Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

DENGUE BERDARAH DENGUE GRADE III?/DENGUE SHOCK


SYNDROME?

Oleh:
Maghfira Ulfha V.P, S.Ked
Mandeep Singh, S.Ked

Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, SpA(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
DENGUE BERDARAH DENGUE GRADE III?/DENGUE SHOCK
SYNDROME?

Oleh:
Maghfira Ulfha V.P, S.Ked
Mandeep Singh, S.Ked

Pembimbing
dr. Silvia Triratna, SpA(K)

Telah diterima sebagai salah satu dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit
Umum Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, Februari 2017

Pembimbing

dr. Silvia Triratna, SpA(K)

2
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera,
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya lah laporan kasus yang
berjudul” DENGUE BERDARAH DENGUE GRADE III?/DENGUE
SHOCK SYNDROME?”ini dapat diselesaikan dengan baik.
Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Silvia Triratna, SpA(K), sebagai dosen pembimbing
2. Rekan-rekan seperjuangan yang turut meluangkan banyak waktu dalam membantu
proses penyelesaian laporan kasus ini.
3. Semua pihak yang telah ikut membantu proses penyusunan laporan kasus hingga
laporan kasus ini selesai.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan. Sehingga apabila ada kritik dan saran dari
semua pihak maupun pembaca untuk kesempurnaan laporan kasus ini, penulis mengucapkan
banyak terimakasih.

Palembang, Februari 2017

Penulis

3
BAB I
STATUS PEDIATRIK

I. IDENTIFIKASI
Nama : MRZ
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat badan : 40 kg
Panjang badan : 158 cm
Agama : Islam
Bangsa : Sumatera Selatan
Alamat : Talang Kelapa, Banyuasin
MRS : 23 Februari 2017 (18.30 WIB)

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 24 Februari 2017, diberikan oleh ibu pasien)

Keluhan utama : Binti merah di kulit tangan


Keluhan tambahan : Demam, muntah, BAB cair, tangan dan kaki dingin
Riwayat Perjalanan Penyakit
Lima hari SMRS anak mengeluh demam tinggi mendadak terus menerus. batuk
(+), berdahak (-), pilek (-), nyeri kepala (+), sesak napas (-), mual(-), muntah (-), gusi
berdarah (-), mimisan (-), nyeri menelan (-), bintik merah di kulit (-), nyeri perut (-), nyeri
sendi (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian pasien dibawa berobat ke klinik,
disana suhu mencapai 39,5 ˚c di beri obat penurun panas , tetapi tidak ada perubahan.
Dua hari SMRS anak masih demam tinggi, kejang (-), sesak napas (-), mual (-),
muntah (-),nyeri kepala (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), bintik kemerahan di kulit (-),
kaki dan tangan dingin, nyeri sendi (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan, pasien mulai
tidak nafsu makan. Lalu pasien di bawa ke bidan dan dikatakan gejala tifus .
±12 jam SMRS kaki dan tangan pasien teraba dingin dan pucat, pasien tampak
gelisah, nyeri kepala (-), sesak nafas (-), nyeri ulu hati (+), nyeri sendi (+), BAK terakhir
jam 12 siang, mimisan (-), bintik merah di kulit (+) pada kedua lengan, mual (+), muntah

4
(+) 3x tiap makan dan minum, tidak menyemprot, ¼ gelas kecil, disertai BAB cair,
frekuensi 4 kali, banyak air dari ampas, warna kuning. Lalu pasien di bawa ke RSUP. Dr
mohammad Hoesin, Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat sakit yang sama sebelumnya disangka

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


o Riwayat penyakit DBD di dalam keluarga dan lingkungan disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Pasien adalah anak ke 6 dari 6 bersaudara. Selama hamil, ibu rutin kontrol
kehamilan ke klinik spesialis kebidanan (Sp.OG). Pasien lahir spontan di rumah sakit,
ditolong dokter spesialis, lahir langsung menangis dengan berat lahir 2900 gram dan
panjang lahir 46 cm, lingkar kepala 35 cm.
Kesan: Riwayat kehamilan dan kelahiran normal.

Riwayat Nutrisi
Pasien mendapat ASI sejak lahir hingga usia 2 tahun. Pasien makan bubur nasi
dengan lauk pauk diganti secara bertahap saat usia 6 bulan hingga usia 1 tahun. Pasien
mulai makan nasi biasa sejak usia 1 tahun. Pasien selalu sarapan pagi, pasien biasanya
sarapan pagi dengan nasi telur. Pasien teratur makan siang dan malam. Pasien makan
makanan sesuai menu keluarga. Biasanya pasien makan nasi 1 porsi piring besar
dengan lauk ikan atau tempe/tahu 1 potong besar, ayam 1 potong atau daging 1-2
potong sebulan 3-4 kali. Sayur kangkung, bayam atau sebanyak 1-2 sendok makan
sekali makan. Pasien sering makan buah, pasien juga sering minum susu. Sejak sakit
nafsu makan pasien berkurang.
Kesan: asupan makanan baik secara kuantitas dan kualitas.

5
Riwayat Vaksinasi
Vaksin I II III IV V
BCG √ Skar (+)
DPT √ √ √ √ √
POLIO √ √ √ √ √
HEPATITIS B √ √ √
HiB √ √ √
CAMPAK √

Tidak ada KMS atau buku catatan imunisasi penderita. Menurut Ibu, pasien
mendapat semua imunisasi yang diwajibkan pemerintah yaitu imunisasi BCG
(skar +), imunisasi DPT, Hepatitis B, HiB, Polio dan Campak. Pasien mendapatkan
imunisasi ulangan untuk DPT, Polio, Campak, tetapi belum pernah mendapatkan
imunisasi thypoid, influenza, varisela, Hepatitis A.
Kesan: Imunisasi dasar PPI lengkap, imunisasi dasar non PPI tidak lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan
BB/U : < Persentil 5
PB/U : Persentil 10 sd Persentil 5
BB/PB : 40/56 x 100= 71.42%
Kesan : gizi kurang
Perkembangan
Pasien mempunyai banyak teman di sekolah dan di rumah. Pasien dapat berinteraksi
dengan baik dengan teman-teman.
Kesan: perkembangan penderita gizi kurang.

6
III. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan tanggal 24 Febrauri 2017)
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 120 x/mnt, reguler, isi dan tegangan kurang
CRT : > 3 detik
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 37 oC
Berat badan : 40 kg
Tinggi badan : 158 cm

Keadaan Spesifik
Kepala
Mata : Mata tidak cekung, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, refleks
cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, ø 3 mm/3 mm
Hidung : Sekret tidak ada, napas cuping hidung tidak ada
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mulut : Sianosis sirkumoral tidak ada
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T1-T1, tenang, tidak hiperemis
Leher : Perbesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 120 kali/menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak ada,
7
bunyi jantung I dan II normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba,
turgor kulit segera kembali
Perkusi : Timpani

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Superior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (+), CRT >4s
Inferior : Akral dingin (+), pucat (+), sianosis (-), edema (-), petechie (-)

IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


(24 Februari 2017 pukul 00:12 di RSMH)
Hb : 15.6 g/dl
Eritrosit : 5,62 x 106/mm³*
Leukosit : 3,1 x 10³/mm³
Ht : 45 %
Trombosit : 17 x 103/mm3*
Hitung Jenis : 0/0/49*/42*/9*
Dengue IgM : negatif
Dengue IgG : negatif

V. DIAGNOSIS BANDING
 Demam Dengue Berdarah grade III
 Dengue Syok Sindrom
 Syok Septik

VI. DIAGNOSIS KERJA


Dengue Berdarah Dengue grade III?/Dengue Shock Syndrome?

8
VII. RENCANA PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan darah (Hb, Ht, Trombosit serial/6 jam)

VIII. PENATALAKSANAAN
 O2 kanul nasal 2 L/menit
 IVFD RL 20 cc/kgBB  280 cc/jam gtt 70x/menit (makro) pukul 15.30 WIB
 Paracetamol 3x500mg oral bila suhu ≥ 38,5oC
 Observasi tanda vital dan diuresis/jam
 Observasi tanda-tanda syok dan manifestasi perdarahan
 Cek Hb, Ht, Trombosit, Leukosit/6jam

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

X. RESUME
Pasien an.RZ, usia 15 tahun, laki-laki dibawa ke IGD RSMH dengan keluhan kaki
dan tangan dingin disertai gelisah. batuk (+), berdahak (-), pilek (-), nyeri kepala (+),
sesak napas (-), mual(-), muntah (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), nyeri menelan (-),
bintik merah di kulit (-), nyeri perut (-), nyeri sendi (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Kemudian pasien dibawa berobat ke klinik, disana suhu mencapai 39,5 ˚c di beri obat
penurun panas , tetapi tidak ada perubahan. Pasien masih mau makan dan minum.
Dua hari SMRS anak masih demam tinggi, kejang (-), sesak napas (-), mual (-), muntah
(-),nyeri kepala (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), bintik kemerahan di kulit (-), kaki dan
tangan dingin, BAB dan BAK tidak ada keluhan, pasien mulai tidak nafsu makan. Lalu
pasien di bawa ke bidan dan dikatakan gejala tifus .

±12 jam SMRS kaki dan tangan pasien teraba dingin dan pucat, pasien tampak
gelisah, nyeri kepala (-), sesak nafas (-), nyeri ulu hati (+), BAK terakhir jam 12 siang,
mimisan (-), bintik merah di kulit (+) pada kedua lengan, mual (+), muntah (+) 3x tiap
makan dan minum, tidak menyemprot, ¼ gelas kecil, disertai BAB cair, frekuensi 4 kali,
banyak air dari ampas, warna kuning. Lalu pasien di rujuk ke IGD RSMH.

9
Riwayat penyakit dahulu berupa riwayat sesak napas sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit DBD di dalam keluarga dan lingkungan sekitar disangkal. Riwayat
kehamilan ibu normal dan riwayat kelahiran anak normal, ditolong dokter SpOG.
Riwayat makanan mendapat ASI sampai usia 2 tahun. MP ASI mulai usia 6 bulan.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal. Riwayat imunisasi dasar lengkap.
Status gizi baik. Hasil laboratorium tanggal 24 februari 2017 di RSMH adalah Hb 15,6
g/dl, Ht 45%, trombosit 17 x 10³/μL.

XI. FOLLOW UP
Tanggal 23 Februari 2017 (pukul 18:30)
S : demam (-) nyeri perut (+) muntah (-) sakit kepala (-)
O : Sensorium : compos mentis
TD : 90/80 mmHg
N : 98 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 24 x/menit
T : 36.5oC
CRT : <3 detik
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (+), BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (+), CRT <2s, edema pretibial (-), ptechiae di kulit
(+)
Diuresis : 1,25 cc/kgBB/jam
Input : 200 cc/jam
A : Dengue Berdarah Dengue grade III?/Dengue Shock Syndrome?
P : O2 2L/menit via nasal kanul
IVFD RL 10 cc/kgBB/jam  280 cc/jam disesuaikan dengan diuresis dan klinis
observasi tanda-tanda perdarahan

10
Diuresis 4-6 jam
Observasi keadaan umum
Observasi tanda-tanda perdarahan
Cek Hb, Ht, Trombosit 6/jam

Tanggal 24 Februari 2017 (pukul 07:00)


S : demam (-) nyeri perut (+) sakit kepala (-) muntah (-)
O : Sensorium : compos mentis
TD : 90/60 mmHg
N : 80 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 30 x/menit
T : 37.0oC
CRT : <3 detik
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (+), BU (+) normal
Ekstremitas : akral dingin (+), CRT <2s,
edema pretibial (-), ptechiae di kulit (+)
A : Dengue Berdarah Dengue grade III?/Dengue Shock Syndrome?
P : O2 2L/menit via nasal kanul
IVFD RL kec 4cc/kgBB/jam  16 cc/jam
Observasi tanda-tanda perdarahan
Paracetamol 3x500mg bila temp >38.5 oC
Observasi tanda-tanda perdarahan
Balance dan diuresis 6/jam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DENGUE SHOCK SYNDROME


2.1.1 Definisi
Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita
Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.
Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan
masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu
permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami
renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.

2.1.2 Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang
berbeda antigen.Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah DEN-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan memberikan kekebalan
seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga
seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali
seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko
penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas,
dan predisposisi genetis.
Virus dengue yang matur terdiri dari single stranded RNA genom (ssRNA) yng
mempunyai polaritas positif. Genom ini dikelilingi oleh Nucleocapsid icosahedral dengan
diameter 30 nm. Nucleocapsid ini ditutupi oleh suatu lipid envelope yang tebalnya 10 nm.
Genom virus mengandung 3 protein struktural dan 7 protein non struktural. Protein struktural
termasuk kapsul protein yang kaya arginine dan lisin serta protein prM nonglycosylated.
Sedangkan protein non struktural dikenal sebagai NS1-7 yang mempunyai fungsi yang
berbeda.

12
2.1.3 Epidemiologi
Suatu penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan bahwa
penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%), sedang wong (1973) dari
singapura melaporkan pada umur 5-10 tahun dan di Manadoterutama dijumpai pada umur 6-8
tahun kemudian pada tahun 1983 didapatkan terbanyak pada umur 4-6 tahun. Tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak
perempuan daripada anak laki-laki.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 26-65%,
dimana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk. (1979) melaporkan 50%,
Rampengan (1986) melaporkan 59,4% sedangkan WHO (1973) melaporkan 65,45% dari
seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat.

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi pada Dengue Shock Syndrome ialah tejadinya peninggian permeabilitas
dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya perembesan plasma dan
elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk kedalam ruang interstitial,
sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi cairan ke
rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai
kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi ini bila tidak
segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolik, sehingga
terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler. Mekanisme ini diikuti pula dengan
penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling, sehingga lebih lanjut akan
memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh:
1. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa demam
dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
2. Gangguan fungsi trombosit
3. Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombin
memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin
norma. Beberapa factor pembekuan
13
menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.
4. Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular
Coagulation-DIC).

2.1.5 Manifestasi Klinis


Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan
demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue dengan tanda-tanda
kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam
menurun yaitu antara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.
Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas:
a. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung.
b. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun kesadaran
menurun menjadi apati, sopor dan koma.
c. Peubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya.
d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
e. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f. Oligouri sampai anuria.

2.1.6 Diagnosis
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih berdasarkan atas patokan yang telah
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria
laboratorik dengan syarat bila criteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria
klinik (satu diantaranya ialah panas) seperti yang telah diuraikan diatas.
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang derajat III dan IV disebut
DHF/DBD dengan renjatan atau DSS. Wong dkk. (1973) juga mengemukakan beberapa tanda
dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita dengue shock syndrome,
yaitu:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun
3. Nyeri perut
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis,
melena, hematuri, dan hemoptisis
5. Trombositopenia berat

14
6. Adanya pleural efosion pada toraks foto
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG

Diagnosa (Kriteria WHO):


Klinis:
1. Panas 2-7 hari
2. Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif
3. Adanya pembesaran hepar
4. Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah, nadi meningkat
dan lemah serta akral dingin
Laboratorium:
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)\
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)

Dengan merujuk kepada pengertian dari DHF Shock (DSS), yaitu demam berdarah
dengue yang disertai dengan gangguan sirkulasi, terdiri dari, maka dapat diperoleh pula
kriteria klinis DSS sebagai berikut
DHF grade III :
1. Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2. Tekanan nadi < 20 mmHg
3. Nadi cepat dan lemah
4. Akral dingin

DHF grade IV :
1. Shock berat
2. Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba

2.1.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai
akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DB dapat
berobat jalan, sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus
DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis pada umunya terjadi pada
hari ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Pasien perlu diberi minum banyak, 50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air
teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi,
berikan cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam berikutnya. Hiperpireksi dapat diatasi
15
dengan antipiretik, dan bila perlu surface cooling dengan kompres es dan alkohol 70%.
Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali.
Segera beri infus kristaloid (Ringer Laktat atau NaCl 0,9% ) 20 ml/kgBB secepatnya
(diberikan selama 30 menit) dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV,
nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur, diberikan ringer laktat 20 mg/kgBB bersama koloid).
Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
Apabila dalam waktu 3 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran 40)
sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus yang
sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,
keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit
dan gula darah.

2.1.8 Komplikasi
1. Perdarahan massif
2. Kegagalan pernapasan akibat edema paru atau kolaps paru
3. Ensefalopati dengue
4. Kegagalan jantung

2.1.9 Indikasi Memulangkan Pasien


1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit > 50.000/ml
6. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
minimal tiga hari setelah syok teratasi

2.1.10 Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis serotipe virus
bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe ternyata
meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe sekaligus.
sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue dan dhf adalah
dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. A. aegypti berkembang biak
16
terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah plastik, ban mobil bekas dan
tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk ini menggigit pada siang hari,
beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya pada tempat-tempat air bersih
tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3M:
1. menguras bak air
2. menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak nyamuk
3. mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.

Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang membunuh
larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah perkembangbiakan nyamuk selama
beberapa minggu, tapi pemberiannya harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. di tempat
yang sudah terjangkit dhf dilakukan penyemprotan insektisida secara fogging, tapi efeknya
hanya bersifat sesaat dan sangat tergantung pada jenis insektisida yang dipakai. Di Samping
itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat ditemukannya nyamuk
dewasa. Untuk perlindungan yang lebih intensif, orang-orang yang tidur di siang hari
sebaiknya menggunakan kelambu, memasang kasa nyamuk di pintu dan jendela,
menggunakan semprotan nyamuk di dalam rumah dan obat-obat nyamuk yang dioleskan.

2.1.11 Prognosis
Prognosa penderita tergantung dari beberapa faktor:
1. Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat
tidaknya penanganan
2. Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama pemberian
infuse dimulai
3. Panas selama renjatan
4. Tanda-tanda serebral.
2.2 SYOK PADA ANAK
Syok adalah syndrome gawat akut akibat ketidakcukupan perfusi dalam memenuhi
kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan metabolik (kebutuhan
oksigen) atau penurunan pasokan metabolik. Ketidakcukupan akan pasokan oksigen
mengakibatkan tubuh merespon dengan merubah metabolisme energi sel menjadi anaerobic,
akibatnya dapat terjadi asidosis laktat. Jika perfusi oksigen ke jaringan terus berkurang maka
respon system endokrin, pembuluh darah, inflamasi, metabolisme, seluler dan sistemik akan
muncul dan mengakibatkan pasien menjadi tidak stabil.

17
Syok adalah proses yang progresif, dimana apabila tubuh tidak mampu mentoleransi
maka dapat mengakibatkan kerusakan irreversible pada organ vital dan dapat menyebabkan
kematian. Syok memiliki pola patofisiologi, manisfestasi klinis, dan pengobatan berbeda
tergantung pada etiologinya. Hypovolemic dan septic syok adalah syok yang paling sering
dijumpai pada anak- anak, cardiogenik syok dijumpai pada neonatus yang memiliki kelainan
jantung congenital juga pasca bedah kelainan jantung congenital syok bisa terjadi pada anak
yang lebih dewasa.
Syok sering menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik dan sindrom kegagalan
multiorgan. Kegagalan kardiovaskular diakibatkan oleh kekurangan kardiak output (CO),
sistemik vascular resistance (SVR), atau keduanya. CO adalah hasil dari heart rate dan stroke
volume. Stroke volume ditentukan oleh tekanan pengisian ventrikel kiri dan kontraksi
miokard. SVR menggambarkan tahanan ke ejeksi ventrikel kiri (afterload). Di dalam kamus
"shock," yang didominasi vasokonstriksi di klasifikasikan sebagai "cold shock" dan yang
didominasi oleh vasodilatasi disebut "warm shock." Pengenalan dan manajemen yang dini
dari berbagai tipe dan kegagalan sirkulasi adalah sangat krusial untuk mengembalikan perfusi
jaringan yang adekuat sebelum kerusakan organ menjadi irreversible.

2.2.1 Epidemiologi
Kejadian syok pada anak dan remaja sekitar 2% pada rumah sakit di Amerika serikat,
dimana angka kematian sekitar 20-50% kasus. Hampir seluruh pasien tidak meninggal pada
fase hipotensi tapi karena hasil dari satu atau lebih komplikasi akibat syok. Disfungsi
multiple organ meningkatkan resiko kematian( satu organ 25% kematian, dua organ 60%
kematian, tiga organ atau lebih >85%)Angka kematian syok pada anak menurun sebanding
dengan tingkat edukasi yang baik, dimana pengenalan awal syok dan management yang baik
dan cepat memberi kontribusi lebih.

2.2.2 Patofisiologi
Metabolisme aerobic sel bisa menghasilkan 36 Adenosin Triphosphate, sedangkan
pada sel yang kekurangan oksigen (syok) sel akan merubah system metabolisme aerobic
menjadi anaerobic, yang mana hanya menghasilkan 2 ATP molekul tiap molekul glukosa dan
hasil pembentukan dan penimbunan asam laktat. Akhirnya metabolisme sel tidak cukup
menghasilkan energi homeostasis sel, sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran ion
melalui membrane sel. Dimana terjadi akumulasi sodium didalam sel dengan pengeluaran
potassium dan penumpukan cytosolic calsium. Sel menjadi membengkak, membrane sel
18
hancur, dan terjadilah kematian sel. Kematian yang luas dari sel menghasilkan kegagalan
pada banyak organ, jika irreversible maka pasien meninggal. Kekacauan metabolic sel
mungkin terjadi dari kekurangan oksigen yang absolute (hipoksia syok) atau kombinasi
hipoksia dan kekurangan substrat khususnya glukosa, disebut sebagai iskemic syok.
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami dengan benar
ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon kompensasi kardiovaskular
pada anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi yang progresif. Gejala dan tanda syok
yang dapat dengan mudah dilihat pada orang dewasa mungkin tidak akan terlihat pada anak,
mengakibatkan terlambatnya pengenalan dan mengabaikan keadaan syok yang parah.
Walaupun anak lebih besar persentase total cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka
dari kolaps kardiovaskular, peningkatan sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible
water loss, dan penurunan renal concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah
terjadi hipoperfusi pada organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume dapat tidak
diketahui pada anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit, penemuan gejala dan
tanda menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.
Respon kompensasi kardiovaskular pada anak dengan keadaan penurunan ventrikular
preload, melemahkan kontraksi miokard, dan perubahan dalam pembuluh darah berbeda dari
yang terjadi pada dewasa. pada pasien anak, CO lebih tergantung pada heart rate daripada
stroke volume oleh karena kekurangan massa otot ventrikel. Takikardi adalah yang terpenting
pada anak untuk mempertahankan CO yang adekuat pada kondisi penurunan ventricular
preload, kelemahan kontraksi miokard, atau kelainan jantung congenital yang digolongkan
oleh anatomi left-to-right shunt. Stroke volume tergantung oleh pengisian ventrikel (preload),
ejeksi ventrikel (afterload), dan fungsi pompa intrinsik (myocardial contractility).

19
Syok Syok septik Syok
hipovolemik kardiogenik

Mediator

Kebocoran Vasodilator Depresi

Preload Kontraktilitas

Cardiak Output Tekanan darah

Terkompensasi
Pengeluaran
simpatetik

Vasokonstriksi
CO dan tekanan denyut jantung
darah membaik

Iskemia jaringan CO

Pelepasan
mediator

Fungsi sel

Hilangnya
autoregulasi Kematian sel

Kematian

Gambar 1. Alur respon tubuh terhadap syok.

Tambahan pada CO, pengatur utama dari tekanan darah adalah SVR. Anak
memaksimalkan SVR untuk mempertahankan tekanan darah yang normal, pada keadaan
penurunan CO yang signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi perifer yang
dipengaruhi system saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran darah diredistributsi dari

20
pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan organ splanknik ke otak, jantung,
paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan dari pembuluh darah, endogen atau
eksogen melalui zat-zat vasoaktif, dapat menormalkan tekanan darah tanpa tergantung dari
CO. Karena itu, pada pasien anak, tekanan darah merupakan indicator yang jelek dari
hemostatis kardiovaskular. Evaluasi heart rate dan perfusi end-organ, termasuk capillary
refill, kualitas dari denyut perifer, kesadaran, urine output, dan status asam-basa, lebih
bernilai daripada tekanan darah dalam menentukan status sirkulasi anak.
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya suplai
oksigen dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat dari kekurangan
oksigan dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat mempertahankan produksi
O2 aerobik secara efisien.
Pada keadaan normal, metabolisme aerobik menghasilkan 6 molekul adenosine
trifosfat (ATP) tiap 1 molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O2 terganggu,
sehingga sel hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul glukosa, sehingga
terjadi penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya metabolisme seluler tidak lagi
bisa menghasilkan energi yang cukup bagi komponen hemostasis seluluer, sehingga terjadi
kerusakan pompa ion membran dan terjadi penumpukan natrium intraseluler, pengeluaran
kalium dan penumpukan kalsium sitosol.
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel. Kematian sel
yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila ireversibel, dapat terjadi
kematian.
Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi absolut dari transpor
oksigen (syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi transport substrat, biasanya
glukosa (syok iskemik). Yang paling sering terjadi adalah kombinasi dari kedua hal diatas
yaitu hipoksik dan iskemik. Atas dasar hal tersebut diatas, maka sangatlah penting untuk
memberikan oksigen pada keadaan syok.
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang dibawa ke
jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang dipompa oleh jantung
permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri (CaO2), sehingga didapatkan
persamaan sebagai berikut:
DO2 = CO (L/menit) x CaCO2 (ml/mL/cc)
CaCO2 tergantung pada banyaknya O2 yang terkandung di Hb (Saturasi O2 = SaO2),
sehingga didapatkan persamaan:
CaO2 = Hb (g/100ml) x SaO2 x 1,34 ml O2/g
21
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada CaCO2,
baik karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun karena anemia yang
menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan kapasitas total pengiriman O2.
Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu jumlah darah yang dipompa tiap denyut
jantung (Stroke Volume = SV) dan laju jantung (Heart Rate = HR). Stroke volume
dipengaruhi oleh volume pengisian ventrikel akhir diastolik (ventricular preload),
kontaktilitas otot jantung dan afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output
diatas, pada keadaan syok, dapat mengalami gangguan atau kerusakan.

2.2.3 Stadium
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah % ≤25% 25-40% >40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningkat Meningkat + Meningkat --
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsive

2.2.4 Klasifikasi dan Etiologi

22
Tipe Septik Kardiogenik Distributif Hipovolemik Obstruktif
Syok
Karakteristik Infeksi Kegagalan 1.Kelainan Menurunnya CO rendah;
organisme jantung dalam saraf: jumlah sianosis;
melepaskan memompa Mengganggu cairan tekanan
toksin darah untuk keseimbangan menurunkan nadi rendah
yang memenuhi cairan CO;
mempengar kebutuhan sehingga asidosis
uhi tubuh memudahkan metabolic
distribusi terjadinya membuat
darah, asidosis volume
cardiac 2.Overdosis intravaskuler
output dosis obat berkurang
dan lainnya yang dan perfusi
mengganggu ke jaringan
distribusi menurun;
cairan gangguan
keseimbangan
elektrolit
Etiologi Bakteri Kardiomio- Anafilaksis Enteritis Tension
Virus pati Toxin Perdarahan pneumotorax
jamur Kongenital Reaksi Luka bakar Pericardial
Heart disease Alergi Diabetes tamponade
Ischemic insipidus
insult Defisiensi
Adrenal

23
2.2.5 Tanda dan Gejala
1. Sistem Kardiovaskuler
a. Gangguan sirkulasi perifer mengakibatkan pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya
pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
Nadi cepat dan halus.
b. Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya
mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.
c. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
d. CVP rendah.
2. Sistem Respirasi
a. Pernapasan cepat dan dangkal.
3. Sistem saraf pusat
a. Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah
sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar.
Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya
pasien memang karena kesakitan.
4. Sistem Saluran Cerna
a. Bisa trjadi mual dan muntah.
5. Sistem Saluran kemih
a. Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60
ml/jam (0,5-1 ml/kg/jam). Pada anak 1-2ml/kg/jam.

2.3 SYOK HIPOVOLEMIK


Ini adalah syok yang paling umum ditemui, terjadi karena kekurungan volume
sirkulasi yang disebabkan karena kehilangan darah dan juga cairan tubuh. Kehilangan darah
dibagi menjadi dua yaitu perdarahan yang tampak dan tidak tampak. Perdarahan yang tampak
misal perdarahan dari luka dan hematemesis, sedangkan perdarahan yang tak tampak misal
perdarahan pada saluran cerna seperti perdarahan tukak duodenum, cedera limpa, patah
tulang. Kehilangan cairan terjadi pada luka bakar yang luas dimana terjadi kehilangan cairan
pada permukaan kulit yang hangus atau terkumpul didalam kulit yang melepuh. Muntah
hebat dan diare juga mengakibatkan kehilangan banyak cairan intrvaskuler. Obstruksi ileus
juga bisa menyebabkan banyak kehingan cairan, juga pada sepsis berat dan peritonitis bisa
menyebabkan kehingan cairan.

2.3.1 Tanda dan Gejala


1. Anxietas, lemas, gangguan mental karena menurunya perfusi k eotak
2. HIpotensi karena menurunya volume sirkulasi
3. Nadi cepat, lemah karena penurunan aliran darah
4. Kulit dingin dan lembab karena vasokontriksi dan stimulasi kelenjar keringat
24
5. Oligouria karena vasokonstriksi arteri renalis
6. Pernafasan cepat dan dalam karena stimulasi saraf simpatis dan asidosis
7. Hipotermi karena menurunya perfusi dan penguapan keringat
8. Haus dan mulut kering karena kekurangan cairan
9. Lemah dan lelah karena inadekuat oksigenasi

2.3.2 Jenis cairan yang hilang


1. Darah
2. Plasma
3. Cairan ekstrasel

2.3.3 Penyebab
1. perdarahahn
2. luka bakar
3. cedera yang luas
4. dehidrasi
5. kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus

2.3.4 Patofisiologi
Syok hipovolemik yaitu syok yang terjadi karena kekurangan sirkulasi didalam
pembuluh darah oleh berbagai sebab, berkurangnya sirkulasi ini mengakibatkan darah yang
kembali ke jantung melalui vena akan berkurang. Akibatnya darah yang masuk ke atrium
kanan juga menurun, sebagai kompensasi atas hal ini frekuansi jantung akan meningkat untuk
menyesuaikan agar perfusi sistemik dapat dipenuhi. Gejalanya akan tampak tekanan darah
sistolik menurun dan denyut nadi yang cepat.
Menurunya perfusi sistemik mengakibatkan organ mengalami iskemia, sehingga akan
merubah siklus metabolic dari aerobic menjadi anaerobic dimana siklus ini menghasilkan
residu asam laktat, asam amino dan asam fosfat di jaringan. Hal ini menimbulkan asidosis
metabolic yang menyebabkan pecahnya membrane lisosom sehingga menimbulkan kematian
sel. Hipoksia dan asidosis metabolic juga menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena
pulmonalis, hal ini menimbulkan peninggiian tahanan pulmonal yang mengganggu perfusi
dan pengembangan paru. Akibatnya dapat terjadi kolaps paru, kongesti pembuluh darah paru,
edema interstisial dan alveolar. Maka pada penderita dengan syok hipovolemik terlihat
gangguan pernafasan. Iskemia pada otak akan menimbulkan edema otak dengan segala
akibatnya. Pada ginjal, iskemia ini akan menyebabkan gagal ginjal.
Sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipovolemia, cairan interstisial akan masuk
kedalam pembuluh darah sehingga hematokrit menurun. Karena cairan interstisial jumlahnya

25
berkurang akibat masuknya cairan tersebut kedalam ruang intraseluler, maka penambahan
cairan sangat mutlak diperlukan untuk memperbaiki gangguan metabolik dan hemodinamik
ini. Pada syok juga terjadi peninggian sekresi kortisol 5-10 kali lipat. Kortisol mempunyai
efek inotrofik positif pada jantung dan memperbaiki metabolism karbohidrat, lemak dan
protein. Sekresi renin dari sel-sel juksta glomerulus ginjal meningkat sehingga pelepasan
angiotensin I dan II juga meningkat. Angiotensin II ialah vasokonstriktor yang kuat dan
merangsang pelepasan kalium oleh ginjal.
Meningginya sekresi norepinefrin akan mengakibatkan vasokonstriksi, selain itu juga
mempunyai sedikit efek inotropik positif pada miokardium. Efineprin disekresikan hampir
tiga kali lipat daripada norepinefrin, terutama menyebabkan peninggian isi sekuncup dan
denyut jantung. Kerja kedua katekolamin ini dipotensiasi oleh aldosteron. Peninggian sekresi
hormone antidiuretik (ADH) dari ‘hipofisis’ posterior mengakibatkan resorpsi air ditubulus
distal meningkat.

2.4 SYOK DISTRIBUTIF


Syok distributif adalah syok yang terjadi karena kekurangan volume darah yang
bersifat relative, dalam artian jumlah darah didalam pembuluh darah cukup namun terjadi
dilatasi pembuluh darah sehingga seolah-olah volume darah didalam pembuluh darah
berkurang. Syok distributive ada 3 bentuk:
1. Syok septik: disebabkan karena infeksi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah.
Contoh infeksi karena bakteri gram negative seperti Escherichiacoli.
Tanda dan gejala shock septic:
Gejala sama dengan syok hipovolemik, namun untuk tahap syok septik diawali dengan:
a. demam atau suhu yang rendah, disebabkan oleh infeksi bakteri
b. vasodilatasi dan peningkatan cardiac output

2. Syok anafilaktik: disebabkan karena reaksi anfilaktik terhadap allergen, antigen, obat,
benda asing yang menyebabkan pelepasan histamine yang menyebabkan vasodilatasi. Juga
memudahkan terjadinya hipotensi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Tanda dan gejala syok anafilaktik:
a. erupsi kulit dan
b. edema local terutama pada muka
c. nadi cepat dan lemah
d. batu dan sesak nafas karena penyumbatan jalan nafas dan radang tenggorok

26
3. Syok neurogenik: ini adalah shock yang jarang terjadi. Disebabkan oleh trauma pada
medulla spinalis, terjadi kehilangan mendadak pada reflek otonom dan motorik dibawah lesi.
Tanpa adanya stimulasi simpatis, dinding pembuluh darah vasodilatasi yang tak terkontrol,
hasilnya penurunan resistensi pembuluh darah perifer sehingga menyebabkan vasodilatasi
dan hypotensi. Tanda dan gejala syok neurogenik sama dengan syok hipovolemik.

2.5 SYOK OBSTRUKTIF


Terdapat penyumbatan yang menyebabkan aliran darah terganggu, pada beberapa
kondisi hal ini bisa menyebabkan timbulnya syok.
Contoh syok obstruktif
1. Cardiac tamponade: biasanya terjadi karena pericarditis yang menyebabkan
penimbunan cairan didalam rongga pericardium, cairan yang banyak menekan jantung
sehingga venus return menurun. Hal ini menyebabkan jantung tak mampu mensuplai
darah sesuai kebutuhan tubuh. Akibatnya tubuh bisa kekurangan oksigen, terutama
pada organ sehingga bisa menimbulkan shock
2. Tension pneumotorax: peningkatan tekanan intratorak sehingga venous return
terhambat, cardic output pun berkurang  syok
3. Emboli massive paru: mengurangi aliran darah dari paru ke jantung, cardiac output
menurun  syok
4. stenosis aorta: sebabkan aliran darah keluar dari ventrikel terhambat  perfusi
berkurang  syok
5. Tanda dan gejala sama dengan shock hypovolemic tapi ditambah dengan
6. peningkatan JVP
7. pulsus paradoksus karena tamponade jantung

2.6 SYOK KARDIOGENIK


Syok tipe ini adalah syok yang terjadi karena kagagalan efektivitas fungsi pompa
jantung. Hal ini disebabkan karena kerusakan otot jantung, paling sering yaitu infark pada
myocard. Syok kardiogenik juga bisa disebabkan aritmia. Syok ini jarang terjadi pada anak-
anak.
Tanda dan gejala syok kardiogenik sama dengan syok hipovolemik ditambah dengan:
1. Takikardi dengan nadi yang sangat lemah
2. Hepatomegali
3. Gallop
4. Murmur
5. Rasa berat di precordial
6. Kardiomegali
7. Hipertrofi jantung

27
8. Distensi V. Jugularis, dan peningkatan JVP
9. ECG abnormal

2.7 EVALUASI KLINIK


Untuk mengkategorikan dan menentukan penatalaksanaan yang tepat, pertama-tama
harus ditentukan tekanan darah sentral. Tujuan pengukuran tekanan darah adalah untuk
mengetahui perfusi organ-organ penting (otak dan jantung). Kebutuhan tekanan darah
minimum dapat ditentukan dengan mengetahui persentil kelima dari tekanan darah sistolik
pada anak sehat dan perfusi baik. American Heart Association dengan PALS (Pediatric
Advance Life Support) menentukan persentil kelima dari tekanan darah anak-anak adalah
sebagai berikut :

Tabel 1. Tekanan darah sistolik pada anak (persentil kelima)


Umur Persentil kelima tekanan darah sistolik
Neonatus 60 mmHg
Bayi (1 bulan-1 tahun) 70 mmHg
Anak-anak (>1 tahun) 70+2x(umur dalam tahun)

Anak dengan perfusi yang buruk dan tekanan darahnya di bawah parameter seperti
tabel 1, dapat dikatakan menderita syok yang tidak terkompensasi. Keadaan ini apabila tidak
cepat ditangani maka akan mengarah kepada kerusakan organ dan terjadi syok ireversibel
bahkan kematian. Pada anak-anak dengan tekanan darah sistoliknya masih adekuat, namun
keadaan klinisnya syok, maka ini disebut sebagai syok yang terkompensasi. Sehingga,
apabila perfusi pada organ-organ vital seperti jantung dan otak masih adekuat, namun organ
vital lainnya mengalami hipoperfusi dan rentan akan kerusakan, apabila tidak segera
diberikan terapi maka keadaan ini akan berlanjut menjadi syok yang tidak terkompensasi.
Maka dalam menegakkan diagnosis diperlukan banyak indikator untuk menentukan
keadaan syok, antara lain :
1. Denyut jantung
Cardiac output dapat dipengaruhi oleh stroke volume dan heart rate, sehingga apabila
terjadi penurunan stroke volume maka tubuh akan berusaha mempertahankan cardiac output
dengan cara meningkatkan heart rate. Namun, ada keadaan-keadaan tertentu dimana heart
rate tidak daat meningkat, yaitu pada blokade farmakologik dan kerusakan neurologik.
Pasien pada tahap awal syok akan mengalami takikardi. Namun tanda ini tidak
signifikan pada anak-anak, karena anak-anak dapat mengalami takikardi pada keadaan lain,

28
seperti demam, nyeri dan agitasi. Namun demikian, diluar pengecualian keadaan-keadaan
tersebut, takikardi biasa muncul pada tahap awal dan merupakan temuan yang penting pada
syok yang terkompensasi maupun yang tidak terkompensasi.
2. Perfusi kulit
Kulit dapat dianggap sebagi bagian yang non vital. Pasien yang memiliki kemampuan
untuk mengkompensasi penurunan DO2 dengan menarik darah dari organ yang non vital
(selain otak dan jantung), menunjukkan tanda-tanda penurunan perfusi kulit. Hal ini dikenali
dengan adanya tanda-tanda denyut nadi distal yang menghilang, kulit akan teraba dingin dan
pengisian ulang kapiler memanjang (>5 detik), yang pada keadaan normal biasanya dapat
terisi dalam 2-3 detik. Cara pengukuran pengisian ulang kapiler ini yaitu dengan menekan
ujung jari(kuku) hingga pucat (kurang lebih selama 5 detik), kemudian dilepas dan dihitung
waktunya pada saat ujung jari(kuku) menjadi merah kembali. Pada pasien dengan fase awal
syok distributif (anafilaksis, sepsis) akan terjadi vasodilatasi, sehingga kulit akan teraba
hangat, denyut nadi akan teraba kuat dan terdapat pengisian ulang kapiler yang cepat (1-2
detik). Pada keadaan ini, perfusi kulit tidak dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis,
sehingga harus dicari gangguan metabolik lain seperti lactoacidosis, hal ini dapat mendukung
bahwa telah terjadi gangguan DO2.
3. Fungsi sistem organ lain
Pada ginjal dengan perfusi normal, dapat mengeluarkan 1-2 ml urin/kgBB/jam atau
lebih. Kerusakan ginjal dapat disebabkan karena kerusakan awal pada keadaan iskemik-
hipoksik, sehingga terjadi acute tubular necrosis (ATN). Sehingga dapat dikatakan bahwa
output urin tidak spesifik untuk menentukan kelayakan perfusi dan volume intravaskuler.
4. Status asam basa
Adanya asidosis metabolik atau penurunan serum bikarbonat dapat membatu untuk
mendiagnosa syok. Asidosis metabolik dapat timbul karena hilangnya serum bikarbonat
seperti pada diare, yang dapat terjadi bersamaan dengan syok dan dehidrasi. Dengan
dilakukannya pengukuran level serum laktat, maka dapat diketahui kehilangan bikarbonat
akibat asidosis laktat karena syok

2.8 MONITORING
Monitoring yang dilakukan pada syok meliputi monitoring hemodinamik respirasi dan
metabolik. Yang harus di ketahui pada syok:
1. PaO2  diperlukan monitoring terutama pada PaO2 karena oksigenasi jaringan

29
2. Asam Laktat  asam laktat meniggi pada sepsis hiperdinamik dan kelainan enzim
piruvat dehidrogenase. Asam laktat ini meninggi 12 jam setelah terjadinya syok dan
juga indikasi terjadinya MOSF
3. Indeks transport O2  dapat di catat dengan mengetahui kardiak indeks DO 2 dan VO2
yang harus di pertahankan di atas 2,1 l/mnt/m² tubuh
4. Tekanan Vena sentral (CVP)  penting untuk mengevakuasi syok sedini
mungkin.peninggian CVP dapat terjadi karena peninggian volume intravaskuler,
peninggian vasomotor, peninggian tekanan torakis dan peninggian compliance dari
ventrikel kanan
5. Tekanan darah  evaluasi tekanan darah lebih bermakna dari pada hanya sekali
mengukur tekanan darah
6. Produksi urin  produksi urin normal pada org dewasa 0,5 cc/kg/jam , pada anak 1-2
cc/kg/jam
7. Pulse oksimeter  Oksigenasi jaringan di tentukan oleh perfusi, kadar Hb dan
saturasi oksigen yang dapat di monitor dengan pulse oksimeter, digunakan secara
rutin untuk menilai syok.
Monitoring yang dilakukan:
1. Non Invasif: yakni memonitor tanda – tanda vital, tekanan darah, nadi , PaO2, jumlah
urin, ECG, intake serta output.
2. Invasif: monitoring meliputi kateterisasi arteri,CVP, dan kateter pulmonalis.
3. Metabolik : asam laktat

2.9 TATALAKSANA SYOK


Pengenalan awal akan syok membutuhkan pemahaman tentang kebiasaan anak yang
normal dan keadaan anak yang memang menderita shock. Pucat ringan, ekstremintas dingin,
mengantuk ringan atau acuh terhadap sekitar, takikardia yang taksesuai dan factor lain seperti
cemas, demam dan hal lain yang penting sering terabaikan. Oliguria adalah tanda yang
penting, anak dengan trauma berat atau sepsis membutuhkan pemasangan kateter untuk
menghitung secara cermat cairan yang keluar dan kebutuhancairan secara akurat. Nilai
normal nadi dan tekanan darah berbeda untuk tiap umur, terkadang nilai normal sering tak
sesuai dengan panduan ketika anak mengalami distress.
Pada tahap awal, syok memerlukan penanganan yang segera untuk mempertahankan
hidup, bagaimanapun penanganan shock tergantung seberapa cepat untuk bisa mendapat
pertolongan di rumah sakit.
Pertolongan awal syok:
1. Segera beri pertolongan, jika pasien masih sadar tempatkan dengan nyaman

30
2. Jika pasien sendiri, cari pertolongan, atau meminta seseorang mencari pertolongan
dan seseorang menjaga pasien
3. Pastikan jalan nafas dan pernafasan baik.
4. Lindungi pasien dengan jaket tapi jangan terlalu rapat agar tidak terjadi vasodilatasi
5. Jangan beri minum
6. Siapkan untuk cardiopulmonary resuscitation
7. Berikan banyak informasi ketika ambulan datang

Tatalaksana syok dimulai dengan tindakan umum untuk memulihkan perfusi jaringan
dan oksigenasi sel. Tindakan ini tidak tergantung pada penyebab syok. Diagnosa harus segera
dibuat sehingga dapat diberikan pertolongan sesuai dengan kausa.
Tujuan utama adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi terutama di otak, jantung
dan ginjal. Tanpa memandang etiologi syok, oksigenasi dan perfusi jaringan dapat diperbaiki
dengan memperhatikan 4 variabel ini:
1. Ventilasi dan oksigenasi ( Airway dan Breathing )
a. Memperbaiki jalan napas, ventilasi buatan dan oksigen 100%
b. Akses vena dan pemberian cairan diberikan bersamaan dengan oksigen 100%.
2. Curah jantung dan volume darah di sirkulasi (Circulation). Resusitasi cairan dan
pemberian obat vasoaktif merupakan metode utama untuk meningkatankan curah
jantung dan mengembalikan. Perfusi organ vital.
a. Resusitasi cairan:
1) Pada syok hipovolemik apapun penyebabnya, resusitasi cairan dimulai dengan
cairan kristaloid (Rl atau garam fisiologis) sebanyak 20 ml/kg secepatnya. Bila
tidak terlihat perbaikan (frekuensi jantung masih tinggi, perfusiperifer jelek,
kesadaran belum membaik) dan dicurigai masih terjadi hipovolemia diberikan
lagi cairan yang sama sebanyak 20 ml/kg dan pasien dievaluasi kembali. Syok
kardiogenik dan obstruksi harus dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan
setelah resusitasi cairan. Sebagian besar pasien dengan syok hipovolemik akan
menunjukkan perbaikan terhadap pemberian cairan 40 ml/kg.
2) Pada syok septik, resusitasi cairan berguna untuk mengembalikan volume
intravaskular. Jenis cairan masih konroversial, cairan kristaloid dapat
menyebabkan edema paru akibat penurunan tekanan onkotik intravaskular dan
memperberat kebocoran kapiler. Sedangkan cairan koloid, walaupun dapat
mempertahankan tekanan onkotik pada akhirnya dapat merembes ke ruang
interstisial akibat hilangnya integritas vaskular. Resusitasi pada syok septik
memerlukan kombinasi cairan kristaloid dan koloid untuk mengembalikan
perfusi yang adekuat.

31
3) Pada syok distributif, pemberian cairan kristaloid yang cepat telah terbukti
menyelamatkan jiwa pasien.
4) Pada syok endokrin gangguan yang terjadi diperbaiki. Hipotiroid
membutuhkan levothyroxine, pada hyperthyroid produksi hormon thyroid
dihambat oleh sitostatika seperti methimazole (tapazole) atau PTU
(propylthiouracil). Insufisiensi adrenal diobati dengan suplemen
kortikosteroid.
b. Obat vasoaktif
Ada beberapa obat yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam penanganan
syok bila resusitasi cairan belum cukup untuk menstabilkan system kardiovaskular.
Obat inotropik meningkatan kontraktilitas miokard dan obat kronotropik
meningkatkan frekuensi jantung. Obat vasoaktif yang paling banyak digunakan adalah
golongan amin simpatomimetik yaitu golongan katekolamin, epinefrin, norepinefrin,
dopamine endogen, dobutamin, dan isoproternol sintetis. Obat ini bekerja merangsang
adenilsiklase yang menyebabkan terjadinya sintetis AMP siklik, aktifasi kinase
protein, fosforilasi protein intrasel, dan peningkatan kalsium intrasel. Obat tersebut
bekerja memperbaiki tekanan darah dengan konsekuensi peningkatan resistensi
vaskuler dan penurunan aliran darah. Obat vasoaktif ini diberikan bila pemberian
cairan danoksigenasi alveolar telah maksimal.
Beberapa obat vasoaktif yang dapat diberikan berikut dosisnya dapat dilihat dalam
tabel dibawah ini.
Dosis dan efek klinis beberapa obat vasoaktif
Obat Dosis Efek klinis

Dobutamin 2-20 μg/kg/menit Memperbaiki konraktilitas miokard


Berguna pada gagal jantung dengan syok
Dopamine 2-20 μg/kg/menit Dosis rendah (4-5 μg/kg/menit):
memperbaiki aliran darah ginjal
Dosis tinggi: efek α
Memperbaiki kontraktilitas miokard bila
dosis ditingkatkan
Efinefrin 0,05-1 μg/kg/menit Dosis rendah: efek β
Dosis tinggi: efek α
Berguna bila dikombinasi dengan
dopamine dosis rendah

32
Norefinefrin 0,05-1 μg/kg/menit Efek α sangat kuat
Hipotensi refrakter
Amrinon 0,75-4 mg/kg/kali Kombinasi dengan katekolamin
5-20 μg/kg/menit Memperbaiki fungsi miokard
Milrinon 50-75 μg/kg/kali Kombinasi dengan katekolamin
0,5-1 μg/kg/kali Memperbaiki fungsi miokard

Kapasitas angkut oksigen


1. Sebagian besar anak dengan syok tidak memerlukan transfusi darah, tetapi kapasitas
angkut oksigen diruang intravaskular harus cukup untuk memenuhi kebutuhan
oksigen jaringan.
2. Transfusi darah dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian
cairan isotonik sebanyak 60mL/kg
3. Transfusi darah harus diberikan berdasarkan penilaian klinis an tidak berdasarkan
kadar hemoglobin
4. Pada anak dengan anemia kronis (anemia defisiensi) darah harus diberikan dengan
hati-hati. Pemberian tidak boleh melebihi 5-10mL/kg dalam 4 jam untuk mencegah
gagal jantung kongestif, kecuali bila proses kehilangan darah masih berlangsung.

Kelainan yang mendasari


1. Pasien dengan syok septik memerlukan antibiotik segera
2. Pasien dengan syok hipovolemik dievaluasi terhadap kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau perdarahan.
3. Syok kardiogenik mungkin memerlukan terapi farmakologis untuk menurunkan
afterload atau intervensi bedah untuk mengatasi obstruksi
4. Syok anafilaktik memerlukan epinefrin, eliminasi penyebab dan antihistamin.

2.10 TERAPI CAIRAN


Dalam tubuh, faal sel tergantung pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Jumlah air
dalam tubuh harus di pertahankan dalam batas-batas tertentu untuk berlangsungnya
metabolisme tubuh dengan baik. Tubuh manusia terdiri atas:
1. Lean body mass (tubuh tanpa lemak), yaitu air (73%), tulang, jaringan bukan lemak.
2. Jaringan lemak

Cairan tubuh (60%) terdiri atas:


1. Cairan intraseluler 40%
2. Cairan ekstra seluler 20% :
a. cairan interstisial 15%

33
b. plasma darah 5%

Air masuk ke dalam tubuh terutama melalui penyerapan dari saluran pencernaan. air
meninggalkan tubuh terutama sebagai air kemih yang dikeluarkan dari ginjal. ginjal bisa
mengeluarkan sampai beberapa liter air kemih dalam sehari atau dapat menahannya dengan
membuang kurang dari 0,5 l air kemih dalam sehari. Sekitar 1 liter air juga dibuang setiap
harinya melalui penguapan dari kulit dan paru-paru. keringat yang berlebihan (misalnya
karena latihan berat atau cuaca panas), bisa meningkatkan jumlah air yang hilang melalui
penguapan.
Dalam keadaan normal, sedikit air dibuang melalui saluran pencernaan. Pada muntah
yang berkepanjangan atau diare yang berat, sebanyak 3,84 l air bisa hilang melalui saluran
pencernaan. Bila asupan cairan sesuai dengan cairan yang hilang, cairan tubuh akan tetap
seimbang. Untuk menjaga keseimbangan cairan, orang sehat dengan fungsi ginjal yang
normal dan tidak berkeringat berlebihan, harus minum sedikitnya 1 l cairan/hari. Untuk
mencegah dehidrasi dan pembentukan batu ginjal, dianjurkan untuk minum cairan sebanyak
1,5-2 l/hari. Bila otak dan ginjal berfungsi dengan baik, tubuh dapat mengatasi perubahan
yang ekstrim dalam asupan cairan. Seseorang biasanya dapat minum cairan yang cukup untuk
menggantikan kehilangan air yang berlebihan dan mempertahankan volume darah dan
konsentrasi dari garam-garam mineral yang terlarut (elektrolit) dalam darah. Jika seseorang
tidak dapat minum air yang cukup untuk menggantikan kehilangan air yang berlebihan
(seperti yang terjadi pada muntah berkelanjutan atau diare hebat), maka bisa mengalami
dehidrasi.
Jumlah air dalam tubuh berkaitan erat dengan jumlah elektrolit tubuh. konsentrasi
natrium darah merupakan indikator yang baik dari jumlah cairan dalam tubuh. Tubuh
berusaha untuk mempertahankan jumlah total cairan tubuh sehingga kadar natrium darah
tetap stabil. Jika kadar natrium terlalu tinggi, tubuh akan menahan air untuk melarutkan
kelebihan natrium, sehingga akan timbul rasa haus dan lebih sedikit mengeluarkan air kemih.
Sedangkan jika kadar natrium terlalu rendah, ginjal mengeluarkan lebih banyak air untuk
mengembalikan kadar natrium kembali ke normal.

2.11 PEMBERIAN CAIRAN


2.11.1 Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid yang di gunakan biasanya NaCl 0,9% dan ringer laktat. Cairan
kristaloid akan menyebar cepat ke ekstraseluler. Menurut Dillon kehilangan 1cc darah harus
34
di gantikan 3cc kristaloid. Akan tetapi menaiknya permeabilitas kapiler pada syok juga dapat
menyebabkan cairan kristaloid keluar dari pembuluh darah. Pemberian cairan kristaloid
dalam jumlah besar ini mempunyai maksud :
1. Larutan kristaloid dapat mengurangi gagal ginjal
2. Larutan kristaloid dapat mengurangi menurunnya fungsi paru secara progresif secara
cepat dari intravaskuler dan interstitial volume dari kristaloid 2-4 kali lebih tinggi dari
koloid yang di butuhkan untuk mempertahankan hemodinamik , namun CVP (central
venous pressure) menjadi berkurang dan cairan berkumpuldi interstitial
sehinggamenghambat oksigenasi jaringan, memperlambat penyembuhan luka,
mengurangi gerakan gastrointestinal dan daya obstruksi. Pada syok hipovolemik
cairan berkumpul, intra vascular, dan pemberian cairan kristaloid dapat mengatasi
deficit cairan, karena itu lebih banyak di gunakan kristaloid daripada koloid karena di
perlukan cairan terus – menerus.

Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan


(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) osmotik
(mOsm/L)
Ringer 130 4 109 3 28* 273
Laktat
Ringer 130 4 109 3 28: 273
Asetat
NaCl 0.9% 154 - 154 - - 308

2.11.2 Cairan Koloid


Cairan koloid yang dapat di gunakan pada syok adalah hemasel, gelofusin, dekstran
70, hespan, albumin 4,5% dan albumin 20%. Penggunaan cairan koloid yang lebih besar di
butuhkan untuk mempertahankan volume plasma untuk meningkatkan fungsi kardiovaskuler
dan oksigen konsumsi, begitu pula dengan cairan koloid dapat di kurangi pengumpulan
cairan interstitial dan cairan intravaskular.
Apabila permeabilitas cairan bertambah zat ini keluar dari intravascular dan
menyebabkan meningginya tekanan onkotik interstitialdan menyebabkan terjadinya udem. Di
samping itu koloid juga menghambat diuresis oleh karena itu masih menjadi pertanyaan
penggunaan cairan koloid karena bahayanya terutama bila permeabilitas kapiler bertambah.

35
Dalam keadaan kritis cairan koloid harus di berikan sebanyak kristaloid , yang dapat
merupakan cairan :
1. Albumin
2. Dekstran
3. Hemasel
4. HAS (Human Albumin Solution )
1. Albumin
Albumin terdapat sebagai donor plasma. Albumin sama dengan osmotic koloid
plasma dengan masa tengah 10 – 15 hari. Dapat terjadi reaksi anafilaktoid walaupun
jarang dan tidak rutin di gunakan. Keadaan hipoalbuminemi dapat bersamaan dengan
hipovolemi, edema, dan ascites di berikan albumin 20%.
2. Dekstran
Dekstran merupakan polimer polisakarida dalam dekstrosea 5% atau NaCl
0,9% dengan berat molekul 40.000. dekstran dengan cepat di keluarkan oleh ginjaldan
dapat membentuk kompleks dengan fibrinogen sehingga menyebabkan koagulopati.
Dua bentuk dekstran : dekstran 40 dan dekstran 70. Dekstran 40 lebih sering di
gunakan dan terdapat kemungkinan alergi.
3. Hemasel
Hemasel mengandung kalsium 10kali lebih banyak 6,3 mmol/l, dan kalium
5,1mmol/l. pemberian dalam jumlah banyak tidak di anjurkan karena menyebabkan
defek koagulasi dan tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Pemberian dalam jumlah
besar dalam bentuk gelatin kompleks dapat menyebabkan kebocoran pada kapiler dan
menyebabkan edema paru.
4. HAS ( Human Albumin Solution )
HAS di bebaskan melalui ginjal melalui hidrolisis dengan amylase.HAS juga
tersimpan dalam RES.

2.12 TERAPI FARMAKOLOGI


Obat-obatan inotropik dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan memiliki
berbagai macam efek pada resisten vaskular perifer. Obat-obatan inotropik antara lain adalah
vasokonstriktor (misalnya, epinefrin, norepinefrin), vasodilator (misalnya, dobutamine,
milrinon). Indikasi penggunaan obat-obatan ini adalah apabila pasien memerlukan perbaikan
fungsi kontraksi atau pada pasien dengan syok yang tidak terkompensasi yang tidak respon
hanya dengan terapi cairan.
36
1. Dopamin
Dopamin sering digunakan pada pasien dengan syok septik, baik hanya
dopamin saja maupun dikombinasi dengan obat inotropik lainnya. Dopamin berguna
dalam fungsi vasodilatornya untuk perfusi end-organ seperti pembuluh darah di ginjal
maupun di intestinal dengan dosis rendahnya (2-5 mcg/kg/min IV). Pada dosis
intermediet (5-10 mcg/kg/min IV) obat ini dapat meningkatkan kontraktilitas miokard
bersama dengan efek obat agonis-beta1. Pada dosis tinggi (10-20 mcg/kg/min IV),
obat ini dapat meningkatkan vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tekanan darah
sentral.
2. Epinefrin
Epinefrin menstimulasi kedua reseptor alfa dan beta, sehingga dapat
meningkatkan kontraktilitas miokard dan meningkatkan vasokonstriksi perifer. Dosis
pemberian biasanya diawali dengan 0.1 mcg/kg/min IV. Pada kasus berat, pasien
dapat menerima 2-3 mcg/kg/min IV atau lebih.
3. Dobutamin
Dobutamin merupakan agen inotropik murni, dengan efek beta-1 agonis yang
dapat meningkatkan kontraktilitas jantung. Obat ini juga dapat memberikan efek beta-
2 ringan, yaitu vasodilatasi perifer yang akan mengurangi tahanan vaskuler sistemik
dan afteload, juga dapat meningkatkan perfusi jaringan. Karena itu, dobutamin
merupakan obat yang cukup baik bagi pasien dengan syok kardiogenik dengan tujuan
untuk meningkatkan kontraktilitas otot jantung. Dobutamin jarang menyebabkan
disritmia ventrikular dibandingkan dengan epinefrin. Dosis pemberian awal adalah 5
mcg/kg/menit IV dan dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 20 mcg/kg.menit IV.
4. Norepinefrin
Norepinefrin merupakan agonis alfa yang dapat memberikan efek vasokonstriksi
perifer dan meningkatkan tahanan vaskular perifer. Efek utamanya adalah sebagai pressor
agent untuk meningkatkan tekanan darah di sekitar muka pada keadaan syok setelah
diberikan terapi cairan.
Beberapa ahli menyarankan untuk mengkombinasi norepinefrin dengan dobutamin
untuk mendapatkan efek vasokonstriksi melalui reseptor alfa dan mendapatkan efek
peningkatan kontraktilitas otot jantung. Penggunaan norepinefrin diawali dengan dosis 0.1
mcg/kg/menit IV.
5. Glukosa

37
Bayi dan anak-anak memiliki simpanan glikogen yang terbatas yang dapat
cepat berkurang pada keadaan syok sehingga terjadi hipoglikemia. Karena glukosa
merupakan substrat yang penting, maka harus segera dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa pada pasien syok. Apabila didapatkan kadar gula yang rendah maka berikan
dextrosa IV. Dosis pemberian dextrose adalah 0.5-1 gr/kg IV. Dextrosa sangat baik
diberikan secara IV.
Table 3. Vasoactive Drugs in Sepsis and Usual Hemodynamic Responses
Drug Dose Cardiac Blood Systemic Vascular
Output Pressure Resistance
Dopamine 2.5-20 + + +
mcg/kg/min
Norepinephrine 0.05-2 + ++ ++
mcg/kg/min
Epinephrine 0.05-2 ++ ++ +
mcg/kg/min
Phenylephrine 2-10 - ++ ++
mcg/kg/min
Dobutamine 2.5-10 + +/- -
mcg/kg/min

6. Sodium Bikarbonat
Penggunaan sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih
kontroversial. Dalam keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu
kontraktilitas miokardium dan fungsi optimal dari katekolamin. Namun, pemberian
bikarbonat akan memperburuk keadaan asidosis intraselular karena sodum bikarbonat
hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini disebabkan karena ion bikarbonat tidak
dapat melewati membran sel semipermiabel. Sehingga, asidosis dalam serum
ditambah dengan bikarbonat akan menyebabkan produksi karbondioksida dan air,
seperti yang terdapat pada persamaan Henderson-Hasselbach. Apabila karbondioksida
yang meningkat tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka karbondioksida ini akan
masuk ke dalam sel dan terjadi reaksi Henderson-Hasselbach namun dalam arah yang
sebaliknya dan meningkatkan asidosis intraselular. Asidosis intraselular ini akan
menyebabkan penurunan kontraktilitas otot jantung (Cingolan, 1985; Pannier,1968).
Selain itu, pemberian bikarbonat akan menyebabkan hipernatremia dan
hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi pada keadaan syok dapt

38
dikoreksi dengan meningkatkan perfusi dengan pemberian cairan tambahan dan
penggunaan obat-obatan kardiotropik dibarengi dengan ventilasi yang optimal. Pada
pasien dengan syok persisten dengan kehilangan bicarbonat yang terus menerus
(misalnya pada diare), pemberian bikarbonat secara hati-hati dapat diindikasikan.
Pemberian bikarbonat dapat dihitung sebagai berikut:
HCO3- (mEq) = Defisit basa x berat badan pasien (kg) x 0,3
Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas dan
dapat diulangi sambil memantau perkembangan pasien. Atau, bikarbonat dapat juga
diberikan 0.5-1 mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit. Penelitian pada pasien dengan
cardiovascular arrest, gagal untuk menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi
bikarbonat.
7. Kalsium
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam sel,
termasuk sel jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar ion kalsium
serum. Pemberian produk darah (yang mengandung sitrat) dapat mengikat kalsium
bebas, sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar kalsium. Karena itu, pemberian
kalsium berguna pada pasien syok dengan hipkalsemia. Pemberian kalsium juga
diindikasikan untuk pasien syok yang disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia,
hipermagnesemia, atau toksisitas calcium channel bloker. Kalsium dapat diberikan
dalam bentuk kalsium glukonat atau kalsium klorida. Kalsium klorida merupakan
obat terpilih pada kasus syok, karena kalsium klorida memiliki efek yang dapat lebih
meninggikan dan mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10-20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida 10%) IV,
dimasukan bersama cairan ifus dengan kecepatan tetesan tidak lebih dari
100mg/menit IV.

2.13 PAT (PEDIATRIC ASSESSMENT TRIANGLE)

Tiga komponen PAT adalah penampilan anak, upaya napas, dan sirkulasi kulit.
1. Penampilan anak
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda ‘tides’ meliputi
penilaian tonus (T=tone), interaksi (I=interactive), konsolabilitas (C=consolability),
cara melihat (L=look/gaze) dan berbicara atau menangis (S=speech/cry).

39
Tabel 2.1. Penilaian dengan metode ‘Ticles’ (TICLS)
Karakteristik Hal yang dinilai
Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan
dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh?
Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara
mempengaruhinya? Apakah dia mau bermain dengan
mainan atau alat pemeriksaan? Apa anak tidak bersemangat
berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Consolability Apakah dia dapat ditenangkan oleh pengasuh atau
pemeriksa? Atau anak menangis terus atau terlihat agitas
sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?
Look/gaze Apakah memfokuskan penglihatan pada muka? Atau
pandangan kosong?
Speech/cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat atau
lemah atau parau?

2. Upaya napas
Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi tubuh yang
tidak normal, retraksi, dan cuping hidung.

Tabel 2.2. Penilaian upaya nafas


Karakteristik Hal yang dinilai
Suara napas yang tidak normal Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh yang tidak normal Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head
bobbing
Cuping hidung Napas cuping hidung

40
3. Sirkulasi kulit
Hal yang dinilai adalah pucat, mottling, dan sianosis.
Tabel 2.3. Penilaian sirkulasi kulit
Karakteristik Hal yang dinilai
Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah
karena kurangnya aliran darah ke daerah
tersebut
Mottling Kulit berbercak kebiruan akibat vasokonstriksi
Sianosis Kulit dan mukosa tampak biru

Secara ringkas penggunaan PAT dapat dilihat dibawah:

Penampilan (Normal) Upaya napas ( ) Distress


pernapasan
Sirkulasi kulit (Normal)

Penampilan (Abnormal) Upaya napas ( / ) Gagal


napas
Sirkulasi kulit (Normal/ )

Penampilan (Abnormal) Upaya napas (Normal) Syok

Sirkulasi kulit ( )

Penampilan (Abnormal) Upaya napas (Normal) Gangguan


metabolik atau
Sirkulasi kulit (Normal) gangguan primer
susunan syaraf pusat
Gambar 2.1 Penggunaan PAT secara ringkas
BAB III
ANALISIS KASUS

41
Dilaporkan, kasus an. MRZ/perempuan /15 tahun dengan diagnosis Dengue Syok
Sindrom (DSS). Pada saat di IGD, dilakukan Pedriatric Assessment Triangle (PAT) pada
pasien dimana didapatkan:
1. Appeareance
 Tonus : Pasien bisa bergerak secara spontan
 Interactiveness : Pasien gelisah, kurang memberikan
respons ke lingkungan sekitar
 Consolability : Pasien tampak gelisah.
 Look/Gaze : Kontak mata (-) dengan pemeriksa.
 Speech/Cry : masih bisa berbicara spontan.
2. Work of Breathing
 Abnormal airway sounds : Snoring (-), Muffled (-), Stridor (-),
Grunting (-), Wheezing (-).
 Abnormal Positioning : Sniffing position (-), Tripoding (-),
Prefers seated posture (-).
 Retractions : SC (-), IC (-), SS (-), E (-).
 Flaring : (-)
3. Circulation to Skin
 Pallor : (+)
 Mottling : (-)
 Sianosis : (-)

Dari pemeriksaan PAT yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
syok didapatkan dari gangguan pada tampilan umum di mana tampak penurunan kesadaran,
pasien gelisah, sesak napas, dan gangguan pada sirkulasi dimana pasien tampak pucat.
Setelah pemeriksaan PAT secara umum, dilakukan pemeriksaan survey primer seperti
berikut :
1. Evaluasi tanda vital : TD 90/60, Nadi 120 x/menit dengan isi/tegangan
kurang, frekuensi napas 30 x/menit,
suhu tubuh 36,5 C.
2. Penilaian Airway : Bebas, tidak ada obstruksi jalan napas, bunyi
napas abnormal seperti stridor (-)
3. Penilaian Breathing : Nafas spontan (+), adekuat, sesak (+), napas
cuping hidung (-), retraksi iga/Intrasternal (-),
dada simetris dan dinamis. Bunyi paru vesikuler
(+/+) normal, ronkhi basah halus (-/-), wheezing (-/-).
4. Penilaian Circulation : Nadi teraba lemah, teratur, kualitas kurang,
frekuensi 120x/menit, perdarahan (-), akral
dingin (+), CRT < 2 detik.
5. Penilaian Disability : PCS (pediatric coma scales) 11 (E3M5V3).
6. Penilaian Exposure : Luka di ekstremitas (-).

Dari survey primer, didapatkan situasi di mana pasien mengalami syok.

42
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu:
Gejala Klinis Kompensasi Dekompensasi Irreversibel
Kehilangan Darah ≤ 25% 25-40% > 40%
Frekuensi Jantung Takikardia + Takikardia ++ Takikardia/Bradikardi
Volume Nadi Normal/Menurun Menurun + Menurun ++
Pengisian Kapiler Normal/Meningkat Meningkat + Meningkat ++
Kulit Dingin, pucat Dingin, mottled Pucat mati
RR Takipnue + Takipnue ++ Sighing respiration
Tingkat Kesadaran Agitasi ringan Berkooperasi Bereaksi hanya pada
rasa sakit atau tidak
responsive

Berdasarkan gejala klinisnya, anak ini telah mengalami syok fase kompensasi
yang membutuhkan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadi perburukan.
Tatalaksana syok awal:
 O2 2L/menit via nasal kanul
 IVFD RL 20 cc/kgBB  280 cc waktu secepatnya, kocor  kemudian
evaluasi, lanjutkan dengan  IVFD RL 10 cc/kgBB 140 cc/jam (35
tetes/menit, makro)  evaluasi ulang tanda-tanda vital, kemudian
resusitasi cairan diturunkan bertahap sesuai kondisi
 Observasi tanda vital dan diuresis/jam
 Cek Hb, Ht, Trombosit, PT, apTT, SGOT, SGPT, CRP, ureum, kreatinin,
elektrolit

Setelah dilakukan tatalaksana awal, maka dilakukan secondary survey di mana


didapatkan: dari anamnesis, diketahui bahwa sejak 5 hari, pasien atas nama MRZ, usia 15
tahun, laki-laki dibawa ke IGD RSMH dengan keluhan kaki dan tangan dingin disertai
gelisah. batuk (+), berdahak (-), pilek (-), nyeri kepala (+), sesak napas (-), mual(-),
muntah (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), nyeri menelan (-), bintik merah di kulit (-),
nyeri perut (-), nyeri sendi (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian pasien
dibawa berobat ke klinik, disana suhu mencapai 39,5 ˚c di beri obat penurun panas , tetapi
tidak ada perubahan. Pasien masih mau makan dan minum. Dua hari SMRS anak masih
demam tinggi, kejang (-), sesak napas (-), mual (-), muntah (-),nyeri kepala (-), gusi
berdarah (-), mimisan (-), bintik kemerahan di kulit (-), kaki dan tangan dingin, BAB dan
BAK tidak ada keluhan, pasien mulai tidak nafsu makan. Lalu pasien di bawa ke bidan
dan dikatakan gejala tifus .
±12 jam SMRS kaki dan tangan pasien teraba dingin dan pucat, pasien tampak
gelisah, nyeri kepala (-), sesak nafas (-), nyeri ulu hati (+), BAK terakhir jam 12 siang,

43
mimisan (-), bintik merah di kulit (+) pada kedua lengan, mual (+), muntah (+) 3x tiap
makan dan minum, tidak menyemprot, ¼ gelas kecil, disertai BAB cair, frekuensi 4 kali,
banyak air dari ampas, warna kuning. Lalu pasien di rujuk ke IGD RSMH.
Riwayat penyakit dahulu berupa riwayat sesak napas sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit DBD di dalam keluarga dan lingkungan sekitar disangkal. Riwayat
kehamilan ibu normal dan riwayat kelahiran anak normal, ditolong dokter SpOG.
Riwayat makanan mendapat ASI sampai usia 2 tahun. MP ASI mulai usia 6 bulan.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal. Pasien mendapatkan imunisasi ulangan
untuk DPT, Polio, Campak, tetapi belum pernah mendapatkan imunisasi thypoid,
influenza, varisela, Hepatitis A.. Status gizi baik. Hasil laboratorium tanggal 24 Februari
2017 di RSMH adalah Hb 15,6 g/dl, Ht 45%, trombosit 17 x 10³/μL.

Berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada anak tersebut, mengindikasikan bahwa


anak tersebut mengalami syok akibat demam berdarah dengue atau Dengue Syok
Sindrom (DSS) berdasarkan kriteria WHO, yaitu:
1. Demam akut terus menerus selama 2-7 hari  pada pasien selama 4 hari
2. Adanya minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji torniquet positif, ekimosis,
purpura, petechie, perdarahan pada mukosa, hematemesis, melena)  pada
pasien ditemukan petechie pada tangan
3. Pembesaran hati  pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan hepar yang
membesar
4. Syok, yang ditandai oleh nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi (≤ 20 mmHg), penurunan tekanan darah hingga tidak terukur, akral
dingin, kulit lembab, CRT > 2 detik, dan pasien tampak gelisah  pada pasien
ditemukan keadaan umum gelisah, lethargi, nadi cepat (120 x/menit) dan lemah,
CRT >2 detik serta akral dingin.
5. Kriteria laboratorium :

Trombositopenia (< 100.000/mm3)  pada pasien Trombosit 17.000/mm3

Hemokonsentrasi (> 20%)  pada pasien Ht tertinggi adalah 45% dan Ht
terendah adalah 33 %.
ΔHT = Ht tertinggi – Ht terendah
Ht terendah
= 43-33 = 30 %
33

Uji serologis, Dengue IgM positif, Dengue IgG positif

Berdasarkan gejala klinis, laboratorium, dan uji serologis pasien ini masuk
kriteria Dengue Syok Sindrom (DSS). Kemudian segera dilakukan resusitasi dan

44
dirawat inap hingga kondisi pasien stabil. Adapun komplikasi yang bisa terjadi pada
pasien ini adalah perdarahan massif, edema paru, kegagalan jantung dan ensefalopati
dengue.
Prognosis pada pasien DSS tergantung dari beberapa faktor, berdasarkan
pemantauan yang dilakukan pada pasien ini, prognosisnya dubia ad bonam.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Noisakran, S and Perng, G.C. 2008. Alternate hypothesis on the pathogenesis of


dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue virus
infection. Exp Biol Med,. 233(4):401-8.
2. Tantracheewathorn, T and Tantracheewathorn, S. 2007. Risk factors of dengue shock
syndrome in children. J Med Assoc Thai., 90(2):272-7.
3. WHO. 2013. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome In
The Context of Integrated Management of childhood Illness. WHO/FCH/CAH/05.13.
4. Wahono TD., dkk., Demam Berdarah Dengue. Available at ; http://www.dkk-bpp.com
5. Rampengan T.H., Laurentz I.R., Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p.136-157
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.
7. Behrman RE., et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.Saunders,
Philadelphia.2004
8. Diktat Penyakit Infeksi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar. 2003. p. 39-57.
9. Pedoman Diagnosa dan Terapi Berdasarkan Gejala dan Keluhan. Prosedur Tetap
Standar Pelayanan Medis IRD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1997.
10. Soegijanto S, et all. Demam Berdarah Dengue. Pedoman Diagnosa dan Terapi Lab/UPF
Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1994.
11. Soegijanto S, et all. Seminar Sehari Demam Berdarah Dengue. Surabaya. 1998.

46

Anda mungkin juga menyukai