
jantung, hilang dengan istirahat.
Kelas IV Selalu merasakan gejala gagal jantung saat beraktivitas fisik dalam
bentuk apapun, cepat sesak napas, palpitasi atau angina, gejala menetap
walaupun dalam keadaan istirahat

Gagal jantung sering juga diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan penurunan
fungsi sistolik (fraksi ejeksi) atau dengan gangguan fungsi diastolik (fungsi sistolik atau
fraksi ejeksi normal), yang selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with
Preserved Ejection Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial remodeling juga akan
berlanjut dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung.1
Gagal Jantung Diastolik
Terdapat beberapa patofisiologi yang dapat menjelaskan kejadian gagal jantung
diastolik, yakni menurut Brutsaert dkk. mendefinisikan gagal jantung diastolik sebagai
suatu kondisi dimana adanya kesulitan dalam pengisian salah satu atau kedua ventrikel
jantung, yang mengarah pada keadaan kongestif dan terjadi peningkatan tekanan diastol.
Menurut Zile dan Brutsaert mendefinisikan gagal jantung diastolik sebagai suatu kelainan
ketidakmampuan ventrikel untuk menampung darah dengan volume yang adekuat saat
fase diastol pada keadaan tekanan diastol dan volume darah yang normal untuk
mempertahankan stroke volume yang normal.(7)
Gagal Jantung Sistolik
Gagal jantung sistolik didefinisikan sebagai abnormalitas fungsi jantung yang tidak
dapat memompa darah secara adekuat untuk mempertahankan metabolisme, yang
berhubungan dengan suatu kelainan ritme ventrikel sehingga terjadi penurunan toleransi
aktivitas fisik dan mengurangi harapan hidup seseorang6

5
Gambar 1. Gagal jantung sistolik (kiri) dan diastolik (kanan)

1.4. Patofisiologi
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan timbul
dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang
menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan
aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk
mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal
perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan
menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal
jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.
a. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas
adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf
adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan
kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan
kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk
menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi
aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal

6
untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi akan
meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya
menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama
latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar
dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya
respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin
akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.
b. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-
Aldosteron
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium
dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang
mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung
masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah
jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut:
• Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
• Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
• Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensinI
• Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
• Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
• Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
• Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah.
c. Hipertrofi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan
kekuatan kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala,

7
meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi
cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas
menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik.
Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan memperbesar
resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena dilatasi
ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium
juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut
akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan
kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan
gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan
ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung.8
1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat


latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya
muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi
terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas
yang lebih ringan. Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu
sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan
adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan
gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain.
Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak
merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk
memenuhi kebutuhan oksigen.

 Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang
paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat
kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru. Meningkatnya tahanan
aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang

8
berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi
edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea
saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-
bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral. Reabsorpsi cairan interstisial
dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih
lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru
intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.

 Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.

 Timbulnya rhonki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas
dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru
karena pengaruh gaya gravitasi.

 Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat
distensi vena.

 Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher
mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat
menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.

 Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan
kapsula hati.

 Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.

9
 Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema
mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam
hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi
cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu
berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.

 Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara
klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini
dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal
jantung kanan yang nyata.

Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat
iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan
merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.8,9
1.6. Diagnosis

Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.8

Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif, yakni terdapat
kriteria mayor dan kriteria minor8.

Kriteria Major :

1. Paroksismal nokturnal dispnea 5. Edema paru akut


2. Distensi vena leher 6. Gallop S3
3. Ronki paru 7. Peninggian tekana vena jugularis
4. Kardiomegali 8. Refluks hepatojugular

Kriteria Minor :

10
1. Edema eksremitas 5. Efusi pleura
2. Batuk malam hari 6. Penurunan kapasitas vital 1/3
3. Dispnea d’effort dari normal
4. Hepatomegali 7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major
dan 2 kriteria minor.

Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung (Tabel 3).Abnormalitas
EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG
normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<
10%).
Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks dapat
mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau
infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas (Tabel 4). Kardiomegali
dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.

11
Tabel 3. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung

12
Tabel 4. Abnormalitas foto thoraks yang umum ditemukan pada gagal jantung

13
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan
laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum
diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik
dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosterone.
Tabel 5. Abnormalitas Laboratorium yang umum ditemui pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis
Peningkatan kreatinin Penyakit ginjal, ACEI, Hitung GFR,
serum (>150 micromol/L) ARB, Antagonis aldosteron pertimbangkan mengurangi
dosis
ACEI/ARB/Antagonis
aldosteron, periksa kadar
kalium dan BUN
Anemia (Hb <13 gr/dL Gagal jantung kronik, Telusuri penyebab,
pada laki-laki, <12 g/dl gagal ginjal, hemodilusi, pertimbangkan terapi
pada perempuan) kehilangan besi atau
penggunaan zat besi
terganggu, penyakit kronik
Hiponatremia (<135 Gagal jantung kronik, Pertimbangkan retriksi
mmol/L) hemodilusi, pelepasan cairan, kurangi dosis
AVP (Arginine diuretik, ultrafiltrasi,
Vasopressin), diuretik antagonis vasopressin
Hipernatremia (>150 Hiperglikemia, dehidrasi Nilai asupan cairan, telusuri
mmol/L) penyebab

14
Hipokalemia (<3,5 Diuretik, Risiko aritmia,
mmol/L) hiperaldosteronisme pertimbangkan suplemen
sekunder kalium, ACEI/ARB,
antagonis aldosteron
Hiperkalemia (5,5 Gagal ginjal, suplemen Stop obat-obat hemat
mmol/L) kalium, penyekat sistem kalium (ACEI/ARB,
renin-angiotensin- antagonis aldosterone),
aldosteron nilai fungsi ginjal dan pH,
risiko bradikardia
Hiperurisemia (>500 Terapi diuretik, gout, Allopurinol, kurangi dosis
micromol/L keganasan diuretik
BNP<100 pg/mL, NT Tekanan dinding ventrikel Evaluasi ulang diagnosis
proBNP <400 pg/ml normal bukan gagal jantung jika
terapi tidak berhasil
BNP <400 pg/mL, NT Tekanan dinding ventrikel Sangat mungkin gagal
proBNP >2000 pg/mL meningkat jantung
Kadar albumin tinggi (>45 Dehidrasi, mieloma Rehidrasi
g/L)
Kadar albumin rendah Nutrisi buruk, kehilangan Cari penyebab
(<30 g/L) albumin melalui ginjal
Peningkatan transaminase Disfungsi hati, gagal Cari penyebab, kongesti
jantung kanan, toksisitas liver, pertimbangkan
obat kembali terapi
Peningkatan troponin Nekrosis miosit, iskemia Evaluasi pola peningkatan
berkepanjangan, gagal (peningkatan ringan sering
jantung berat, miokarditis, terjadi pada gagal jantung
sepsis, gagal ginjal, emboli berat). Angiografi koroner,
paru evaluasi kemungkinan
revaskularisasi

15
Tes tiroid abnormal Hiper / hipotiroidisme, Terapi abnormalitas tiroid
amiodaron
Urinalisis Proteinuria, glikosuria, Singkirkan kemungkinan
bakterinuria infeksi
INR > 2.5 Overdosis antikoagulan, Evaluasi dosis
kongesti hati antikoagulan, nilai fungsi
hati
CRP > 10 mg/L Infeksi, inflamasi Cari penyebab
lekositosis neutrofilik

Peptida Natriuretik
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptida
natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien,
dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi.
Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai
prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebab gejala- gejala yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil.
Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respon
peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang
panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar
peptida natriuretik.
Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin
kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal
jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

16
Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung
termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler
imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi
ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HFPEF/ heart failure
with preserved ejection fraction)
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi
ejeksi > 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal /
kekakuan diastolik)
Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat
(obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup, pasien endokardits,
penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial appendagepada
pasien fibrilasi atrial.
Ekokardiografi beban
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard pada
keadaan hipokinesis atau akinesis berat.
Tabel 6. Abnormalitas pada ekokardiografi yang umum didapatkan pada gagal jantung
Pengukuran Abnormalitas Implikasi klinis
Fraksi ejeksi ventrikel kiri, Menurun (<40%) Disfungsi sistolik

17
Fungsi ventrikel kiri, Akinesis, hipokinesis, Infark/iskemia miokard,
global dan fokal diskinesis kardiomiopati, miokarditis
Diameter akhir diastolik Meningkat (55 mm) volume berlebih, sangat
(end diastolik diameter mungkin gagal jantung
(EDD)
Diameter akhir sistolik Meningkat (>45 mm) Volume berlebih, sangat
(end-systolic diameter mungkin disfungsi sistolik
(ESD)
Fractonal shortening Menurun (<25%) Disfungsi sistolik
Ukuran atrium kiri Meningkat (> 40 mm) Peningkatan tekanan
pengisisan, disfungsi katup
mitral, fibrilasi atrial
Ketebalan ventrikel kiri Hipertrofi (> 11-12 mm) Hipertensi, stenosis aorta,
kardiomiopati hipertrofi
Struktur dan fungsi katup Stenosis atau regurgitasi Mungkin penyebab primer
katup (terutama stenosis atau sebagai komplikasi
aorta dan insufisiensi gagal jantung, nilai gradien
mitral) dan fraksi regurgitan, nilai
konsekuensi
hemodinamik,
pertimbangan operasi
Proffil aliran diastolik Abnormalitas pola Menunjukkan disfungsi
mitral pengisian diastolik dini dan diastolik dan kemungkinan
lanjut mekanismenya
Kecepatan puncak Meningkat (>3 m/detik) Peningkatan tekanan
regurgitasi trikuspid sistolik ventrikel kanan,
curiga hipertensi pulmonal
Perikardium Efusi hemoperikardium, Pertimbangkan tamponade
penebalan perikardium jantung, uremia, keganasan

18
penyakit sistemik,
perikarditis akut atau
kronik. Perikarditis
konstriktif
Aortic outflow velocity Menurun (<15 cm) Isi sekuncup rendah atau
time integral berkurang
Vena cava inferior Dilatasi, retrogade flow Peningkatan tekanan
atrium kanan, disfungsi
ventrikel kanan, kongestif
hepatik

1.7. Tatalaksana
a. Non-farmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi
Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertmbangan dokter
Asupan cairan

19
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua
pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis
(kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)
Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas rekomendasi
I, tingkatan bukti C)
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah
sakit atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A)
Aktvitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan
pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat (kelas rekomendasi III, tingkatan bukti B)

b. Tata Laksana Farmakologi


Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting
untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid
kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai.

20
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,
dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. Angiotensin converting enzyme Inhibitor
(ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian
penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan
atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik
tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti
menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat
Inisiasi pemberian ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACEI
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Dosis
titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit .

21
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

22
PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Keuntungan utama
terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien
dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai
dibandingkan injeksi.
Indikasi pemberian penyekat β
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat β
 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)
Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung
 Inisiasi pemberian penyekat β
 Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati.
Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit)

23
 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β:
 Hipotensi simtomatik
 Perburukan gagal jantung
 Bradikardia
ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung
Inisiasi pemberian spironolakton
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 - 8 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis.

24
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:
 Hiperkalemia
 Perburukan fungsi ginjal
 Nyeri dan/atau pembesaran payudara
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI
dan penyekat β dosis optimal,kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan
ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif
pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama
ACEI
Cara pemberian ARB pada gagal jantung
Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Naikan dosis secara titrasi

25
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikan
dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat ditoleransi
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali.
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB:
 Sama seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk
Tabel 7. Rekomendasi terapi farmakologis untuk semua pasien gagal
jantung sistolik simtomatik (NYHA fc II-IV)

HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-
ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB.
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi

26
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β
dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg dan
ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN:
 Hipotensi simtomatik
 Nyeri sendi atau nyeri otot

DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap
angka kelangsungan hidup.
Cara pemberian digoksin pada gagal jantung
Inisiasi pemberian digoksin

27
 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125 atau
0,0625 mg, 1 x/hari
 Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi
digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron, diltiazem,
verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
 Blok sinoatrial dan blok AV
 Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat warna
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia
(kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung
 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena
efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi
keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten
 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda
kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan
terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik minimal

28
Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tanda-
tanda klinis dari retensi cairan

29
Tabel 8. Dosis obat yang umumnya dipakai pada keadaan gagal jantung

Tabel 9. Dosis diuretik yang umumnya dipakai pada keadaan gagal jantung

30
Gambar 2. Algoritma penatalaksaan gagal jantung kronik simptomatik

31
1.8. Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang,
tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari
5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala
berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri
berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas
(konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder,
hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat
gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia
ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau
bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung
progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium
lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat
cermat.10

32
BAB III
Laporan Kasus
Identitas Pasien
 Nama : Tn. UK
 Umur : 57 tahun
 Tanggal lahir : 01 Mei 1959
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Agama : Protestan
 Alamat : Bonipoi
 Suku : Timor
 Status pernikahan : Sudah menikah
 Pekerjaan : Pensiunan
 Pendidikan terakhir : S1
 Dirawat menggunakan : BPJS
 Tanggal masuk UGD : 10 November 2017 (22:30 WITA)
 Tanggal MRS ruangan : 11 November 2017 (11:20 WITA)
 No. MR : 11-79-34

Anamnesis (14/11/2017 di ruang rawat inap Teratai)


Keluhan Utama : sesak nafas yang dialami sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang : pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas yang
dialami pasien sejak 3 jam sebelum rumah sakit. Pasien mengatakan sesak nafas yang
dialami pasien muncul mendadak saat pasien sedang duduk dalam acara kedukaan. Sesak
dialami terus menerus dan memberat selama pasien dibawa dari tempat kejadian ke IGD.
Sesak nafas berupa kesulitan atau terasa berat untuk menarik nafas karena pasien merasa
dadanya penuh. Pasien mengatakan sesaknya berkurang sedikit pada saat pasien duduk
dan bertambah berat saat pasien dalam posisi tidur terlentang. Sesak nafas yang dialami
pasien berkurang saat pasien tiba di IGD dan mendapat pengobatan berupa obat-obatan
dan masker oksigen. Tidak ada riwayat penurunan kesadaran saat pasien sesak nafas.

33
Tidak ada riwayat nyeri dada atau berdebar-debar saat pasien sesak. Tidak ada riwayat
batuk atau pilek sebelum maupun saat pasien sesak. Tidak ada riwayat demam
sebelumnya. Muntah dialami 1 kali, dengan volume yang menurut pasien lumayan
banyak, ± 1,5 gelas aqua, berisi makanan yang baru dimakan pasien. Makan dan minum
pasien baik. BAB pasien saat ini terhambat, sudah 5 hari pasien tidak BAB, BAK pasien
baik, yakni frekuensi BAK 6-7 kali perhari dan produksi urin yang banyak per satu kali
BAK. Saat dirumah, pasien mengaku tidak pernah melakukan aktivitas yang berat karena
pasien cenderung cepat lelah saat pasien bekerja.
Riwayat penyakit dahulu : pasien mempunyai riwayat serangan jantung dan nyeri dada
hebat pada ± 7 tahun yang lalu, sempat kehilangan kesadaran dan dirawat di rumah sakit.
Pasien mengatakan sudah sering mengalami gejala yang sama seperti saat ini dan
berulang kali dirawat di rumah sakit akibat sesak nafas yang dialami pasien. Pasien
mempunyai riwayat terkena stroke ± 6 tahun yang lalu yang menyebabkan pasien berhenti
bekerja karena tangan kiri dan kaki kiri pasien mengalami kelemahan. Pasien pernah
didiagnosis dengan gagal ginjal pada ± 2 tahun yang lalu dan direncanakan untuk
dilakukan hemodialisa, namun pasien menolak. Riwayat hipertensi (+) terkontrol, namun
pasien lupa nama obatnya, riwayat DM (-).

Riwayat Pengobatan : pasien kontrol rutin di Poli Jantung RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes kupang karena sakit jantungnya. Obat yang dia dapatkan untuk sakit jantungnya
adalah Ramipril 1 x 2,5 mg, ISDN 3x 5 mg, Furosemide 2 x 40 mg, dan simvastatin 1 x
10 mg. Pasien juga dalam pengobatan dibagian penyakit dalam dengan perawatan asam
urat pasien, dan mendapatkan obat asam folat, allopurinol dan domperidone.

Riwayat penyakit keluarga : pasien mengatakan kedua orang tua pasien mempunyai
riwayat hipertensi, dan kedua orang tua pasien meninggal akibat serangan jantung.

Riwayat kebiasaan : sebelum sakit, pasien mengatakan sering merokok sejak pasien
remaja hingga pasien sakit. Pasien juga sering mengonsumsi minuman keras. Selama
hidup pasien, pasien jarang mengonsumsi sayur-sayuran dan lebih memilih mengonsumsi

34
daging seperti daging sapi dan babi. Pasien mengaku tidak terlalu sering berolahraga,
namun kata pasien, pekerjaan pasien sudah membuat pasien lelah.

Pemeriksaan Fisik (14/11/2017 di ruang rawat inap Teratai)

 Keadaan umum : tampak sakit sedang


 Kesadaran : compos mentis, GCS = E4V5M6
 Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 62x/menit, kuat angkat, irreguler
 Suhu : 36,8oC
 Pernapasan : 22x/menit
 Saturasi Oksigen : 99%
 Rambut : tampak warna kehitaman dengan sedikit uban, tidak mudah dicabut
 Kulit : tampak pucat (-), kuning (-), dilatasi vena (-)
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Mulut : mukosa bibir lembab, sianosis (-)
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP = R + 2
 Thorax :
 Anterior :
- Inspeksi : pengembangan dada simetris dextra et sinistra secara statis maupun
dinamis, retraksi (-), dilatasi vena (-)
- Palpasi : nyeri tekan (-), taktil fremitus Dextra = Sinistra
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru anterior
- Auskultasi: Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - -
+ + - - - -
+ + - - - -

35
 Posterior :
- Inspeksi : pengembangan dada simetris dextra et sinistra secara statis maupun
dinamis, retraksi (-), dilatasi vena (-)
- Palpasi : nyeri tekan (-), taktil fremitus Dextra = Sinistra
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru anterior
- Auskultasi: Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - -
+ + - - - -
+ + - - - -

 Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 6 midclavicula sinistra
Perkusi : Batas kanan atas ICS 2 parasternal dextra
Batas kanan bawah ICS 5 parasternal dextra
Batas kiri atas ICS 2 parasternal sinistra
Batas kiri bawah ICS 6 midclavicula sinistra

Auskultasi : BJ 1,2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen:
Inspeksi : datar, distensi (-), venektasi (-), jejas (-), terdapat tatto berbentuk
naga di perut pasien
Auskultasi : Bising usus (+) 6x/menit, bruit hepatik (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Jejas (-), Edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik

36
Tabel 10. Hasil lab (Darah rutin, Gula darah sewaktu, Faal Ginjal, Elektrolit tanggal 10-
11-2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Hb 14,0 g/dL 13.0 – 18.0
Jumlah eritrosit 4,45 L 10^6/uL 4.80 – 6.90
Hematokrit 38.5 L % 40.0 – 54.0
MCV 86.3 fL 81.0 – 96.0
MCH 31.5 Pg 27.0 – 36.0
MCHC 36,5 g/L 31.0 – 37.0
Jumlah Lekosit 8.95 10^3/ul 4.0 – 10.0
Eosinofil 1.3 % 0–4
Basofil 0.2 % 0–1
Neutrofil 81.1 H % 30 – 80
Limfosit 9.8 L % 20 – 60
Monosit 7.6 % 2 – 15
Jumlah trombosit 203 10^3/ul 150 – 400
Glukosa Sewaktu 119 Mg/dl 70-150
Ureum darah 68.48 H Mg/dl <48
Creatinin darah 1.71 H Mg/dl 0,7-1.3
Natrium darah 135 mmol/ml 132-147
Kalium darah 3.9 mmol/ml 3.5-4.5
Clorida darah 106 mmol/ml 98-111
Calcium Ion 1.030 L mmol/ml 1.120-1.320

37
Kimia darah (14-11-2017)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Protein total 6,7 g/dL 3,4 -5,0
Albumin 3,7 mg/L 3,5-5,2
Globulin 3,0 g/dL 2,8-3,1
Rasio alb/glob 1,2 ≥1
Trigliserida 139 mg/dL <150
Kolesterol total 234 mg/dL <200
HDL Kolesterol 45 mg/dL ≥40
LDL Kolesterol 169 mg/dL <115
Asam Urat 9,5 mg/dL 1,9-7,9

Hasil EKG pasien (10-11-2017)

38
39
Follow Up
Hari/ Subjektif Objektif Assesment Planning
Tanggal
13-11- Saat ini pasien mengeluhkan nyeri dada, namun Keadaan umum: tampak sakit - Congestive Heart Failure Diagnosis : Profil lipid, asam
2017 sudah berkurang dibandingkan saat pertama kali ringan - Left Bundle Branch Block urat
datang ke IGD, sesak pasien juga sudah berkurang, Kesadaran : compos mentis Terapi :
dan pasien masih mengeluhkan nyeri ulu hati Tanda-tanda Vital : ISDN 3x 5mg
pasien. Mual/muntah (-), makan minum baik, BAB Tekanan darah : 120/80 Allopurinol 1x100 mg
dan BAK baik. Nyeri pada jari-jari kaki (+) mmHg Furosemide 2x 40 mg
Nadi : 84x/menit, regular Ramipril 1x 2,5 mg
Suhu : 37,2oC Simvastatin 1x10 mg
Pernapasan : 20x/menit Clopidogrel 1x75 mg
Mata : Konjungtiva anemis (-
/-), sklera ikterik (-/-)
Leher: pembesaran KGB (-),
JVP R +3
Cor: S1S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-)

40
Pulmo: Vesikuler (+/+),
rhonki minimal pada basal
paru, wheezing (-/-)
Abdomen: tampak datar,
distensi (-), Bsising usus (+),
kesan normal, thympani,
Nyeri tekan (+) pada regio
epigastrium, massa (-)
Ekstremitas: akral hangat,
edema (+) pada kedua
tungkai bawah, CRT <2”
EKG Terlampir
14-11- Pasien saat ini tidak ada keluhan pada bagian Keadaan umum: tampak sakit - Congestive Heart Failure Terapi :
2017 jantung, namun pasien masih mengeluhkan nyeri- ringan - Left Bundle Branch Block ISDN 3x 5mg
nyeri pada kaki pasien Kesadaran : compos mentis Allopurinol 1x100 mg
Tanda-tanda Vital : Furosemide 1 x 40 mg
Tekanan darah : 100/70 Ramipril 1 x 2,5 mg
mmHg Simvastatin 1x20 mg
Nadi : 78x/menit, regular Clopidogrel 1x75 mg
Suhu : 36,8oC

41
Pernapasan : 18x/menit
Mata : Konjungtiva anemis (-
/-), sklera ikterik (-/-)
Leher: pembesaran KGB (-),
JVP R +3
Cor: S1S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo: Vesikuler (+/+),
rhonki(-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: tampak datar,
distensi (-), Bsising usus (+),
kesan normal, thympani,
Nyeri tekan (+) pada regio
epigastrium, massa (-)
Ekstremitas: akral hangat,
edema (-), CRT <2”
EKG Terlampir

42
Lampiran EKG (13-11-2017)

43
Lampiran EKG (14-11-2017)

44
Foto Thorax (21-11-2017)

45
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang pasien laki-laki berusia 57 tahun datang ke IGD dengan keluhan sesak
nafas yang dialami pasien sejak 3 jam sebelum rumah sakit. Sesak yang dialami oleh
pasien terjadi mendadak saat pasien sedang beristirahat. Sesak semakin memberat saat
pasien dalam posisi berbaring. Keluhan ini disertai dengan adanya mual dan muntah.
Pasien juga mengatakan bahwa hal ini sudah sering terjadi dan pasien sudah sering masuk
keluar rumah sakit dengan penyakit yang sama dan dialami pasien sejak 7 tahun yang
lalu. Pada 7 tahun yang lalu pasien mempunyai riwayat serangan jantung dan nyeri dada
yang menyebabkan pasien tidak sadarkan diri saat terjadi serangan. Semenjak pasien
sakit, aktivitas pasien mulai terbatas pada aktivitas-aktivitas sedang, karena pasien akan
merasakan sangat kelelahan saat pasien beraktivitas berat. Pasien mempunyai riwayat
tekanan darah tinggi sejak lama, dan selalu kontrol teratur dengan minum obat. Pasien
merupakan perokok aktif sejak pasien remaja dan stop saat pasien terkena serangan
jantung 7 tahun yang lalu. Pasien juga lebih sering makan daging-dagingan dibandingkan
makan sayur atau buah-buahan, karena diakui pasien bahwa pasien tidak suka makan
sayur. Saat masuk IGD yang kali ini, pasien mengatakan mempunyai riwayat bengkak
pada kedua kaki pasien, namun sudah berkurang saat diberikan obat di IGD. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya perbesaran jantung.
Dyspnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum. Dyspnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti
vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga
menimbulkan dyspnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti
vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dyspnea
juga berkembang progresif. Dyspnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari
gagal jantung kiri. Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan
dalam ruang interstisial, yang diakibatkan oleh adanya kongestif pada sistem vaskular
pulmonal yang berlanjut pada kongestif pada jantung kanan. Keadaan ini dapat
menyebabkan resistensi aliran darah balik di perifer meningkat dan tekanan hidrostatik

46
juga akan meningkat, yang menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke daerah
interstisial sehingga terjadi edema, disertai dengan adanya aktivasi RAS dari ginjal akibat
respon dari cardiac output yang menurun, menyebabkan terjadinya retensi cairan dan
natrium.
Riwayat serangan jantung merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal jantung
kronik dikemudian hari. Proses terjadinya iskemik atau infark pada otot jantung akibat
dari penyumbatan trombus saat serangan jantung, akan menyebabkan kerja jantung yang
terkena iskemik akan menurun. Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark
miokard, maka kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai
akibatnya akan timbul dua efek utama yakni penurunan curah jantung, dan bendungan
darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan
aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk
mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal
perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan
menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal
jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.
Merokok berkontribusi besar pada kematian akibat dari penyakit kardiovaskular.
Kandungan dalam rokok berisikan zat-zat kimia beracun, seperti nikotin, karbon
monoksida, dan beberapa zat-zat oksidan yang merupakan penyebab penyakit
kardiovaskular. Zat-zat kimia tersebut akan menyebabkan kerusakan pada sel endotel
pembuluh darah, inflamasi, dyslipidemia, dan keadaan hiperkoagulasi darah, yang akan
berlanjut pada agregasi sel-sel darah akibat reaksi inflamasi pada jaringan endotel
pembuluh darah dan menjadi aterosklerosis
Pada pemeriksaan penunjang, dari hasil pemeriksaan laboratorium terutama pada
bagian kimia darah, didapatkan adanya peningkatan kolesterol total yakni 234 mg/dl ,
serta didapatkan adanya peningkatan kadar low density lipoprotein (LDL) serum yakni
169 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG ditemukan adanya gambaran left bundle branch block

47
(LBBB). Pada pemeriksaan rontgen thorax, didapatkan adanya gambaran cardiomegaly
dengan dasar jantung kiri tertanam menandakan adanya hipertrofi ventrikel kiri.
Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid akibat interaksi
faktor genetik dan faktor lingkungan. Terdapat bukti kuat hubungan antara kolesterol
LDL dengan kejadian kardiovaskular, yakni dapat terbentuknya plak akibat dari
penumpukan jaringan lemak pada pembuluh darah dan dapat terbentuk plak ateroma.
Pada keadaan tertentu plak akan terlepas dan menyebabkan thrombus pada pembuluh
darah koroner. berdasarkan studi luaran klinis sehingga kolesterol LDL merupakan target
utama dalam tatalaksana dislipidemia.11 Pada pasien ini diberkan intervensi pengobatan
untuk mengatasi dislipidemia berupa peningkatan LDL dengan obat golongan statin yakni
simvastatin dengan dosis 10 mg/hari. Statin adalah obat pilihan penurun konsentrasi
kolesterol LDL dan digunakan sampai dosis terbesar yang dapat ditoleransi untuk
mencapai target konsentrasi kolesterol LDL.11 Statin juga berfungsi sebagai pleutropik,
yakni mencegah plak yang sudah terbentuk pada pembuluh darah koroner agar ukuran
tidak bertambah dan mencegah plak terlepas dan bebas dalam pembuluh darah. Terapi
statin dosis tinggi dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100
mg/dL. LBBB pada hasil bacaan EKG dapat diinterpretasikan sebagai suatu masalah
konduksi listrik dimana terjadi blok pada jalur impuls listrik ke ventrikel kiri (left bundle
branch) akibat dari kerusakan saraf dan salah satunya dapat disebabkan oleh karena
iskemik atau infark pada daerah tempat terjadi blok. Hal ini dapat dikaitkan dengan
riwayat pasien yang pernah mengalami serangan jantung pada tahun 2010 lalu, yakni
disebabkan oleh karena ada penyumbatan pada pembuluh darah koroner yang
memvaskularisasi daerah tersebut, sehingga terjadi iskemik dan kerusakan pada saraf di
left bundle branch dan terjadi blok disitu. Pada hasil pemeriksaan foto rontgen thoraks,
didapatkan adanya gambaran cardiomegaly. Salah satu respon kompensatorik dari gagal
jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi
miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel untuk
memenuhi kebutuhan perfusi organ-organ perifer.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan

48
kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan
kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen
miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut
akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya.
Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban
miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.8
Pasien ini mendapatkan pengobatan ISDN 3 x 5mg, Allopurinol 1x100 mg
Furosemide 2x 40 mg, Ramipril 1x 2,5 mg, Simvastatin 1x10 mg, Clopidogrel 1x75 mg.
Pemberian ISDN (isosorbit dinitrat) berfungsi sebagai vasodilator, terutama pada
pembuluh darah koroner. Vasodilator bertujuan agar menjaga oksigenasi dan aliran darah
pada otot jantung tetap optimal serta mencegah terjadinya trombus atau penyumbatan
pada pembuluh darah koroner. Allopurinol pada pasien ini diberikan atas dasar keluhan
nyeri pada kaki pasien dan didukung dengan hasil lab yang menyatakan adanya
peningkatan pada kadar asam urat, sehingga diberikan intervensi obat allopurinol untuk
menurunkan kadar asam urat pasien, yakni menghambat xanthine oksidase dan
menghambat produksi asam urat berlebih. Pemberian furosemide sebagai diuretik pada
kasus gagal jantung kronik simtomatik bertujuan untuk mengurangi retensi cairan dan
kelebihan cairan extraselular dengan cara menurunkan absorbsi natrium dan klorida,
sehingga natrium dan klorida yang terikat dengan air dapat di eksresi dan mengurangi
volume cairan. Dosis awal furosemide diberikan adalah 20-40 mg IV dan dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 40-240 mg PO. Penggunaan furosemide pada keadaan akut
bertujuan untuk mengurangi cairan pada paru-paru agar ruang alveolus yang terisi cairan
dapat kosong sehingga dapat terjadi pertukaran udara, serta mengurangi edema perifer.
Pemberian ramipril (ACEI) harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Angiotensin converting enzyme
Inhibitor (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian

49
penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan
atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik
tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti
menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
Clopidogrel sebagai antiplatelet agent berfungsi agar tidak terjadi agregasi dari
platelet, sehingga mencegah terjadinya trombus. Pada pasien dengan riwayat serangan
jantung, wajib diberikan intervensi antiplatelet agent rutin agar tidak terjadi episode
serangan jantung yang lain. Pemberian clopidogrel dapat dikombinasikan dengan obat
golongan asam asetilsalysilat seperti aspirin untuk mencegah terbentuknya trombus
dalam waktu 1 tahun post serangan jantung pertama, setelah itu dapat dilanjutkan dengan
hanya satu jenis anti platelet agent.

50
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKI. Pedoman tatalaksana gagal jantung. 2015;
2. Roger VL. Heart Failure Compendium Epidemiology of Heart Failure. 2013;646–
60.
3. KEMENKES RI. RISET KESEHATAN DASAR. 2013;
4. Brauser D. CDC : Heart-Failure – Related Mortality Rate Climbs After Decade-
Long Decrease. 2017;2016–7.
5. Ponikowski P, Krum H. Heart failure. Eur Soc Cardiol. 2014;
6. Butler J, Casey DE, Drazner MH, Fonarow GC, Geraci SA, Horwich T, et al. 2013
ACCF / AHA Guideline for the Management of Heart Failure : Executive
Summary. JAC [Internet]. Elsevier; 2013;62(16):1495–539. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jacc.2013.05.020
7. Kanu C. Diastolic and Systolic Heart Failure — Similarities and Differences –
Part I. 1980;5–10.
8. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. h. 1638-45.

9. Djojodibroto R Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta. h. 132-5.

10. Rani A A, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. h. 83-
6.

51

Anda mungkin juga menyukai